Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK DENGAN THIPOID


I.

Definisi
Tifus (demam tifoid enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang

besarnya tedapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari
satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. (FKUI,
2007)
Tifus abdominalis adalah infeksi yang mengenai usus halus, disebarkan
dari kotoran ke mulut melalui makanan dan air minum yang tercemar dan sering
timbul dalam wabah. (Markum, 2001).
II.

Etiologi
Tyfus disebabkan oleh salmonella typhosa, basil gram negatif, bergerak

dengan bulu getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurngnya 3 macam


antigen yaitu antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipopolisakarida),
antigen H (flagella) dan antigen Vi. Dalam serum penderita terdapat zat anti
(glutanin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.
III.

Patofisiologi
Kuman salmonella typhosa masuk kedalam saluran cerna, bersama

makanan dan minuman, sabagian besar akan mati oleh asam lambung HCL dan
sebagian ada yang lolos (hidup), kemudian kuman masuk kedalam usus (plag
payer) dan mengeluarkan endotoksin sehingga menyebabkan bakterimia primer
dan mengakibatkan perdangan setempat, kemudian kuman melalui pembuluh
darah limfe akan menuju ke organ RES terutama pada organ hati dan limfe.
Di organ RES ini sebagian kuman akan difagosif dan sebagian yang tidak
difagosif akan berkembang biak dan akan masuk pembuluh darah sehingga
menyebar ke organ lain, terutama usus halus sehingga menyebabkan peradangan
yang mengakibatkan malabsorbsi nutrien dan hiperperistaltik usus sehingga
terjadi diare. Pada hipotalamus akan menekan termoregulasi yang mengakibatkan

demam remiten dan terjadi hipermetabolisme tubuh sehingga tubuh mudah lelah.
Selain itu endotown yang masuk ke pembuluh darah kapiler menyebabkab roseola
pada

kulit

dan

lidah

hiperemia.

Pada

hati

dan

limpa

akan

terjadi

hepatosplenomegali. Konstipasi bisa terjadi menyebabkan komplikasi intestinal


(perdarahan usus, perforasi, peritonitis) dan ekstra intestinal (pneumonia,
meningitis, kolesistitis, neuropsikiatrik).
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi
antara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa
inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)
IV.

Manifestasi Klinis
Gejala klinis umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan

dengan orang dewasa. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi,
tetapi secara garis besar terdiri dari demam satu minggu/lebih, terdapat gangguan
saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu pertama, keluhan dan
gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, nyeri
kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, serta suhu badan yang
meningkat.
Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa
demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, bisa
disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat. Lidah tifoid dan tampak
kering, dilapisi selaput kecoklatan yang tebal, di bagian ujung tepi tampak lebih
kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
Sejalan dengan perkembangan penyakit, suhu tubuh meningkat dengan
gambaran anak tangga. Menjelang akhir minggu pertama, pasien menjadi
bertambah toksik. (FK UI 2007)

V.

PATHWAYS

Salmonella typhosa
Saluran pencernaan
Diserap oleh usus halus
Bakteri memasuki aliran darah sistemik
Kelenjar limfoid

Hati

Limpa

Endotoksin

Tukak

Hepatomegali

Splenomegali

Demam

Pendarahan dan

Nyeri perabaan

usus halus

perforasi

Mual/tidak nafsu makan


Perubahan nutrisi
Resiko kurang volume cairan

(Suriadi & Rita Y, 2001)

VI. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit
normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah
sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan
khusus
3. Pemeriksaan Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri
Salmonella typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita Demam Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh
Salmonella typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin) yaitu:
Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh
bakteri
Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela
bakteri
Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai
bakter.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis Demam Tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan menderita Demam Tifoid. (Widiastuti Samekto, 2001)

VI.
1.

Terapi
Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat
diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas

2.

Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.

3.

Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg


sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)

4.

Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2


minggu

5.

Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc,
diberikan selama jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari

6.

Golongan Fluorokuinolon

Norfloksasin

: dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari

Siprofloksasin

: dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

Ofloksasin

: dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

Pefloksasin

: dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari

Fleroksasin

: dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari

7. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti:


Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti
sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman
Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001)

VIII.

Komplikasi
Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10%

penderita demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2


penyakit dan umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan
darah serta kenaikan denyut jantung.Pneumonia sering ditemukan selama
stadium ke-2 penyakit, tetapi seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh
organisme lain selain Salmonella. Pielonefritis, endokarditis, meningitis,
osteomielitis dan arthritis septik jarang terjadi pada hospes normal. Arthritis
septik dan osteomielitis lebih sering terjadi pada penderita hemoglobinopati.
(Behrman Richard, 1992)

IX. Diagnosa Keperawatan


1.

Hipertermi b/d proses infeksi salmonella thypii

2.

Resiko tinggi kurang volume cairan b/d kehilangan cairan sekunder


terhadap diare

3.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d arbsorpsi nutrisi

VII. Fokus Intervensi


1.

Hipertermi b/d proses infeksi salmonella thypi


Tujuan:
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal
Intervensi:
a. Pantau suhu klien
Rasional:
Suhu 380 C sampai 41,10 C menunjukkan proses peningkatan infeksius
akut
b. pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai
dengan indikasi
Rasional:
Suhu ruangan atau jumlah selimut harus dirubah, mempertahankan suhu
mendekati normal
c. Berikan kompres mandi hangat
Rasional :
Dapat membantu mengurangi demam
d. Kolaborasi pemberian antipiretik
Rasional:
Untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya hipotalamus

2.

Resiko tinggi kurang volume cairan b/d kehilangan cairan sekunder


terhadap diare
Tujuan:

Mempertahankan volume cairan adekuat dengan membran mukosa, turgor


kulit baik, kapiler baik, tanda vital stabil, keseimbangan dan kebutuhan urin
normal
Intervensi:
a. Awasi masukan dan keluaran perkiraan kehilangan cairan yang tidak
terlihat
Rasional:
Memberikan informasi tentang keseimbangan cairan dan elektrolit
penyakit usus yang merupakan pedoman untuk penggantian cairan
b. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa turgor kulit dan
pengisian kapiler
Rasional:
Menunjukkan kehilangan cairan berlebih atau dehidrasi
c. Kaji tanda vital
Rasional :
Dengan menunjukkan respon terhadap efek kehilangan cairan
d. Pertahankan pembatasan peroral, tirah baring
Rasional:
Kalau diistirahkan utnuk penyembuhan dan untuk penurunan kehilangan
cairan usus
e. Kolaborasi utnuk pemberian cairan parenteral
Rasional:
Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan cairan untuk
mempertahankan kehilangan
3.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d arbsorpsi nutrisi


Tujuan:
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Intervensi:
a. Dorong tirah baring
Rasional:

Menurunkan kebutuhan metabolic untuk meningkatkan penurunan kalori


dan simpanan energi
b. Anjurkan istirahat sebelum makan
Rasional:
Menenangkan peristaltic dan meningkatkan energi makan
c. Berikan kebersihan oral
Rasional :
Mulut bersih dapat meningkatkan nafsu makan
d. Sediakan

makanan

dalam

ventilasi

yang

baik,

lingkungan

menyenangkan
Rasional:
Lingkungan menyenangkan menurunkan stress dan konduktif untuk
makan
e. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat
Rasional:
Nutrisi yang adekuat akan membantu proses
f. Kolaborasi pemberian nutrisi, terapi IV sesuai indikasi
Rasional:
Program ini mengistirahatkan saluran gastrointestinal, sementara
memberikan nutrisi penting.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L. J (1997). Buku Saku Keperawatan. Edisi VI.EGC: Jakarta
Doengoes M.E (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III. EGC : Jakarta
Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi XII. EGC : Jakarta
Staf Pengajar IKA (2005). Ilmu Kesehatan Anak. EGC : Jakarta
mansjoer. A (2000). Kapikta Selekta kedokteran. edisi IV. EGC: Jakarta
Sarwana (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. FKUI: Jakarta.

LAPORAN PENDAHULUAN ANAK DENGAN


TYPOID DI RUANG ISMAIL 2 RS ROEMANI
SEMARANG

Persiapan Praktik Ruang

: Ismail 2

Tanggal Praktik

: 12 Januari 2015

Nama Mahasiswa

: Bahtiar Bagus Santoso

NIM

: G 3 A0 1 4 0 9 0

Nama Pembimbing

: Ns. Noor Faizah S.Kep

Saran Pembimbing

Tanda Tangan Pembimbing :

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2015

Anda mungkin juga menyukai