Anda di halaman 1dari 43

Laporan Problem Based Learning (PBL) II

BLOK NEUROLOGY AND SPESIFIC SENSE SYSTEMS (NSS)


Meningitis Bakterialis

Tutor
dr. Miko Ferine
Kelompok 9 :
G1A008027

Tini Rohmantini

G1A008028

Nikita Rachel Ajani

G1A008029

Erli Nur Ramdhan

G1A008074

Aniek Marsetyowati

G1A008075

Novita Widia Aryani

G1A008076

Dian Kristiani Ika O

G1A008117

Novania Indriasari

G1A008118

Hamidatul Ulfah

G1A008119

Rijal Maulana M

G1A007109

Winda Astuti

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2011

BAB I
PENDAHULUAN
Pbl atau problem base learning adalah salah satu proses pembelajaran
pada fakultas kedokteran yang bertujuan agar mahasiswa mau menggali tentang
masalah yang diberikan saat diskusi bersama kelompok kecil, dengan sistem 7
jump dengan more info kami sebagai mahasiswa diharapkan dapat mengetahui
kasus apa yang sedang kami hadapi dan mengetahui bagaimana cara
menanganinya.
Pada PBL pertama di blok NSS ini kami diberi kasus yang berhubungan
dengan sistem saraf, kasus yang kedua adalah meningitis bakterialis yang
merupakan salah satu penyakit kegawatdaruratan medis.

BAB II
PEMBAHASAN

Informasi I
Nn. Poni, seorang wanita usia 21 tahun datang ke IGD RSMS diantar oleh
keluarganya dengan keluhan panas tinggi. Panas selama 1 minggu disertai badan
menggigil. Panas awalnya disertai batuk dan pilek. Karena keterbatasan ekonomi
keluarga hanya memberi obat turun panas yang dibeli di warung, namun panas
hanya turun untuk sementara, lalu naik lagi. Nn. Poni sudah merasa lemas,
sehingga ia segera dibaringkan di bed pasien.
Ketika dokter jaga IGD berbicara kepadanya, Poni hanya merintih-rintih.
Matanya terpejam dan kelihatan sangat tidak nyaman. Dia terus memejamkan
matanya menghindari cahaya dan bergerak hanya sesekali saja.
Riwayat sakit seperti ini sebelumnya disangkal, keluarganya mengatakan
bahwa Nn. Poni sering diserang flu dan batuk pilek.
Batasan Masalah
Identitas

: Nn. Poni

Umur

: 21 tahun

Keluhan utama

: panas tinggi

Onset

: satu minggu yang lalu

Kronologi

: satu minggu panas disertai batuk pilek, pasien


meminum

obat turun panas, namun panasnya

hanya turun untuk sementara lalu naik lagi sehingga


sekarang dibawa ke RS dalam keadaan lemah dan
hanya bisa berbaring
Gejala penyerta

: badan menggigil, lemas, fotofobia

Identifikasi Masalah
1. Anatomi, fisiologi dan histologi Sistem Saraf Pusat!
a. Anatomi dan fisiologi SSP
Sistem saraf pusat (SSP) meliputi otak (bahasa Latin: 'ensephalon')
dan sumsum tulang belakang (bahasa Latin: medulla spinalis). Keduanya
merupakan organ yang sangat lunak, dengan fungsi yang sangat penting
maka perlu perlindungan. Selain tengkorak dan ruas-ruas tulang belakang,
otak juga dilindungi 3 lapisan selaput meninges. Bila membran ini terkena
infeksi maka akan terjadi radang yang disebut meningitis (Mardjono &
Sidharta, 2009).
Ketiga lapisan membran meninges dari luar ke dalam adalah sebagai
berikut:
1) Durameter; terdiri dari dua lapisan, yang terluar bersatu dengan
tengkorak sebagai endostium, dan lapisan lain sebagai duramater yang
mudah dilepaskan dari tulang kepala. Diantara tulang kepala dengan
duramater terdapat rongga epidural (Snell, 2007).
2) Arachnoidea mater; disebut demikian karena bentuknya seperti sarang
labah-labah. Di dalamnya terdapat cairan yang disebut liquor
cerebrospinalis; semacam cairan limfa yang mengisi sela sela membran
araknoid. Fungsi selaput arachnoidea adalah sebagai bantalan untuk
melindungi otak dari bahaya kerusakan mekanik (Snell, 2007).
3) Piameter. Lapisan terdalam yang mempunyai bentuk disesuaikan
dengan lipatan-lipatan permukaan otak (Snell, 2007).
Otak dan sumsum tulang belakang mempunyai 3 materi esensial yaitu:
1) badan sel yang membentuk bagian materi kelabu (substansi grissea)
2) serabut saraf yang membentuk bagian materi putih (substansi alba)
3) sel-sel neuroglia, yaitu jaringan ikat yang terletak di antara sel-sel saraf
di dalam sistem saraf pusat (Snell, 2007).
Walaupun otak dan sumsum tulang belakang mempunyai materi sama
tetapi susunannya berbeda. Pada otak, materi kelabu terletak di bagian luar
atau kulitnya (korteks) dan bagian putih terletak di tengah. Pada sumsum

tulang belakang bagian tengah berupa materi kelabu berbentuk kupu-kupu,


sedangkan bagian korteks berupa materi putih (Martini, 2006).
Otak merupakan bagian depan dari sistem saraf pusat yang mengalami
perubahan dan pembesaran. Bagian ini dilindungi oleh 3 selaput otak yang
disebut meningen (duramater, arachnoid, dan piamater) dan berada di
dalam rongga tengkorak (Snell, 2007).

Gambar 1 Otak terdiri dari tiga bagian: Batang otak, Cerebellum,


dan Cerebrum. Cerebrum dibagi menjadi empat lobus: frontal,
parietal, temporal, dan oksipital.
Otak dibagi menjadi 5 divisi utama:
1) Serebrum, forebrain/prosensefalon
Terdapat 2 hemisfer, yaitu hemisfer kanan (mengontrol tangan kiri,
pengenalan terhadap musik dan artistik, ruang dan pola persepsi,
pandangan dan imajinasi) dan hemisfer kiri (mengontrol tangan kanan,
bahasa lisan dan tulisan, ketrampilan numerik, sintifik, dan penalaran)
(Snell, 2007).

Gambar 2 Cerebrum dan bagian bagiannya


Hemisfer serebri dibagi menjadi empat lobus yang masing-masing
lobus memiliki fungsi masing-masing yaitu :
a) Lobus frontalis
Lobus frontalis merupakan pusat intelegensia, terdapat daerah
motorik di bagian anterior sulcus centralis dan dibagian posterior
sulcus centralis merupakan area sensorik. Adanya suatu kelainan
yang menetap pada lobus frontalis dapat menyebabkan gangguan
intelektual, hemiparese kontralateral, perubahan personalitas (Snell,
2007).
b) Lobus temporalis
Lobus temporalis merupakan area bicara yang berjalan dari bagian
bawah lobus parietal sampai ke lobus temporalis itu sendiri. Area
auditori terletak di lobus temporalis yang menginterpretasikan
impuls yang dijalarkan dari nervus cochlear. Sedangkan area
olfactorius

yang

mengantarkan

impuls

dari

hidung

dan

diinterpretasikan pada lobus temporalis yang bagian dalam.


Kelainan pada lobus temporalis dapat menyebabkan disfasia,
gangguan pendengaran, gangguan emosi dan memori (Snell, 2007).
c) Lobus parietalis

Lobus

parietalis

termasuk

daerah

postcentralis

yang

mempersepsikan sensorik. Daerah ini juga digunakan untuk


mempersepsikan

memori.

Kelainan

pada daerah ini dapat

menyebabkan gangguan sensorik, agrafia, apraksia (Snell, 2007).


d) Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis merupakan pusat penglihatan. Nervus opticus
berjalan melalui jaras penglihatan sehingga akan di interpretasikan
di lobus oksipitalis. Kelainan didaerah ini dapat menyebabkan defek
medan penglihatan, disleksia dan gangguan optomotor (Snell,
2007).

Ganglia Basal
Ganglia basalis merupakan kumpulan dari badan-badan sel saraf
(nukleus). Berperan dalam mengontrol gerakan dengan cara :
a)
b)
c)

menghambat tonus otot


memilih & mempertahankan aktivitas motorik bertujuan,
memantau & mengkoordinasikan kontraksi menetap yang lambat

Pada penyakit Parkinson terjadi gangguan pada ganglia basal, terutama


karena defisiensi neurotransmiter dopamin yang mengakibatkan
peningkatan tonus (kekakuan), tremor istirahat, dan perlambatan
inisiasi dan pelaksanaan gerakan yang berbeda (Snell, 2007).
Sistem Limbik
Sistem limbik menerima informasi dari berbagai area asosiasi di
korteks serebri dan sinyal ini melalui nukleus accumbens (NA).
Terdiri dari:
a) Hipokampus, bagian yg berperan dalam waktu lama proses belajar
dan pembentukan memori jangka waktu yang panjang.
b) Amygdala merupakan pusat emosi, mengirim sinyal

ke

hipotalamus & medula oblongata yangg kemudian mengaktifkan


respons flight or fight dari sistem saraf otonom; menerima sinyal
dari sistem penghidu dan menentukan pengaruh bau terhadap
emosi (Snell, 2007).

Thalamus
Fungsi:
a)

Sebagai stasiun relay dan pusat integrasi sinaps untuk pengolahan


awal semua input sensori menuju korteks.

b)

Menyaring sinyal-sinyal tak bermakna.

c)

Bersama batang otak dan area asosiasi mengarahkan perhatian


kita ke rangsangan yang menarik.

d)

Menentukan kesadaran kasar berbagai sensasi tetap tidak dapat


membedakan lokasi dan intensitas.

e)

Memperkuat perilaku motorik volunter yang dimulai oleh korteks


(Snell, 2007).

Hipothalamus
a)

Merupakan area terpenting dalam pengaturan lingkungan internal


tubuh (homeostasis).

b)

Mengontrol suhu tubuh, rasa haus dan pengeluaran urin, lapar dan
kenyang, sekresi hormon-hormon hipofisis anterior, menghasilkan
hormon-hormon

hipofisis

posterior,

kontraksi

uterus

dan

pengeluaran ASI.
c)

Merupakan pusat koordinasi sistem saraf otonom utama.

d)

Berperan dalam pola perilaku dan emosi (respons takut dan berani;
perilaku seksual).(Snell, 2007)

2) Serebelum
Serebelum membandingkan antara informasi yang diterima dari pusat
pengontrolan yang lebih tinggi tentang apa yang sebaiknya otot
lakukan dan sistem saraf perifer tentang apa yg otot lakukan
memberi sinyal umpan balik untuk mengoreksi gerakan dikirim ke
serebrum melalui thalamus gerakan yang lebih halus, cepat,
terkoordinasi, dan terampil; mempertahankan posisi dan keseimbangan
(Snell, 2007).

3) Midbrain (Mesensephalon)
a) Superior colliculi: pusat refleks gerakan kepala dan bola mata
ketika berespons terhadap rangsang visual
b) Inferior colliculi: pusat refleks gerakan kepala dan tubuh ketika
berepons terhadap rangsang suara
Formasio Retikular: bagian inti dari substansia grisea yang terbentang
dari medula oblongata ke midbrain dan terbentuk dari ribuan neuron
kecil yang tersusun seperti jaring (reticular=net). RAS (Reticular
Activating System) jalur polisinaps yang terdapat dalam formasio
retikular;

menentukan

tingkat

kesadaran

dan

jaga

yang

memungkinkan terbentuknya persepsi (Snell, 2007).


4) Pons
Pusat pernapasan:
a) Pusat apneustik, mengontrol kontraksi otot inspirasi.
b) Pusat pneumotaksik mengontrol relaksasi otot pernapasan sehingga
terjadi ekspirasi (Martini, 2006).

5) Medula Oblongata
a) Pusat pernafasan:
(i) Dorsal group, kelompok neuron yang membentuk pernapasan
otomatis.
(ii) Ventral group, kelompok neuron yang mempersarafi otot-otot
pernapasan. Terdapat kemoreseptor yang sensitif terhadap
perubahan konsentrasi ion H+ & konsentrasi CO2.
b) Pusat pengaturan jantung :
Cardioaccelerator center meningkatkan denyut dan kekuatan
kontraksi jantung (mll saraf simpatis) dan cardioinhibitori center
menurunkan denyut jantung ke pacemaker N.vagus (saraf
parasimpatis).
c) Pusat vasomotor mengontrol diameter pembuluh darah melalui
saraf simpatis dalam pengaturan tekanan darah

d) Pusat refleks nonvital refleks menelan, muntah, batuk, bersin,


dan tersedak (Martini, 2006).
Medula spinalis
Medula spinalis terbagi menjadi 31 segmen yang menjadi asal dari 31
pasang saraf spinal. 31 segmen medulla spinalis tersebut dikelompokkan
menjadi 5 bagian, yaitu bagian servikal (8 segmen), bagian torakal (12
segmen), bagian lumbal (5 segmen), bagian sacral (5 segmen), dan
koksigeus (1 segmen).
b. Histologi SSP
1) Cerebrum
Lapisan-lapisan yang terdapat di korteks cerebrum dari luar ke dalam :
a) Lapisan molekuler
Bagian perifernya terutama terdiri atas cabang-cabang neuron
(dendrit maupun akson) ke arah horizontal. Pada bagian dalam
lapisan molekuler terdapat sel-sel horizontal Cajal yang berbentuk
gelendong atau stelata, aksonnya ikut membentuk serat-serat
horizontal. Lapisan molecular ditutupi oleh lapisan jaringan otak,
yaitu piamater.
b) Lapisan granular luar
Pada keempat lapisan di bawah lapisan molecular (lapisan granular
luar, pyramidal luar, granular dalam, pyramidal dalam), sel
utamanya adalah sel pyramidal dengan berbagai ukuran yang
semakin ke arah dalam, ukuran sel piramidalnya semakin
membesar. Dendrit sel pyramidal mengarah ke perifer korteks dan
aksonnya terjulur dari dasar sel.
c) Lapisan pyramidal luar
d) Lapisan granular dalam
e) Lapisan pyramidal dalam banyak terdapat sel stelata ukuran
kecil maupun besar membentuk hubungan kompleks dengan sel
pyramidal.
f) Lapisan multiformis
Lapisan ini tidak memiliki sel pyramidal, namun terdapat banyak
sel fusiformis. Sel granular, sel stelata, dan sel Martinotti dengan

berbagai ukuran dan sel-sel in saling bercampur di lapisan


multiformis. Akson sel Martinotti mengarah ke perifer sedangkan
akson dari sel lain memasuki substansia alba (Eroschenko, 2001).
2) Cerebellum
Cerebellum terdiri atas :
a) Korteks substansia grisea (luar) terdiri atas 3 lapisan (luar-dalam) :
(i) Lapisan molecular
Lapisan ini mengandung sel stelata yang dilintasi secara
horizontal oleh akson tanpa myelin.
(ii) Lapisan sel Purkinje
Badan sel dari sel Purkinje berukuran besar, berbentuk labu,
menjulurkan satu atau lebih dendrit tebal yang melntasi lapisan
molecular sampai ke permukaan sambil bercabang di sepanjang
jalannya. Akson halus keluar dari dasar sel Purkinje, melintasi
lapisan granular dan memperoleh selubung saat memasuki
substansia alba. Di antara sel-sel Purkinje, terdapat sel basket
dengan struktur mirip keranjang. Akson sel granul di dalam
lapisan granular meluas ke dalam lapisan molecular dan juga
berjalan horizontal sebagai serabut tanpa myelin.
(iii)
Lapisan granular
Di lapisan granular, ditemukan banyak sel granul kecil dengan
inti terpulas gelap dan sedikit sitoplasma. Di dalam lapisan ini,
tersebar sel stelata besar (sel Golgi tipe II) dengan inti vesikuler
dan lebih banyak sitooplasma. Di seluruh lapisan granular
terdapat celah-celah kecil bening yang tersebar tidak teratur
yang disebut sebagai gromeruli. Pada daerah ini tidak terdapat
sel, tetapi terdapat kompleks sinaps.
b) Substansia alba (dalam) terdiri atas akson bermielin. Akson ini
adalah serabut saraf aferen dan eferen korteks cerebri (Eroschenko,
2001).
3) Medula spinalis
Medula spinalis terdiri atas substansia alba yang berisi akson atau
serabut saraf bermielin asendens dan desendens dan substansia grisea
yang berisi badan sel neuron, interneuron dan aksonnya. Substansia
grisea berbentuk H simetris dan pada bagian tengahnya dihubungkan

oleh komisura grisea yang di pusatnya terdapat kanalis sentralis. Kornu


anterior substansia grisea meluas ke depan korda dan lebih menonjol
dibandingkan kornu posterior. Kornu anterior mengandung badan sel
neuron motoris yang besar. Sebagian akson neuron motoris kornu
anterior melewati substansia alba dan keluar dari medulla spinalis
sebagai unsure radiks anterior saraf tepi. Kornu posterior adalah daerah
sensoris yang mengandung badan sel neuron yang lebih kecil. Medula
spinalis dikelilingi meningens jaringan ikat yang terdiri dari duramater,
arakhnoid mater, dan piamater. Medula spinalis secara tidak sempurna
dibagi menjadi belahan kiri dan kanan oleh sulkus mediana posterior
dan fisura mediana anterior. Di antara sulkus mediana posterior dan
kornu posterior substansia grisea terdapat kolumna dorsalis substansia
alba. Di daerah servikal medula spinalis setiap kolumna dorsalis
substansia alba dibagi menjadi dua fasikulus, yaitu kolumna
posteromedial

(fasikulus

grasilis)

dan

kolumna

posterolateral

(fasikulus kuneatus) (Eroschenko, 2001).


2. Apa saja penyebab demam?
Demam dapat disebabkan oleh kondisi banyak. Beberapa kondisi yang
menyebabkan mereka adalah :
a.
b.
c.

infeksi seperti radang tenggorokan , pneumonia , flu dan cacar air ,


cedera jaringan, silikosis ,
tumor atau kanker penyakit yang menyebabkan radang, rheumatoid

arthritis ,
d. obat
e. berada di lingkungan yang panas terlalu lama (Price,2005).
3. Jelaskan patofisiologi demam yang disebabkan oleh bakteri dan virus!
Demam atau febris merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan
suhu tubuh, dimana suhu tersebut melebihi dari suhu tubuh normal. Proses
perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan
oleh zat toksin yang masuk kedalam tubuh. Umumnya, keadaan sakit terjadi
karena adanya proses peradangan (inflamasi) di dalam tubuh. Proses
peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar

tubuh terhadap adanya serangan yang mengancam keadaan fisiologis tubuh.


Proses peradangan diawali dengan masuknya zat toksin (mikroorganisme)
kedalam tubuh kita. Mikroorganisme (MO) yang masuk kedalam tubuh
umumnya memiliki suatu zat toksin tertentu yang dikenal sebagai pirogen
eksogen. Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan
mencegahnya dengan memerintahkan tentara pertahanan tubuh antara lain
berupa leukosit, makrofag, dan limfosit untuk memakannya (fagositosit).
Dengan adanya proses fagositosit ini, tentara-tentara tubuh itu akan
mengeluarkan senjata, berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen
(khususnya IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang
keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk
mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat dapat
keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakhidonat yang
dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2).
Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim siklooksigenase (COX).
Pengeluaran

prostaglandin

akan

mempengaruhi

kerja

dari

termostat

hipotalamus. Sebagai kompensasinya, hipotalamus akan meningkatkan titik


patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan ini
dikarenakan termostat tubuh (hipotalamus) merasa bahwa suhu tubuh sekarang
dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil. Adanya
proses mengigil ( pergerakan otot rangka) ini ditujukan untuk menghasilkan
panas tubuh yang lebih banyak. Dan terjadilah demam. (Sherwood, 2006)
Demam yang disebabkan karena bakteri :
Pirogen / pathogen masuk ke dalam tubuh
mengeluarkan endotoksin
Mengaktifkan mediator (IL6, TNF, limfosit dll)
Menstimulasi peningkatan thermostat
Gejala prodormal (nausea, fatigue dll)
Endotoksin bekerja terus menerus

Demam konstan atau naik perlahan-lahan


Sedangkan pada demam yang disebabkan oleh virus, mekanisme yang sama
pleh replikasi virus akan menyebabkan thermostat berubah sesuai dengan
respon kepada infeksi viral tersebut. Demam yang disebabkan oleh virus akan
membuat suhu tubuh melonjak sangat tinggi. Sedangkan pada demam et causa
bakteri tidak.
4. Apa saja penyebab fotofobia?
Saat fotofobia terjadi aktivitas spesifik dari pola sistem trigeminal (trigeminal
ganglion, trigeminal nucleus caudalis, venteoposteromedial thalamus. Pada saat
foto fobia terasa nyeri yang di akibatkan aktivitas di cingulated anterior
(tempat sensasi tidak menyenangkan) setelah pulih dari fotofobia maka
aktivitas tersebut tidak terdeteksi lagi.
Informasi II
Pemeriksaan fisik :
KU

: gelisah

GCS

: E2M5V2

Suhu

: 39,80C

TD

: 100/70 mmHg

Nadi

: 100 x/menit

RR

: 24 x/menit

Status internus

: dbn

Px THT

: T3-2 tidak hiperemis

Status neurologis
Leher

: kaku kuduk (+)

Tes Brudzinski

: Neck sign (+)


Chick sign (+)
Symphisis sign (+)
Leg sign (+)

Mata

: conjungtiva palpebra tidak anemis, sclera tidak


ikterik, isokor,

refleks cahaya +/+


Nn cranialis

: dbn

Sensorik

: sulit dinilai

Fungsi motorik
Gerak
Kekuatan
Refleks fisiologis
Refleks patologis
Tonus
Trofi

Superior (D/S)
Kesan : normal
Sulit dinilai
N/N
-/N/N
Eutrofi

Inferior (D/S)
Kesan : normal
Sulit dinilai
N/N
-/N/N
Eutrofi

Adapun informasi tambahan diatas menambahkan referensi hipotesis sementara


kasus Nn. Poni dilihat dari berbagai gejala dan tanda yang dialaminya,
hipotesisnya antara lain:
1. Meningitis
2. Ensefalitis
Sasaran Belajar 1
1. Jelaskan teknik pemeriksaan tonus otot dan trofi otot!
a. Tonus otot
Dalam penilaian tersebut syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk
mendapatkan hasil yang dapat dipercaya :
1) Pasien harus tenang dan bersikap santai
2) Ruang periksa harus tenang, tidak terlalu dingin namun juga tidak
boleh terlalu panas
Cara pemeriksaan
Pasien berbaring ditempat pemeriksaan ,posisinya terlentang. Apabila
pasien berbaring secara canggung, tonus otot-otot tertentu meningkat dan
karena itu hasil pemeriksaan tidak valid. Iklim yang dingin juga dapat
meningkatkan tonus.
Untuk menenangkan pasien, dokter sebaiknya mengobrol dengan pasien
sewaktu ia melakukan tindakan pemeriksaan tonus otot. Percakapan ini
harus bersifat obrolan, agar pasien tidak merasakan ketegangan suasana
pemeriksaan. Sambil mengobrol dokter melakukan inspeksi dan palpasi

otot. Hasilnya sangat informatif dalam penilaian tonus otot. Kemudian


pasien supaya berelaksasi sepenuhnya. Adakalanya pasien justru
menegangkan otot ototnya setelah dipesan untuk bersantai. Hal ini
dijumpai pada penderita hemiparesis UMN, seorang neurotik atau
seseorang yang berintelgensi rendah. Dalam melakukan pemeriksaan tonus
otot si pemeriksa menggerakkan lengan dan tungkai di sendi lutu dan siku.
Si pemriksa harus menggunakan kedua tangannya. Secara pasif gerakan
lengan bawah sendi siku dan tungkai bawah di sendi lutut dilaksanakan
oleh pemeriksa secara pelahan dan kemudian secara cepat. Tahanan yang
terasa oleh pemeriksa sewaktu menekukan dan meluruskan bagian-bagian
anggota tersebut harus dinilai secara normal,meningkat dan menurun.
Tonus yang sangat meningkat berarti bahwa si pemeriksa mendapat
kesulitan untuk menekkukan dan meluruskanlengan dan tungkai di sendi
siku dan lutut . Jika tonus otot hilang, maka dalam menekukan dan
meluruskan lengan dan tungkai pasien tidak dirasakan sedikit tahananpun.
Tindakan pemeriksaan tonus otot khusus lainnya :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
b.

Test kepala jatuh


Test lenggang leng
Test menggoyang-goyangkan lengan
Test lengan jatuh
Test tungkai bergoyang-goyang meneut wertenberg
Test tungkai jatuh

Trofi otot
Memeriksa besar kecilnya serabut otot
Pemerikasaan : inspeksi,pengukuran, palpasi dan perkusi

2. Jelaskan teknik dan interpretasi pemeriksaan meningeal sign (nuchal


rigidity; brudzinski I, II, III; kernig sign)
Tanda Brudzinki 1
Dengan tangan yang di tempelkan di bawah kepala pasien yang sedang
berbaring, kita tekukan kepalanya sejauh mungkin sampai dagu mencapai
dada. Tang pemeriksa satu lagi sebaiknya di tempelkan di dada pasien untung
mencegah diangkatnya badan. Bila tanda Brudzinki positif maka tindakan ini

mengakibatkan fleksi kedua tungkai, sebelumnya perlu diperhatikan apakah


tungkainya tidak lumpuh.
Tanda Brudzinki 2
Pasien berbaring satu tungkai di fleksikan pada persendian panggul,
sedangkan tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Bila
tungkai yang satu ini ikut pula terfleksi maka disebut tanda Brudzinki II
positif, perlu diperiksa terlebih dahulu apakah ada terdapat kelumpuhan pada
tungkai,
Tanda Brudzinki 3
Penekanan pada pipi kedua sisi tepat dibawah os zygomaticus akan disusul
oleh gerakan fleksi secara reflektorik keatas sejenak dari kedua tangan.
Tanda Brudzinki 4
Penekanan pada sinfisis pubis akan disusul oleh timbulnya gerakan fleksi
secara reflektorik pada kedua tungkai di sendi lutut dan panggul.
Kaku Kuduk (Nuchal Rigidity)
Kaku kuduk merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelainan rangsangan
selaput otak. Kita jarang mendiagnosis meningitis tanpa adanya gejala ini.
Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan hal berikut: tangan pemeriksa
ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring. Kemudian pala di
tekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan
ini diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan
tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada.
Tanda Kernig
Pada pemeriksaan ini, penderita yang sedang berbaring di fleksikan pahanya
pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu
tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya kita dapat
melakukan ekstensi ini sampai sudut 135 derajat, antara tungkai bawah dan
tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini,
maka dikatakan bahwa tanda kernig positif.
3. Bagaimana perjalanan refleks fisiologis dan apa jaras yang terkait
dengan refleks fisiologis?

Pembagian secara garis besar yang berdasarkan struktur dapat dilihat pada
gambar.

Sistem Saraf Pusat


Otak & Med. Spinalis

Bagian
Aferen

Bagian
Eferen

Sistem Saraf Tepi


Saraf Motorik
Somatik

Saraf Motorik
Otonom

Parasimpatis Simpati
s
Somatik

Viseral

Organ RESEPTOR

Otot
Rangka

Otot Polos
Otot Jantung
Kelenjar

Organ EFEKTOR

Gb. 1. Bagan garis besar Susunan Saraf.


Terlihat

pembagian struktur berdasarkan fungsinya. Organ Reseptor

dapat berupa sel yang berbeda dengan sel saraf aferen (sensorik) yang
terdapat pada beberapa organ sensorik khusus. Organ reseptor dapat pula
merupakan bagian ujung sel saraf aferen. Susunan Saraf Tepi merupakan
gabungan saraf aferen (bagian sensorik saraf tepi) dengan saraf eferen (bagian
motorik saraf tepi). Susunan Saraf Pusat terdiri dari otak dan medula spinalis
yang berfungsi antara lain menganalisis, menyintesis dan mengintegrasi-kan
berbagai masukan dari saraf sensorik maupun dari bangunan lain yang
terdapat di otak maupun di medula spinalis. Organ Efektor dapat berupa
otot rangka yang disarafi oleh saraf motorik somatik serta otot polos, otot
jantung dan kelenjar yang disarafi oleh saraf motorik autonom (Ganong, 2003).

Bila suatu otot rangka dengan persarafan yang utuh diregangkan akan
timbul kontraksi. Respon ini disebut refleks regang. Rangsangannya adalah
reganganpada otot, dan responnya berupa kontraksi otot yang diregangkan.
Reseptornyaadalah kumparan otot (muscel spindle). Yang termasuk muscle
spindle reflex (stretcjreflex) yaitu Knee Pess Reflex (KPR), Achilles Pess
Reflex (APR), Refleks Biseps,Refleks Triceps, dan Withdrawl refleks (Guyton
& Hall, 2006).
Refleks biseps tes refleks yang mempelajari fungsi dari refleks saraf
spinalis servical 5 busur dan untuk mengurangi refleks servical 6 derajat busur.
Tes ini dilakukan dengan menggunakan sebuah tendon palu untuk dengan
cepat menekan tendon biceps brachii saat melewati fosa kubiti. Tes ini
mengaktifkan reseptor di dalam peregangan otot bisep brachii yang
berkomunikasi terutama dengan servical 5 dan sebagian saraf tulang belakang
dengan saraf tulang belakang servical 6 untuk merangsang kontraksi refleks
dari otot biseps dan menyentakkan lengan bawah (Ganong, 2002).
Refleks periost radialis, lengan bawah orang coba di fleksikan pada sendi
tangan dan sedikit di pronasikan kemudian dilakukan pengetukan periosteum
pada ujung distal os radii. Jalannya impuls pada refleks periost radialis yaitu
dari processus styloideus radialis masuk ke n. radialis kemudian melanjutkan
ke N. servical 6 sampai thoracalis 1 lalu masuk ke n. ulnaris lalu akan
menggerakkan m. fleksor ulnaris. Respon yang terjadi berupa fleksi lengan
bawahpada siku dan supinasi tangan (Ganong, 2002).
Respon dari refleks periost ulnaris berupa pronasi tangan. Jalannya impuls
saraf berasal dari processus styloideus radialis masuk ke n. radialis kemudian
melanjutkan ke N. servical 5-6 lalu masuk ke n. radialis lalu akan
menggerakkan m.brachioradialis (Ganong, 2002).
M. kuadriseps femoris yang membentuk anterior paha dan melekat ke os
tibia tepat di bawah lutut melalui tendon patella. Pengetukan tendon ini
dengan sebuah palu karet akan secara pasif meregangkan otot-otot kuadriseps
dan mengaktifkan reseptor-reseptor gelendongnya. Reflex regang yang terjadi
menimbulkan kontraksi otot ekstensor ini, sehingga lutut mengalami ekstensi
dan mengangkat tungkai bawah dengan cara yang khas. Reflex patella yang

normal mengindikasikan bahwa sejumlah komponen saraf dan otot-gelendong


otot, masukan aferen, neuron motorik, keluaran eferen taut neuromuskulus,
dan otot itu sendiri-berfungsi normal. Reflex ini juga mengindikasikan adanya
keseimbangan antara masukan eksitorik dan inhibitorik ke neuron motorik dari
pusat-pusat yang lebih tinggi di otak.
Jika tendo otot triseps diketuk, maka respon yang terjadi berupa ekstensi
lengan dan supinasi (Sherwood, 2006).
a. Reflek Kremaster
Menggoreskan paha bagian dalam bawah, positif bila skrotum sisi yang
sama naik / kontriksi ( L 1-2 )
b. Reflek Anal
Menggores kulit anal, positif bila ada kontraksi spincter ani ( S 3-4-5 )
c. Reflek Bulbo Cavernosus
Tekan gland penis tiba-tiba jari yang lain masukkan kedalam anus, positif
bila kontraksi spincter ani (S3-4 / saraf spinal )
d. Reflek Bisep ( C 5-6 )
e. Reflek Trisep ( C 6,7,8 )
f. Reflek Brachioradialis ( C 5-6 )
g. Reflek Patela ( L 2-3-4 )
h. Reflek Tendon Achiles ( L5-S2) (Guyton & Hall, 2006).
Terdapat 5 gradasi kekuatan refleks, yaitu:
0 = absent
1 = minimal tapi ada
2 = normal
3 = hiperactivity
4 = hiperactivity with clonus
Jaras Ekstrapiramidal
Cerebellum
P
R
O
S
E
S

Nukleus Subtalamus

INPUT

Talamus
Glous Pallidus

Cortex Cerebri
INPUT
INPUT
Nukleus Caudatus +
Putamen

Substansia Nigra

Tektum
Mesencephal

Formatio
Motor
Neuron
Reticularis

Nukleus
OUTPUT
Rubra

Pons

Traktus
Medula
Spinalis
Corticospinal

UMN Piramialis
Ekstrapiramidalis
LMN Cornu anterior medulaspinalis otot
Contoh : ketika terjadi hipotonus, stimulus dari otot atau perintah ke UMN
ada, akan tetapi penyampaian ke LMN telah rusak.
Kerusakan di UMN akan dibantu oleh lengkung refleks. Lengkung reflex ini
terdiri dari alat indra, serat saraf aferen, satu atau lebih sinaps yang terdapatdi
susunan saraf pusat atau di ganglion simpatis, serat saraf eferen, dan efektor
(Sherwood, 2006).
4. Bagaimana perjalanan refleks patologis!
Refleks adalah respon motorik spesifik akibat rangsang sensorik spesifik. Ada
tiga unsur yang berperan pada jalannya suatu refleks, yaitu jaras efferen, busur
sentral, dan jaras afferen. Apabila terjadi perubahan pada ketiga unsur
tersebut, maka akan mempengaruhi perubahan kualitas maupun kuantitas dari
refleks. Adanya malfungsi dari organ reseptor, nervus sensorik, ganglion radix
posterior, gray matter medula spinalis, radix posterior, motor end plate/ organ
reseptor.
Terdapat 5 gradasi kekuatan refleks, yaitu:
0 = absent
1 = minimal tapi ada
2 = normal
3 = hiperactivity
4 = hiperactivity with clonus

Macam-macam refleks patologis yang sering ditemukan apabila terdapat


kelainan pada sistem saraf antara lain :
a. Refleks Hoffmann Tromer
Refleks positif bilateral bisa dijumpai pada 25% orang normal, sedangkan
unilateral hoffman indikasi untuk suatu lesi UMN.
b. Refleks palmomental
Refleks patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN diatas inti saraf
VII kontralateral.
c. Mayer Refleks
Absennya respon ini menandakan lesi di tractus pyramidalis.
d. Refleks Babinski
Refleks ini akan positif apabila terdapat lesi pada UMN.
Dari beberapa literatur dijelaskan bahwa pada kerusakan yang menyebabkan
lesi UMN akan memunculkan refleks patologis. (neurologi klinis dasar)
5. Apa saja macam-macam infeksi SSP?
Macam-macam infeksi SSP menurut organ yang terkena :
a. Meningitis infeksi pada lapisan meningens
b. Ensefalitis infeksi pada parenkim otak
c. Mielitis infeksi pada medula spinalis (Mardjono dan Sidharta, 2009).

6. Apa saja etiologi, faktor risiko, klasifikasi, gejala dan tanda dari
meningitis?
Faktor risiko terjadinya infeksi SSP (meningitis) :
a. Faktor host
1) Kesehatan umum tidak sempurna (status gizi kurang)
2) Struktur sawar darah-otak yang tidak utuh dan tidak efektif
3) Aliran darah ke otak tidak adekuat
4) sistem imunologik humoral dan selular berfungsi tidak sempurna
5) Neonatus (karena kekurangan antibody IgM spesifik)
6) Bayi yang agak lebih besar dari neonates (karena mulai kehilangan
IgG yang diperoleh melalui plasenta dank arena tidak sempat
berkontak dengan kuman)
7) Prematuritas
8) Kelainan congenital (contohnya meningomielokel atau pun sinus
neurodermal)
9) Proses keganasan di system retikuloendotelial.
b. Faktor kuman

1) Kuman yang memiliki sifat neurotropik (kuman ini memiliki beberapa


factor virulensi yang tidak ada kaitannya dengan status imun dari host)
2) Kuman dengan virulensi rendah (bisa menyebabkan infeksi SSP jika
disertai adanya gangguan sistem limfoid pada host)
c. Faktor lingkungan
Faktor ini berkaitan dengan transmisi kuman, contohnya :
1) Infeksi meningokokus dan H. influenza kontak antar individu
2) Kolonisasi nasofaringeal dari N. meningitides banyak orang yang
tinggal di satu rumah
3) Meningoensefalitis amoeba berenang di danau air segar yang
mengandung amoeba
4) Ensefalitis arbovirus ada kontak denga vektor (antropoda) yang
telah terinfeksi
5) Terdapat binatang rumah yang terinfeksi leptospira dan Toksoplasma
gondii (Mardjono dan Sidharta, 2009).
Klasifikasi meningitis :
a. Berdasarkan penyebabnya
1) Meningitis bakterialis
2) Meningitis viral
3) Meningitis jamur
4) Meningitis spiroketa
5) Meningitis cacing
6) Meningitis protozoa
7) Meningitis metazoa
b. Berdasarkan lapisan meningens yang diserang
1) Pakimeningitis duramater
2) Leptomeningitis arakhnoidmater dan piamater (Mardjono dan
Sidharta, 2009).
Tabel perbedaan meningitis bakteri dan meningitis viral (Mardjono dan Sidharta,
2009).
Meningitis bakteri
Etiologi M. tuberculosa

Meningitis viral
Poliomielitis virus

H. influenza

ECHO virus

N. meningitidis

Coxsackie virus

Streptokokal grup B

Streptococcus pneumonia
Staphylococcus aureus

Gejala

Staphylococcus epidermis
Nyeri kepala bilateral, kaku kuduk, Demam, sakit kepala, pilek,
fotofobia, muntah, letargi, penurunan mual, muntah, kejang, kaku
kesadaran, kejang, demam, iritabilitas

kuduk,

gangguan

penglihatan,
Tanda

1. Pemeriksaan fisik
Tanda infeksi, takikardia, syok,
demam
Tanda patognomonik :
1) Meningokokus peteki dan
purpura
2) Pneumokokus

H.

influenza eksantema
3) Meningokokus
dan

H.

influenza

arthritis

dan

artralgia
4) Pneumokokus otitis media
yang

hilang

timbul

dan

banyak mengeluarkan eksudat


5) Septikemia meningokokus
hemoragi pada kulit yang
cepat timbul dan dikombinasi
dengan keadaan shock
2. Pemeriksaan neurologis
Kaku kuduk, Kernig

sign,

Brudzinski sign, parese nervus


kranialis,

kesadaran
1. Pemeriksaan fisik
Demam
2. Pemeriksaan
neurologis
Kaku kuduk, Kernig
sign,

dan

peningkatan

TIK,

meningismus
3. Pemeriksaan LP
Peningkatan tekanan, warna keruh
atau pun xantokrom, leukositosis

penurunan

Brudzinski

sign, parese nervus


kranialis,
peningkatan TIK
3. Pemeriksaan LP
Warna
jernih,
leukosit

50-200

sel/mm3

dominasi

oleh

monosit,

protein

terkadang

normal,

glukosa

umumnya normal

polimorfik
dominasi
meningkat

sel/mm3

>1000
oleh

PMN,

(70-80

protein
mg/dL),

glukosa menurun (<30 mg/dL)

7. Bagaimana patofisiologi dari meningitis bakterialis?


Kolonisasi di mukosa

Lokasi infasi

bakterinemia

Inflamasi pembuludarah
demam
Kaku
kuduk

Invasi meningens

Inflamasi subarachnoid
Peningkatan
permeabilitas
BBB

Peningkatan resistensi aliran LCS

Cerebral vaskulitis

Edem sitotoksis

hidrosefalus
Edem vasogenik

Edem intersisial
sefalgia

herniasi

Peningkatan TIK
Penurunan aliran darah ke otak

Iskemi jaringan otak

muntah

epilepsi

8. Bagaimana patofisiologi dari meningitis virus?


Varicela (saluran nafas), enteroviral(saluran cerna)
Herpes (mulut)
Masuk ke tubuh
Didalam tubuh memperbanyak secara vocal
Viremia
SSP
(malalui kapiler plexus khoroideus)
Bergerak ke meningen secara sentripetal
MENINGITIS
(price, 2005)
9. Apa saja etiologi, faktor risiko, klasifikasi, gejala dan tanda dari
ensefalitis?
Etiologi ensefalitis :
a. Virus
b. Non-virus
Klasifikasi:
Virus:
a. Primer:
1) herpes simplex
2) influenza
3) ECHO
4) Coxsackie
5) arbo virus
b. Primer dengan etiologi yang belum jelas
c. Parainfeksiosa, komplikasi dari infeksi:
1) Rubella
2) Varisela
3) Herpes zoster
4) Parotitis epidemika
5) Mononucleosis infeksiosa

6) vaksinasi
Non-virus:
1)
2)
3)
4)

Riketsia
Mycoplasma pneumonia
M.tuberkulosa
Fungi:
Kriptokokosis
Mukor mikosis
Moniliasis
5) Protozoa:
Plasmodium
Trypanosome
Toxoplasma gondii
Faktor risiko terjadinya infeksi SSP (ensefalitis):
a. Faktor host
1) Kesehatan umum tidak sempurna (status gizi kurang)
2) Struktur sawar darah-otak yang tidak utuh dan tidak efektif
3) Aliran darah ke otak tidak adekuat
4) sistem imunologik humoral dan selular berfungsi tidak sempurna
5) Neonatus (karena kekurangan antibody IgM spesifik)
6) Bayi yang agak lebih besar dari neonates (karena mulai kehilangan
IgG yang diperoleh melalui plasenta dank arena tidak sempat
berkontak dengan kuman)
7) Prematuritas
8) Kelainan congenital (contohnya meningomielokel atau pun sinus
neurodermal)
9) Proses keganasan di sistem retikuloendotelial.
b. Faktor kuman
1) Kuman yang memiliki sifat neurotropik (kuman ini memiliki beberapa
factor virulensi yang tidak ada kaitannya dengan status imun dari host)
2) Kuman dengan virulensi rendah (bisa menyebabkan infeksi SSP jika
disertai adanya gangguan sistem limfoid pada host)
c. Faktor lingkungan
Faktor ini berkaitan dengan transmisi kuman, contohnya :
1) Infeksi meningokokus dan H. influenza kontak antar individu
2) Kolonisasi nasofaringeal dari N. meningitides banyak orang yang
tinggal di satu rumah
3) Meningoensefalitis amoeba berenang di danau air segar yang
mengandung amoeba
4) Ensefalitis arbovirus ada kontak denga vektor (antropoda) yang
telah terinfeksi

5) Terdapat binatang rumah yang terinfeksi leptospira dan Toksoplasma


gondii (Mardjono dan Sidharta, 2009).
Gejala ensefalitis :
a. Nyeri kepala
b. Demam
c. Penurunan kesadaran
d. Pusing
e. Gangguan kognitif
f. Perubahan tingkah laku
g. Kejang
h. Kelemahan ekstrimitas (lumpuh)
i. Muncul gangguan neurologis bersamaan dengan demam dan nyeri kepala
10. Bagaimana patofisiologi dari ensefalitis?
a. Patogenesis Ensefalitis Bakteri
Penyebaran langsung dari infeksi di daerah tengkorak (osteomielitis,
mastoiditis,

sinusitis,

otitis

media,

abses

gigi

dan

empiema

subdural.Penyebaran tak langsung (melalui aliran darah, bakterial


endokarditis, infeksi paru, dan penyakit jantung sianotis bawaan. Luka
tembus tengkorak , trauma tembak, trauma tusuk atau tindakan operasi
bedah saraf. Mula-mula terjadi infeksi otak yang terlokalisir (localized
cerebritis). Biasanya di substansia alba karena vaskularisasi kurang baik.
Infeksi serebritis meluas membentuk eksudfat, trombosis septik pada
pembuluh

darah,

serta

kumpulan

lekosit

yang

sudah

mati,dan

disekelilingnya terbentuk dinding (kapsul) yang terdiri dari jaringan glia,


fibroblas serta pembuluh darah dan infiltrasi lekosit PMN untuk mencegah
perluasan serebritis. Abses dapat membesar dan pecah isinya menyebar
ke ventrikel otak atau ruang subarakhnoid, sehingga dapat terjadi
hidrosefalus atau meningitis. Seluruh proses tersebut terjadi selama 2
minggu
b. Patogenesis Ensefalitis Viral
Virus masuk tubuh penderita melalui kulit, saluran nafas dan cerna, setelah
masuk kedalam tubuh virus akan menyebar melalui beberapa cara:

1) Setempat, hanya menginfeksi mukosa atau organ tertentu


2) Hematogen, melalui aliran darah organ ttertentu untuk membiak
3) Penyebaran melalui saraf, dari sistem manapun virus masuk
selanjutnya dia akan berbiak atau masuk kedalam sistem limfatik.
4) Didalam sistem limfatik ini virus akan memperbanyak diri dan
selanjutnya melalui aliran darah akan menimbulkan infeksi pada organ
tertentu

(fase ekstra neural) pada saat ini timbul gejala infeksi

umum, pilek, sakit kepala, mialgia.


5) Setelah itu bila virus menyebar dan berbiak di sistem saraf (fase
neural) maka terlihatlah adanya gejala neurologis.
Kerusakan kemungkinan besar disebabkan oleh :
1) Invasi langsung dan destruksi jaringan saraf oleh virus yang
berprolifrasi aktif.Hal ini secara langsung akan menimbulkan
kerusakan pada neuron
2) Reaksi jaringan saraf terhadap antigen virus. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya demyelinissi, vaskulitis atau kerusakan
perivaskular yang menimbulkan nekrosis atau infark jaringan
(Mardjono, 2003).
Informasi III
Pemeriksaan penunjang :
Hb

: 11 g/dL

Hct

: 34 vol%

Eritrosit

: 4,1 x 106 mm3

Leukosit

: 21.000 sel/mm3

Analisis LCS dari Pungsi Lumbal :


Sifat

: keruh

Tekanan

: 300 mmHg

Protein

: 75 mg/dL

Leukosit total : 10/mL


Glukosa

: 100 mg/dL

SASARAN BELAJAR 2
1. Jelaskan teknik dan interpretasi pungsi lumbal!

Teknik Lumbal Pungsi :


a. Pasien diminta untuk tidur di salah satu sisi tubuhnya (tidur miring)
dengan posisi lutut menyentuh dada.
b. Daerah di sekitar L3-L4 dibersihkan dengan larutan povido iodine dan
dianestesi dengan larutan lidokain.
c. Masukkan jarum spinal dan pasan manometer untuk mengukur tekanan.
d. Setelah bahan terkumpul, jarum dicabut dan bekas tusukan ditutup dengan
plester.
e. Pasien diminta berbaring telentang mendatar selama beberapa jam dan
dianjurkan untuk minum.
f. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan pada lesi massa intrakranial, papil
edem, perdarahan yang tidak terkoreksi, curiga penekanan medulla
spinalis (Hartwig, 2003).

Tabel interpretasi lumbal pungsi (Hartwig, 2003).


Karakteristik
Tekanan

Nilai normal
50-180 mmH2O

Keadaan abnormal
1. Meningkat : ada massa intracranial
(tumor, perdarahan, edema)
2. Menurun : obstruksi kanalis spinalis di

Warna

Jernih,

tidak

berwarna

atas tempat tusukan LP


1. Xantokrom : adanya darah yang sudah
lama, peningkatan kadar protein yang
sangat tinggi di dalam SSP
2. Keruh : adanya infeksi (meningkatnya

Hitung sel

Protein

Leukosit

SDP, protein, mikroorganisme)


0-5 Meningkat : penakit aktif (meningitis, infeksi

sel/mm3

akut, abses, tumor, infark, sklerosis multiple)

SDM : 0 sel/mm3

Didapatkan

20-45 mg/dL

subarachnoid, trauma akibat LP


Meningkat : hampir semua keadaan patologis

eritrosit

pada

perdarahan

SSP yang serius


Glukosa
40-70 mg/dL (atau
1. Meningkat : hiperglikemia sistemik
2. Menurun : hipoglikemis sistemik,
2/3 glukosa darah)
meningitis bakteri
Mikroorganisme Tidak ada
Meningitis bakteri

2. Interpretasi informasi IV!


Hb menurun (N=12-16gr/dL), Hct menurun (N=38%-48%), eritrosit menurun
(N=4,2x106-5,4x106 sel/mm3), leukosit meningkat (N=4500-11000 sel/mm3)
Pemeriksaan LCS :
a. Warna keruh adanya infeksi SSP (bakteri)
b. Tekanan yang meningkat adanya massa di intracranial
c. Peningkatan protein adanya keadaan patologis di SSP
d. Peningkatan leukosit adanya penyakit aktig meningitis
Berdasarkan hasil interpretasi pemeriksaan penunjang di atas, diagnosis dari
penyakit Nn. Poni adalah meningitis bakterialis.
3. Jelaskan tatalaksana untuk meningitis!
Indikasi pengobatan
a. Kejang lama > 15 menit
b. Kelainan neurologis
c. Kejang fokal/parsial
d. Dipertimbangkan :
1) Kejang berulang 2x atau lebih dalm 24 jam
2) Terjadi pada bayi <12 bulan
3) Kejang demam 4 kali pertahun
Perbaikan keadaan umum (5B)
Meningitis Bakteri
a. Bila belum ada hasil kultur berikan antibiotika yang sesuai dengan umur
penderita
b. Benzilpenisilin untuk mengingokokus dan pneumokokus
c. Dosis awal 2,4gr diikuti 1,2gr/2 jam. Bila dalam waktu 48-72 jam ada
perbaikan obat diberikan tiap 4-6 jam dengan dosis total 14,4 gr.
Pengobatan dilanjutkan hingga 14 hari bebas panas.
d. Khloramfenicol 4-6gr/hari dalam 4 dosis, sefotaksim atau seftriakson dosis
tinggi iv efektif untuk hemofilus influenza.
e. Pengobatan simptomimetik : anti piretik, anti konvulsan, anti oedema otak,
nutrisi, elektrolit dan cairang yang cukup.

Meningitis Viral
Terapi untuk meningitis viral kebanyakan supportive. Istirahat, hidrasi,
antipiretik, dan medikasi nyeri atau anti inflamasi dapat diberikan jika
diperlukan. Pasien dengan tanda dan gejala dari meningoensefalitis harus
menerima asiklovir lebih awal untuk mencegah encephalitis HSV. Terapi dapat
dimodifikasi sebagai hasil dari pewarnaan gram, kultur dan uji PCR ketika
telah tersedia. Pasien dalam kondisi yang tidak stabil membutuhkan perawatan
di critical care unit untuk menjaga saluran nafas, pemeriksaan neurologis, dan
pencegahan dari komplikasi sekunder.
a. Mengatasi kejang adalah tindakan penting. Pemberian fenobarbital 58mg/kgBB/24jam. Bila sering kejang, perlu diberikan diazepam, 0,10,2mg/kgBB IV dalam bentuk infus dalam 3 menit.
b. Pemberian cairan nutrisi dan elektrolit yang cukup
c. Mengurangi edema serebri dengan dexametasone 0,15-1mg/kgBB/hari IV
terbagi 3 dosis
d. Menurunkan tekanan intrakranial dengan manitol iv, 1,5-2gr/kgBB selama
30-60 menit. Pemberian diulang setiap 8-12 jam.
e. Kausatif: Dengan acyclovir BB/IV 10-30mg/kgBB/hari selama 10 hari.
Atau 200mg/4 jam per oral.
Medikasi
Kontrol simptomatik dengan antipiretik, analgetik dan anti emetic biasanya itu
semua yang dibutuhkan dalam management dari meningitis viral yang tidak
komplikasi.
Keputusan untuk memulai terapi antibacterial untuk kemungkinan meningitis
bakteri adalah penting; terapi antebacterial empiris untuk kemungkinan
pathogen harus dipertimbangkan dalam konteks keadaan klinis. Asiklovir harus
digunakan pada kasus dengan kecurigaan HSV (pasien dnegan lesi herpetic),
dan biasanya digunakan secara empiris pada kasus yang lebih berat yang
komplikasinya enchepalitis atau sepsis.
4. Apa saja komplikasi dan cara pencegahan meningitis?
Komplikasi Meningitis

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.

Infeksi serebri
Trombosisi vena
Serebritis
Abses
Efusi subdural
Empiema
Ventrikulitis
Edema serebal
Apilepsi
Kejang
Syok sepsis
Kematian
Vaskulitis
Hidrosefalus

Pencegahan Meningitis
Imunisasi polisakarida quadrivalent
Konjugat vaksin yaitu :
a.
b.
c.
d.

Haemophillus influenza type B


Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7)
Pneumococcal Polysaccharida vaccine (PPV)
Meningococal conjugate vaccine (MCV4)

Meningitis virus bisa menular melalui batuk,bersim, makan bersendok bareng,


berciuman,dll. Jadi harus menghindari kontak secara langsuh terhadap pasien
meningitis virus agar tidak tertular.
5. Sebutkan definisi, insidensi, dan factor risiko kejang!
Definisi kejang : perubahan fungsi otak yang mendadak dan sementara
sebagai akibat aktifitas dari neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik
serebral yang berlebihan
Insidensi : di negara amerika serikat dan eropa barat mencapai 2- 4 %. Di
negara asia jemulah penderita sekitar 20 % mengalami kejang
Faktor resiko : Demam yang tinggi, infeksi (ensflitis ,maningitis),infeksi
intrakranial ,gangguan metabolisme, trauma, toksin, penyakit degenratif
susunan syaraf, gangguan sirkulasi
6. Jelaskan macam-macam kejang!
a. Kejang Parsial

1) Kejang Parsial Sederhana


Kesadaran tidak terganggu; dapat mencakup satu atau lebih hal berikut
ini:
a)

Tanda-tanda motoriskedutaan pada wajah. Tangan, atau salah


satu sisi tubuh : umumnya gerakan kejang yang sama.

b)

Tanda atau gejala otonomikmuntah berkeringan, muka merah,


dilatasi pupil.

c)

Gejala somatosensoris atau sensoris khusus-mendengar musik,


merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.

d)

Gejala psikikdejavu, rasa takut, sisi panoramic.

2) Kejang parsial kompleks


a)

Terdapat gangguan kesadaran. Walaupun pada awalnya sebagai


kejang parsial simpleks.

b)

Dapat

mencakup

otomatisme

atau

gerakan

aromatic

mengecapkan bibir, mengunyah, gerakan mencongkel yang


berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
c)

Dapat tanpa otomatismetatapan terpaku.

b. Kejang Umum (Konvulsif atau Non-Konvulsif)


1) Kejang Absens
a)

Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.

b)

Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung


kurang dari 15 detik.

c)

Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada dan


berkonsentrasi penuh.

d)

Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering


sembuh

dengan sendirinya pada usia 18 tahun.

2) Kejang Mioklonik
Kedutan-kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang
terjadi mendadak.
a)

Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila


patologik,

berupa kedutaan-kedutaan sinkron dari leher, bahu,

lengan atas dan

kaki.

b)

Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam


kelompok.

c)

Kehilangan kesadaran hanya sesaat

3) Kejang Tonik-Klonik
a)

Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umum


pada otot ektremitas, batang tubuh, dan wajah, yang langsung
kurang dari 1 menit.

b) Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kebih dan usus.


c) Tidak adan respirasi dan sianosis
d) Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan
bawah.
e) letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical
4) Kejang Atonik
a)

Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan


kelopak mata turun, kepala menunduk atau jatuh ketanah.

b)

Singkat, dan terjadi tampa peringatan ( Price, 2006 ).

Status Epileptikus
a. Biasanya. Kejang tonik-klonik umum yang terjadi berulang.
b. Anak tidak sadar kembali diantara kejang.
c. Potensial untuk depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia
d. memerlukan pengobatan medis darurat dengan segera.

7. Jelaskan patofisiologi kejang!


Kejang terjadi akibat lepasnya muatan paroksimal yang berlebihan dari sebuah
focus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik (Silbernagl dan Lang, 2006).

Keadaan patologis di
otak

Pembukaan
kanal Clterganggu

Peningkatan dan
penimbunan asetilkolin

Pengaktifan
paroksimal canal
Ca2+
Pembukaan
kanal K+
terganggu

GABA

Depolarisasi
berlebihan
Hipoksia otak

Kejang

8. Sebutkan penyakit-penyakit apa saja yang disertai kejang!


a. Rabies: kejang ini terjadi karena adanya gangguan daerah otot pada proses
menelan dan pernafasan
b. Tetanus: kejang ini disebabkan karena kuman penyebab tetanus yaitu
Clostridium tetani dimana kuman tersebut mampu mengeluarkan
eksotoksin yang bersifat tetanospasmin yang menyebar ke aliran darah /
limfe sepanjang serabuut saraf motoris, medulla spinalis, dan saraf
simpatis. Eksotoksin tersebut menghambat asetilkolin ujung saraf yang
akhirnya dapat menimbulkan kejang.
c. Meningitis
d. Epilepsi

9. Jelaskan tatalaksana untuk kejang!


a. Non farmakologi:
1) Amati faktor pemicu
2) Menghindari faktor pemicu (jika ada),misalnya : stress, OR, konsumsi
kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.
b. Farmakologi :
Pengendalian kejang :
1) Fase pramonitor
Diazepam (10-20 mg) intravena, atau rectal. Bisa diulangi satu kali lagi
selama 15 menit bila status mengancam jiwa.
2) Status awal
Benzodiazepin misalnya lorazepin intravena (4 mg) perlu diulangi satu
kali setelah 10 menit.
3) Status menetap
Bolus fenoborbital 10mg/kg;100 mg/menit atau infuse funitoin (15
mg/kg;50 mg/menit)
4) Status refrakter
Bial kejang sudah lebih dari 30 menit, akan dilakukan anestesi umum
(tiopenton) (Sidharta, 2008).
Informasi IV
Diagnosis
Klinis

: penurunan kesadaran
observasi febris

Topis

: meningen

Etiologi

: meningitis bakterial

Penatalaksanaan :
Infus asering 16 tpm
O2 3 L/m
Injeksi ceftriaxon 1 x 2 gram
Metil prednisolon 2 x 125 gram
Diazepam 10 mg (bila kejang)
Parasetamol (prn)

SASARAN BELAJAR 3
1. Jelaskan kenapa tatalaksana meningitis pada info IV menggunakan infus
asering!
Pada kasus ini dipilih infus asering dengan tujuan untuk mengatasi
peningkatan tekanan intra kranial karena adanya edem serebri yang sering
terjadi pada pasien meningitis bacterial. (McPhee, Maxine, 2010)
Infus jenis ini juga sering digunakan sebagai larutan awal bila status
elektrolit pasien belum diketahui.
2. Jelaskan kenapa tatalaksana meningitis pada info IV menggunakan
ceftriaxon!
Ceftriaxone merupakan cephalosporin spektrum luas semisintetik yang
diberikan secara IV atau IM. Ceftriaxone juga serupa dengan seftizoksim dan
sefotaksim, mempunyai waktu paruh yang sangat panjang sehingga diberikan
sekali / dua kali sehari. Ceftriaxone menembus selaput otak yang mengalami
peradangan pada bayi dan anak-anak dan kadarnya dalam cairan otak setelah
pemberian dosis 50 mg/kg dan 75 mg/kg IV, berkisar antara 1,3-18,5 ug/ml
dan 1,3-44 ug/ml. Dibanding pada orang dewasa sehat, farmakokinetik
ceftriaxone hanya sedikit sekali terganggu pada usia lanjut dan juga pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal/hati, karena itu tidak diperlukan
penyesuaian dosis (Hardjosaputra et al., 2008).
Efek bakterisida ceftriaxone dihasilkan akibat penghambatan sintesis
dinding kuman. Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap betalaktamase, baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase yang dihasilkan
oleh kuman gram-negatif, gram-positif. Ceftriaxone dikontraindikasikan pada
pasien dengan riwayat alergi terhadap golongan cephalosporin (Hardjosaputra
et al., 2008).
Secara umum ceftriaxone dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang
dapat ditemukan adalah :
a. Reaksi lokal : Sakit, indurasi atau nyeri tekan pada tempat suntikan dan
phlebitis setelah pemberian intravena.

b. Hipersensitivitas : Ruam kulit dan kadang-kadang pruritus, demam atau


menggigil
c. Hematologik : Eosinofilia, trombositosis, lekopenia dan kadang-kadang
anemia, anemia hemolitik, netropenia, limfopenia, trombositopenia dan
pemanjangan waktu protrombia.
d. Saluran cerna : Diare dan kadang-kadang mual, muntah, disgeusia.
e. Hati : Peningkatan SGOT atau SGPT dan kadang-kadang peningkatan
fosfatase alkali dan bilirubin.
f. Ginjal : Peningkatan BUN dan kadang-kadang peningkatan kreatinin serta
ditemukan silinder dalam urin.
g. Susunan saraf pusat : Kadang-kadang timbul sakit kepala atau pusing.
h. Saluran kemih dan genital : Kadang-kadang dilaporkan timbulnya
monitiasis atau vaginitis (Hardjosaputra et al., 2008).
Ceftriaxone dapat diberikan secara intravena atau intramuskular
a. Dewasa : Dosis lazim harian untuk orang dewasa adalah 1-2gr sekali
sehari (atau dibagi dalam 2 dosis) tergantung dari jenis dan beratnya
infeksi. Dosis total harian tidak boleh melebihi 4gr. Untuk pengobatan
infeksi gonokokal tanpa komplikasi, dosis yang dianjurkan adalah 250mg
intramuskular sebagai dosis tunggal, untuk profilaksis opersai, dosis yang
dianjurkan adalah 1gr sebagai dosis tunggal dan diberikan 0,5-2 jam
sebelum operasi.
b.

Anak-anak : Untuk pengobatan infeksi kulit dan jaringan lunak, dosis total
harian yang dianjurkan adalah 50-75 mg/kg sekali sehari (atau dibagi 2
dosis), dosis total harian tidak boleh melebihi 2gr. Untuk pengobatan
meningitis dosis harian adalah 100 mg/kg dan tidak boleh melebihi 4gr,
dosis diberikan dengan atau tanpa dosis muat 75mg/kg

c.

Keterangan Umum Dosis : Secara umum terapi dengan ceftriaxone harus


dilanjutkan paling tidak 2 hari setelah tanda dan gejala infeksi menghilang.
Lama pengobatan terapi umumnya adalah 4-14 hari, dimana pada infeksi
yang disertai dengan komplikasi terapi yang diperlukan akan lebih lama
(Hardjosaputra et al., 2008).

3. Jelaskan kegunaan metil prenisolon jika dikaitkan dengan kasus!


Metil prednisolon merupakan salah satu jenis kortikosteroid yaitu obat yang
menghambat terjadinya inflamasi dalam tubuh. Pada kasus ini pasien telah
didiagnosis mengalami meningitis bakterial, maka dari itu harus diberikan
obat ini untuk mengurangi peradangan yang terjadi karena invasi bakteri
tersebut.
4. Jelaskan penggunaan parasetamol!
Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat bebas yang mudah
ditemukan dan tersedia di banyak tempat. Obat ini merupakan metabolit
fenasetin dengan efek antipiretik dan telah digunakan sejak tahun 1893.
Parasetamol diabsorbsi secara cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan
masa paruh plasma antara 1 3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh.
Parasetamol tersedia sebagai dosis tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup
yang mengandung 120 mg/5 mL. Dosis parasetamol :
a. Dewasa : 300 mg 1 gr/kali, dengan maksimum 4 gr/hari.
b. Bayi dibawah 1 tahun : 60 mg/kali, maksimum 6 kali sehari.
c. Anak usia 1 6 tahun : 60 120 mg/kali, maksimum 6 kali sehari.
d. Anak usia 6 12 tahun : 150 300 mg/kali, dengan maksimum 1,2gr/hari
(farmakologi dan terapi FKUI, edisi 5, 2008).
5. Mengapa pada lesi UMN terjadi hiperrefleks dan pada lesi LMN terjadi
hiporefleks?
Itu dikarenakan pada jaran ektrapiramidalis terjadi kerusakan yang
menyebabkan faktor inhibisinya terganggu atau bahkan rusak sama sekali
sehingga rangsang yang diterima otak untuk memberikan rangsang motorik
akhirnya berlebihan dan tidak dapat dihentikan. Sedangkan untuk lesi lmn itu
dikarenakan adanya kerusakan pada bagian lmn yang menyebabkan impuls
motorik pada saraf tidak tersampaikan dan menyebebabkan reflek yang
ditimbulkan hanya sedikit

BAB III
KESIMPULAN

Pasien Nn. Poni telah didiagnosis terkena meningitis bakterialis, diagnosis


ini dapat kami ambil dari melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
lab darah, pemeriksaan LCS dan berbagai pemeriksaan lainnya.
Pada PBL kali ini juga telah disimpulkan beberapa jenis pengobatan serta
beberapa cara pencegahan untuk penyakit ini.

DAFTAR PUSTAKA
Eroschenko, Victor P. 2001. Jaringan Saraf dalam Atlas Histologi di Fiore
dengan Korelasi Fungsional. Jakarta: EGC. Edisi 9. Hal: 96, 100, 102

Ganong, W.F., 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.


Ganong, W.F., 2003. Review of Medical Physiology. 21st ed. New York: McGrawHill Professional.
Guyton, A.C. & Hall, J.E., 2006. Guyton and Hall Textbook of Medical
Physiology with Student Consult Online Access. 11th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders.
Hardjosaputra, S.L.P. et al., 2008. DOI : Data Obat di Indonesia. 11th ed. Jakarta:
PT. Muliapurna Jayaterbit.
Hartwig, Mary S. 2003. Evaluasi Pasien Neurologik dalam Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit volume 2. Jakarta: EGC. Edisi 6. Hal: 10591060
Mardjono, Mahar, Priguna Sidharta. 2009. Mekanisme Infeksi Susunan Saraf
dalam Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. Hal: 306-320
Mardjono, Mahar, Priguna Sidharta. 2003.Neurologi Klinis Dasar : mekanisme
gangguan vascular susunan syaraf. Jakarta : Dian Rakyat.
Martini, F.H. & William, C.O., 2006. Intergrative Function dalam Martini :
Fundamentals of Anatomy and Physiology. 7th ed. Philadelphia: Prentice
Hall Inc.
Price, SA & Wilson, LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Sherwood, L., 2006. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC.
Sidharta, Priguna. 2008. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian
Rakyat.
Silbernagl, Stefan, Florian Lang. 2000. Teks Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta: EGC.
Snell, Richard S. 2007. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed :
5.

Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai