Anda di halaman 1dari 10

Mengenal Manusia (Ma'rifatul Insan)

1.1 Definisi (tarif) Insan


Manusia dapat didefinisikan sebagai makhluk Allah SWT yang terdiri dari ruh dan
jasad yang muliakan Allah SWT dengan posisi sebagai khalifah di muka bumi dan
bertugas untuk mengabdi kepada-Nya.

1.2 Hakekat Insan (Manusia)


Manusia itu terdiri dari ruh dan jasad. Dan ruh yang hidup dalam daging dan tulangbelulang, ia memiliki nilai lebih besar daripada seluruh alam kebendaan. Meskipun
ruh dan jiwa berkaitan dengan jasad yang berupa benda, namun adanya manusia
adalah berkat adanya ruh. Dan ruh adalah asal dan sumber kepribadian manusia,
seolah-olah seluruh alam wujud ini diciptakan Allah SWT untuk membentuk manusia
agar dapat mengenal hakekat dirinya.

Ruh manusia itu berasal dari alam arwah (alam yang hakikatnya tidak dapat
diketahui oleh manusia di mana tempatnya), sedangkan jasmani berasal dari tanah.
Setelah keduanya digabung menjadi satu, manusia dimasukkan ke alam yang ke
dua yaitu alam rahim (alam kandungan). Setelah terlahir dari perut ibunya, manusia
memasuki alam ke tiga yaitu alam dunia (alam fana). Di alam dunia ini manusia
akan tinggal untuk sementara sesuai dengan jatah umur yang diberikan oleh Allah
SWT.
.



Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan
dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan.Dan sesungguhnya
kebanyakan diantara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan
Rabbnya. (QS. Ar-Rum (30) : 8).
Kemudian setelah manusia mati, baik secara husnul khatimah maupun suul
khatimah, ia akan memasuki alam ke empat, yaitu alam kubur (alam barzakh). Di
alam ke empat ini manusia akan tinggal sampai tiba hari kiamat atau hari
kebangkitan (yaumul bats). Setelah dibangkitkan kembali, manusia akan memasuki
alam yang ke lima yaitu padang Mahsyar. Dan di padang Mahsyar inilah semua
manusia akan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya selama hidup
di dunia.
Apabila ia berbuat baik selama hidupnya, maka surgalah bagiannya, dan apabila
selama hidupnya banyak berbuat maksiat, maka nerakalah yang akan menjadi

tempat kedudukannya. Surga dan neraka adalah alam yang ke enam setelah alam
Mahsyar.
Islam menghendaki supaya manusia, selama hidup di dunia selalu berada pada
martabat yang luhur. Islam memandang, bahwa manusia sebagai makhluk hidup
yang memiliki roh, akal dan hati. Islam juga hendak meningkatkan manusia dari
makhluk yang hanya memiliki rasa indra seperti alam tumbuh-tumbuhan, alam
hewani dan terus meningkatkannya, sehingga menjadi makhluk yang berakal,
berperasaan dan rasa indra. Islam menghendaki, agar manusia menjadi anggota
yang berdaya guna bagi masyarakatnya.
Dengan akal yang dimilikinya, dalam pandangan Islam, manusia tidak hanya
dimuliakan karena ia berbeda dari makhluk yang lainnya, akan tetapi ia dimuliakan
karena kualitas kehidupannya di dunia. Kualitas kehidupan manusia tersebut,
ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pengabdiannya kepada sang pencipta, Allah
SWT; karena pada dasarnya manusia diciptakan hanya untuk mengabdikan diri
kepada Allah SWT. Semakin baik pengabdiannya kepada Allah SWT, maka ia akan
semakin baik dan mulia kedudukannya di sisi Allah SWT. Akan tetapi apabila
manusia itu tidak sanggup memerankan sebagai hamba Allah yang baik yang selalu
meningkatkan pengabdian kepada-Nya, maka ia akan lebih hina sekalipun harus
dibandingkan dengan makhluk Allah yang bernama hewan.
Oleh karena itu, maka sudah seharusnya sebagai manusia yang beriman
mengoptimalkan anugerah Allah SWT berupa pendengaran, penglihatan dan hati
untuk mendengar, melihat dan memahami ayat-ayat Allah SWT, agar keimanan
senantiasa bertambah, sehingga terus bersemangat untuk membelkali diri dengan
ketakwaan atau pengabdian kepada Allah SWT dalam rangka menyongsong
kehidupan yang abadi di akhirat kelak dengan penuh kebahagiaan dan
kesejahteraan.
Sesungguhnya, tidak ada lagi perbekalan yang akan meninggikan derajat manusia
di dunia dan di akhirat kelak, kecuali bekal ketakwaan, sebagaimana firman Allah
SWT,
.

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah


kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah (2) :197)

1.3 Potensi Manusia (Thaqatul insan)


Di antara potensi-potensi yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada manusia
adalah :

1.3.1 Pendengaran, Penglihatan dan Hati



.
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur. (QS. An-Nahl (16) :78)

1.3.2 Akal
Di antara semua makhluk yang ada di dunia, manusia adalah makhluk yang paling
sempurna, baik dari segi fisik maupun pemikiran. Makhluk yang mendekati
kesemurnaan manusia adalah hewan, namun ia hanya sanggup mendekati tidak
mungkin menyamai kesempurnaan manusia.
Kesempurnaan manusia adalah karena manusia diberi akal oleh Allah SWT,
sehingga ia memiliki kemampuan untuk memahami siapa dirinya, dan siapa Allah
SWT dan untuk sebenarnya ia diciptakan, di mana dengan pemahaman ini akan
menghantarkannya kepada kemuliaan yang sesungguhnya, dan bukan hanya mulia
dari sisi penciptaannya saja.

1.3.3 Jasad
Jasad atau anggota tubuh merupakan bagian dari potensi yang dimiliki oleh
manusia, untuk membuktikan keimanan dan keislamannya dengan perbuatan. Apa
yang telah dilihat oleh hamba, didengar dan difahami dengan akalnnya dari syriat
Islam melalui ayat-ayat Allah SWT, kemudian ditentukan oleh hatinya mana yang
harus dipilih dan dilakukan, maka giliran jasadlah selanjutnya untuk membuktikan
dengan perbuatan.
Dengan demikian sesungguhnya potensi yang diberikan kepada manusia sudah
sangat sempurna, tinggal bagaimana manusia itu mengoftimalkan potensi tersebut
untuk menjadi manusi yang paling mulia baik didunia ataupun diakhirat kelak
dihadapan mahkamah Allah SWT.

1.4 Hakekat Ibadah

1.4.1 Makna Ibadah


Para ulama tauhid dan ulama ushul fiqh meberikan definisi ibadah, bahwa ibadah
adalah sebuah nama atau sebutan untuk segala sesuatu, baik ucapan ataupun

perbuatan, yang dicintai dan diridloi oleh Allah SWT baik yang nampak ataupun
tidak. Ibadah adalah suatu cara untuk mensucikan jiwa dan amal perbuatan
manusia, dan ia merupakan prilaku atau tata cara kehidupan seseorang
berdasarkan keikhlasan hati sambil mengharap rahmat dan keridlaan Allah Taala.
Mereka mengklasipikasikan ibadah menjadi dua bagian, yaitu ibadah mahdlah dan
ghair mahdlah. Ibadah mahdlah adalah ibadah yang dikerjakan secara langsung
berhubungan dengan Allah, seperti shalat, shaum dan haji. Sedangkan ibadah ghair
mahdlah adalah ibadah yang tidak berhubungan langsung dengan Allah SWT,
namun ada hubungannya dengan manusia terlebih dahulu, seperti zakat, infaq dan
shadaqah.
Pada dasarnya, ibadah dalam pandangan Islam memiliki pengertian yang sangat
luas, sehingga ia bukan hanya shalat, shaum, zakat atau haji, akan tetapi segala
aktifitas kehidupan yang akan menghantarkan manusia kepada kecintaan dan
keridlaan Allah SWT diluar rukun Islam yang disebutkan tadi seperti tolongmenolong, berdakwah, mengajarkan Al-Quran, melakukan pembinaan terhadap
generasi muda dan lain sebagainya, itu semua dikatagorikan ibadah.

1.4.2 Rukun-rukun Ibadah


Pertama, kecintaan yang utuh terhadap al-Mabud (Allah SWT). Allah SWT
berfirman,

.
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada
Hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah
amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS. Al-Baqarah (2) :165)
Kedua, pengharapan yang sempurna terhadap al-Mabud (rahmat-Nya). Allah SWT
berfirman,
.
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb
mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan
rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu
yang (harus) ditakuti. (QS. Al-Israa` (17) : 57)

Ketiga, rasa takut yang sangat terhadap al-Mabud (dari adzab-Nya). Allah SWT
berfirman,
.
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb
mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan
rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu
yang (harus) ditakuti. (QS. Al-Israa` (17) : 57)

1.4.3 Syarat diterimanya Ibadah


Ibadah tidak akan diterima, kecuali memenuhi dua syarat, yaitu :
Pertama, Ikhlas dalam melakukan ibadah semata-mata mengharap ridla Allah SWT.
Sesungguhnya Allah SWT tidak akan menerima ibadah seorang hamba, kecuali
ibadah tersebut dilakukan dengan penuh keikhlasan, hanya untuk mendapatkan
keridlaan-Nya. Ketika seorang hamba melakukan suatu ibadah, tetapi niat yang ada
di dalam hatinya adalah riya (ingin dilihat orang lain), atau sumah (ingin didengar),
atau ingin dikatakan pahlawan, sehingga banyak disebut-sebut orang dan lain
sebagainya, itus semua merupakan indikasi ketidak-ikhlasan dalam melakukan
suatu ibadah. Oleh karena itu, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, agar kita
tidak melakukan ibadah, kecuali semata-mata mengharap keridlaan-Nya.



Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama ..(QS. Al-Bayyinah
(98) : 5)
Kedua, mengikuti sunnah Rasulullah SAW.
Syarat yang ke dua untuk diterimanya suatu ibadah adalah, bahwa ibadah tersebut
harus sesuai dengan apa yang dicontohkan dan diperintahkan Rasulullah SAW;
karena Allah SWT tidak akan pernah menerima suatu ibadah kecuali sesuai dengan
contoh Rasulullah SAW.
Setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba tidak bisa dilakukan dengan
sembarangan, karena hal itu tidak dapat dibenarkan menurut syariat. Ketika kita
melaksanakan shalat-shaum, zakat dan haji harus senantiasa berdasarkan contoh
Rasulullah SAW; jika tidak maka kita hanya akan mendapatkan capeknya saja. Hal
itu pernah digambarkan oleh Baginda Rasulullah SAW, ada di antara umat Islam
yang shalatnya hanya membuahkan capeknya saja dan ketika mereka shaum,
hanya mendapatkan lapar dan dahaganya saja.

Dalam realita kehidupan beribadah di tengah-tengah masyarakat, bahkan di


kalangan para santri dan santriwati, terkadang muncul sebuah pernyataan, aku
melakukan ibadah seperti ini karena guruku juga melakukannya, atau karena ustadz
fulan juga membolehkannya, atau keluargaku sudah turun-temurun melakukan
ibadah dengan cara seperti ini.
Prinsip melakukan ibadah seperti itu, tentunya tidak sesuai dengan apa yang telah
Allah SWT tetapkan, bahwasannya, bahwa ibadah yang dilakukan oleh seorang
hamba harus sesuai dengan apa yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh
Rasulullah SAW, karena beliau sebagai utusan Allah, memiliki tugas menyampaikan
sekaligus menjelaskan risalah Allah SWT, termasuk juga menjelasakan permasalahn
ibadah, oleh karena itu, ibadah yang dilakukan oleh seseorang tanpa berdasarkan
kepada contoh Rasulullah SAW, walaupun berargumentasi dengan menyebut,
unstadznya, orang tuanya, ataupun siapa saja, sebenarnya itu semuanya
merupakan bentuk taklid buta dengan tanpa mengetahui dasar dasar yang
sesungguhnya dari Rasulullah SAW.

1.4.4 Tujuan Ibadah


Ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba, pada dasarnya memiliki tujuan :
Pertama, untuk memperlihatkan perasaan hina di hadapan Allah SWT, sehingga
diharapkan muncul dalam dirinya sebuah prinsip, bahwa Allah lah satu-satunya
Dzat Yang Maha Mulia. Dan seorang hamba tidak dibenarkan untuk bersikap
sombong; karena pada dasrnya, tidak ada seorang hambapun yang paling mulia
dihadapan Allah SWT, apapun bangsanya, warna kulitnya, ataupun kedudukannya,
semuanya tidak akan menjadikannya mulia di hadapan Allah SWT, kecuali dibarengi
dengan kualitas ketakwaan yang sesungguhnya (melaksanakan perintah Allah SWT
dan menjauhi segala larangan-Nya).
Allah SWT berfirman,
.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara
kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujuraat
(49) :13)
Kedua, memperlihatkan rasa cinta yang sesungguhnya kepada Allah SWT. Rasa
cinta merupakan anugerah dari Allah SWT, oleh karenanya, harus senantiasa
disyukuri dan diarahkan atau diporsikan sesuai dengan kehendak Dzat Yang
Memberikannya.

Doktor Aid Al-Qarni mengatakan,Cinta itu secara umum dibagi kepada dua
katagori, yaitu, cinta yang bersifat fitrah, seperti cinta kepada harta, anak, orang
tua, lawan jenis dan lain sebagainya. Semua itu tidak membutuhkan upaya untuk
memunculkan rasa cinta kepadanya. Dan yang ke dua adalah cinta yang harus
diusahakan (mahabbah muktasabah), yaitu kecintaan kepada Allah SWT dan RasulNya. Kecintaan tersebut, adalah kecintaan yang paling tinggi derajatnya; karena
kecintaan yang seperti ini membutuhkan perjuagan atau pengirbanan dalam
mewujudkannya, bahkan kecintaan yang sifatnya fitrah, walaupun secara syariat
tidak dilarang, akan tetapi tidak boleh menghalangi kecintaan seorang hamba
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya harus senantiasa dinomor-satukan;
sebab sikap seperti adalah ciri has daripada orang-orang yang beriman. Ketika
seorang hamba lebih mengedepan kecintaan fitrahnya daripada kecintaan kepada
Allah dan Rasul-Nya, seperti lebih mencitai harta, kedudukan, pekerjaannya dan lain
sebagainya.maka itu semua merupakan fenomena kelemahan iman. Allah SWT
berfirman,

.
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada
Hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah
amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS. Al-Baqarah (2) :165)
Ketiga, memperlihatkan rasa takut kepada Allah SWT (dari adzab-Nya), dan
memperlihatkan pengharapan yang seutuhnya kepada rahmat-Nya.
Dalam kehidupan sehari-hari, hamba Allah SWT selalu dibarengi dengan dua
perasaan, yaitu perasaan takut dan berharap. Namun demikian, bagi seorang
hamba yang selalu istiqamah untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT, tentunya
rasa takut tersebut akan dapat dihindarkan, ia akan selalu memiliki keyakinan
bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dalam hidup ini, kecuali terjerembabnya diri ke
dalam kemaksiatan; karena ketika itu terjadi, berarti adzab Allah lah yang akan
menimpa dirinya.
Bagi seorang yang beriman, tidak ada lagi yang ditakuti dalam hidunya, kecuali
adzab Allah SWT, dan adzab itu akan menimpa disebabkan oleh perbuatan maksiat
kepada-Nya. Maka ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba, pada dasarnya
merupakan implementasi dari rasa takut akan adzab Allah SWT, dan sekaligus akan
menghantarkan hamba kepada rahmat Allah SWT yang selalu diharapkan sepanjang
hidupnya.

Sesungguhnya, tidak ada kebahagiaan dan kesuksesan yang hakiki, kecuali ketika
seorang hamba selalu berada dalam rahmat dan maghfirah Allah SWT yang diraih
dengan sikap istikomah dalam keimanan, perubahan ke a rah yang lebih positip dan
selalu memohon ampun ketika lalai, juga berupaya keras untuk tetap berada dijalan
Allah SWT.
Allah SWT berfirman,
.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad
di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah (2) :218)
Keempat, memperlihatkan rasa syukur yang mendalam terhadap semua nimat
Allah SWT yang telah diberikan.
Pengakuan dan kesadaran akan nimat Allah SWT dalam kehidupan, akan
mendorong seorang hamba untuk mengakui kelemahan dan kebutuhannya kepada
Allah SWT yang telah memberikan semua nimat-Nya, karena seorang hamba tidak
akan bisa terlepas dari nimat tersebut. Ini berarti bahwa seorang hamba akan
selalu membutuhkan Allah SWT, karena Dialah yang maha pemberi nimat. Dengan
demikian diharapkan hambapun akan selalu berupaya untuk melaksanakan apa
yang dikehendaki oleh pemberi nimat itu.
Allah SWT Dzat yang telah memberikan nimat menuntut dari hamba-Nya agar
selalu bersyukur atas nimat tersebut. Para ulama menjelaskan bahwa bersyukur
yang sesungguhnya atas nimat adalah menggunakan nimat tersebut sesuai
dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT, dan untuk membuktikannya tidak ada
cara lain kecuali dengan beribadah kepada-Nya, sehingga segala sesuatu yang
telah Allah anugrahkan harus digunakan dalam rangka meraih keridloan dan
kecintaan Allah SWT untuk mendapatkan kebahagiaan hidup diakhirat.
Allah SWT berfirman.


.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(QS. Al-Qashshash (28) : 77
1.5 Kisah Teladan Seputar Marifatul Insan

Dalam Al-Quran dikisahkan mengenai kehidupan seorang Nabi Allah yang bernama
Yusuf bin Yaqub ketika ia berada di lingkungan istana tempat di mana ia dirawat
dan dibesarkan. Yusuf adalah seorang nabi yang sangat tanpan, sehingga dengan
ketampanannya, istri majikan yang merawatnya sampai tergoda dan tergila-gila
olehnya.
Pada suatu ketika istri majikannya bermaksud menggoda Yusuf untuk melakukan
perbuatan tidak senonoh dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula)
dengannya, andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya, seingga ia berpaling
dari kemungkaran dan kekejian tersebut.
Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan istri majikannya itu menarik baju
gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita
itu dimuka pintu. Wanita itu berkata:"Apakah pembalasan terhadap orang yang
bermaksud serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan
azab yang pedih". Yusuf berkata:"Dia menggodaku untuk menundukkan diriku
(kepadanya)",
Dalam pada itu, seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan
kesaksiannya:"Jika baju gamisnya koyak di muka, maka istri majikannya itu benar,
dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di
belakang, maka istri majikannya itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang
yang benar".
Maka tatkala majikan Yusuf itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang
berkatalah dia:"Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu,
sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar". Selanjutnya majikan Yusuf
berkata,(Hai) Yusuf :"Berpalinglah dari ini, dan kamu hai isteriku mohon ampunlah
atas dosamu itu kepada Allah; karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang
yang berbuat salah".
Kejadian tersebut diam-diam telah tersiar ke luar istana, sehingga wanita-wanita di
kota berkata:"Isteri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya
(kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat
mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata".
Maka tatkala istri majikan yusuf mendengar cercaan mereka, diundangnyalah
wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya
kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian
dia berkata (kepada Yusuf):"Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka".
Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan
rupa)nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata:"Maha sempurna Allah,
ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia".
Singkat cerita, Yusuf pun dipenjarakan oleh majikannya, namun hal itu tidak
membuat Yusuf bersedih atau berontak, akan tetapi ia segera memohon kepada

Allah SWT,"Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan
mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka,
tentu aku akan cenderung untuk ( memenuhi keinginan mereka ) dan tentulah aku
termasuk orang-orang yang bodoh".
Dari kisah tersebut, dapat diambil hikmahnya, bahwa secara fitrah memang
manusia memiliki kecendrungan untuk melakukan hal-hal yang menurut perasaan
dan hawa nafsunya baik lagi menyenangkan. Seandainya tanpa ada bimbingan
wahyu dan kecerdasan akalnya, maka sudah barang tentu hawa nafsu tersebut
sudah terlampiaskan, meskipun sudah diketahui dampak atau akibat yang
ditimbulkannya.
Manusia dituntut agar senantiasa menggunakan akalnya dengan baik, senantiasa
memikirkan akibat baik dan buruk dari suatu amal yang hendak dilakukannya, agar
supaya tidak menyesal dikemudian hari. Dan disamping itu, ia tidak lupa untuk
selalu memohon pertolongan dan hidayah Allah SWT.
Yusuf adalah sosok manusia yang cerdas dalam berfikir, tidak terburu-buru dalam
menentukan sikapnya; karena ia menyadari bahwa hal yang demikian itu akan
menjadikannya menyesal seumur hidup. Dengan kesabaran dan kecerdasan yang
dimilikinya, ia mampu bangkit menjadi orang yang terpandang di tengah-tengah
masyarakat banyak dan kisahnya senantiasa dikenang sepanjang masa. Wallahu
Alam bish-Shawwab.

Anda mungkin juga menyukai