Anda di halaman 1dari 9

Modul X : "MANAJEMEN KONFLIK"

Setiap kelompok dalam satu organisasi, dimana didalamnya terjadi interaksi antara
satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya konflik. Dalam institusi
layanan kesehatan terjadi kelompok interaksi, baik antara kelompok staf dengan staf,
staf dengan pasen, staf dengan keluarga dan pengunjung, staf dengan dokter, maupun
dengan lainnya yang mana situasi tersebut seringkali dapat memicu terjadinya konflik.
Konflik sangat erat kaitannya dengan perasaan manusia, termasuk perasaan diabaikan,
disepelekan, tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan jengkel karena kelebihan
beban kerja.

Perasaan-perasaan tersebut sewaktu-waktu dapat memicu timbulnya kemarahan.


Keadaan tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan kegiatannya secara
langsung, dan dapat menurunkan produktivitas kerja organisasi secara tidak langsung
dengan melakukan banyak kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Dalam
suatu organisasi, kecenderungan terjadinya konflik, dapat disebabkan oleh suatu
perubahan secara tiba-tiba, antara lain: kemajuan teknologi baru, persaingan ketat,
perbedaan kebudayaan dan sistem nilai, serta berbagai macam kepribadian individu.
DEFINISI KONFLIK
Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang diantara
beberapa orang, kelompok atau organisasi. Sikap saling mempertahankan diri sekurangkurangnya diantara dua kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan berbeda, dalam
upaya mencapai satu tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi, bukan
kerjasama.
ASPEK POSITIF DALAM KONFLIK
Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang positif apabila dikelola
dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakan suatu perubahan :
Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan
tanggung jawab mereka.
Memberikan saluran baru untuk komunikasi.
Menumbuhkan semangat baru pada staf.

Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi.


Menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam organisasi.

Apabila konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat berdampak pada
penurunan efektivitas kerja dalam organisasi baik secara perorangan maupun kelompok,
berupa penolakan, resistensi terhadap perubahan, apatis, acuh tak acuh, bahkan mungkin
muncul luapan emosi destruktif, berupa demonstrasi.
PENYEBAB KONFLIK
Konflik dapat berkembang karena berbagai sebab sebagai berikut:
Batasan pekerjaan yang tidak jelas
Hambatan komunikasi
Tekanan waktu
Standar, peraturan dan kebijakan yang tidak masuk akal
Pertikaian antar pribadi
Perbedaan status
Harapan yang tidak terwujud
PENGELOLAAN KONFLIK
Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan:
Disiplin: Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan mencegah
konflik. Manajer perawat harus mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang
ada dalam organisasi. Jika belum jelas, mereka harus mencari bantuan untuk
memahaminya.
Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan: Konflik dapat dikelola dengan
mendukung perawat untuk mencapai tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan
hidupnya. Misalnya; Perawat junior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk
mengikuti pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan bagi perawat senior yang
berprestasi dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
Komunikasi: Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik
dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik
adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang
akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
Mendengarkan secara aktif: Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk
mengelola konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer perawat telah
memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali permasalahan
para pegawai sebagai tanda bahwa mereka telah mendengarkan.
TEKNIK ATAU KEAHLIAN UNTUK MENGELOLA KONFLIK
Pendekatan dalam resolusi konflik tergantung pada :
Konflik itu sendiri
Karakteristik orang-orang yang terlibat di dalamnya
Keahlian individu yang terlibat dalam penyelesaian konflik

Pentingnya isu yang menimbulkan konflik


Ketersediaan waktu dan tenaga

STRATEGI :
Menghindar
Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik tidak
terlalu penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang akan
ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang memungkinkan pihak-pihak
yang berkonfrontasi untuk menenangkan diri. Manajer perawat yang terlibat didalam
konflik dapat menepiskan isu dengan mengatakan Biarlah kedua pihak mengambil
waktu untuk memikirkan hal ini dan menentukan tanggal untuk melakukan diskusi
Mengakomodasi
Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi pemecahan masalah,
khususnya apabila isu tersebut penting bagi orang lain. Hal ini memungkinkan timbulnya
kerjasama dengan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan.
Perawat yang menjadi bagian dalam konflik dapat mengakomodasikan pihak lain dengan
menempatkan kebutuhan pihak lain di tempat yang pertama.
Kompetisi
Gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih banyak informasi dan
keahlian yang lebih dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak ingin
mengkompromikan nilai-nilai anda. Metode ini mungkin bisa memicu konflik tetapi bisa
jadi merupakan metode yang penting untuk alasan-alasan keamanan.
Kompromi atau Negosiasi
Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan,
saling memberi dan menerima, serta meminimalkan kekurangan semua pihak yang dapat
menguntungkan semua pihak.
Memecahkan Masalah atau Kolaborasi
Pemecahan sama-sama menang dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja
yang sama.
Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan
saling memperhatikan satu sama lainnya.
PETUNJUK PENDEKATAN SITUASI KONFLIK :
1. Diawali melalui penilaian diri sendiri
2. Analisa isu-isu seputar konflik
3. Tinjau kembali dan sesuaikan dengan hasil eksplorasi diri sendiri.
4. Atur dan rencanakan pertemuan antara individu-individu yang terlibat konflik
5. Memantau sudut pandang dari semua individu yang terlibat
6. Mengembangkan dan menguraikan solusi
7. Memilih solusi dan melakukan tindakan

8. Merencanakan pelaksanaannya
9. Manajemen Konflik Sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja
Konsep manajemen sumber daya manusia menurut pendekatan strategik mulai
menitikberatkan pada kinerja team work dalam jaringan kerja (network) organisasi yang
saling bersinergi, sehingga organisasi akan mampu membentuk, mendukung dan
mengarahkan aktivitas anggotanya menuju aktivitas yang strategis. Organisasi perlu
untuk berkembang dan bertahan hidup dalam abad informasi yang sangat dinamis,
dengan berbagai kemungkinan munculnya konflik yang diakibatkan oleh adanya
diversity dalam organisasi serta organisasi yang mulai bersifat tanpa batas (boundaryless
organization). Diperlukan penanganan atas konflik potensial ataupun konflik terbuka
yang ada di antara anggota, sehingga konflik tidak menjadi bersifat disfungsional tetapi
justru menguntungkan (sebagai sumber inovasi atau kreativitas) organisasi. Key words:
Teamwork, network, diversity, konflik.
Dalam era perekonomian dunia yang kini sudah menjagad, tak pelak lagi menuntut
berbagai macam hal yang mampu meningkatkan daya saing organisasi. Tantangan yang
muncul karena lingkungan eksternal organisasi yang sangat dinamis dapat bersifat
struktural ataupun bersifat non-struktural. Tantangan-tantangan bagi organisasi yang
bersifat non struktural misalnya teknologi yang makin canggih, turbulensi politik dan
ekonomi, masalah-masalah hak asasi manusia, peluang bisnis global, dan tekonologi
informasi dan pengetahuan. Sedangkan tantangan yang bersifat non-struktural meliputi:
perlunya keunggulan kompetitif yang terus menerus, organisasi yang apresiatif,
networking dalam organisasi, makin pentingnya kualitas, efisiensi dan produktivitas bagi
organisasi serta learning organization.
Persaingan yang makin terbuka kini tidak lagi hanya didasarkan pada tuntutan kualitas
(quality-based competition) saja namun kemudian lebih pada kecepatan (speed)
organisasi dalam merespon perubahan (time-based competition) yang makin cepat dari
lingkungan eksternalnya. Lingkungan internal juga mengalami perubahan budaya dan
iklim, karena terdapatnya kemungkinan dan kesempatan bagi orang-orang asing untuk
masuk dan menjadi angkatan kerja baru di dalam negeri yang membawa akibat pada
penuhnya organisasi dengan keberagaman (diversity).
Pemimpin organisasi harus menyadari bahwa dengan terdapatnya diversitas yang besar
didalam organisasi, secara otomatis juga menciptakan timbulnya berbagai macam
motivasi (intrinsic interest), persepsi, kebiasaan, pendapat serta pengalaman yang berbeda
dari setiap anggotanya dalam memandang pekerjaan mereka didalam organisasi.
Berbagai perbedaan tersebut dapat menimbulkan silang pendapat, pertengkaran atau
bahkan konflik didalam tubuh organisasi. Adanya job design dan job description secara
otomatis telah memposisikan seseorang sebagai kompetitor bagi sesamanya, sehingga
menimbulkan persaingan yang seringkali berakibat buruk bagi kinerja organisasi secara
keseluruhan. Saat ini deskripsi jabatan mulai ditinggalkan dan beralih pada sistem team
description.

Apabila timbul persaingan bahkan permusuhan yang seharusnya tidak perlu terjadi,
manajer harus dapat memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh anggota
organisasinya tersebut serta bagaimana cara mengatasi konflik yang muncul tanpa
merugikan organisasi itu sendiri. Namun ini bukan berarti bahwa seluruh pendapat dan
tuntutan mereka harus selalu dipenuhi oleh manajemen. Artinya, pihak manajemen harus
dapat memilih gaya yang sesuai dalam menangani konflik yang muncul. Lebih jauh lagi,
manajemen harus mampu memfasilitasi berbagai kegiatan di dalam organisasi agar
menghasilkan kinerja yang baik dengan tingkat konflik intern minimal.
II. Teamwork
Team dapat diartikan sebagai together everyone achieve more. Artinya, bersama-sama
dalam melaksanakan tugas/pekerjaan yang hasilnya menentukan kinerja organisasi
memungkinkan setiap individu anggota memberikan kontribusi yang lebih besar. Hal
tersebut terjadi karena di dalam sebuah tim terdiri dari banyak orang dengan beragam
keahlian/kemampuan & keterampilan kerja, di mana anggota dengan kemampuan &
keterampilan tinggi akan mendorong kinerja anggota yang memiliki kemampuan &
keterampilan lebih rendah sehingga tujuan bersama lebih cepat tercapai. Di sisi lain,
keragaman menjadi peluang munculnya konflik antar anggota.
II. Mitos Seputar Teamwork
Meskipun teamwork pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja organisasi
secara umum, dalam kenyataannya sering terjadi kegagalan kerja sama di dalam
teamwork. Banyak hal yang menyebabkan gagalnya teamwork salah satunya karena
anggota organisasi masih mempercayai mitos-mitos seputar teamwork yang menajadi
bayangan menakutkan. Mitos-mitos seputar team work, yang menjadikan buruknya
kinerja tim antara lain :
1. Mitos bahwa tim dengan kinerja tinggi menuntut adanya perubahan budaya
organisasi.
2. Mitos bahwa tim memerlukan target dan standar tertentu (padahal target biasanya
akan menyebabkan timbulnya frustrasi pada anggota).
Sangat dipahami bahwa perubahan budaya selalu menjadi hal yang menakutkan bagi
hampir setiap organisasi. Kebanyakan mereka enggan untuk berubah (resistance to
change) yang pada dasarnya merupakan persoalan budaya, sehingga kadang-kadang
diperlukan perubahan yang bersifat revolusioner. Mereka berpikir bahwa dengan
berubahnya budaya di dalam organisasi akan membawa akibat yang tidak
menguntungkan bagi mereka (utamanya pihak-pihak yang telah menikmati banyak
keuntungan dalam organisasi).
Namun perlu diingat bahwa saat ini budaya dapat diciptakan dengan lebih baik dan
kondusif bagi perkembangan positif organisasi melalui pemberian training kepada
anggota organisasi. Anggota (baru) dibentuk dan disesuaikan dengan iklim budaya yang
sebelumnya telah terbentuk sehingga mereka mampu untuk beradaptasi (coping) dengan
lingkungannya tanpa mengalami banyak kendala. Persyaratan calon anggota baru
organisasi yang didasarkan pada skill, experience, knowledge, dan abilities (SEKA) tidak
lagi utama. Kini syarat experience telah mulai digantikan dengan attitude (menjadi
SAKA yakni skills, attitude, knowledge, abilities), yang ternyata mempermudah

pembentukan iklim organisasi sehingga setiap anggota organisasi mampu memberikan


kontribusinya (berupa prestasi kerja) secara maksimal kepada organisasi.
Perlu diperhatikan bahwa kontribusi yang diberikan anggota hendaknya disertai dengan
pemberian reward yang sesuai serta menarik bagi anggota dan disertai dengan perbaikan
sistem penilaian kinerja (performance appraisal system). Tidak dapat dipungkiri lagi
bahwa kinerja seseorang yang excellent merupakan fungsi dari kompetensi individunya
yang juga didukung oleh lingkungan yang kondusif dan dukungan rekan sekerja.
Manajer perlu memahami bahwa pengukuran kinerja itu penting, namun tidak dengan
target. Dengan tetap berfokus pada kerja, manajer perlu membantu anggotanya
mempelajari pengukuran kinerja yang diinginkan dengan tetap dapat berkonsentrasi pada
purpose. Target nantinya akan menjadi goals atas dasar pengetahuan metode yang baik.
Dengan kata lain, staf harus mengetahui apa yang telah mereka kerjakan sehingga
menghasilkan kinerja yang lebih baik. Diharapkan, anggota secara alamiah & dengan
sendirinya akan mengetahui apa yang mungkin untuk dilakukan apabila terdapat
improvement di lingkungan kerjanya. Inilah yang disebut dengan target de facto, di mana
anggota organisasi memiliki pengetahuan dan kontrol atas terjadinya improvement itu
sendiri.
III. Manajemen Konflik
Konflik yang muncul dalam teamwork yang merupakan akibat adanya perbedaan
kepribadian, persepsi, pengalaman, tujuan, motivasi ataupun kepercayaan tiap anggota
organisasi yang saling berinteraksi sosial dalam pekerjaan. Tak dapat disangkal lagi
apabila hingga kini kita makin akrab dengan konflik. Namun kini kita tak perlu lagi
merasa takut dan ngeri mendengarnya. Karena, ternyata konflik yang terjadi tidak
selamanya membawa akibat buruk sepanjang dapat dikelola dengan baik. Justru dengan
adanya konflik akan memancing daya kreasi dan inovasi anggota organisasi baik secara
individu
maupun
secara
kolektif.
Banyak cara atau pun trik yang dapat diterapkan untuk mengatasi dan bahkan
mengurangi sensitivitas anggota terhadap pemicu konflik potensial di antara mereka.
Berbagai macam training, seperti sensitivity training, diversity training program atau pun
cross-cultural training (Noe, Hollenbeck, Gerhart, Wright, 2000:254), dapat dilakukan
untuk menjawab masalah konflik sehingga sumber daya manusia dalam organisasi dapat
memberikan manfaat yang lebih besar. Di samping itu, organisasi juga perlu melakukan
reorientasi fungsi manajemen sumber daya manusianya dalam menghadapi
perkembangan dan perubahan yang senantiasa terjadi yaitu dengan cara :
1. Membuat klarifikasi strategi bisnis melalui analisis, evaluasi dan kemungkinan
solusi yang diperlukan.
2. Realisasi internal manajemen sumber daya manusia (sebagai penyedia jasa,
sebagai struktur fungsional dan sebagai manajemen organisasi).
3. Memiliki kompetensi manusia dan organisasi.
Tiga jenis kompetensi yang mutlak diperlukan oleh organisasi dan sumber daya
manusianya tersebut, adalah
1. Organisasi perlu berubah menjadi organisasi yang berdasarkan pada kinerja
network.
2. Organisasi memiliki daya kreatif, inovatif dan proaktif terhadap perubahan.

3. Organisasi memiliki entrepeneurial, intrapreneurial and learning spirit yang


terbangun dari anggotanya.
Manajemen harus mampu meredam persaingan yang sifatnya berlebihan (yang
melahirkan konflik yang bersifat disfungsional) yang justru merusak spirit sinergisme
organisasi tanpa melupakan continous re-empowerment. Ada 6 tipe pengelolaan konflik
yang dapat dipilih dalam menangani konflik yang muncul (Dawn M. Baskerville,
1993:65) yaitu :
1. Avoiding; gaya seseorang atau organisasi yang cenderung untuk menghindari
terjadinya konflik. Hal-hal yang sensitif dan potensial menimbulkan konflik
sedapat mungkin dihindari sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.
2. Accomodating; gaya ini mengumpulkan dan mengakomodasikan pendapatpendapat dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat konflik, selanjutnya dicari
jalan keluarnya dengan tetap mengutamakan kepentingan pihak lain atas dasar
masukan-masukan yang diperoleh.
3. Compromising; merupakan gaya menyelesaikan konflik dengan cara melakukan
negosiasi terhadap pihak-pihak yang berkonflik, sehingga kemudian
menghasilkan solusi (jalan tengah) atas konflik yang sama-sama memuaskan
(lose-lose solution).
4. Competing; artinya pihak-pihak yang berkonflik saling bersaing untuk
memenangkan konflik, dan pada akhirnya harus ada pihak yang dikorbankan
(dikalahkan) kepentingannya demi tercapainya kepentingan pihak lain yang lebih
kuat atau yang lebih berkuasa (win-lose solution).
5. Collaborating; dengan cara ini pihak-pihak yang saling bertentangan akan samasama memperoleh hasil yang memuaskan, karena mereka justru bekerja sama
secara sinergis dalam menyelesaikan persoalan, dengan tetap menghargai
kepentingan pihak lain. Singkatnya, kepentingan kedua pihak tercapai
(menghasilkan win-win solution).
6. Conglomeration (mixtured type); cara ini menggunakan kelima style bersamasama dalam penyelesaian konflik.
Perlu kita ingat bahwa dalam memilih style yang akan dipakai oleh seseorang atau
organisasi di dalam pengelolaan konflik akan sangat bergantung dan dipengaruhi oleh
persepsi, kepribadian/karakter (personality), motivasi, kemampuan (abilities) atau pun
kelompok acuan yang dianut oleh seseorang atau organisasi.
Dapat dikatakan bahwa pilihan seseorang atas gaya mengelola konflik merupakan fungsi
dari kondisi khusus tertentu dan orientasi dasar seseorang atau perilakunya dalam
menghadapai konflik tersebut yang juga berkaitan dengan nilai (value) seseorang
tersebut. Pada level subkultur (subculture), shared values dapat dipergunakan untuk
memprediksi pilihan seseorang pada gaya dalam menyelesaikan konflik yang
dihadapinya. Subkultur seseorang diharapkan dapat mempengaruhi perilakunya sehingga
akan terbentuk perilaku yang sama dengan budayanya (M. Kamil Kozan, 2002:93-96).
Dalam masyarakat tradisional yang masih dipenuhi dengan nilai-nilai kesopanan, budaya
saling membantu yang masih sangat kental, sangat ramah tamah, dan sebagainya akan
cenderung untuk menghindari konflik. Berbeda dengan masyarakat yang bersifat power
seekers, mereka cenderung untuk saling bersaing dalam menghadapi konflik yang

muncul dengan berorientasi pada kekuasaan (power), wewenang (authority) dan


kemakmuran secara ekonomis. Sedangkan organisasi atau seseorang yang berada dalam
masyarakat yang bersifat egalitarians lebih menyukai gaya akomodasi dalam
menyelesaikan konfliknya dengan menghargai pada keadilan (justice), kesederajatan
(equality), dan saling memaafkan (forgiveness). Gaya akomodasi ini lebih mendahulukan
kepentingan pihak lain daripada kepentingan diri sendiri atau kepentingan golongannya
sendiri. Gaya menyelasaikan konflik dengan kolaborasi terdapat pada masyarakat yang
bertipe stimulation seekers, dimana pihak-pihak yang terlibat konflik saling terbuka dan
berbagi pengalaman masing-masing yang pada akhirnya menghasilkan jalan keluar yang
saling menguntungkan.
IV. Penutup Tantangan bagi organisasi di abad 21 ini adalah organisasi harus mampu
untuk:
1. Melakukan perubahan yang terus menerus (sustainable change), di mana setiap
orang di dalam organisasi berperan sebagai pelaku strategik perubahan di dalam
organisasi.
2. Organisasi harus mampu proaktif terhadap perubahan dan menjadi pelopor
perubahan tersebut (proactive and lead to the change), bukan menunggu
perubahan (waiting for the change) melalui orang-orang yang ada dalam
organisasi bukan melalui teknologi. Disini dapat kita katakan bahwa teknologi
memiliki nilai ekonomis yang semakin menurun seiring dengan berjalannya
waktu, sedangkan investasi dalam manusia (human investment) akan memberikan
nilai (kapitalisasi) yang makin meningkat dari waktu ke waktu.
3. Organisasi harus menekankan pada performance networking, bukan lagi pada
individual performance. Manajemen sumber daya manusia harus dioperasikan
dengan orientasi penanganan masalah kompetensi organisasi (organizational
competency) dan kompetensi anggota organisasi (people competency).
Daya tahan organisasi di era yang sangat dinamis dan penuh dengan persaingan ini
terletak pada berbagai fungsi organisasi yang memiliki titik-titik penting untuk tujuan
sistem peringatan dini (early warning system) organisasi sehingga menciptakan
keunggulan nilai (value advantage) yang mencakup scope, speed (diperlukan untuk
antisipasi terhadap lingkungan yang dinamis) dan sinergy yang tinggi.
Potential conflicts yang terdapat di dalam tubuh organisasi bukanlah merupakan suatu hal
yang perlu ditakutkan organisasi yang hidup di era perubahan. Penanganan dan
pengendalian konflik serta pemahaman atas diversity yang terdapat di dalam organisasi
merupakan kunci utama minimnya konflik terbuka antar sesama anggota organisasi,
selain termanfaatkannya konflik menjadi sumber ide ataupun inovasi yang diperlukan
organisasi.
Pemberian training, khususnya cross-cultural training, ternyata mampu mengurangi
sensitivitas anggota terhadap eksisnya diversity yang berpotensi menimbulkan konflik
terbuka antar anggota.
Daftar Pustaka
Dawn M. Baskerville. May 1993. How Do You Manage Conflict?. Black Enterprise.Evert
Van De Vliert (University of Groningen) and Boris Kabanoff (University of New South
Wales). March 1990. Toward Theory-Based Measures Of Conflict Management.

Academy of Management Journal. Laurence Prusak, Don Cohen. June 2001. How to
Invest in Social Capital.
M. Kamil Kozan. 2002. Subcultures and Conflict Management Style. Management
International Review.
Noe, Hollenbeck, Gerhart, Wright. 2000. Human Resource Management:Gaining a
Competitive Advantage. International Edition.. Third Edition. McGraw-Hill Companies.
Inc.
Rebecca Sisco. February 1993. What To Teach Team Leaders.
Richard Davis. 1998. Exploding the myths of high performance teams. Buckingham. UK:
Vanguard Consulting Ltd.

Anda mungkin juga menyukai