Menarik
untuk
diakui
bahwa
standar
ini
cukup
berat
untuk
dipenuhi.
Pertama,
rumah
sakit
harus
mengubah
cara
pandangnya
terhadap
pelayanan
pasien
secara
menyeluruh.
Kedua,
metode
telusur
untuk
membuktikan
standar
memerlukan
implementasi
standar
yang
tidak
mudah
dicapai.
Ketiga,
mendidik
staf
rumah
sakit
yang
sudah
nyaman
dengan
sistem
pelayanan
yang
lama
itu
sungguh
tidak
mudah.
Keempat,
memang
standar
baru
ini
lebih
banyak
daripada
standar
yang
lama.
Untuk
memenuhi
standar
akreditasi
ini,
wajah
generik
rumah
sakit
di
Indonesia
menjadi
makin
serupa.
Gelang
dengan
dua
macam
identitas,
gelang
alergi,
rencana
penanggulangan
bencana
rumah
sakit,
simulasi
bencana,
pengendalian
infeksi,
clinical
pathway,
catatan
perkembangan
pasien
terintegrasi,
dan
lain-lain.
Itu
adalah
contoh
penerapan
standar
yang
mulai
menjadi
umum
di
kalangan
rumah
sakit
di
Indonesia.
Dengan
penerapan
universal
coverage
lewat
BPJS
Kesehatan,
kesamaan
wajah
ini
makin
nampak.
Pengawasan
mutu
dan
keselamatan
pasien
banyak
diintegrasikan
dengan
pembiayaan
dan
standar
pelayanan.
Jumlah
pasien
yang
jatuh
dari
tempat
tidur
dihitung,
infeksi
aliran
darah
dianalisis
potensi
kerugian
biayanya,
dan
clinical
pathway
diaudit
pembiayaannya.
Contoh-contoh
di
atas
adalah
sebagian
kecil
dari
manfaat
akreditasi
model
baru
yang
mulai
diimplementasikan.
Masih
banyak
perbaikan
lain
yang
dilakukan
seperti
misalnya
pembuatan
berbagai
panduan
dan
pedoman,
revisi
standar
prosedur
operasional,
dipenuhinya
hak
pasien,
dan
lain-lain.
Tidak
bisa
dipungkiri
bahwa
akreditasi
baru
ini
memodifikasi
budaya
kerja
tenaga
kesehatan
dan
tenaga
administrasi
rumah
sakit.
Perlukah
Akreditasi?
Referensi
ilmiah
terpublikasi
ternyata
menguatkan
apa
yang
diamati
di
tataran
rumah
sakit
yang
sedang
mempersiapkan
akreditasi.
Standar
struktur
dan
proses
nampak
lebih
mengemuka
dalam
referensi
maupun
dalam
pengalaman
sehari-hari
mempersiapkan
akreditasi.
Dengan
konsep
patient-
centered
care
yang
dikatakan
menjadi
nafas
akreditasi
di
bab
pelayanan
pasien,
para
insan
rumah
sakit
perlu
meredefinisi
tujuan
akreditasi
yang
dilakukan
rumah
sakitnya.
Braithwaithe
dkk
(2009)
menambahkan
bahwa
hasil
akreditasi
menggambarkan
perilaku
kepemimpinan
dan
karakteristik
kultural
di
rumah
sakit.
Dengan
memperbaiki
standar
struktur
dan
proses
lewat
pemenuhan
standar
akreditasi,
rumah
sakit
diharapkan
mampu
mengembangkan
budaya
kerja
yang
berorientasi
pada
mutu
pelayanan.
Budaya
kerja
inilah
yang
hendaknya
dicapai
oleh
rumah
sakit
ketika
mempersiapkan
akreditasi.
Dengan
budaya
kerja
yang
baik
ini,
kekhawatiran
Pomey
dkk
(2010)
bahwa
manfaat
akreditasi
akan
memudar
seiring
waktu
bisa
dihindari.
Lalu
bagaimana
dengan
kepuasan
pasien?
Belum
sepenuhnya
dapat
disimpulkan
bahwa
akreditasi
meningkatkan
kepuasan
pasien.
Bimbingan
akreditasi
yang
dilakukan
di
Indonesia
mengarahkan
rumah
sakit
untuk
menciptakan
suatu
perasaan
emosional
pada
diri
pasien
yang
disebut
sebagai
pengalaman
pasien
atau
patient
experience.
Pengalaman
ini
adalah
suatu
konsep
yang
lebih
cair
sehingga
idenya
mudah
dituang
dari
satu
pasien
ke
keluarga,
atau
dari
pasien
ke
lingkungan
sekitarnya.
Pengalaman
pasien
ini
ingin
diwujudkan
dalam
bentuk
patient-centered
care
yang
dibangun
antara
lain
dengan
clinical
pathway,
catatan
perkembangan
pasien
terintegrasi,
pertemuan-pertemuan
tim
perawatan
pasien,
dan
lain-lain.
Tantangannya
saat
ini
adalah
bagaimana
ukuran-ukuran
struktur
dan
proses
yang
sudah
jelas
diperbaiki
dengan
akreditasi
ini
bisa
langsung
dikomunikasikan
dan
menjadi
pengalaman
pasien
yang
unik.
Tentu
ini
tidak
mudah.
Perlu
lebih
dari
sekedar
menaati
regulasi
dengan
menempuh
proses
akreditasi.
Di
sisi
lain,
penelitian-penelitian
yang
nampak
belum
mendukung
manfaat
akreditasi
untuk
meningkatkan
mutu
outcome
klinis
dan
kepuasan
pasien
harus
diperhatikan
oleh
Komisi
Akreditasi
Rumah
Sakit.
Penelitian-penelitian
yang
mengangkat
topik
akreditasi
dari
mahasiswa-mahasiswa
di
universitas
maupun
peneliti
lain
perlu
dikumpulkan
dan
dipelajari.
Standar
boleh
saja
berkembang
dengan
cepat,
namun
perlu
ada
bukti
bahwa
standar
tersebut
memang
bermanfaat
bagi
rumah
sakit
yang
berupaya
memenuhinya.
Ibaratnya,
sistem
kita
perlu
berorientasi
pada
evidence-based
accreditation.
Perlukah Rumah Sakit Kita Diakreditasi?, Robertus Arian Datusanantyo |
Kesimpulan
Setelah
menilik
publikasi-publikasi
di
atas
dan
membandingkannya
dengan
proses
akreditasi
yang
dilakukan,
perlu
atau
tidaknya
akreditasi
sudah
bisa
dijawab.
Akreditasi
dari
sisi
tenaga
kesehatan
rumah
sakit
adalah
perlu.
Perlu
untuk
menetapi
regulasi,
mempertahankan
ijin
rumah
sakit,
dan
memperbaiki
struktur
dan
proses
pelayanan
rumah
sakit.
Dari
sisi
pasien
dan
pelanggan
rumah
sakit,
belum
ada
bukti
yang
kuat
bahwa
mereka
diuntungkan
secara
langsung
oleh
akreditasi.
Sambil
menunggu
(dan
menambahi)
bukti
dan
diskusi,
mari
kita
kembali
mempersiapkan
akreditasi
di
rumah
sakit
kita
masing-masing.
Jangan
lupa,
ukuran
outcome
akan
makin
jelek
kalau
kita
lebih
memilih
mengerjakan
berkas
akreditasi
dan
lupa
berbincang
pada
pasien.
Salam!
Penulis
Naskah
ini
ditulis
oleh
dr.
Robertus
Arian
Datusanantyo.
Penulis
adalah
wakil
ketua
tim
akreditasi
RS
Panti
Rapih
Yogyakarta.
Tulisan
ini
adalah
opini
pribadi
dan
telah
diterbitkan
di
http://mutupelayanankesehatan.net/index.php/component/content/article/1574.
Referensi
Alkhenizan,
A.
&
Shaw,
C.,
2011.
Impact
of
Accreditation
on
the
Quality
of
Healthcare
Services:
a
Systematic
Review
of
the
Literature.
Ann
Saudi
Med.
2011
Jul-Aug;
31(4):
407416.
Braithwaithe,
J.
et
al,
2009.
Health
service
accreditation
as
a
predictor
of
clinical
and
organisational
performance:
a
blinded,
random,
stratified
study.
Qual
Saf
Health
Care
2010;19:14e21.
Greenfield,
D.
&
Braithwaithe,
J.,
2009.
Developing
the
evidence
base
for
accreditation
of
healthcare
organisations:
a
call
for
transparency
and
innovation.
Qual
Saf
Health
Care
2009;
18:162163.
Nicklin,
W.,
2014.
The
Value
and
Impact
of
Health
Care
Accreditation:
A
Literature
Review.
Accreditation
Canada,
2008
(Updated
March
2014).
Pomey,
M.
et
al.,
2010.
Does
accreditation
stimulate
change?
A
study
of
the
impact
of
the
accreditation
process
on
Canadian
healthcare
organizations.
Implementation
Science
2010,
5:31.
Salmon,
J.W.
et
al.,
2003.
The
Impact
of
Accreditation
on
the
Quality
of
Hospital
Care:
KwaZulu-Natal
Province,
Republic
of
South
Africa.
Operations
Research
Results
2(17).
Bethesda,
MD:
Published
for
the
U.S.
Agency
for
International
Development
(USAID)
by
the
Quality
Assurance
Project,
University
Research
Co.,
LLC.
Shaw,
C.D.,
2003.
Evaluating
Accreditation.
International
Journal
for
Quality
in
Health
Care
2003;
Volume
15,
Number
6:
pp.
455456
Tehewy,
M.A.
et
al.,
2009.
Evaluation
of
accreditation
program
in
non-governmental
organizations
health
units
in
Egypt:
short-term
outcomes.
International
Journal
for
Quality
in
Health
Care
2009;
Volume
21,
Number
3:
pp.
183189.