Narsis, sebuah istilah yang mulai sering saya dengar kira-kira 1,5 tahun yang
lalu karena saya agak kurang gaul, sehingga telat mengenal istilah-istilah seperti
itu, walaupun sebenarnya bukan istilah baru.
Sering temen-temen bilang tuh orang narsis banget ketika melihat gambar atau
foto seseorang yang di cakep-cakepin atau digagah-gagahin atau semacam
itulah kira-kiraKemudian akhirnya saya memiliki pemahaman bahwa istilah
narsis itu digunakan untuk memberikan sebutan kepada seseorang yang suka
menonjolkan dirinya lewat penggambaran yang seolah-olah menjadi orang yang
paling...
Ternyata pemahaman saya tersebut tidak sepenuhnya benar, walaupun juga
tidak salah. Setelah saya buka kamus, ternyata istilah narsis yang sering saya
denger itu berasal dari kata narcissism yang berarti suka membanggakan diri
sendiri. Memang secara nyata sifat narsis tidak hanya sebatas pada tampilan
foto/gambar yang di cakep-cakepin.. saja, tetapi jauh lebih luas dari itu dan
menyentuh pada aspek psikologis manusia. Namun orang yang suka berfoto
dengan pose yang dibuat-buat biar kelihatan seolah-olah paling keren seperti
yang dipasang di profile facebook juga termasuk salah satu bentuk perilaku
narsis.
Setelah saya baca-baca berbagai artikel, ternyata istilah narsis (narcissism)
diambil dari sebuah mitologi yunani dimana seorang kesatria yang bernama
Narcissus ( - NARKISSOS) dan parasnya elok bukan main suka
memuja dirinya sendiri dan banyak menolak cinta secara kejam dari para wanita
yang mencintainya. Sampai suatu saat dia menolak cinta Echo, yang
menyebabkan Echo patah hati, dan Narcissus dikutuk sehingga jatuh cinta pada
bayangannya sendiri di air kolam .Tanpa sengaja ia menjulurkan tangannya,
sehingga ia tenggelam dan tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga
narcissus yang saya sendiri juga ndak tahu bentuknya.
Istilah "Narsisme" (dengan mengambil kisah Narcissus) pertama kali digunakan
dalam psikologi oleh psikiater Austria Sigmund Freud pada tahun 1890-an untuk
menggambarkan sifat manusia yang sangat senang mengagumi/melebihlebihkan dirinya sendiri. Narsisme adalah salah satu bentuk kesombongan
manusia dan beberapa pakar psikoanalis mengkategorikan sifat ini sebagai
sebuah penyimpangan psikologis pada manusia.
Berbagai karakteristik kepribadian telah dikaitkan dengan narsis. Sebagai
contoh, narsis sering didefinisikan sebagai sibuk dengan mimpi-mimpi
kesuksesan, kekuasaan, keindahan, dan kecemerlangan serta mencari perhatian
dan kekaguman dari orang lain. Berkaitan dengan hal itu, ancaman terhadap
harga diri orang yang narsis sering diikuti dengan perasaan marah, tertantang,
malu, dan terhina. Seorang narsis juga cenderung lebih memikirkan hak yang
harus mereka terima tanpa memikirkan tanggung jawab yang harus dipikul.
Menurut American Psychiatric Association, orang yang narsis rentan terhadap
kemarahan, rasa malu, rendah diri, dan penghinaan saat mereka dikritik oleh
orang lain.
Orang yang memiliki sifat narsis senang melakukan glorifikasi diri yang biasanya
diikuti oleh proses psikologis sebaliknya yakni demonisasi (penyetanan orang
lain). Contoh perilaku ini paling gampang ditemukan pada saat menjelang pemilu
legislatif dimana semua calon berlomba-lomba memasang gambar dirinya
dengan berbagai slogan di setiap tempat. Mereka berlomba-lomba untuk
mengatakan bahwa dirinyalah yang paling baik, paling pantas dipilih. Artinya,
caleg yang memuliakan dirinya secara berlebihan telah "menyetankan" caleg
lainnya. Mereka melakukan itu dengan menghabiskan biaya yang tidak sedikit,
dan kemudian ketika akhirnya tidak terpilih, yang muncul adalah kekecewaan,
kemarahan, ke-malu-an dan perasaan terhina, yang ujung-ujungnya terjadi
stress atau depresi sehingga menuh-menuhin RSJ.
Sebagai sebuah penyimpangan perilaku psikologis, sifat narsis ini juga perlu
diwaspadai oleh mereka-mereka yang menjadi atau bercita-cita menjadi
pemimpin, karena perilaku seperti ini akan sangat mempengaruhi proses
pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi. Makanya temen2 yang
merupakan calon-calon pimpinan TNI masa depan jangan suka narsis di
facebook.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh para pakar psikologi, disimpulkan
bahwa individu-individu yang memiliki kepribadian narsistik akan membawa
dampak yang mendalam atas jalannya sebuah organisasi. Sebagai contoh, para
manajer dan supervisor narsistik mungkin memiliki masalah dalam berinteraksi
dengan rekan kerja, serta berkomunikasi dengan tingkat yang lebih rendah dan
unsur pelaksana. Perilaku seperti itu dapat menyebabkan kurangnya efektifnya
proses dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
Senada dengan hal tersebut, seorang pemimpin yang mempromosikan visi yang
berlebihan dan tidak realistis dapat menyebabkan anggota organisasi kesulitan
untuk memahami dan merealisasikannya. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan
sebuah organisasi tidak hanya lambat dalam mencapai tujuan tertentu, tetapi
mungkin dapat membawa kerugian yang lainnya.
Disamping itu, karena kesombongan yang dimiliki, perasaan untuk selalu
mendapatkan pelayanan khusus, kurangnya kepedulian terhadap orang lain,
serta keinginannya untuk tetap menjadi pusat perhatian, seorang pemimpin yang
narsis akan merasa sulit untuk bekerja secara efektif dalam tim (Lubit, 2002).
Akhirnya, pemimpin yang narsis tidak hanya melakukan pekerjaan yang buruk
pada mengembangkan orang, tetapi mereka mengasingkan bawahan sebagai
akibat dari devaluasi mereka terhadap orang lain, memaksakan cara mereka
sendiri, kurang empati, dan ingin selalu mengeksploitasi orang lain.
dewakan tampilan luar sehingga seringkali melupakan inner quality yang lebih
substansial untuk diperhitungkan. Janganlah kita bawa arah organisasi ini sesuai
dengan keinginan kita (atau suka-suka kita) yang memimpin, tetapi mari kita
bawa ke arah yang seharusnya, sesuai dengan norma-norma kehidupan
organisasi yang benar karena TNI bukanlah punya kita yang kebetulan
memimpin. TNI adalah punya rakyat dan rakyatlah yang sebenarnya memiliki
hak untuk menentukan arah jalannya organisasi TNI. Kita hanya mengemudikan
ke arah dikehendaki oleh rakyat sambil membenahi semua perangkat yang
sudah mulai rusak dan ketinggalan jaman.
Dalam retorika politik Indonesia dewasa ini, baik pada tingkat pusat atau daerah
semisal NTB masih sering terdengar keinginan atau harapan akan adanya pemimpin
daerah seperti gubernur yang kharismatik atau yang bisa menjadi panutan. Istilah
pemimpin kharismatik akhir-akhir ini dipakai secara luas. Di masa lalu ia kadangkadang dipakai untuk Gandhi, Lenin, Hitler, dan Rosevelt.
Sekarang hampir setiap pemimpin dengan daya tarik yang sangat populer
disebut pemimpin kharismatik, seperti misalnya tokoh agama. Max Weber,
seorang sosiolog besar menganalisis suatu kharisma melalui hubungan darah,
keturunan dan institusi. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kharisma adalah
kualitas tertentu dari seorang individu yang karenanya ia berbeda jauh dari
orang-orang biasa dan dianggap memiliki kekuatan atau sifat supranatural.
Kualitas ini dianggap tidak bisa dimiliki oleh orang biasa dan atas dasar itu
individu yang bersangkutan diperlakukan sebagai pemimpin yang memiliki
kekuasaan. Dalam proses selanjutnya pemimpin ini menjadi seorang panutan,
karena faktor darah atau keturunan. Akhirnya kita tidak hanya berharap
pemimpin yang kharismatik tetapi lebih daripada itu kita mengharapkan
pemimpin yang demokratis. Atau pemimpin yang kharismatik sekaligus
demokratis?
Mereka agaknya memiliki energi yang sulit dijelaskan dan mampu memberikan inspirasi
dan motivasi pada diri kita. Mereka mampu menyentuh getar emosi kita melebihi pikiran
rasional kita.
Banyak hal terjadi kalau mereka ada di sekitar kita. Tiba-tiba ada perubahan. Tiba-tiba
kita mau melaksanakan yang mereka anjurkan tanpa terlalu banyak protes. Tiba-tiba kita
merasa bangga hanya dekat dengan pemimpin itu. Kita mungkin juga bekerja demikian
keras agar kita bisa melampaui harapan pemimpin itu.
Di atas segalanya, kita digerakkan oleh mereka, dan sering, kita jadi pengikut mereka.
Apa inti kekuatan mereka? Karisma. Ya inilah penyebabnya. Tapi ketika kita berusaha
mengungkap karisma itu, dan berusaha menirunya, kita mengalami kesulitan.
Pelatihan ini akan membongkar secara tuntas apa saja yang membuat pemimpin menjadi
pemimpin karismatik. Dengan berbagai riset yang intensif, rahasia pemimpin karismatik
telah terungkap tuntas. Ternyata siapa pun bisa menjadi orang karismatik, asal tahu
caranyaDengan mengikuti pelatihan ini, anda akan menemukan taktik, dan strategi
yang bisa anda terapkan sehingga anda bisa menjadi seorang yang karismatik atau
menjadi pemimpin karismatik.
Mengapa harus karismatik? Karena dengan menjadi karismatik, anda akan menjadi pusat
perhatian orang. Kata-kata anda dituruti orang. Jika anda penjual, penjualan akan mudah.
Jika anda dosen, kata-kata anda akan didengar mahasiswa. Jika anda pemimpin, bawahan
anda akan patuh dengan sepenuh hati kepada anda
Artikel kali ini membahas tentang kepemimpinan yang menurut saya membutuhkan
interaksi antara pimpinan dan bawahan. Dengan kharismatik bawahan akan merasa
nyaman anda pimpin dan menuruti arahan anda. Dalam teori kepemimpinan ada 3 jenis
kepemimpinan, yaitu :
1. Modern Choice Approach to Participation (Vroom & Yetton)
Model ini mengarah kepada pemberian suatu rekomendasi tentang gaya kepemimpinan
yang sebaiknya digunakan dalam situasi tertentu.Menurut teori ini, gaya kepemimpinan
yang tepatditentukan oleh corak persoalan yang dihadapioleh macam keputusanyang
harus diambil. Ada tiga perangkat parameter yang penting dalam gaya kepemimpinan
teori ini, yaitu klasifikasi gaya kepemimpinan, kriteria efektifitas keputusan, kriteria
penemukenalan jenis situasi pemecahan persoalan.
2. Contingensi of Leadership (Fiedler)
Model ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif tergantung pada
situasi yang dihadapi dan perubahan gaya bukan merupakan suatu hal yang sulit.
Konsepsi kepemimpinan situasional ini melengkapi pemimpin dengan pemahaman dari
hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan
bawahannya. Perilaku bawahan ini amat penting untuk mengetahui kepemimpnan
situasional, karena bukan saja bawahan sebagai individu bisa menerima atau menolak
pemimpinnya, akan tetapi sebagai kelompok, bawahan dapat menentukan kekuatan
pribadi apapun yang dimiliki pemimpin.Model ini menyatakan bahwa keefektifan suatu
kelompok bergantung pada hubungan dan interaksi pemimpin dengan bawahannya, dan
sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi situasi.
3. Path-Goal Theory
Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu
anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau
keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan
kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Model ini menganjurkan bahwa
kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar, yaitu memberi kejelasan alur dan
meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya.
Konflik adalah proses yang dimulai ketika satu pihak menganggap pihak lain secara
negatif mempengaruhi, atau akan secara negatif mempengaruhi, sesuatu yang menjadi
keperdulian pihak pertama.
Transisi Dalam Pemikiran Konflik
Pandangan Tradisional
Pandangan bahwa semua konflik bersifat buruk tentu mengemukakan pendekatan
sederhana dalam melihat perilaku orang yang menciptakan konflik. Karena semua
konflik harus dihindari, kita hanya perlu mengarahkan perhatian pada penyebab konflik
dan mengoreksi kesalahan fungsi untuk memperbaiki kinerja kelompok dan organisasi.
Pandangan Hubungan Manusia
Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang
wajar dalam semua kelompok dan organisasi. Karena konflik itu bersifat tidak terelakkan,
aliran hubungan manusia menganjurkan penerimaan konflik. Konflik tak dapat
disingkirkan, dan bahkan ada kalanya konflik bermanfaat bagi kinerja kelompok.
Pandangan Interaksionis
Pandangan Interaksionis tentang konflik menyakini bahwa konflik tidak hanya menjadi
kekuatan positif dalam kelompok namun konflik juga sangat diperlukan agar kelompok
berkinerja efektif.
Konflik Fungsional Lawan Disfungsional
1. Konflik Fungsional (Konstruktif)
Adalah konflik yang mendukung sasaran kelompok dan memperbaiki kinerjanya.
2. Konflik Disfungsional (Destruktif)
Adalah konflik yang menghambat kinerja kelompok.
Terdapat 3 jenis konflik, yakni sebagai berikut :
1. Konflik Tugas
Adalah konflik atas isi dan sasaran pekerjaan.
2. Konflik Hubungan
Adalah konflik berdasarkan hubungan interpersonal.
3. Konflik Proses
Adalah konflik atas cara melakukan pekerjaan.
Proses Konflik
Terdapat 5 tahap, yakni sebagai berikut :
Tahap I : Potensi Oposisi atau Ketidakcocokan
Langkah pertama dalam proses konflik adalah adanya kondisi (syarat) yang menciptakan
kesempatan untuk kemunculan konflik itu. Kondisi itu tidak selalu langsung mengarah ke
konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu agar konflik itu muncul. Untuk
menyederhanakan, kondisi ini (yang juga dapat dipandang sebagai penyebab atau sumber
konflik) telah dipadatkan ke dalam tiga kategori umum, yakni :
a.Komunikasi
Komunikasi dapat juga menjadi sumber konflik. Komunikasi menyatakan kekuatankekuatan berlawanan yang timbul dari dalam kesulitan semantik, kesalahpahaman,dan
kebisingandalam saluran komunikasi. Kesulitan semantik, pertukaran informasi yang
tidak cukup, dan kebisingan saluran komunikasi semuanya merupakan penghalang
terhadap komunikasi dan kondisi anteseden yang potensial bagi konflik. Kesulitan
semantik timbul sebagai akibat perbedaan pelatihan, persepsi selektif, dan informasi tidak
memadai mengenai orang-orang lain. Potensi konflik meningkat bila terdapat terlalu
sedikit atau terlalu banyak komunikasi atau informasi. Saluran yang dipilih untuk
berkomunikasi dapat berpengaruh merangsang oposisi. Proses penyaringan yang terjadi
ketika informasi disampaikan para anggota dan penyimpangan komunikasi dari saluran
formal atau yang sudah ditetapkan sebelumnya, menawarkan potensi kesempatan bagi
timbulnya konflik.
b.Struktur
Istilah struktur mencakup variabel seperti ukuran, derajat spesialisasi dalam tugas yang
diberikan ke anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi, kecocokan anggota / sasaran, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antar kelompok. Ukuran dan
spesialisasi bertindak sebagai kekuatan untuk merangsang konflik. Semakin besar
kelompok dan semakin terspesialisasi kegiatannya, semakin besar kemungkinan
terjadinya konflik. Masa kerja dan konflik berbanding terbalik. Potensi konflik paling
besar terjadi pada anggota kelompok yang lebih muda dan ketika tingkat pengunduran
diri tinggi. Ambiguitas jurisdiksi meningkatkan perselisihan antar-kelompok untuk
mendapatkan kendali atas sumber daya dan teritori. Partisipasi dan konflik sangat
berkaitan karena partisipasi mendorong digalakkannya perbedaan. Sistem imbalan dapat
menciptakan konflik apabila apa yang diterima satu anggota mengorbankan anggota yang
lain.
c.Variabel Pribadi
Kategori terakhir potensi sumber konflik adalah faktor-faktor pribadi. Faktor pribadi ini
mencakup sistem nilai individu setiap orang dan karakteristik kepribadian yang
menyebabkan idiosinkrasi dan perbedaan individu. Variabel yang paling terabaikan dalam
penelitian konflik sosial adalah perbedaan sistem nilai dimana merupakan sumber yang
paling penting yang dapat menciptakan potensi konflik.
Tahap II : Kognisi dan Personalisasi
Konflik yang Dipersepsikan merupakan kesadaran satu pihak atau lebih atas adanya
kondisi yang menciptakan peluang terjadinya konflik. Konflik yang Dipersepsikan tidak
berarti konflik itu dipersonalisasikan. Konflik yang Dirasakan, apabila individu-individu
menjadi terlibat secara emosional dalam saat konflik, sehingga pihak-pihak mengalami
kecemasan, ketegangan, frustasi, atau kekerasan. Tahap II ini penting karena persoalan
konflik cenderung didefinisikan dan emosi memainkan peran utama dalam membentuk
persepsi.
Tahap III : Maksud
Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam cara teretntu. Maksud Penanganan
Konflik :
1. Persaingan
Merupakan keinginan memuaskan kepentingan seseorang, tidak memperdulikan dampak
pada pihak lain dalam konflik tersebut.
2. Kolaborasi
Merupakan situasi yang di dalamnya pihak-pihak yang berkonflik sepenuhnya saling
memuaskan kepentingan semua pihak.
3. Penghindaran
Merupakan keinginan menarik diri dari atau menekan konflik.
4. Akomodasi
Merupakan kesediaan satu pihak dalam konflik untuk memperlakukan kepentingan
pesaing di atas kepentingannya sendiri.
5. Kompromi
Merupakan satu situasi yang di dalamnya masing-masing pihak yang berkonflik
bersedia mengorbankan sesuatu.
Tahap IV : Perilaku
Tahap perilaku mencakup :
Pernyataan.
Tindakan.
Reaksi yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Manajemen Konflik
Yaitu Penggunaan teknik-teknik resolusi dan stimulasi untuk meraih level konflik yang
diinginkan.
2. Sasaran atasan
3. Perluasan sumberdaya
4. Penghindaran
5. Penghalusan
6. Kompromi
7. Komando otoritatif
8.Mengubah variabel manusia
9.Mengubah variabel struktur
1. Komunikasi
2.Memasukkan orang luar
3.Restrukturisasi organisasi
4.Mengangkat oposisi
Tahap V : Hasil
Hasil berupa jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan
konsekuensi.
1. Hasil Fungsional
Konflik bersifat konstruktif apabila konflik itu memperbaiki kualitas keputusan,
merangsang kreativitas dan inovasi, mendorong perhatian dan keingintahuan di kalangan
anggota kelompok, menjadi saluran yang merupakan sarana penyampaian masalah dan
peredaan ketegangan, dan memupuk lingkungan evaluasi diri serta perubahan.
2. Hasil Disfungsional
Konsekuensi destruktif konflik pada kinerja kelompok atau organisasi umumnya sangat
dikenal. Oposisi yang tidak terkendali memunculkan ketidakpuasan, yang bertindak
menghilangkan ikatan bersama, dan pada akhirnya mendoromg ke penghancuran
kelompok itu. Konflik dari ragam disfungsional dapat mengurangi efektifitas kelompok.