Anda di halaman 1dari 10

PEMBUKAAN

Pemikiran ekonomi Islam diawali sejak Muhammad saw dipilih sebagai seorang
Rasul (utusan Allah). Rasulullah saw mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menyangkut
berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan hidup masyarakat, selain masalah
hokum (fiqh), politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalat). Masalahmasalah ekonomi umat menjadi perhatian Rasulullah saw, karena masalah ekonomi
merupakan pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan. Sebagaimana diriwayatkan
oleh Muslim, Rasulullah saw bersabda, kemiskinan membawa orang kepada kekafiran.
Maka upaya untuk mengentas kemiskinan merupakan bagian dari kebijakan-kebijakan social
yang dikeluarkan Rasulullah saw.
Selanjutnya kebijakan-kebijakan Rasulullah saw menjadi pedoman oleh para
penggantinya Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib dalam
memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al-Quran dan Al-Hadits digunakan sebagai dasar
teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya dalam menata
kehidupan ekonomi Negara.
Perkembangan pemikiran ekonomi Islam pada masa Nabi Muhammad saw belum
berkembang, hal ini disebabkan karena masyarkat pada saat itu langsung mempraktekannya
dan apabila menemui persoalan dapat menanyakan langsung kepada Nabi. Sementara secara
kontekstual persoalan ekonomi pada masa itu belum begitu kompleks. Secara mikro praktek
ekonomi yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat pada masa itu sarat dengan unsur
economic justice dalam kerangka etika bisnis yang Qurani.
Pemikiran ekonomi baru menunjukkan sosoknya sepeninggal Nabi dan kehidupan
social ekonomi masyarakat semakin berkembang. Pemikiran ekonomi Islam mulai
didokumentasikan kurang lebih sejak tiga abad semenjak wafatnya Nabi. Beberapa yang
cukup terkenal antara lain Abu Yusuf1 (731-798), Yahya ibn Adham (818), El-Hariri (10541122), Tusi ((1201-1274), Ibn Taymiyah (1262-1328), Ibn Khaldun (1332-1406) dan Shah
Waliullah (1702-1763). Setelah itu muncul pemikir- pemikir kontemporer abad ke-20 antara
lain Fazlur Rahman, Baqir As-Sadr, Ali Shariati, Khurshid Ahmad, M. Nejatullah Shiddiqi,
M. Umar Chapra, M. Abdul Mannan, Anas Zarqa, Monzer Kahf, Syed Nawab Haider Naqvi,
M. Syafii Antonio. M. Azhar Basyir.
Pokok bahasan dalam makalah yang berjudul Pemikiran Ekonomi Islam Syed

Nawab Haider Naqvi adalah sebagai berikut :


o
Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi
o
Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi dalam konteks Ekonomi
Modern
II
PEMBAHASAN
A.Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi
1.Hakekat Ilmu Ekonomi Islam
Ilmu ekonomi Islam, merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur berdasarkan
syariat Islam representatif dalam masyarakat muslim modern, tentunya berpedoman kepada
al-quran dan hadits. Berdasarkan komposisinya, ia bersifat normatif, bukan bersifat positif
sebagaimana ilmu ekonomi neo-klasik. Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah
studi tentang pengelolaan harta benda menurut perpektif Islam2. Ekonomi Islam sebagai ilmu
ekonomi didasarkan atas sumber hukum Islam; Al-Quran dan Al-Hadits.3
Secara epistemologis, ekonomi Islam dibagi menjadi dua disiplin ilmu;4
Pertama, ekonomi Islam normatif, yaitu studi tentang hukum-hukum syariah
Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda (al-ml). Ekonomi Islam positif, yaitu studi
tentang konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda, khususnya yang
berkaitan dengan produksi barang dan jasa. Cakupannya adalah segala macam cara (uslub)
dan sarana (wasilah) yang digunakan dalam proses produksi barang dan jasa
2. Dasar-dasar Etika Ilmu Ekonomi Islam
Pandangan Naqvi tentang manusia dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan
lingkungan sosialnya, dapat dipresentasikan empat etika, yaitu :
a. Kesatuan (Tauhid)
b.
c.

Keseimbangan

Kesejajaran

Kehendak

(al-Adl

wa

Bebas

al-Ihasan)
(Ikhtiyar)

d. Tanggung Jawab (Fardh)


3. Menuju Ilmu Ekonomi Islam Normatif
Karya Syed Nawad Haidir Naqvi ini diinspirasikan oleh karya L. Robbin
(1932), yang dirancang untuk menyoroti perbedaan pendekatan antara ilmu
ekonomi (neo-klasik) positif dan ilmu ekonomi Islam yang menekankan pentingnya unsur
etika dalam ilmu ekonomi Islam. Sementara Robin dan paradigma neo-klasik lain menolak
peranan etika, para ekonomi Islam memandang itu mutlak sentral untuk menentukan
keabsahan pernyataan- pernyataan ekonomi.

Para ekonom klasik, Karl Menger di Austria, Stanley Jevons di Inggris, dan Leon
Walras di Perancis, menciptakan ilmu ekonomi modern dengan teori marginal utility
mereka, lalu enam puluh tahun kemudian, ketika terjadiG re a t
Depression yang menggoncangkan teori neo-klasik, John Maynard Keynes
membuat sintesis baru, teori ekonomi Negara-negara bangsa. Dalam teori ini,
teori marginal utility neo-klasik merupakan sub-set, sebuah building block yang
diperhalus kembali sebagai ilmu ekonomi mikro5. Teori ekonomi yang dibungkus di dalam
asumsi-asumsi paradigma klasik dan neo-klasik patut diragukan pada situasi ini. Masalah dan
tantangan yang dihadapi ahli ekonomi masa kini lebih kompleks, bahkan lebih fundamental,
daripada yang dihadapi pendahulunya.
Paradigma neo-klasik, individualistic, rasionalistik dan utilitarianistikya ng
menggiurkan yang diterapkan tidak hanya dibidang ekonomi, tapi juga,
meningkat pada susunan relasi-relasi social, dari teman sampai keluarga.
Paradigama neo-klasik bukan hanya mengabaikan dimensi moral, melainkan
secara aktif menolak dimasukkannya dimensi moral tersebut.
Yang sangat menarik dari tulisan-tulisannya, bahwa pemikiran dan
kemampuannya yang selalu konsisten untuk mengangkat ajaran Islam sebagai suatu system
yang komprehensif bagi kehidupan manusia, meskipun sikap pemikirannya itu membuat
gentar para pengkritiknya yang cenderung dangkal dalam berfikir. Namun semua kritikan
itu ditanggapi dengan lapang dada dan
ilmiah, karena sebagian besar kritikan tersebut mempertanyakan nukilan tulisan yang jadi
pokok bahasannya. Bisa jadi karya-karya Syed Nawad Haider Naqvi sebagai alternative
jawaban atas berbagai persoalan yang sedang melanda umat Islam dalam bidang ekonomi.
Pada karyanya yang sekarang menjadi bahan resensi ini akan sangat jelas ide-ide
beliau dalam memaparkan persoalan ekonomi Islam dan mengecam paradigma
klasik dan neo-klasik yang mengabaikan dimensi moral. Bahkan dia mengatakan
bahwa kesuksesan atau tidaknya dunia ekonomi Islam ditentukan oleh sejauh
mana nilai-nilai etika-religius itu diwujudkan dalam kehidupan riil. Disamping
itu, untuk melengkapi gagasannya tentang ekonomi Islam juga telah ditulis
karyanya, Ethics and Econimic : An Islamic Synthesis,6

dia berhasil mengembangkan suatu frame-work/bingkai analitik-sistematik yang


berisi sebagian besar nilai-etik-dasar Islam, yang bisa digunakan sebagai dasar
dalam melakukan deduksi logis pedoman kebijakan ekonomi.
4. Perbandingan Sistem Ekonomi
Dalam sistem ekonomi Islam, tiga asas tersebut tidak boleh tidak harus terikat
dengan syariah Islam, sebab segala aktivitas manusia (termasuk juga kegiatan ekonomi)
wajib terikat atau tunduk kepada syariah Islam. Sesuai kaidah syariah, Al-Ashlu fi al-afl al-

taqayyudu bi al-hukm al-syari (Prinsip dasar mengenai perbuatan manusia, adalah wajib
terikat dengan syariah Islam).7
Paradigma sistem ekonomi Islam tersebut bertentangan secara kontras dengan
paradigma sistem ekonomi kapitalisme saat ini, yaitu sekularisme. Aqidah Islamiyah sebagai
paradigma umum ekonomi Islam menerangkan bahwa Islam adalah agama dan sekaligus
ideologi sempurna yang mengatur segala asek kehidupan tanpa kecuali, termasuk aspek
ekonomi.8
Paradigma Islam ini berbeda dengan paradigma sistem ekonomi kapitalisme, yaitu
sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).9 Paham sekularisme lahir sebagai jalan
tengah di antara dua kutub ekstrem, yaitu di satu sisi pandangan Gereja dan para raja Eropa
bahwa semua aspek kehidupan harus ditundukkan di bawah dominasi Gereja. Di sisi lain ada
pandangan para filosof dan pemikir (seperti Voltaire, Montesquieu) yang menolak eksistensi
Gereja. Jadi, sekularisme sebagai jalan tengah pada akhirnya tidak menolak keberadaan
agama, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Agama hanya ada di
gereja, sementara dalam kehidupan publik seperti aktivitas ekonomi, politik, dan sosial, tidak
lagi diatur oleh agama.10
Selanjutnya, karena agama sudah disingkirkan dari arena kehidupan, lalu siapa yang
membuat peraturan kehidupan? Jawabnya adalah: manusia itu sendiri, bukan Tuhan, karena
Tuhan hanya boleh berperan di bidang spiritual (gereja). Lalu agar manusia bebas
merekayasa kehidupan tanpa kekangan Tuhan, maka manusia harus diberi kebebasan
(freedom/al-hurriyat)

yaitu;

kebebasan

beragama

(hurriyah

al-aqidah),

kebebasan

berpendapat (hurriyah al-ra`yi), kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syahshiyah), dan


kebebasan kepemilikan (hurriyah al- tamalluk). Bertitik tolak dari kebebasan kepemilikan
inilah, lahir sistem ekonomi kapitalisme. Dari tinjauan historis dan ideologis ini jelas pula,
bahwa paradigma sistem ekonomi kapitalisme adalah sekularisme.11

Sekularisme ini pula yang mendasari paradigma cabang kapitalisme lainnya, yaitu
paradigma yang berkaitan dengan kepemilikan, pemanfaatan kepemilikan, dan distribusi
kekayaan (barang dan jasa) kepada masyarakat. Semuanya dianggap lepas atau tidak boleh
disangkutpautkan dengan agama.

Berdasarkan sekularisme yang menafikan peran agama dalam ekonomi, maka dalam
masalah kepemilikan, kapitalisme memandang bahwa asal usul adanya kepemilikan suatu
barang adalah terletak pada nilai manfaat (utility) yang melekat pada barang itu, yaitu sejauh
mana ia dapat memuaskan kebutuhan manusia. Jika suatu barang mempunyai potensi dapat
memuaskan kebutuhan manusia, maka barang itu sah untuk dimiliki, walaupun haram
menurut agama, misalnya babi, minuman keras, dan narkoba. Ini berbeda dengan ekonomi
Islam, yang memandang bahwa asal usul kepemilikan adalah adanya izin dari Allah SWT
(idzn Asy-Syri) kepada manusia untuk memanfaatkan suatu benda. Jika Allah mengizinkan,
berarti boleh dimiliki. Tapi jika Allah tidak mengizinkan (yaitu mengharamkan sesuatu)
berarti barang itu tidak boleh dimiliki. Maka babi dan minuman keras tidak boleh
diperdagangkan

karena

keduanya

telah

diharamkan

Allah,

yaitu

telah

dilarang

kepemilikannya bagi manusia muslim.12

Dalam masalah pemanfaatan kepemilikan, kapitalisme tidak membuat batasan


tatacaranya (kaifiyah-nya) dan tidak ada pula batasan jumlahnya (kamiyah-nya). Sebab pada
dasarnya

sistem

ekonomi

kapitalisme

adalah

cermin

dari

paham

kekebasan

(freedom/liberalism) di bidang pemanfaatan hak milik. Maka seseorang boleh memiliki harta
dalam jumlah berapa saja dan diperoleh dengan cara apa saja. Walhasil tak heran di Barat
dibolehkan seorang bekerja dalam usaha perjudian dan pelacuran. Sedangkan ekonomi Islam,
menetapkan adanya batasan tatacara (kaifiyah-nya), tapi tidak membatasi jumlahnya
(kamiyah-nya). Tatacara itu berupa hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan cara
pemanfaatan (tasharruf) harta, baik pemanfaatan yang berupa kegiatan pembelanjaan (infaqul
ml), seperti nafkah, zakat, shadaqah, dan hibah, maupun berupa pengembangan harta
(tanmiyatul mal), seperti jual beli, ijarah, syirkah, shinaah (industri), dan sebagainya.
Seorang muslim boleh memiliki harta berapa saja, sepanjang diperoleh dan dimanfaatkan
sesuai syariah Islam. Maka dalam masyarakat Islam tidak akan diizinkan bisnis perjudian dan
pelacuran, karena telah diharamkan oleh syariah.
Dalam masalah distribusi kekayaan, kapitalisme menyerahkannya kepada mekanisme
pasar, yaitu melalui mekanisme harga keseimbangan yang terbentuk akibat interaksi

penawaran (supply) dan permintaan (demand). Harga berfungsi secara informasional, yaitu
memberi informasi kepada konsumen mengenai siapa yang mampu memperoleh atau tidak
memperoleh suatu barang atau jasa. Karena itulah peran negara dalam distribusi kekayaan
sangat terbatas. Negara tidak banyak campur tangan dalam urusan ekonomi, misalnya dalam
penentuan harga, upah, dan sebagainya. Metode distribusi ini terbukti gagal, baik dalam skala
nasional maupun internasional. Kesenjangan kaya miskin sedemikian lebar. Sedikit orang
kaya telah menguasai sebagian besar kekayaan, sementara sebagian besar manusia hanya
menikmati sisa-sisa kekayaan yang sangat sedikit.13

Dalam ekonomi Islam, distribusi kekayaan terwujud melalui mekanisme syariah,


yaitu mekanisme yang terdiri dari sekumpulan hukum syariah yang menjamin pemenuhan
barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme syariah ini terdiri dari mekanisme
ekonomi dan mekanisme non-ekonomi.
B. Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi dalam konteks Ekonomi
Modern

1. Sasaran dan Kebijakan dalam Ekonomi Islam


Ada lima sasaran kebijakan yang bisa ditarik dari postulat-postulat etika ekonomi
Islam, yaitu :
a. Kebebasan Individu
b. Keadilan Distributif
c. Pendidikan Universal
d. Pertumbuhan Ekonomi
e. Menciptakan Lapangan Kerja Secara Maksimal

2. Taksonomi Instrumen Kebijakan


a. Institusi Kepemilikan Pribadi
b. Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan
c. Sistem Jaminan Sosial
d. Masalah Kepemilikan Publik

Karya Syed Nawad Haidir Naqvi ini diinspirasikan oleh karya L. Robbin
(1932), yang dirancang untuk menyoroti perbedaan pendekatan antara ilmu ekonomi
(neo-klasik) positif dan ilmu ekonomi Islam yang menekankan pentingnya unsur etika dalam
ilmu ekonomi Islam. Sementara Robin dan paradigma neo-klasik lain menolak peranan etika,
para ekonomi Islam memandang itu mutlak sentral untuk menentukan keabsahan pernyataanpernyataan ekonomi.

Para ekonom klasik, Karl Menger di Austria, Stanley Jevons di Inggris, dan Leon
Walras di Perancis, menciptakan ilmu ekonomi modern dengan teori marginal utility
mereka, lalu enam puluh tahun kemudian, ketika terjadiG re a t
Depression yang menggoncangkan teori neo-klasik, John Maynard Keynes
membuat sintesis baru, teori ekonomi Negara-negara bangsa. Dalam teori ini,
teori marginal utility neo-klasik merupakan sub-set, sebuah building block yang

diperhalus kembali sebagai ilmu ekonomi mikro14. Teori ekonomi yang dibungkus
di dalam asumsi-asumsi paradigma klasik dan neo-klasik patut diragukan pada situasi ini.
Masalah dan tantangan yang dihadapi ahli ekonomi masa kini lebih kompleks, bahkan lebih
fundamental, daripada yang dihadapi pendahulunya. Paradigma neo-klasik, individualistic,
rasionalistik dan
utilitarianistik yang menggiurkan yang diterapkan tidak hanya dibidang
ekonomi, tapi juga, meningkat pada susunan relasi-relasi social, dari teman
sampai keluarga. Paradigama neo-klasik bukan hanya mengabaikan dimensi
moral, melainkan secara aktif menolak dimasukkannya dimensi moral tersebut.
Yang sangat menarik dari tulisan-tulisannya, bahwa pemikiran dan

kemampuannya yang selalu konsisten untuk mengangkat ajaran Islam sebagai suatu
system yang komprehensif bagi kehidupan manusia, meskipun sikap pemikirannya itu
membuat gentar para pengkritiknya yang cenderung dangkal dalam berfikir. Namun semua
kritikan itu ditanggapi dengan lapang dada dan

ilmiah, karena sebagian besar kritikan tersebut mempertanyakan nukilan tulisan yang
jadi pokok bahasannya. Bisa jadi karya-karya Syed Nawad Haider Naqvi sebagai alternative
jawaban atas berbagai persoalan yang sedang melanda umat Islam dalam bidang ekonomi.
Pada karyanya yang sekarang menjadi bahan resensi ini akan sangat jelas
ide-ide beliau dalam memaparkan persoalan ekonomi Islam dan mengecam
paradigma klasik dan neo-klasik yang mengabaikan dimensi moral. Bahkan dia
mengatakan bahwa kesuksesan atau tidaknya dunia ekonomi Islam ditentukan
oleh sejauh mana nilai-nilai etika-religius itu diwujudkan dalam kehidupan riil.
Disamping itu, untuk melengkapi gagasannya tentang ekonomi Islam juga telah
ditulis karyanya, Ethics and Econimic : An Islamic Synthesis,15
dia berhasil
mengembangkan suatu frame-work/bingkai analitik-sistematik yang berisi sebagian
besar nilai-etik-dasar Islam, yang bisa digunakan sebagai dasar dalam
melakukan deduksi logis pedoman kebijakan ekonomi.
3. Teori ekonomi Islam menurut Syed Nawad Haider Naqvi

Menurut Syed Nawad Haidir Naqvi, ekonomi Islam berakar pada pandangan dunia
khas Islam dan premis-premis nilainya diambil dari ajaran- ajaran etik-sosial al-Quran dan
Sunnah. Ekonomi Islam berpijak pada landasan hukum yang pasti yang mempunyai manfaat
untuk mengatur masalah kemasyarakatan, sehingga hukum harus mampu menjawab segenap
masalah manusia, baik masalah yang besar sampai sesuatu masalah yang belum dianggap
masalah.16 Sumber hukum yang diakui sebagai landasan hukum ekonomi Islam terdiri dari
Al-Quran, Al-Hadits, Ijtihad, Qiyas, dan sumber hukum yang lain : Urf, Istihsan, Istishlah,
Istishab dan Mashlaha Al-Mursalah.17

Ekonomi syariah atau istilah lain orang menyebutnya dengan ekonomi Islam,
merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur berdasarkan syariat Islam, tentunya
berpedoman kepada al-quran dan hadits. Orang awam sering membedakan, bahwa sistem
ekonomi kapitalis-liberal dibangun dengan prinsip menang-kalah. Siapa yang kuat dialah
yang mendominasi dan dialah yang jaya, sedangkan ekonomi islam atau ekonomi syariah

mempunyai prinsip kebersamaan, dan yang lebih penting rekomendasi langsung dari
pemegang otoritas, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, Al-Quran dan Sunnah menjadi
referensi yang mutlak.18

Islam sebagai way of life, menyatukan dua dimensi alam pada dirinya, yaitu materiil
dan immateriil (duniawi dan ukhrawi). Kedua implikasi tersebut perimplikasi pada sebuah
tanggung jawab bagi penganutnya, yaiture w a rd atau
punishment dari Allah, aturan secara lengkap di sinyalir dalam al-Quran dan

hadits sebagai pedoman utamanya. Oleh karena itu, dalam Islam, segala hal yang
terkait dengan kepentingan ummat diatur didalamnya, mulai dari hubungan dengan Tuhan,
hingga hubungan interaksi kepada sesama umat manusia dan makhluk lainnya, dengan
berbagai aturan dan tata caranya yang disusun secara tertib dan rapi. Sehingga keberadaan
Islam sebagai rahmatan lil alamin bagi ajaran-ajarannya itu tidak dapat di pungkiri lagi, tidak
hanya mengatur masalah ritual saja antara hamba dan Tuhannya, tapi juga mengatur masalah
masalah sosial yang ada. 3. Restrukturisasi Sistem Ekonomi
a. Mekanisme Pemikiran Syed Nawab Haider Naqvi
b. Landasan Pemikiran Syed Nawab Haider Naqvi
4. Visi Ekonomi
C. Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi dalam konteks Ekonomi
Modern
D. Pendapat Presensi
III
KESIMPULAN

Ilmu Ekonomi syariah atau istilah lain orang menyebutnya dengan ilmu ekonomi
Islam, merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur berdasarkan syariat Islam
representatif dalam masyarakat muslim modern, tentunya berpedoman kepada al-quran dan
hadits. Berdasarkan komposisinya, ia bersifat normatif, bukan bersifat positif sebagaimana
ilmu ekonomi neo-klasik. Orang awam sering membedakan, bahwa sistem ekonomi neo-

klasik identik kapitalis-liberal dibangun dengan prinsip menang-kalah. Siapa yang kuat dialah
yang medominasi dan dialah yang jaya, sedangkan ekonomi lslam atau ekonomi syariah
mempunyai prinsip kebersamaan, dan yang lebih penting rekomendasi langsung dari
pemegang otoritas, yaitu Allah SWT.
BIBLIOGRAPY
Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam Prinsip, Dasar, dan Tujuan, Insania
Pres, 2004
Heri Sudarsno, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Ekonesia, Yogyakarta.
Imamuddin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

2001.
Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradapan, Paramadina, Jakarta, 1992.
Petter F. Drucker, The New Realities, Oxford, 1989.
Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Cetakn
1, 2003

Anda mungkin juga menyukai