Anda di halaman 1dari 3

SJSN ini konsepnya mengikuti paradigma Barat atau sistem kapitalis dalam masalah jaminan

sosial, yaitu sistem asuransi. Namanya terdengar bagus, Jaminan Sosial Nasional, tetapi
isinya ternyata hanya mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS.
Artinya, itu adalah swastanisasi pelayanan sosial khususnya di bidang kesehatan. Hal ini bisa
kita lihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN itu. Dalam Pasal 1 berbunyi: Asuransi
sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari
iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta
dan/atau anggota keluarganya. Lalu Pasal 17 ayat (1): Setiap peserta wajib membayar iuran.
(2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang
menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.
Dari dua pasal itu bisa kita pahami. Pertama: terjadi pengalihan tanggung jawab negara
kepada individu atau rakyat melalui iuran yang dibayarkan langsung, atau melalui pemberi
kerja bagi karyawan swasta, atau oleh negara bagi pegawai negeri. Lalu sebagai tambal
sulamnya, negara membayar iuran program jaminan sosial bagi yang miskin. Pengalihan
tanggung jawab negara kepada individu dalam masalah jaminan sosial juga bisa dilihat dari
penjelasan undang-undang tersebut tentang prinsip gotong-royong yaitu: Peserta yang
mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib
bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan
peserta yang sehat membantu yang sakit. Jadi, jelas undang-undang ini justru ingin
melepaskan tanggung jawab negara terhadap jaminan sosial atau kesehatan.
Kedua: Yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang teregister atau tercatat
membayar iuran.
Ketiga: Jaminan sosial tersebut hanya bersifat parsial, misalnya jaminan kesehatan, tetapi
tidak memberikan jaminan kepada rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sandang,
pangan dan papan maupun pendidikan.
Adapun BPJS adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang
BPJS, yang merupakan amanat dari UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN. BPJS akan
menjadi lembaga superbody yang memiliki kewenangan luar biasa di negara ini untuk
merampok uang rakyat. Tidak hanya kepada para buruh, sasaran UU ini adalah seluruh rakyat
Indonesia. Kedua UU tersebut mengatur asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Hal
ini ditegaskan oleh UU 40/2004 pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan
diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip
ekuitas. Juga Pasal 29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa
jaminan sosial itu diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial.
Prinsip asuransi sosial juga terlihat dalam UU Nomer 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Pada
Pasal 1 huruf (g) dan Pasal 14 serta Pasal 16 disebutkan bahwa BPJS menyelenggarakan
sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip kepesertaan yang bersifat wajib.

Inilah fakta sebenarnya dan bahaya UU SJSN dan BPJS bagi rakyat. Rakyat dipalak
sedemikian rupa atas nama kepentingan negara dalam menjamin layanan kesehatan dan sosial
lainnya. Bagaimana tidak memalak. UU itu menyiapkan seperangkat sanksi bagi rakyat yang
tidak mau membayar premi. Jadi, bohong jika dikatakan bahwa UU ini akan membawa
kesejahteraan bagi rakyat. Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia. Saat
ini institusi bisnis asuransi multinasional tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia
yang dibuka antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11
huruf (b); disebutkan bahwa BPJS berwenang menempatkan dana jaminan sosial untuk
investasi. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang
sedang melanda Indonesia.
Berdasarkan PP 101 tahun 2012 dan Perpes No. 12 tahun 2013, SJSN akan mulai
diberlakukan mulai tahun 2014 ini, Akan tetapi, kedua peraturan tersebut semakin
memperjelas bahwa jaminan sosial yang selama ini dijanjikan sebenarnya adalah pemalakan
kepada rakyat untuk kepentingan perusahaan asuransi. Karena itu, sangat wajar kedua
peraturan tersebut juga ditolak oleh mereka yang selama ini sangat mendukung dan menuntut
segera dilaksanakan UU SJSN, seperti Komite Aksi Jaminan sosial dan Majelis Pekerja
Buruh Indonesia (MPBI).
Beberapa aturan tekhnis yang ada dalam PP tersebut menunjukkan bahwa SJSN adalah
privatisasi atau komersialisasi layanan publik. Dalam PP itu disebutkan bentuk badan hukum
saja, bukan badan hukum publik. Dengan bentuk badan hukum publik saja, seperti Perguruan
Tinggi, nuansa komersialisasi tidak bisa dihindarkan. Apalagi kalau badan hukumnya selain
badan hukum publik, misalnya Perseroan Terbatas (PT). Kalau bentuknya PT jangan diharap
ada pengutamaan pelayanan karena PT orientasinya adalah profit atau keuntungan.
Masyarakat yang akan mendapat pelayanan kesehatan adalah mereka yang membayar iuran
premi asuransi. Dalam kedua PP tersebut tidak disebutkan besarnya iuran. Namun,
berdasarkan draft PP dan Usulan Pokja BPJS ada 3 kelompok kepesertan, yaitu: (1)
Kelompok Miskin atau Penerima Bantuan Iuran dengan premi yang harus dibayar sebesar
Rp 22.500 perbulan dan berhak mendapat pelayanan kesehatan kelas 3; (2) Kelompok yang
menginginkan pelayanan kelas 2 membayar Rp 40.000 perbulan; (3) Kelompok yang
menginginkan Pelayanan Kelas 1 harus membayar premi Rp 50.000 perbulan.
Dalam Pasal 17 UU SJSN disebutkan yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka
yang terregister atau tercatat membayar iuran. Jadi, yang tidak tercatat atau tercatat tetapi
belum membayar atau punya tunggakan kemungkinan besar akan ditolak atau tidak akan
mendapat layanan dari rumah sakit.
Tim Pokja BPJS mengajukan Penerima Bantuan Iuran untuk rakyat miskin sebesar Rp
22.200 perorang perbulan dengan jumlah rakyat miskin 96,4 juta sehingga total sekitar Rp
25, 5 Triliun. Namun, Menkeu hanya menyetujui Rp15.500 perorang dengan orang miskin
yang ditanggung sebesar 86 juta atau total Rp 16 Triliun. Artinya, rakyat miskin yang selama
ini dijanjikan gratis ternyata harus membayar sebesar Rp 6.700 karena Pemerintah hanya

menanggung premi Rp 15.500. Artinya, kalau nunggak atau tidak membayar jelas tidak akan
mendapatkan layanan kesehatan.
Yang juga perlu diperhatikan, Penerima Bantuan Iuran bentuknya adalah subsidi yang
sifatnya sementara dan setiap saat bisa dihapuskan, sehingga rakyat miskin harus membayar
secara penuh.

Anda mungkin juga menyukai