Anda di halaman 1dari 3

RAD Journal 2014:10:015

Perlukah Rumah Sakit Kita Diakreditasi?


Robertus Arian Datusanantyo*


Bila pertanyaan tersebut kita ajukan pada manajer dan direktur rumah sakit, semua akan menjawab:
perlu. Di Indonesia, orang akan merujuk pada persyaratan perijinan rumah sakit, undang-undang,
dan regulasi lain. Di forum diskusi, khalayak akan menyinggung soal mutu dan keselamatan pasien.
Para pemilik rumah sakit swasta, berharap cemas akan ada perubahan perilaku dokter dan karyawan
lain. Selain mengikuti regulasi, apakah benar bahwa akreditasi rumah sakit diperlukan? Mari kita
simak fakta-fakta yang kita temukan.

Menilik Publikasi Ilmiah
Greenfield dan Braithwaite (2009) menulis dalam sebuah editorial mengenai perlunya transparansi
bukti ilmiah manfaat akreditasi rumah sakit. Organisasi yang melakukan akreditasi terus menerus
memperbaiki standar akreditasi yang dimiliki namun sangat sedikit publikasi yang bisa
membuktikan efikasi standar tersebut. Walau secara umum diakui bahwa akreditasi meningkatkan
kualitas dan keselamatan, namun bukti yang secara tegas mendukungnya belum berkembang
dengan baik. Enam tahun sebelumnya, Shaw (2003) pernah pula menulis dalam sebuah editorial
mengomentari review WHO terhadap akreditasi di 36 negara. Shaw (2003) menilai ada banyak
variasi yang mempengaruhi akreditasi sehingga pemahaman bersama terhadap manfaat akreditasi
perlu dibangun.
Sebuah penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Pomey dkk (2010) menemukan fakta bahwa
akreditasi bermanfaat dalam memulai peningkatan mutu berkelanjutan, kepemimpinan dalam
peningkatan mutu, dan memberi kesempatan staf mengembangkan berbagai peluang. Namun
penelitian ini kembali mempertanyakan manfaat akreditasi pada periode waktu setelah akreditasi
yang pertama. Tantangan yang mulai kurang dirasakan diperkirakan menjadi penyebab utamanya.
Penelitian Tehewy dkk (2009) di Mesir adalah satu di antara sedikit yang menemukan hubungan
akreditasi dengan kepuasan pasien. Tiga puluh institusi kesehatan yang telah terakreditasi
dibandingkan dengan unit sepadan yang belum terprogram akreditasi. Walau kepuasan pasien dikaji
dengan skala yang cukup populer, namun hubungan ini patut diduga bukan hubungan kausatif
langsung. Unit yang secara sadar turut dalam akreditasi cenderung berorientasi pada mutu dan
pelanggan. Sangat mungkin terjadi, kepuasan pasien adalah bagian dari orientasi dasar unit-unit ini.
Nicklin (2014) menerbitkan sebuah laporan bagi kepentingan akreditasi di Kanada. Laporannya
menyebutkan bermacam manfaat akreditasi sesuai literatur yang dikumpulkannya. Sebagian besar
manfaat yang disebut berhubungan dengan proses layanan, dan secara tegas disampaikan perlunya
investigasi lebih lanjut untuk membuktikan hubungan kuat antara akreditasi dan outcome pasien.
Laporan ini sejalan dengan laporan Salmon dkk (2003) yang meneliti rumah sakit terakreditasi di
salah satu provinsi di Afrika Selatan bahwa perlu penyelidikan lebih teliti mengenai hubungan
perbaikan standar struktur dan proses akibat akreditasi dengan outcome.
Tak kurang, Alkhenizan dan Shaw (2011) mengutip salah satu penelitian besar yang melibatkan 742
rumah sakit yang mempergunakan standar JCAHO (Joint Commission on Accreditation of
Healthcare Organizations) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara performa rumah sakit
sesuai standar JCAHO terhadap outcome (Catatan: penulis tidak dapat menemukan naskah lengkap
publikasi asli penelitian ini.) Mirip dengan penelitian Braithwaithe dkk (2009) yang hanya
menemukan kecenderungan antara akreditasi dan outcome klinis.

Akreditasi di Indonesia
Setelah lebih dari satu dasawarsa memakai sistem akreditasi 5, 12, dan 16 pelayanan, Komisi
Akreditasi Rumah Sakit meluncurkan standar akreditasi baru yang mengacu pada standar JCI (Joint
Commission International, berafiliasi pada The Joint Commission yang juga dulu dikenal sebagai
JCAHO). Isi standar ini sudah secara luas dikenal di Indonesia sehingga tidak perlu diulang di sini.
Perlukah Rumah Sakit Kita Diakreditasi?, Robertus Arian Datusanantyo |

RAD Journal 2014:10:015

Menarik untuk diakui bahwa standar ini cukup berat untuk dipenuhi. Pertama, rumah sakit harus
mengubah cara pandangnya terhadap pelayanan pasien secara menyeluruh. Kedua, metode telusur
untuk membuktikan standar memerlukan implementasi standar yang tidak mudah dicapai. Ketiga,
mendidik staf rumah sakit yang sudah nyaman dengan sistem pelayanan yang lama itu sungguh
tidak mudah. Keempat, memang standar baru ini lebih banyak daripada standar yang lama.
Untuk memenuhi standar akreditasi ini, wajah generik rumah sakit di Indonesia menjadi makin
serupa. Gelang dengan dua macam identitas, gelang alergi, rencana penanggulangan bencana rumah
sakit, simulasi bencana, pengendalian infeksi, clinical pathway, catatan perkembangan pasien
terintegrasi, dan lain-lain. Itu adalah contoh penerapan standar yang mulai menjadi umum di
kalangan rumah sakit di Indonesia.
Dengan penerapan universal coverage lewat BPJS Kesehatan, kesamaan wajah ini makin nampak.
Pengawasan mutu dan keselamatan pasien banyak diintegrasikan dengan pembiayaan dan standar
pelayanan. Jumlah pasien yang jatuh dari tempat tidur dihitung, infeksi aliran darah dianalisis
potensi kerugian biayanya, dan clinical pathway diaudit pembiayaannya.
Contoh-contoh di atas adalah sebagian kecil dari manfaat akreditasi model baru yang mulai
diimplementasikan. Masih banyak perbaikan lain yang dilakukan seperti misalnya pembuatan
berbagai panduan dan pedoman, revisi standar prosedur operasional, dipenuhinya hak pasien, dan
lain-lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa akreditasi baru ini memodifikasi budaya kerja tenaga
kesehatan dan tenaga administrasi rumah sakit.

Perlukah Akreditasi?
Referensi ilmiah terpublikasi ternyata menguatkan apa yang diamati di tataran rumah sakit yang
sedang mempersiapkan akreditasi. Standar struktur dan proses nampak lebih mengemuka dalam
referensi maupun dalam pengalaman sehari-hari mempersiapkan akreditasi. Dengan konsep patient-
centered care yang dikatakan menjadi nafas akreditasi di bab pelayanan pasien, para insan rumah
sakit perlu meredefinisi tujuan akreditasi yang dilakukan rumah sakitnya.
Braithwaithe dkk (2009) menambahkan bahwa hasil akreditasi menggambarkan perilaku
kepemimpinan dan karakteristik kultural di rumah sakit. Dengan memperbaiki standar struktur dan
proses lewat pemenuhan standar akreditasi, rumah sakit diharapkan mampu mengembangkan
budaya kerja yang berorientasi pada mutu pelayanan. Budaya kerja inilah yang hendaknya dicapai
oleh rumah sakit ketika mempersiapkan akreditasi. Dengan budaya kerja yang baik ini,
kekhawatiran Pomey dkk (2010) bahwa manfaat akreditasi akan memudar seiring waktu bisa
dihindari.
Lalu bagaimana dengan kepuasan pasien? Belum sepenuhnya dapat disimpulkan bahwa akreditasi
meningkatkan kepuasan pasien. Bimbingan akreditasi yang dilakukan di Indonesia mengarahkan
rumah sakit untuk menciptakan suatu perasaan emosional pada diri pasien yang disebut sebagai
pengalaman pasien atau patient experience. Pengalaman ini adalah suatu konsep yang lebih cair
sehingga idenya mudah dituang dari satu pasien ke keluarga, atau dari pasien ke lingkungan
sekitarnya. Pengalaman pasien ini ingin diwujudkan dalam bentuk patient-centered care yang
dibangun antara lain dengan clinical pathway, catatan perkembangan pasien terintegrasi,
pertemuan-pertemuan tim perawatan pasien, dan lain-lain.
Tantangannya saat ini adalah bagaimana ukuran-ukuran struktur dan proses yang sudah jelas
diperbaiki dengan akreditasi ini bisa langsung dikomunikasikan dan menjadi pengalaman pasien
yang unik. Tentu ini tidak mudah. Perlu lebih dari sekedar menaati regulasi dengan menempuh
proses akreditasi.
Di sisi lain, penelitian-penelitian yang nampak belum mendukung manfaat akreditasi untuk
meningkatkan mutu outcome klinis dan kepuasan pasien harus diperhatikan oleh Komisi Akreditasi
Rumah Sakit. Penelitian-penelitian yang mengangkat topik akreditasi dari mahasiswa-mahasiswa di
universitas maupun peneliti lain perlu dikumpulkan dan dipelajari. Standar boleh saja berkembang
dengan cepat, namun perlu ada bukti bahwa standar tersebut memang bermanfaat bagi rumah sakit
yang berupaya memenuhinya. Ibaratnya, sistem kita perlu berorientasi pada evidence-based
accreditation.
Perlukah Rumah Sakit Kita Diakreditasi?, Robertus Arian Datusanantyo |

RAD Journal 2014:10:015


Kesimpulan
Setelah menilik publikasi-publikasi di atas dan membandingkannya dengan proses akreditasi yang
dilakukan, perlu atau tidaknya akreditasi sudah bisa dijawab. Akreditasi dari sisi tenaga kesehatan
rumah sakit adalah perlu. Perlu untuk menetapi regulasi, mempertahankan ijin rumah sakit, dan
memperbaiki struktur dan proses pelayanan rumah sakit. Dari sisi pasien dan pelanggan rumah
sakit, belum ada bukti yang kuat bahwa mereka diuntungkan secara langsung oleh akreditasi. Sambil
menunggu (dan menambahi) bukti dan diskusi, mari kita kembali mempersiapkan akreditasi di
rumah sakit kita masing-masing. Jangan lupa, ukuran outcome akan makin jelek kalau kita lebih
memilih mengerjakan berkas akreditasi dan lupa berbincang pada pasien. Salam!

Penulis
Naskah ini ditulis oleh dr. Robertus Arian Datusanantyo. Penulis adalah wakil ketua tim akreditasi
RS Panti Rapih Yogyakarta. Tulisan ini adalah opini pribadi dan telah diterbitkan di
http://mutupelayanankesehatan.net/index.php/component/content/article/1574.

Referensi
Alkhenizan, A. & Shaw, C., 2011. Impact of Accreditation on the Quality of Healthcare Services: a Systematic
Review of the Literature. Ann Saudi Med. 2011 Jul-Aug; 31(4): 407416.
Braithwaithe, J. et al, 2009. Health service accreditation as a predictor of clinical and organisational
performance: a blinded, random, stratified study. Qual Saf Health Care 2010;19:14e21.
Greenfield, D. & Braithwaithe, J., 2009. Developing the evidence base for accreditation of healthcare
organisations: a call for transparency and innovation. Qual Saf Health Care 2009; 18:162163.
Nicklin, W., 2014. The Value and Impact of Health Care Accreditation: A Literature Review. Accreditation
Canada, 2008 (Updated March 2014).
Pomey, M. et al., 2010. Does accreditation stimulate change? A study of the impact of the accreditation process
on Canadian healthcare organizations. Implementation Science 2010, 5:31.
Salmon, J.W. et al., 2003. The Impact of Accreditation on the Quality of Hospital Care: KwaZulu-Natal
Province, Republic of South Africa. Operations Research Results 2(17). Bethesda, MD: Published for the
U.S. Agency for International Development (USAID) by the Quality Assurance Project, University
Research Co., LLC.
Shaw, C.D., 2003. Evaluating Accreditation. International Journal for Quality in Health Care 2003; Volume 15,
Number 6: pp. 455456
Tehewy, M.A. et al., 2009. Evaluation of accreditation program in non-governmental organizations health
units in Egypt: short-term outcomes. International Journal for Quality in Health Care 2009; Volume 21,
Number 3: pp. 183189.

Perlukah Rumah Sakit Kita Diakreditasi?, Robertus Arian Datusanantyo |

Anda mungkin juga menyukai