Anda di halaman 1dari 7

8

Cesaria, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

PENGARUH PENGGUNAAN STARTER TERHADAP KUALITAS


FERMENTASI LIMBAH CAIR TAPIOKA SEBAGAI ALTERNATIF PUPUK
CAIR
The Effect of Using a Starter on The Quality of Fermented Tapioca Liquid
Waste as an Alternative to Liquid Fertilizer
Rizki Yunia Cesaria1, Ruslan Wirosoedarmo2*, Bambang Suharto2
1Mahasiswa

Keteknikan Pertanian Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145


Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145

2Fakultas

*Email Korespondensi : ruslanwr@ub.ac.id

ABSTRAK
Industri tapioka adalah salah satu jenis industri yang menghasilkan limbah cair yang dapat
menyebabkan pencemaran apabila tidak dikelola dengan baik karena mengandung senyawa
organik yang cukup tinggi, untuk mengatasi permasalahan tersebut timbul gagasan untuk
memanfaatkan limbah cair tapioka menjadi produk akhir yang bernilai dengan cara
mengelolanya sebagai pupuk cair organik yang juga berguna untuk membantu penyelamatan
lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan C organik, fosfor, nitrogen,
rasio C/N, kalium dan pH pada pupuk cair dari limbah cair tapioka untuk mengetahui mutu
pupuk cair yang dihasilkan. Pada penelitian ini terdapat tiga perlakuan, yaitu pengolahan
limbah cair tapioka tanpa starter (Kontrol), pengolahan limbah cair tapioka dengan
penambahan Trichoderma koningii (Pupuk A), dan pengolahan limbah cair dengan penambahan
EM4 (Pupuk B). Analisis parameter kualitas pupuk seperti C/N, C organik, N, P, K dan pH
pada Pupuk A dan Pupuk B berbeda nyata dibandingkan dengan Kontrol. Sementara itu,
semua parameter kualitas pada Pupuk A lebih tinggi dibandingkan dengan Pupuk B.
Kandungan N, P, K dari Pupuk A sudah memenuhi nilai standar kualitas pupuk sesuai SNI 197030-2004.
Kata kunci : Limbah cair tapioka, Starter, Pupuk cair
Abstract
Industry tapioca is one of the types of industries that produce wastewater that can use pollution
properly because contains an organic compound relatively high, to overcome these problems
arise the idea to utilize tapioca liquid waste into into a final product in a way to it as a liquid
organic fertilizer that is also useful to help rescue the environment. The research purpose to
analyze the content of C organic, nitrogen, ratio C/N, phosphorus, and potassium in liquid
fertilizers derived from tapioca wastewater. this study there were three treatments, namely
tapioca processing wastewater without starter (control), tapioca wastewater treatment with the
addition of Trichoderma koningii (Fertilizer A), and the treatment of wastewater with the
addition of EM4 (Fertilizer B). Analysis of fertilizer quality parameters such as C / N, organic C,
N, P, K and pH on Fertilizer A and B were significantly different compared with controls.
Meanwhile, all the quality parameters on Fertilizer A is higher than B. Content of Fertilizer N,
P, K of Fertilizer A value has met quality standards in accordance with SNI 19-7030-2004
fertilizer.
Keywords : Tapioca liquid waste, Starter, Liquid fertilizer

9
Cesaria, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

PENDAHULUAN
Industri merupakan salah satu kegiatan
ekonomi yang cukup strategis untuk
meningkatkan
pendapatan
dan
perekonomian masyarakat secara cepat.
Akan tetapi, selain memberikan dampak
yang positif ternyata perkembangan di
sektor industri juga memberikan dampak
yang negatif berupa limbah industri yang
bila tidak dikelola dengan baik dan benar
akan menyebabkan pencemaran, sehingga
pembangunan
yang
berwawasan
lingkungan tidak tercapai (Hamrad et al.,
2007).
Salah satu jenis pencemaran yang
terjadi adalah pencemaran yang disebabkan
oleh limbah industri tapioka yang jika
langsung dibuang ke perairan akan
menyebabkan pencemaran pada lingkungan
sungai
sekitarnya.
Menurut
Tjokroadikoesoemo (1986), limbah cair
industri tapioka yang masih baru berwarna
putih kekuningan, sedangkan limbah yang
sudah busuk berwarna abu-abu gelap.
Kekeruhan yang terjadi pada limbah
disebabkan oleh adanya bahan organik,
seperti pati yang terlarut, jasad renik dan
koloid lainnya yang tidak dapat mengendap
dengan cepat.
limbah industri tapioka
banyak mengandung amilum yang bila
terlarut dalam air akan menyebabkan
turunnya oksigen terlarut dan menimbulkan
bau busuk yang berasal dari proses
degradasi bahan organik yang kurang
sempurna.
Permasalahan tersebut, dapat diatasi
dengan cara memanfaatkan limbah cair
tapioka menjadi produk akhir yang lebih
bernilai dengan cara mengelolanya sebagai
pupuk cair organik yang juga berguna
untuk membantu penyelamatan lingkungan
karena mengurangi penggunaan pupuk
kimia yang dapat menyebabkan degradasi
lahan.
Menurut Simamora et al. (2005) pupuk
organik cair adalah pupuk yang berasal dari
hewan atau tumbuhan yang sudah
mengalami fermentasi. Didalam proses
fermentasi senyawa organik terurai menjadi
senyawa yang lebih sederhana seperti gula,
gliserol, asam lemak dan asam amino.
Penguraian
senyawa
organik
atau
dekomposisi dapat dilakukan dengan

penambahan starter. Starter yang digunakan


dalam penelitian ini adalah EM4 dan
Trichoderma koningii.
EM4 merupakan campuran dari
mikroorganisme yang menguntungkan.
Efek EM4 bagi tanaman tidak terjadi secara
langsung. Penggunaan EM4 akan lebih
efisien bila terlebih dahulu ditambahkan
bahan organik yang berupa pupuk organik
ke dalam tanah. EM4 akan mempercepat
fermentasi bahan organik sehingga unsur
hara yang terkandung akan terserap dan
tersedia bagi tanaman (Hadisuwito, 2012),
sedangkan Trichoderma koningii adalah
jamur saprofit yang hidup dalam tanah dan
kayu mati. Menurut Bangun (2012), bahwa
jamur Trichoderma mempunyai kemampuan
untuk
meningkatkan
kecepatan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman,
terutama
kemampuannya
untuk
menyebabkan produksi perakaran sehat dan
meningkatkan angka kedalaman akar. Akar
yang lebih dalam ini menyebabkan tanaman
menjadi lebih resisten terhadap kekeringan.
Pemilihan EM4 dan Trichoderma
koningii ini yaitu untuk membandingkan
keefektivan kedua jenis starter untuk proses
pembuatan pupuk cair dengan cara melihat
kandungan Rasio C/N, N, P, K dan pH
yang dihasilkan.
Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui bahwa pemberian
starter memiliki pengaruh yang berbeda
terhadap kualitas pupuk cair yang
dihasilkan dan juga untuk mengetahui mutu
pupuk cair dari limbah cair tapioka.
BAHAN DAN METODE
Proses fermentasi pada limbah cair tapioka
dilakukan dalam botol plastik dengan
volume sebesar 1.5 L. Sampel limbah cair
tapioka ini diperoleh dari bak sedimentasi
dan dimasukkan kedalam 3 botol masingmasing sebanyak 1.3 L. Botol plastik
pertama (kontrol) merupakan sampel
limbah cair tapioka tanpa penambahan
starter. Botol plastik kedua (Pupuk A)
merupakan limbah cair tapioka dengan
penambahan Trichoderma koningii sebanyak
13 ml dan botol plastik yang ketiga (Pupuk
B) merupakan sampel limbah cair tapioka
dengan penambahan EM4 sebanyak 13 ml.
Ketiga perlakuan ini difermentasikan

10
Cesaria, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

selama 28 hari dan dilakukan pengadukan


setiap hari pada pagi dan sore hari untuk
membebaskan
gas
selama
proses
penguraian berlangsung. Menurut Sungguh
(1993), fermentasi adalah penguraian unsur
organik kompleks terutama karbohidrat
untuk menghasilkan energi melalui reaksi
enzim
yang
dihasilkan
oleh
mikroorganisme, yang biasanya terjadi
dalam keadaan anaerob dan diiringi dengan
pembebasan gas, hal ini bertujuan untuk
menekan pertumbuhan pathogen agar proses
degradasi berjalan dengan baik. Setelah 28
hari
dilakukan
penyaringan
untuk
memisahkan antara padatan dan cairan.
Cairan yang dihasilkan dianalisa untuk
mengetahui kandungan C organik N, P, K
dan
pH
di
Laboratorium
UPT
Pengembangan Agribisnis Tanaman Pangan
dan Hortikultura Bedali Lawang Dinas
Pertanian Provinsi Jawa Timur.
C organik
Unsur karbon berperan penting pada
tanaman yaitu sebagai pembangun bahan
organik, karena sebagian besar bahan kering
tanaman terdiri dari bahan organik. Selain
itu
karbon
juga
diperlukan
oleh
mikroorganisme sebagai sumber energi
(Sutanto, 2002). Menurut Jenie dan Rahayu
(1993), pada kondisi anaerobik karbon
organik diubah menjadi CO2, metana, dan
senyawa produksi lainnya.
Pengukuran
karbon
oranik
menggunakan metode Walkey dan Black
(pengoksidasian dengan kromat dan asam
sulfat. Sampel sebanyak 1 ml ditambahkan
dengan 10 ml K2Cr2O7 dan H2SO4 pekat,
kemudian dipanaskan sampai semua
sampel melarut. Sampel yang sudah larut
diencerkan menjadi 100 ml dengan akuades.
Larutan ini kemudian dipipet 10 ml
kedalam Erlenmeyer dan ditetesi indikator
feroin 3 tetes, selanjutnya dititrasi dengan
larutan FeSO4 0,5 N sampai terjadi
perubahan warna hijau menjadi coklat
(AOAC, 1999).
Nitrogen
Unsur nitrogen merupakan salah satu unsur
penyusun protein sebagai pembentuk
jaringan dalam makhluk hidup, dan di
dalam tanah unsur N sangat menentukan
pertumbuhan tanaman (Sutanto, 2002).

Pengujian
nitrogen
dilakukan
menggunakan metode kjedahl. Sampel
sebanyak 5 ml ditambahkan dengan H2SO4
pekat, kemudia didestruksi sampai jernih.
Sampel didinginkan setelah itu didestilasi
dengan menambahkan 20 ml NaOH 50%
untuk melepaskan NH3 yang ditampung
dengan larutan asam borat 1%. Sampel yang
telah didestilasi selanjutnya dititrasi dengan
HCL encer (0.05 N) dengan indikator
Conway (AOAC, 1999).
Rasio C/N
Rasio C/N adalah perbandingan kadar
karbon (C) dan kadar nitrogen (N) dalam
suatu bahan. Jumlah rasio C/N dapat
digunakan
sebagai
indikator
proses
fermentasi yaitu jika jumlah perbandingan
antara karbon dan nitrogen masih berkisar
antara 20% sampai 30% maka hal tersebut
mengindikasikan bahwa pupuk yang di
fermentasi sudah bisa untuk digunakan.
Perbedaan kandungan C dan N tersebut
akan menentukan kelangsungan proses
fermentasi pupuk cair yang pada akhirnya
mempengaruhi kualitas pupuk cair yang
dihasilkan (Pancapalaga, 2011).
Kandungan rasio C/N didapatkan dari
perbandingan antara nilai C organik dan
nitrogen.
Fosfor
Fosfor merupakan unsur hara yang
terpenting bagi tumbuhan setelah nitrogen.
Unsur ini merupakan bagian penting dari
nukleoprotein inti sel yang mengendalikan
pembelahan
dan
pertumbuhan
sel,
demikian pula untuk DNA yang membawa
sifat-sifat keturunan organismpe hidup.
Senyawa Fosfor juga mempunyai peranan
dalam
pembelahan
sel,
merangsang
pertumbuhan awal pada akar, pemasakan
buah,
transport
energi
dalam
sel,
pembentukan buah dan produksi biji
(Yulipriyanto, 2010).
Pengujian fosfor menggunakan metode
spektrofotometer. Sampel sebanyak 1 ml
diekstrak dengan 10 ml larutan Bray II (NH4
+ HCl) disaring, kemudian ditambahkan
dengan larutan ammonium molibdat + asam
borat dan direduksi dengan pereduksi asam
askorbat sampai timbul warna biru.
Absorban
sampel
diukur
dengan
menggunakan spektrofotometer dengan

11
Cesaria, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

panjang gelombang 660 nm, sebagai


pembanding dilakukan penetapan deret
standar dengan konsentrasi fosfor 0, 1, 2, 3,
4, 5 ppm (AOAC, 1999).
Kalium
Kalium (K) berperan dalam pembentukan
protein dan karbohidrat, pengerasan bagian
kayu dari tanaman, peningkatan kualitas biji
dan buah. Unsur K diserap dalam bentuk
K+, terutama pada tanaman muda (Mulyani,
1994). Tanaman yang kekurangan unsur K
akan mengalami gejala kekeringan pada
ujung daun, terutama daun tua. Ujung yang
kering akan semakin menjalar hingga ke
pangkal daun. Kadang-kadang terlihat
seperti tanaman yang kekurangan air.
Kekurangan unsur K pada tanaman buahbuahan mempengaruhi rasa manis buah
(Winata, 1998).
Pengujian
kalium
dilakukan
menggunakan metode pertukaran kation
dengan cara dilakukan ekstraksi dengan
larutan NH4OAc pH 7.0 N selanjutnya
diukur
dengan
Instrument
Atomic
Absortion Spetrophotometer (AAS) pada
panjang gelombang 768 nm, sebagai
pembanding dilakukan penetapan deret
standar dengan konsentrasi fosfor 0, 1, 2, 3
ppm (AOAC, 1999).
Derajat Keasaman (pH)
Menurut Campbell dan Reece (2008), pH
merupakan
faktor
penting
karena
berpengaruh terhadap ketersediaan mineral
yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Salah satu
faktor yang mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme didalam media penguraian
bahan organik adalah pH. pH optimum
untuk proses penguraian bahan organik
menurut Sutanto (2002) antara 58. Akhir
proses penguraian menghasilkan pupuk
organik cair yang bersifat asam netral dan
alkalis sebagai akibat dari sifat bahan
organik.
Pengujian pH dilakukan menggunakan
pH meter. Ditimbang 10 gram contoh pupuk
organik, dimasukkan ke dalam botol kocok,
ditambah 50 ml air bebas ion. Kemudian
dikocok dengan mesin kocok selama 30
menit. Kemudian suspensi pupuk cair
diukur dengan pH meter yang telah
dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH
7.0 dan pH 4.0.

Tabel 1. Standar Kualitas Pupuk Organik


Berdasarkan SNI 19-7030-2004
Parameter
Total N
Total C organik
Rasio C/N
P2O5
K2O
pH

Standar
> 0.40%
9.80 32.00%
11 20
> 0.10%
> 0.20%
4-9

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2004)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman dari ketiga perlakuan,
Kontrol, Pupuk A dan Pupuk B berkisar
antara 4.95 sampai dengan 5.55 ( Tabel 2),
dari kandungan tersebut maka pH yang
dihasilkan belum memenuhi SNI 19-70302004. pH pada ketiga perlakuan tidak
menunjukkan perbedaan pada awal dan
akhir fermentasi. Tetapi, perbedaan pH
terjadi pada pertengahan waktu fermentasi.
Tabel 2. Kandungan pH pada Pupuk Cair
Perlakuan
Kontrol
Pupuk A
Pupuk B
BNT 5%

Ke-1
5.26 a
5.27 a
5.27 a
0.20

pH
Ke-14
5.53 a
5.40 b
5.40 c
0.00

Ke-28
5.01 a
5.03 a
5.13 a
0.28

Bilangan rata-rata yang didampingi huruf yang


sama tidak berbeda nyata pada P (0.05); Kontrol =
Limbah Cair Tapioka; B = Limbah Cair Tapioka +
Trichoderma Koningii; C = Limbah Cair Tapioka +
EM4

Kandungan pH pada Kontrol, Pupuk A


dan Pupuk B tergolong asam. Menurut
Campbell dan Reece (2008), jika pH terlalu
asam
dapat
disesuaikan
dengan
menambahkan
kapur
yakni
kalsium
karbonat atau kalsium hidroksida.
Pada hari ke-14 terjadi peningkatan
kandungan pH dan kemudian mengalami
penurunan pada akhir proses fermentasi,
hal ini sesuai dengan Prahesti dan
Dwipayanti (2011) bahwa tingginya pH
disebabkan oleh aktivitas kelompok bakteri
lainnya, misalkan bakteri metanogen yang
mengonversikan
asam-asam
organik
menjadi senyawa yang lebih sederhana
seperti
metana,
amoniak
dan
karbondioksida. Setelah mengalami pH
yang tinggi terjadi proses penurunan pH
menuju pada kondisi yang optimal yaitu pH

12
Cesaria, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

7. pH yang dihasilkan dari limbah cair


tapioka berkisar antara 4.95-5.55.
Kandungan C organik
Kandungan C organik yang dihasilkan dari
Kontrol, Pupuk A dan Pupuk B berkisar
antara 1.103.02%. Berdasarkan nilai
tersebut maka kandungan C organik dari
limbah cair tapioka masih dibawah SNI 197030-2004. Kandungan C organik dalam
pupuk cair semakin meningkat dengan
bertambahnya waktu fermentasi (Tabel 3).
Tabel 3. Kandungan C organik pada
Pupuk Cair
Perlakuan
Kontrol
Pupuk A
Pupuk B
BNT 5%

C organik (%)
Ke-1
Ke-1
Ke-1
0.41 a
1.09 a
1.15 a
0.57 a
1.26 bc
1.86 ab
0.79 a
1.41 c
2.53 b
0.39
0.17
0.84

Bilangan rata-rata yang didampingi huruf yang


sama tidak berbeda nyata pada P (0.05); Kontrol =
Limbah Cair Tapioka; B = Limbah Cair Tapioka +
Trichoderma Koningii; C = Limbah Cair Tapioka +
EM4

Selama proses fermentasi berlangsung,


kandungan C organik mengalama fluktuasi,
hal ini disebabkan ada bakteri yang
mengalami
kematian.
Bakteri
yang
mengalami kematian ini tidak mendegradasi
senyawa organik, tetapi terukur sebagai
organik sehingga kandungan senyawa
organiknya tinggi (Winda, 2009).
Kandungan Nitrogen
Kandungan nitrogen pada pupuk cair
selama fermentasi semakin meningkat
sebanyak 1%. Dari hasil analisa kualitas
pupuk cair memiliki kandungan nitrogen
berkisar antara 0.60%-0.81%. Berdasarkan
kandungan tersebut maka kandungan
nitrogen yang dihasilkan sudah memenuhi
SNI 19-7030-2004.
Tabel 4. Kandungan Nitrogen pada
pupuk cair
Perlakuan
Kontrol
Pupuk A
Pupuk B
BNT 5%

Ke-1
0.62 a
0.66 a
0.67 a
0.06

Nitrogen (%)
Ke-14
0.63 a
0.71 bc
0.75 c
0.08

Ke-28
0.64 a
0.73 bc
0.77 c
0.09

Keterangan : bilangan rata-rata yang didampingi huruf


yang sama tidak berbeda nyata pada P (0.05); Kontrol =
Limbah Cair Tapioka; B = Limbah Cair Tapioka +
Trichoderma Koningii; C = Limbah Cair Tapioka + EM4

Berdasarkan hasil penelitian pH yang


dihasilkan dari pupuk cair cenderung asam.
Menurut Polprasert (1989), pH yang basa
menyebabkan kandungan nitrogen turun,
sehingga
dapat
disimpulkan
bahwa
meningkatnya kandungan nitrogen ini
disebabkan oleh pH yang bersifat asam.
Kandungan nitrogen tertinggi diperoleh
dari Pupuk B.
Rasio C/N
Selama proses fermentasi berlangsung Rasio
C/N pada pupuk cair semakin meningkat,
hal ini dikarenakan kandungan C/N
didapatkan dari perbandingan antara
kandungan C organik dan nitrogen,
sehingga
jika
terjadi
peningkatan
kandungan C organik dan nitrogen maka
kandungan C/N juga akan semakin
meningkat (Tabel 5).
Tabel 5. Rasio C/N pada Pupuk Cair
Perlakuan
Kontrol
Pupuk A
Pupuk B
BNT 5%

Ke-1
0.66 a
0.87 b
1.18 c
0.17

Rasio C/N
Ke-1
1.71 a
1.77 ab
1.88 c
0.11

Ke-1
1.79 a
2.54 ab
3.27 b
0.94

Keterangan : bilangan rata-rata yang didampingi


huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P (0.05);
Kontrol = Limbah Cair Tapioka; B = Limbah Cair
Tapioka + Trichoderma Koningii; C = Limbah Cair
Tapioka + EM4

Rasio C/N pada pupuk cair berkisar


antara 1.71-3.73, berdasarkan kandungan
tersebut maka kandungan C/N dari limbah
cair tapioka ini masih dibawah SNI 19-70302004, hal ini dikarenakan hasil fermentasi
dari limbah cair tapioka ini memiliki
kandungan C organik yang tergolong
rendah sehingga menghasilkan kandungan
C/N yang rendah pula. Kandungan C
organik yang rendah disebabkan proses
fermentasi dari limbah cair tapioka ini tidak
diberikan penambahan sumber karbon,
sehingga pertumbuhan mikroorganisme
menjadi terhambat karena tidak memiliki
sumber energi yang cukup. Salah satu
sumber karbon bisa diperoleh dari dedak.
Menurut Irlbeck (2000), dedak merupakan

13
Cesaria, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

hasil dari penggilingan padi yang


mempunyai sumber karbon dan nitrogen
lebih kompleks dibandingan media lain.
Karbohidrat yang yang mudah tersedia
seperti halnya dedak padi merupakan
sumber energi yang dapat memfasilitasi
aktifitas mikroorganisme dalam melakukan
proses fermentasi.
Kandungan Fosfor
Peningkatan kandungan fosfor sebanyak 8%
(Tabel 6), hal ini dikarenakan tingginya
kandungan fosfor juga dipengaruhi oleh
tingginya kandungan nitrogen, semakin
tinggi nitrogen yang dikandung maka
multiplikasi
mikroorganisme
yang
merombak fosfor akan meningkat, sehingga
kandungan fosfor akan meningkat (Yuli et
al., 2011).
Tabel 6. Kandungan Fosfor pada Pupuk
Cair
Perlakuan
Kontrol
Pupuk A
Pupuk B
BNT 5%

Ke-1
0.54 a
0.39 a
0.19 a
0.81

Fosfor (%)
Ke-14
1.17 a
1.33 b
1.53 c
0.15

Ke-28
1.17 a
1.37 b
1.58 c
0.17

Keterangan : bilangan rata-rata yang didampingi


huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P (0.05);
Kontrol = Limbah Cair Tapioka; B = Limbah Cair
Tapioka + Trichoderma Koningii; C = Limbah Cair
Tapioka + EM4

Kandungan fosfor tertinggi diperoleh


dari pupuk B yaitu perlakuan yang diberi
EM4. Kandungan fosfor pada pupuk cair
berkisar antara 1.141.70%. Berdasarkan
kandungan tersebut maka kandungan fosfor
yang dihasilkan sudah memenuhi SNI 197030-2004.
Kandungan Kalium
Kandungan kalium pada pupuk cair
mengalami peningkatan sebanyak 4% (Tabel
7). Kandungan kalium terbaik dihasilkan
dari perlakuan dengan penambahan EM4
yaitu pada Pupuk B. Dari hasil analisa
kualitas pupuk cair memiliki kandungan
kalium
berkisar
antara
0.70-1.46%.
Berdasarkan kandungan tersebut maka
kandungan kalium yang dihasilkan sudah
memenuhi SNI 19-7030-2004.

Tabel 7. Kandungan Kalium pada Pupuk


Cair
Perlakuan
Kontrol
Pupuk A
Pupuk B

Ke-1
0.42 a
0.28 a
0.27 a

Kalium (%)
Ke-14
0.72 a
0.79 ab
1.08 c

Ke-28
0.87 a
1.05 ab
1.25 b

BNT 5%
0.25
0.20
0.29
Keterangan : bilangan rata-rata yang didampingi
huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P (0.05);
Kontrol = Limbah Cair Tapioka; B = Limbah Cair
Tapioka + Trichoderma Koningii; C = Limbah Cair
Tapioka + EM4

Pupuk B menghasilkan kandungan


kalium lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan lain. Hal ini disebabkan oleh
terbentuknya asam organik selama proses
penguraian pada Pupuk B lebih banyak dan
menyebabkan daya larut unsur-unsur hara
seperti Ca, P dan K menjadi lebih tinggi,
sehingga lebih banyak kalium bagi tanaman
(Donahue, 1970).
KESIMPULAN
Pemberian starter EM4 dan Trichoderma
Koningii berpengaruh nyata terhadap
kandungan C/N, C organik, N, P, K dan
pH. Pada penelitian ini kualitas pupuk cair
terbaik diperoleh dari limbah cair tapioka
dengan penambahan EM4 yaitu pada Pupuk
B. Penambahan starter EM4 meningkatkan
kandungan hara lebih tinggi dibandingkan
dengan penambahan Trichoderma Koningii.
Kandungan N, P dan K pada Pupuk B
sudah memenuhi nilai standar kualitas
pupuk, sehingga pupuk cair dari limbah cair
tapioka jika dilihat dari segi kandungan
hara sudah dapat digunakan sebagai pupuk,
akan tetapi kandungan C organik dan pH
yang dihasilkan masih belum memenuhi
SNI 19-7030-2004.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1999. Official Methode of Analysis of
AOAC International. The Association
of Official Analitycals, Contaminants,
Drugs. Vol. 1. AOAC International.
Gaithersburg.
Bangun, D. W. 2012. Petani Pintar. Klinik
Pertanian Indonesia.
Campbell, N. A. dan J.B. Reece. 2008. Biologi
edisi kedelapan Jilid 2. Erlangga.
Jakarta.

14
Cesaria, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Donahue, R. L,W. 1970. Soils an introduction


to soil and plant growth. Prentice hall,
inc. New Jersey
Hadisuwito, Sukamto. 2012. Membuat Pupuk
Organik Cair. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Hamrad, et al .2007. Pengawasan Industri
dalam
Pengendalian
Pencemaran
Lingkungan. Granit. Jakarta.
Irlbeck, N.A. 2000. Basic of Alpaca Nutrition.
Alpaca
Owners
and
Breeder
Association
Annual
Conference
Procedings. June 4. Louisville.
Jenie, B.S.L. dan Rahayu WP. 1993.
Penanganan Limbah Industri Pangan.
Kanisius. Yogyakarta.
Mulyani, S. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan.
Rineka Cipta. Jakarta.
Pancapalaga, W. 2011. Pengaruh Rasio
Penggunaan Limbah Ternak dan Hijauan
terhadap Kualitas Pupuk Cair. Gamma
7(1), Hal 61-68.
Polprasert. 1999. Organic Waste Recyling. John
Wiley and Sons. Chicester.
Prahesti R.Y. dan N.U. Dwipayanti. 2011.
Pengaruh penambahan nasi basi dan gula
merah terhadap kualitas kompos dengan
proses anaerobik; studi kasus pada
sampah domestik lingkungan Banjar
Sari, Kelurahan Ubung, Denpasar
Utara: 497-506
Rahayu, M.S., dan Nurhayati, (2005),
Penggunaan EM4 dalam Pengomposan
Limbah Padat. Jurnal Penelitian Bidang
Ilmu Pertanian Vol. 3, No. 2.
Simamora, S., dan Salundik. 2005.
Meningkatkan
Kualitas
Kompos.
Agromedia Pustaka. Jakarta
Sungguh A. 1993. Kamus Lengkap Biologi.
Gaya Media Pratama. Jakarta.
Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian
Organik
:
Pemasyarakatan
&
Penerapannya. Karisius. Yogyakarta
Tjokroadikoesoemo, P. S. 1986. HFS dan
Industri Ubi Kayu Lainnya. PT
Gramedia. Jakarta.
Winata, L. 1998. Budidaya Anggrek. Penebar
Swadaya . Jakarta.
Winda, L. 2009. Penyisihan Senyawa Organik
pada Biowaste Fasa Padat Menggunakan
Reaktor Batch Anaer. Tugas Akhir,
Program Studi Teknik Lingkungan.
ITB. Bandung.

Yuli A. Hidayati.et al. 2011. Kualitas pupuk


cair hasil pengolahan Feses Sapi Potong
Menggunakan Saccharomyces cereviceae.
Jurnal Ilmu Ternak Vol.11, No.2.
Yulipriyanto, H. 2010. Biologi tanah dan
startegi pengolahannya. Graha Ilmu.
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai