Tulisan artikel opini ini sebelumnya telah dimuat di Opini koran Lampung Post, pada 06 Desember
2013
dengan kacamata moralis, maka yang terjadi adalah pengkaburan inti dari pemasalahan ini dan
tidak dapat menjangkau pengaruh struktural dari sebuah sistem dan para aktor politik yang turut
andil mempengaruhinya. Apalagi untuk dapat mencari solusi yang terbaik didalam
menyelesaikan masalah ini. Sehingga pandangan moralis ini sangat berbahaya dan memiliki
peluang semakin merusak.
Kita dapat melihat permasalahan agraria ini secara lebih mendalam salah satunya dengan
menggunakan pendekatan strukturalis. Artinya terus berkurangnya minat para pemuda menekuni
pertanian ini sangat dipengaruhi oleh adanya sebuah struktur ekonomi-politik serta sistem yang
menghimpitnya dan kemudian memaksa mengeksklusinya (menyingkirkannya) dari kehidupan
pertanian.
Bila dipetakan, ketidak tertarikan utama para pemuda menggeluti dunia pertanian ini
dipengaruhi oleh dua hal utama: Pertama, kebijakan pemerintah yang tidak pro-pertanian dan
pembangunan desa. Arah kebijakan yang diambil pemerintah sejak masa orde baru hingga
sekarang ini memang cenderung bias kota (Wiradi, 2009). Berbagai problem struktural pun
terjadi dan menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap hak-hak dasar mereka.
Data kemiskinan dari BPS pada maret 2013 menunjukan bahwa jumlah orang miskin di
Indonesia mencapai 28,07 juta jiwa atau 11,37 persen dari total populasi Indonesia. Dan 17,74
juta jiwa berada di pedesaan sedangkan 10,33 juta jiwa yang berada di perkotaan. Gambaran
tersebut memperlihatkan ketidakberpihakan pemerintah pada pembangunan desa dan pertanian,
yang juga telah turut memaksa para pemuda menjauhi dunia pertanian. Karena pertanian
dianggap sebagai perkerjaan yang tidak layak untuk dapat bertahan hidup.
Dan kedua, semakin menipisnya akses tanah untuk pertanian. Tanah bagi para petani
adalah nyawa penghidupannya. Artinya semakin kecil kepemilikan tanah (kurang dari hektar)
maka semakin rentan kehidupan petani (petani gurem). Proses yang membuat menipisnya
kepemilikan tanah keluarga ini depengaruhi oleh budaya patriarkis atau gontokrasi dan sistem
pasar.
Budaya patriarkis dan gontokrasi merupakan pengutamaan orang dewasa dari pada
pemuda, yang terlihat dalam pola budaya waris terhadap tanah pertanian. Pola budaya waris ini
turut semakin menyusutkan kepemilikan tanah ketika harus dibagi-bagi kepada anak-anaknya
(keluarga). Selain itu pola budaya waris tanah yang dilakukan oleh para orang tua ketika mereka
sudah sangat tua atau tidak mampu lagi bertani, baru kemudian tanah diwariskan kepada anakanaknya yang pasti sudah dewasa (dengan usia 35-50 tahunan). Membuat anak-anaknya tersebut
sudah kehilangan minat menjadi petani, karena kurangnya pengetahuan dan keahlian dalam hal
pertanian.
Sedangkan sistem pasar ini bekerja melalui mekanisme jual-beli. Kebijakan pemerintah
yang tidak pro-pertanian, dalam jangka panjang telah merubah frame berfikir masyarakat bahwa
pertanian itu merupakan pekerjaan yang tidak layak. Hal tersebut membuat masyarakat rela
menjual tanah-tanah mereka untuk menjadikan anak-anaknya agar tidak jadi petani, seperti
menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau menjadi buruh di perusahaan-perusahaan.
Gambaran ketimpangan kememilikan tanah dapat terlihat pada sensus pertanian tahun
1993 (Wiradi, 2011:14), sebanyak 16% rumah tangga terkaya menguasai 69% tanah pertanian,
dipihak lain sebanyak 41% rumah tangga menguasai hanya 31% luas tanah pertanian dan
diujung lain 43% rumah tangga pedesaan adalah tunakisma.
Pengimplementasian Reforma Agraria
Proses-proses pengeksklusian pemuda didalam pertanian tersebut telah membuat masa
depan pemuda untuk menggeluti dunia pertanian sangat begitu suram. Salah satu cara untuk
dapat membuat para pemuda kembali mau menekuni dunia pertanian adalah dengan cara
merombak struktur dan sitem yang selama ini telah memaksa menyingkirkan para pemuda. Yaitu
salah satunya melalui reforma agraria.
Hakikat makna dari reforma agraria adalah penataan kembali (pembaharuan) struktur
pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, pencakap
dan buruh tani tak bertanah, dengan prinsipnya tanah untuk penggarap (Wiradi, 2009: 94).
Dasar dilaksanakannya reforma agraria adalah UUPA yang disahkan pada 1960. Sehingga
pemerintah tinggal mengimplementasikannya.
Dengan reforma agraria inilah sebuah keadilan akan terjadi. Struktur agraria yang relatif
merata akan dirasakan lebih adil, sehingga keresahan dan kemungkinan konflik dapat
dihindarkan. Dengan demikian frame berfikir dari masyarakat bahwa pertanian merupakan
pekerjaan yang tidak layak akan dapat berubah menjadi frame berfikir bahwa pertanian adalah
penghidupan yang dapat mentransformasikan kehidupan mereka. Alhasil dengan cara itulah para
pemuda akan kembali berminat menekuni pertanian. Dan masa depan pertanian Indonesia pun
akan sangat cerah.
Terimakasih.