Astronomi 130903014407 Phpapp01
Astronomi 130903014407 Phpapp01
Jarak bintang biasanya diukur menggunakan metode paralaksis. Sederhananya coba pegang
pensil secara tegak sekitar 25 cm di tengah-tengah kedua mata Anda. Lihatlah pensil hanya
menggunakan mata kiri kemudian lihatlah pensil dengan menggunakan mata kanan. Berbeda
bukan? Ya, letak pensil pastinya akan berubah akibat berubahnya sudut pandang, begitu juga
posisi bintang dari Bumi. Jika kita mengamati bintang pada bulan Januari, lalu enam bulan
kemudian (Bumi telah berevolusi 180) kita amati lagi, posisi bintang (deklinasinya) akan
berubah. Setengah dari perubahan deklinasi ini disebut sudut paralaks (p), atau biasa disebut
paralaks saja.
Perhatikan posisi Matahari, Bumi dan bintang yang memberikan sudut p. sudut p dalam radian
dapat kita nyatakan dengan:
Jika p dinyatakan dalam detik busur() (ingat 1 rad = 180/, 1 = 60 dan 1 = 60) dan jarak
dinyatakan dalam AU (r tentunya 1 AU) maka:
Dari persamaan ini para astronom membuat satuan jarak baru yang disebut parsek (parsec)
yang didefinisikan sebagai jarak suatu objek yang memiliki paralaks satu detik busur. Jadi satu
parsek = 206265 AU, sehingga rumus baku jarak dalam parsek dan paralaks dalam detik busur
adalah:
SISTEM MAGNITUDO
Magnitudo adalah tingkat kecemerlangan suatu bintang. Skala magnitudo berbanding terbalik
dengan kecemerlangan bintang, artinya makin terang suatu bintang makin kecil skala
magnitudonya. Pada zaman dulu, bintang yang paling terang diberikan magnitudo 1 dan yang
cahayanya paling lemah yang masih dapat dilihat oleh mata diberi magnitudo 6. Sekarang
diberikan ketentuan bintang dengan beda magnitudo satu memiliki beda kecerlangan 2,512 kali,
jadi jika bintang A memiliki magnitudo 1 dan bintang B memiliki magnitudo 3 berarti bintang A
6,25 kali tampak lebih terang dari bintang B. Perbandingan magnitudo semu bintang dapat
menggunakan rumus Pogson berikut:
Pengukuran magnitudo berdasarkan keadaan yang tampak dari Bumi seperti di atas disebut
magnitudo semu, m. Magnitudo mutlak (M) adalah perbandingan nilai terang bintang yang
sesungguhnya. Seperti yang Anda ketahui, jarak antara bintang yang satu dan bintang yang lain
dengan Bumi tidaklah sama. Akibatnya, bintang terang sekalipun akan nampak redup bila
jaraknya sangat jauh. Oleh karena itu, dibuatlah perhitungan magnitudo mutlak, yaitu tingkat
kecerlangan bintang apabila bintang itu diletakkan hingga berjarak 10 parsec dari Bumi.
Dengan mengingat persamaan radiasi E = L /4r2, dengan E energi radiasi, L luminositas
(daya) dan r jarak, maka perhitungan jarak bintang, magnitudo semu dan magnitudo mutlak
(absolut) adalah:
Perlu diingat jarak dalam persamaan modulus di atas (d) harus dinyatakan dalam satuan
parsec. Satu parsec ialah jarak suatu bintang yang mempunyai sudut paralaks satu detik busur,
yang sebanding dengan 3,26 tahun cahaya (ly) atau 206265 satuan astronomi (AU). Jika yang
ditanyakan ialah jarak, maka rumus diatas dapat dibalik menjadi:
Jika magnitudo absolut dan magnitudo semunya diketahui, jaraknya dapat dihitung. Kuantitas m
M dikenal sebagai modulus jarak. Adapun hubungan antara magnitudo mutlak dan luminositas
(daya) bintang, L dapat diterapkan berdasarkan rumus Pogson.
Misalkan magnitudo semu matahari tampak dari Bumi, m = -26,83, maka magnitudo mutlak
matahari, M ialah:
M = m + 5 5 log d.
ORBIT (1)
Planet-planet mengelilingi Matahari dengan orbit elips, dan memang sebagian besar benda
langit memiliki orbit elips. Pada artikel ini hanya akan dibahas mengenai orbit elips. Sebelumnya
kita perlu memahami apa definisi dari elips, menurut saya, Elips adalah bangun dua dimensi
yang mempunyai dua titik fokus (dengan jarak kedua titik fokus adalah tetap) yang mana jumlah
jarak setiap titik yang terletak pada keliling elips terhadap kedua fokusnya adalah sama. Jadi
elips memiliki dua fokus yang tidak berimpit dengan pusatnya dan panjang/jarak dari fokus
pertama ke suatu titik di keliling elips ke fokus kedua adalah sama untuk sembarang titik (yang
jelas pada kelilig elips).
4. Sumbu semi-minor(b)
Sumbu semi-minor adalah setengah dari sumbu pendek elips.
Dengan dalil pythagoras kita dapatkan b2 = a2 c2
7. Eksentrisitas (e)
Eksentrisitas menyatakan tingkat kepepatan elips, yang dinyatakan dengan:
Jadi kita dapat menganggap lingkaran sebagai elips dengan eksentrisitas nol.
ORBIT (2)
Orbit suatu benda langit mengitari pusat orbitnya dinyatakan dalam Hukum III Kepler yaitu:
Dengan a sumbu semi-mayor orbit (dianggap jarak rata-rata), T periode orbit (periode revolusi),
G konstanta gravitasi universal = 6,668 . 10-11 N m2 kg-2, M massa benda pusat dan m massa
benda yang mengorbit. Karena massa benda yang mengorbit biasanya jauh lebih kecil dari
massa benda pusat, maka nilai G(M + m) biasa ditulis GM saja. Karena rumus ini rumus fisika,
maka semua besaran harus dalam satuan mks.
Adapun penyederhanaan rumus Kepler ini adalah
Dengan a dinyatakan dalam AU, T dalam tahun dan M dalam massa Matahari. Ingat, rumus
penyederhanaan ini tidak dapat digunakan jika besaran tidak sama dengan yang telah saya
tuliskan di atas.
Karena dalam orbit elips massa pusat berada pada salah satu fokus elips, bukan pada
pusatnya, perubahan jarak yang terjadi akibat revolusi planet juga semakin signifikan. Jarak
benda yang mengorbit dari benda pusat (r) dapat dinyatakan dengan persamaan:
Dengan (baca: nu) adalah sudut dari perifokus ke arah radius benda yang mengorbit
berlawanan arah jarum jam. Adapun kelajuan orbit benda tadi (disebut kelajuan sirkular)
dinyatakan dalam:
Kelajuan yang dibutuhkan oleh benda yang mengorbit untuk bisa lepas dari pengaruh gravitasi
benda pusatnya harus lebih besar dari suatu nilai batas sehingga percepatan sentripetalnya
lebih besar dari percepatan gravitasi yang dialami benda tadi. Kelajuan minimal untuk lepas dari
orbit ini disebut kelajuan lepas, vesc (escape velocity). Dengan menyetarakan energi gravitasi
dan energi kinetik benda didapatkan vesc = vr 2.
Sudut antara kutub Bumi (poros rotasi Bumi) dan horizon disebut tinggi kutub () . Jika
diperhatikan lebih lanjut, ternyata nilai = , dengan diukur dari Selatan ke KLS jika
pengamat berada di lintang selatan dan diukur dari Utara ke KLU jika pengamat berada di
lintang utara. Jadi untuk pengamat pada = 90 LU lingkaran ekliptika akan berimpit dengan
lingkaran horizon, dan kutub lintang utara berimpit dengan zenit, sedangkan pada = 90 LS
lingkaran ekliptika akan berimpit dengan lingkaran horizon, dan kutub lintang selatan berimpit
dengan zenit
<br>
Ordinat-ordinat dalam tata koordinat ekuator adalah:
1.
Bujur suatu bintang dinyatakan dengan sudut jam atau Hour Angle (HA). Sudut jam
menunjukkan letak suatu bintang dari titik kulminasinya, yang diukur dengan satuan jam
(ingat,1h = 15). Sudut jam diukur dari titik kulminasi atas bintang (A) ke arah barat (positif, yang
berarti bintang telah lewat kulminasi sekian jam) ataupun ke arah timur (negatif, yang berarti
tinggal sekian jam lagi bintang akan berkulminasi). Dapat juga diukur dari 0 360 dari titik A ke
arah barat.
2.
Lintang suatu bintang dinyatakan dengan deklinasi (), yang diukur dari proyeksi bintang
di ekuator ke arah bintang itu menuju ke kutub Bumi. Tinggi bintang diukur 0 90 jika arahnya
menuju KLU dan 0 -90 jika arahnya menuju KLS.
Dapat kita lihat bahwa deklinasi suatu bintang nyaris tidak berubah dalam kurun waktu yang
panjang, walaupun variasi dalam skala kecil tetap terjadi akibat presesi orbit Bumi. Namun sudut
jam suatu bintang tentunya berubah tiap jam akibat rotasi Bumi dan tiap hari akibat revolusi
Bumi. Oleh karena itu, ditentukanlah suatu ordinat baku yang bersifat tetap yang menunjukkan
bujur suatu bintang pada tanggal 23 September pukul 00.00, yaitu ketika titik Aries ^ tepat
berkulminasi atas pada pukul 00.00 waktu lokal (vernal equinox). Ordinat inilah yang disebut
asensiorekta (ascencio recta) atau kenaikan lurus, yang umumnya dinyatakan dalam jam.
Faktor gerak semu harian bintang dikoreksi terhadap waktu lokal (t) dan faktor gerak semu
tahunan bintang dikoreksi terhadap Local Siderial Time (LST) atau waktu bintang, yaitu letak titik
Aries pada hari itu. Pada tanggal 23 September LST-nya adalah pukul 00 h, dan kembali ke pukul
00h pada 23 September berikutnya sehingga pada tanggal 21 Maret, 21 Juni, dan 22 Desember
LST-nya berturut-turut adalah 12h, 18h, dan 06h. Jadi LST dapat dicari dengan rumus :
Lingkaran kecil KaKb merupakan lintasan gerak bintang, yang sifatnya nyaris tetap. Untuk
bintang R, yang diamati dari = 40 LS akan lebih sering berada pada di atas horizon daripada
di bawah horizon. Pembahasan lebih lanjut pada bagian bintang sirkumpolar.
Tinggi bintang atau altitude, yaitu sudut kedudukan suatu bintang dari horizon dapat dicari
dengan aturan cosinus segitiga bola. Tinggi bintang, a, yaitu
a = 90
Dimana jarak zenit () dirumuskan dengan
cos = cos(90 ) cos(90 ) + sin(90 ) sin(90 ) cosHA
2.
Kecepatan tangensial : kecepatan bintang bergerak di bola langit (pada bidang
pandang).
Sedangkan kecepatan total adalah kecepatan gerak sejati bintang yang sebenarnya (semua
komponen).
KECEPATAN RADIAL
Kecepatan radial, seperti telah dijelaskan sebelumnya, adalah kecepatan bintang menjauhi atau
mendekati pengamat. Kecepatan ini biasanya cukup besar, sehingga terjadi peristiwa
pergeseran panjang gelombang. Kecepatan radial bintang dapat diukur dengan metode Efek
Doppler.
atau dengan pendekatan untuk vr<<c dapat digunakan versi nonrelativistik yaitu:
Kebanyakan gerak bintang-bintang yang dapat diaamati geraknya memiliki kelajuan yang jauh di
bawah kelajuan cahaya, sehinggi kita gunakan saja persamaan yang kedua. Penting untuk
mengetahui kecepatan bintang dan galaksi umumnya dinyatakan dalam km/s.
KECEPATAN TANGENSIAL
Kecepatan tangensial adalah kecepatan gerak bintang pada bola langit. Misalkan pada suatu
tahun, bintang tersebut berada pada , sekian, namun pada tahun berikutnya posisinya
berubah. Perubahan koordinat dalam tiap tahun ini disebut proper motion () yang merupakan
kecepatan sudut bintang (perubahan sudut per perubahan waktu). Kecepatan liniernya
dinyatakan dalam satuan kilometer per detik. Kecepatan linier inilah yang dikatakan kecepatan
tangensial, yang dapat dicari dengan menggunakan rumus keliling lingkaran. Misal perubahan
posisi bintang dari x ke x, yaitu sebesar (detik busur) setiap tahunnya.
Perhatikan gambar:
KECEPATAN TOTAL
Di atas kita telah membahas kecepatan bintang dalam arah radial dan tangensial, sekarang kita
akan mencari kecepatan total bintang, v. Karena arah sumbu radial dan tangensial tegak lurus,
maka dengan mudah kita dapat menyelesaikannya menggunakan dalil Pythagoras atau
trigonometri. Ingatlah sudut yang dibentuk antara sumbu radial dan vektor kecepatan bintang
disebut sudut .
CONTOH:
1. Diketahui proper motion sebuah bintang 0,348 dan paralaksnya 0,214. Jika spektrum H
deret Balmer bintang tersebut teramati pada panjang gelombang 6564 (1 angstrom, = 10-10
m). Tentukanlah kecepatan total bintang itu,
Penyeleaian:
Cari terlebih dahulu 0 menggunakan formula Rydberg, untuk deret Balmer m = 2 dan alfanya n
=3