Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah kejahatan adalah masalah manusia yang berupa suatu kenyataan sosial, yang sebab
musababnya kerap kurang dipahami, karena tidak melihat masalahnya menurut proporsi yang
sebenarnya secara dimensional. Perkembangan peningkatan dan penurunan kualitas maupun
kuantitas kejahatan, baik yang ada di daerah perkotaan maupun pedesaan adalah relatif dan
interaktif sebab musababnya. Perkembangan di dalam dan di luar manusia tertentu,
mempengaruhi kecenderungan dan kemampuannya untuk melakukan perilaku yang kriminal.
Selanjutnya manusia tersebut mempengaruhi lebih lanjut manusia di sekitarnya serta
lingkungannya dalam usaha memenuhi keperluan fisik, mental dan sosial secara positif maupun
negatif.
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan
tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat.
Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif,
yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan
oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun
misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya
perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat. Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri
tidak terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana. R. Soesilo (A. Gumilang, 1993:4):
membedakan pengertian kejahatan secara yuridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis.
Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang
bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan
kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat
merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
Sedangkan menurut M.A. Elliot (A.Gumilang, 1993:4) mengatakan bahwa kejahatan adalah
suatu problem dalam masyarakat modern atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum
dapat dijatuhi hukuman penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.

Selanjutnya W. A. Bonger (A. Gumilang, 1993:4) mengartikan kejahatan sebagai perbuatan anti
sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan
Kejahatan merupakan hasil interaksi karena adanya interrelasi antara yang ada dan saling
mempengaruhi. Demikian juga perkembangan kejahatan yang terjadi di daerah perkotaaan.
Peserta-peserta interaksi sebagai fenomena yang ikut serta dalam terjadinya kejahatan
mempunyai hubungan fungsional satu sama lain. Bahkan ada yang kemungkinan yang
bertanggung jawab fungsional terhadap terjadinya kejahatan tersebut.
Adapun yang disebut peserta-peserta dalam timbulnya kejahatan tadi antara lain: para pelaku,
korban, pembuat undang-undang serta undangundang, pihak kepolisian, kejaksaan, kehakiman
dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Dengan kata lain, semua fenomena baik maupun buruk
yang dapat merupakan faktor kriminogen (yang dapat menimbulkan kejahatan) harus
diperhatikan dalam meninjau dan menganalisa terjadinya suatu kejahatan atau penyimpangan
lain. Dapat dikatakan perilaku kejahatan adalah suatu perilaku yang beradaptasi pada atau hasil
kondisi lingkungan tertentu. Dengan demikian kita sampai pada perhatian adaptasi pada suatu
lingkungan sebagai suatu proses yang menentukan. Perilaku kejahatan itu mengandung beberapa
unsur lain seperti:
a. Unsur pendukung pada suatu perbuatan kriminal.
b. Risiko yang dikandung dalam pelaksanaan suatu kejahatan.
c. Masa lampau yang mengkondisikan seorang individu terlibat.
d. Struktur kemungkinan untuk melakukan suatu kejahatan.
Masalah kejahatan bukanlah hal baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan, tetapi
modusnya dinilai sama. Semakin lama, kejahatan di kota-kota besar semakin meningkat bahkan
di beberapa daerah dan sampai ke kota-kota kecil. Tapi di lain hal, adapula kejahatan yang
berkembang melalui sendi-sendi pedesaan yang masih menganut sistem ke adatan yang sangat
kental. Salah satu masalah yang sering muncul ke permukaan dalam kehidupan masyarakat ialah
tentang kejahatan pada umumnya, terutama mengenai kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan
merupakan masalah abadi dalam kehidupan umat manusia, sebab ia berkembang sejalan dengan
tingkat peradaban umat manusia. Berkaitan dengan masalah kejahatan, maka kejahatan terhadap

nyawa sering merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah
membentuk suatu ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. Semakin menggejala
dan menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan pembunuhan dalam masyarakat,
maka semakin tinggi keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan seperti ini.
Indonesia merupakan negara hukum yang bertujuan untuk menciptakan dan menegakkan
ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Oleh karena itu perbuatan pidana harus diselesaikan sesuai dengan peraturan dan
prosedur hukum yang berlaku. Salah satu perbuatan pidana (delik) yang harus diselesaikan
secara hukum adalah delik pembunuhan. Kejahatan terhadap nyawa akhir-akhir ini cenderung
semakin meningkat. Hal ini dapat diketahui dengan semakin banyaknya kasus pembunuhan yang
diberitakan melalui surat kabar, majalah, televisi dan multimedia lainnya. Pembunuhan
merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat
dibenarkan dengan alasan apapun. Penghargaan atas nyawa cenderung terabaikan oleh realitas di
dunia yang menekankan pentingnya nama baik dan citra sebagai seorang manusia sehingga
penghilangan nyawa secara sengaja dilegalkan, tindakan tersebut sebagai solusi akhir untuk
menyelamatka diri sendiri maupun komunitasnya atas tindakan amoral yang dilakukannya.
Kejahatan terhadap nyawa memang merupakan gejala yang sangat mengganggu ketentraman,
kedamaian serta ketenangan masyarakat yang seharusnya lenyap dari muka bumi ini, namun
demikian seperti halnya siang dan malam, pagi dan sore, perempuan dan laki-laki, maka
kejahatan terhadap nyawa tetap akan ada sebagai kelengkapan adanya kebaikan dan keburukan.
Kasus pembunuhan yang akhir- akhir ini sering terjadi adalah pembunuhan yang lebih mengarah
pada jenis pembunuhan ekspresif atau tindakan kekerasan yang mengakibatkan kematian
seseorang yang dipicu oleh luapan emosional. Dan pembunuhan ekspresif dipicu dari psikologis
seseorang yang mereferensikan kejadian pembunuhan sebelumnya. Misalnya apabila pelaku
melihat berita pembunuhan sebelumnya. Pembunuhan ini biasanya dipicu oleh pertengkaranpertengkaran kecil yang membuat tidak mampu mengendalikan emosi. Hal ini ditambah dengan
referensi kejadian pembunuhan yang terekam dalam otaknya akibat visualisasi media yang
terlalu vulgar.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membahasnya
lebih konkrit dengan menuangkannya ke dalam proposal penelitian yang kemudian akan
dilanjutkan ke dalam penulisan skripsi yang berjudul Tinjauan Kriminologi Terhadap Kejahatan
Pembunuhan di Kabupaten Polewali Mandar (Studi kasus no.169/Pid.B/2008/PN.POL).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan penulis teliti adalah
sebagai berikut:
1. Faktor- faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kejahatan
pembunuhan di kabupaten Polewali Mandar?
2. Upaya-upaya apakah yang telah dilakukan oleh aparat untuk
mencegah terjadinya kejahatan pembunuhan di Polewali
Mandar?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan mempelajari faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya pembunuhan di Polewali Mandar?
2. Untuk mengetahui dan mempelajari upaya apa yang ditempuh
untuk mencegah terjadinya pembunuhan di Polewali Mandar?

D. Kegunaan penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai
berikut:
1. Kegunaan Teoritis
a. Untuk memberikan referensi tentang penjatuhan pidana pada pelaku
b.

pembunuhan terhadap masyarakat.


Untuk memberikan referensi mengenai upaya hukum dari masyarakat

dan aparat hukum dalam penanggulangan kejahatan pembunuhan.


2. Kegunaan Praktis
a. Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat luas akan resiko
tindakan pembunuhan, terutama kepada generasi muda yang tingkat
kematangan berfikirnya masih labil.
b. Untuk memberikan pemahaman gambaran kepada masyarakat luas
mengenai efektivitas peranan masyarakat dan aparat hukum dalam
menanggulangi tindakan pembunuhan serta deskripsi mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi tindakan sampai terjadinya pembunuhan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Istilah Dan Pengertian Kriminologi

Kriminologi termasuk cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada tahun 1850 bersamasama sosiologi, antropologi dan psikologi. Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi ditemukan oleh P. Topinard (1830 1911)
(Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa 2001:9) seorang ahli antropologi perancis, secara harfiah
berasal dari kata Crimen yang berarti kejahatan atau penjahat dan logos yang berarti ilmu
pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. Menurut
W.M.E, Noach (A. Gumilang, 1993:3) kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
gejala-gejala kejahatan dan tingkahlaku yang tidak senonoh, sebab musabab serta akibatnya.
Menurut Bonger (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001:9) definisi kriminologi sebagai
ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya
Lanjut Bonger (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001:9) kemudian membagi kriminologi
ini menjadi kriminologi murni yang mencakup :
1. Antropologi Kriminil
Ialah ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan
jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti
apa? Apakah ada hubungannya antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.
2. Sosiologi Kriminil
Ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok persoalan
yang dijawab oleh bidang ilmu ini adalah sampai di mana letak sebab-sebab kejahatan dalam
masyarakat.
3. Psikologi Kriminil
Ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya.
4. Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil
Ialah ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.
5. Penologi

Ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman. Lebih lanjut Bonger (Topo Santoso
dan Eva Achjani Zulfa, 2001:10) mengemukakan kriminologi terapan yang berupa :
1.Higiene Kriminil
Usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan.Misalnya usaha-usaha yang
dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan undang-undang, system jaminan hidup dan
kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan.

2. Politik Kriminil
Usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan telah terjadi. Disini dilihat sebab-sebab
seorang melakukan kejahatan. Bila disebabkan oleh faktor ekonomi maka usaha yang dilakukan
adalah meningkatkan keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi tidak semata-mata
dengan penjatuhan sanksi.
3. Kriminalistik (Policie scientific)
Ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan. Sutherland
(Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001:10) merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan
ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala social (The body of
knowledge regarding crime as a social phenomenon). Lanjut Sutherland (Topo Santoso dan Eva
Achjani Zulfa, 2001:11) kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran
hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum. Kriminologi dibagi menjadi tiga cabang ilmu utama
yaitu :
1. Sosiologi hukum
Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hokum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi. Jadi
yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu adalah kejahatan adalah hokum. Di sini menyelidiki

sebab-sebab kejahatan harus pula menyelidiki faktor-faktor apa yang menyebabkan


perkembangan hokum (khususnya hukum pidana).
2. Etiologi Kejahatan
Merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab musabab dari kejahatan. Dalam
kriminologi, etiologi kejahatan merupakan kajian yang paling utama.
3. Penology
Merupakan ilmu tentang hukuman yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik
represif maupun preventif. Menurut Thorsten Sellin (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa,
2001:11) definisi ini diperluas dengan memasukkan conduct norms sebagai salah satu lingkup
penelitian kriminologi,sehingga penekanannya disini lebih sebagai gejala sosial dalam
masyarakat.
Paul Mudigdo Mulyono (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001:11) tidak sependapat
dengan definisi yang diberikan Sutherland :
Menurutnya definisi itu seakan-akan tidak memberikan gambaran bahwa pelaku kejahatan itupun
mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan,karena terjadinya kejahatan bukan semata-mata
perbuatan yang ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untuk
melakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat tersebut.
Karenanya Paul Mudigdo Mulyono (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001:12) memberikan
definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah
manusia. Michael dan Adler (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001:12) berpendapat bahwa
kriminologi adalah :
Keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka dan
cara mereka secara resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para
anggota masyarakat. Wood (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001:12) merumuskan
kriminologi sebagai : keseluruhan ilmu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau
pengalaman, yang bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahat, termasuk di dalamnya reaksi
dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat.

Wolfgang, Savits dan Johnston dalam The sociology of crime and delinquency memberikan
definisi kriminologi sebagai:
Kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan
dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah
keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang
berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.
Berangkat dari berbagai pengertian yang dikemukakan diatas sangat terkesan untuk menarik
sebuah kesimpulan bahwa kriminologi pada dasarnya merupakan ilmu yang mempelajari
kejahatan, untuk memahami sebab musabab terjadinya kejahatan serta upaya-upaya apa yang
dilakukan untuk menaggulangi kejahatan.
B. Pengertian Pembunuhan
Pembunuhan merupakan kualifikasi dari kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan
sengaja dan mengakibatkan kematian. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan
obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia. Menurut Abdul Qadir Audah (2008:312)
mengemukakan bahwa pembunuhan adalah menghilangkan nyawa manusia dengan sebab
perbuatan manusia lain. Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau
dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu: (1) atas dasar unsur kesalahannya dan (2) atas dasar obyeknya
(nyawa).
Adapun sistematika/urutan delik pembunuhan dalam KUHP yang dilakukan dengan sengaja
terdiri dari:
1. Pembunuhan Biasa
Pembunuhan secara etimologi berarti suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang
dengan cara yang melanggar hukum. Pembunuhan biasanya didasari suatu motif, yang bisa
bermacam-macam, misalnya politik, kecemburuan, dendam, dan sebagainya.
Kejahatan terhadap menghilangkan nyawa yang dilakukan dengan sengaja (pembunuhan) dalam
bentuk pokok, dimuat dalam Pasal 338 KUHP:

Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun. Bagian inti delik ini adalah:
a. dengan sengaja
b. merampas nyawa orang lain
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Adanya wujud perbuatan
b. Adanya peristiwa kematian (orang lain)
c. Adanya hubungan sebab dan akibat antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain).
Antara unsur objektif sengaja dengan wujud perbuatan menghilangkan terdapat syarat yang juga
harus dibuktikan, ialah pelaksanaan perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) harus tidak
lama setelah timbulnya kehendak (niat) untuk menghilangkan nyawa orang lain itu. Oleh karena
apabila terdapat tenggang waktu yang cukup lama sejak timbulnya atau terbentuknya kehendak
untuk membunuh dengan pelaksanaannya, dimana dalam tenggang waktu yang cukup lama itu
petindak dapat memikirkan tentang berbagai hal, misalnya memikirkan apakah kehendaknya itu
akan diwujudkan dan sebagainya, maka pembunuhan itu masuk ke dalam pembunuhan
berencana (Pasal 340 KUHP) dan bukan lagi pembunuhan biasa.
Perbuatan menghilangkan nyawa dirumuskan dalam bentuk aktif dan abstrak. Bentuk aktif,
artinya mewujudkan perbuatan itu harus dengan gerakan dari sebagian anggota tubuh, tidak
boleh diam atau pasif, walaupun sekecil apapun, misalnya memasukkan racun pada minuman.
Disebut abstrak, karena perbuatan ini tidak menunjuk bukti konkret tertentu. Oleh karena itu
dalam kenyataan secara konkret, perbuatan itu dapat beraneka macam wujudnya, misalnya
menikam, membacok, menembak dan lain sebagainya yang tidak terbatas banyaknya.
Wujud- wujud perbuatan tersebut dapat saja terjadi tanpa/belum menimbulkan akibat hilangnya
nyawa orang lain. Oleh karena itu akibat ini amatlah penting untuk menentukan selesai atau
belumnya pembunuhan itu. Saat timbul akibat hilangnya nyawa tidaklah harus seketika atau
tidak lama setelah perbuatan, melainkan dapat timbul beberapa lama kemudian, yang penting

akibat itu benar-benar disebabkan oleh perbuatan itu. Misalnya setelah dibacok, karena
menderita luka-luka berat ia dirawat di Rumah sakit, dua minggu kemudian karena luka-luka
akibat bacokan itu korban meninggal dunia.
2. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindak pidana lain
Pembunuhan yang dimaksud ini adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP,
yang berbunyi:
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana lain, yang dilakukan
dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk
menghindarkan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan,
ataupun untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukum,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau sementara waktu, paling lama 20 tahun.
Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. semua unsur pembunuhan (obyektif dan subyektif) Pasal 338;
b. yang (1) diikuti, (2) disertai atau (3) didahului oleh tindak pidana lain;
c. pembunuhan yang dilakukan dengan maksud:
1) untuk mempersiapkan tindak pidana lain
2) untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain
3) dalam hal tertangkap tangan ditujukan.
a) untuk menghindarkan (1) diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana itu
b) untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukum (dari tindak
pidana lain itu)
Kejahatan Pasal 339 KUHP, kejahatan pokoknya adalah pembunuhan, suatu bentuk khusus
pembunuhan yang diperberat (gequaliceerde doodslag). Pada semua unsur yang disebutkan
dalam butir b dan c itulah diletakkan sifat memperberat pidana dalam bentuk pembunuhan
khusus ini. Dalam pembunuhan yang diperberat ini sebetulnya terjadi 2 macam tindak pidana

sekaligus, ialah yang satu adalah pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (Pasal 338 KUHP) dan
yang lain adalah tindak pidana lain (selain pembunuhan). Tindak pidana lain itu harus terjadi,
tidak boleh baru percobaannya. Apabila pembunuhannya telah terjadi, akan tetapi tindak pidana
lain itu belum terjadi, misalnya membunuh untuk mempersiapkan pencurian di mana
pencuriannya itu belum terjadi, maka kejahatan 339 tidak terjadi. Adanya unsur diikuti, disertai
atau didahului oleh tindak pidana lain, artinya tindak pidana lain itu harus sudah terjadi. Apabila
tindak pidana lain itu baru merupakan percobaannya, sedangkan pembunuhannya telah terjadi,
maka yang terjadi adalah percobaan kejahatan lain pada pembunuhan Pasal 339 KUHP. Misalnya
seorang pemuda, untuk mempersiapkan kejahatan memerkosa seorang gadis 2). Objeknya adalah
nyawa orang lain Pembunuhan berencana terdiri dari pembunuhan dalam arti Pasal 338 KUHP
ditambah dengan adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu. Lebih berat ancaman pada
pembunuhan berencana, jika dibandingkan dengan pembunuhan Pasal 338 maupun Pasal 339,
diletakkan pada adanya unsur dengan terencana terlebih dahulu.
Pasal 340 KUHP dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur Pasal 338 KUHP,
kemudian ditambah dengan satu unsure lagi yakni dengan rencana terlebih dahulu. Oleh
karena dalam Pasal 340 KUHP mengulangi lagi semua unsur Pasal 338 KUHP, maka
pembunuhan berencana dapat dianggap sebagai pembunuhan yang berdiri sendiri (een
zelfstanding misdrijf) lepas dan lain dengan pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (Pasal 338
KUHP).
Lain halnya dengan pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain
(Pasal 339 KUHP), dimana unsur-unsur dalam Pasal 338 KUHP tidak lagi disebutkan dalam
rumusan pasal 339KUHP, cukup disebutkan dengan pembunuhan saja, yang artinya menunjuk
pada pengertian Pasal 338 KUHP. Oleh sebab itu tidak dipersoalkan lagi, bahwa pembunuhan
Pasal

339

KUHP

adalah

berupa

pembunuhan

dalam

bentuk

yang

diperberat

(gequalificeerdemisdrijf). Apalagi Pembunuhan berencana itu dimaksudkan oleh pembentuk UU


sebagai pembunuhan bentuk khusus yang memberatkan, seharusnya tidak dirumuskan dengan
cara demikian, melainkan dalam Pasal 340 KUHP itu cukup disebut sebagai pembunuhan saja,
tidak perlu menyebut ulang seluruh Pasal 338 KUHP. Berdasarkan apa yang diterangkan diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa merumuskan Pasal 340 KUHP dengan cara demikian,
pembentuk undang-undang sengaja melakukannya dengan maksud sebagai kejahatan yang

berdiri sendiri. Oleh karena di dalam pembunuhan berencana mengandung unsure pembunuhan
biasa (Pasal 338 KUHP), maka mengenai unsur-unsur pembunuhan berencana yang menyangkut
pembunuhan biasa dirasa tidak perlu dibicarakan lagi, karena cukup dibicarakan di muka.
Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung tiga syarat/unsur
yaitu:
a. Memutuskan kehendak dengan suasana tenang
b. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan
kehendak
c. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang Memutuskan kehendak dalam
suasana tenang, adalah pada saat memutuskan kehendak untuk membunuh itu dilakukan dalam
suasana (batin) yang tenang. Suasana (batin) yang tenang adalah suasana tidak tergesa-gesa atau
tiba-tiba, tidak dalam keadaan terpaksa dan emosi yang tinggi. Sebagai indikatornya ialah
sebelum memutuskan kehendak untuk membunuh itu, telah dipikirnya atau dipertimbangkannya,
telah dikaji untung ruginya. Pemikiran dan pertimbangan seperti ini hanya dapat dilakukan
apabila ada dalam suasana tenang, dan dalam suasana tenang sebagaimana waktu ia memikirkan
dan mempertimbangkan dengan mendalam itulah ia akhirnya memutuskan untuk berbuat. Ada
tenggang waktu yang cukup, antara sejak timbul/diputuskannya kehendak sampai pelaksanaan
keputusan kehendaknya itu. Waktu yang cukup ini adalah relatif, dalam arti tidak diukur dari
lamanya waktu tertentu, melainkan bergantung pada keadaan atau kejadian kongkret yang
berlaku. Tidak terlalu singkat, karena jika terlalu singkat tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk berpikir-pikir, karena tergesa-gesa , waktu yang demikian sudah tidak lagi
menggambarkan ada hubungan antara pengambilan putusan kehendak untuk membunuh dengan
pelaksanaan pembunuhan.
Dalam tenggang waktu itu masih tampak adanya hubungan antara pengambilan putusan
kehendak dengan pelaksanaan pembunuhan. Sebagai adanya hubungan itu, dapat dilihat dari
indikatornya bahwa pada waktu itu: (1) dia masih sempat untuk menarik kehendaknya
membunuh, (2) bila kehendaknya sudah bulat, ada waktu yang cukup untuk memikirkan
misalnya bagaimana cara dan dengan alat apa melaksanakannya, bagaimana cara untuk

menghilangkan jejak, untuk menghindari dari tanggung jawab, punya kesempatan untuk
memikirkan rekayasa.
Mengenai adanya cukup waktu, dalam tenggang waktu mana ada kesempatan untuk memikirkan
untung ruginya pembunuhan itu dan lain sebagainya, sebagaimana yang diterangkan di atas,
dapat disimak dalam suatu arrest HR : 22-3-1909 (Soenarto Soerodibtro,1994:207) yang
menyatakan bahwa untuk dapat diterimanya suatu rencana terlebih dahulu, maka adalah perlu
adanya suatu tenggang waktu pendek atau panjang dalam mana dilakukan pertimbangan dan
pemikiran yang tenang. Pelaku harus dapat memperhitungkan makna dan akibat-akibat
perbuatannya, dalam suatu suasana kejiwaan yang memungkinkan untuk berpikir
Mengenai syarat yang ketiga, berupa pelaksanaan pembunuhan itu dilakukan dalam suasana
(batin) tenang. Bahkan syarat ketiga ini diakui oleh banyak orang sebagai yang terpenting.
Maksudnya suasana hati dalam saat melaksanakan pembunuhan itu tidak dalam suasana yang
tergesa-gesa, amarah yang tinggi, rasa takut yang berlebihan dan sebagainya.
Tiga unsur/syarat dengan rencana terlebih lebih dulu sebagaimana yang diterangkan diatas,
bersifat komulatif dan saling berhubungan, suatu kebulatan yang tidak terpisahkan. Sebab bila
sudah terpisah/terputus maka sudah tidak ada lagi dengan rencana terlebih dahulu.
Adanya pendapat yang menyatakan bahwa unsur dengan rencana terlebih dahulu adalah bukan
bentuk kesengajaan, akan tetapi berupa cara membentuk kesengajaan. Sebagai yang
dikemukakan oleh Hermein HK (Adami Chazawi, 2001:85) yang menyatakan unsur ini bukan
merupakan bentuk opzet, tapi cara membentuk opzet, yang mana mempunyai 3 syarat yaitu:
a. opzetnya itu dibentuk setelah direncanakan terlebih dahulu
b. dan setelah orang merencanakannya (opzetnya) itu terlebih dahulu, maka yang penting
aialah caranya opzet itu dibentuk (de vorm waarin opzet wordt gevormd), yaitu harus dalam
keadaan yang tenang (in koelen bloede)
c. dan pada umumnya, merencanakan pelaksanaan opzet itu memerlukan jangka waktu yang
agak lama.

Apabila tidak salah dalam hal menangkap arti dari apa yang diuraikan oleh Hermein HK di atas,
khususnya mengenai syarat pertama, yakni terbentuknya kesengajaan itu sudah melalui
berencana terlebih dulu, yang hal ini tidak berbeda dengan syarat pertama yang sudah
diterangkan di atas sebagai terbentuknya kehendak dalam suasana tenang, telah dipikirkan dan
dipertimbangkan terlebih dulu.
Memperhatikan pengertian dan syarat dari unsur direncanakan terlebih dahulu sebagaimana yang
telah diterangkan di atas, tampaknya proses terbentuknya direncanakan terlebih dahulu
(berencana) memang lain dengan terbentuknya kesengajaan (kehendak).
Proses terbentuknya berencana memerlukan dan melalui syaratsyarat tertentu. Sedangkan
terbentuknya kesengajaan tidak memerlukan syarat-syarat sebagaimana syarat yang diperlukan
bagi terbentuknya unsur dengan rencana terlebih dahulu. Terbentuknya kesengajaan, seperti
kesengajaan pada Pasal 338 KUHP cukup terbentuk secara tibatiba, Juga dengan melihat proses
terbentuknya unsur dengan rencana terlebih dahulu, tampak bahwa kesengajaan (kehendak)
sudah dengan sendirinya terdapat di dalam unsur dengan sengaja terlebih dahulu, dan sebaliknya.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa kesengajaan (kehendak) adalah bagian dari
direncanakan terlebih dahulu. Berhubung antara unsur sengaja dengan unsur rencana terlebih
dahulu dalam kalimat rumusan Pasal 340 KUHP, dihubungkan oleh satu kata dan (en), maka
masalahnya adalah, apakah kesengajaan itu juga harus ditunjukkan pada unsur dengan rencana
terlebih dahulu? Masalah ini timbul, berhubung keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa
bila unsur dengan sengaja itu dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, maka semua unsur
yang ada di belakangnya dituju/diliputi oleh unsure sengaja, sedangkan antara dua unsur itu di
sini dipisahkan dengan perkataan dan, yang mengandung makna sebagai penghubung, ialah
menghubungkan kata sebelumnya (sengaja) dengan kata sesudahnya (dengan rencana terlebih
dahulu).
Dalam persoalan ini ada 2 pendapat. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa walaupun ada
perkataan dan antara sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu, juga unsur kesengajaan
meliputi atau ditujukan pada unsur dengan rencana terlebih dahulu. Dicantumkannya perkataan
dan di situ hanyalah karena kelaziman yang ada dalam tata bahasa (Belanda), dan tidak
mempunyai arti khusus. Sedangkan pendapat yang sebaliknya pernah dikemukakan oleh HR
(Adami Chazawi,2001:86) yang menyatakan bahwa: apabila dalam undang-undang dipakai

dengan tegas perkataan dengan sengaja dan melawan hukum, maka kesengajaan itu tidak perlu
ditunjukkan pada unsur melawan hukum.
Walaupun Arrest HR tersebut adalah mengenai unsur kesengajaan dalam hubungannya dengan
unsur melawan hukum, namun dapat diartikan berlaku juga untuk kesengajaan yang
dihubungkan oleh kata dan dengan unsur dengan rencana terlebih dahulu. Karena dua hal itu
mengenai hal yang sama, yakni mengenai perkataan dan yang terletak diantara 2 unsur.
4. Pembunuhan oleh Ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan Bentuk
pembunuhan yang dilakukan oleh ibu terhadap bayinya pada saat dan tidak lama setelah
dilahirkan, yang dalam praktik hokum sering disebut dengan pembunuhan bayi, ada 2 macam,
masing-masing dirumuskan dalam Pasal 341 KUHP dan 342 KUHP. Pasal 341 KUHP, adalah
pembunuhan bayi yang dilakukan tidak dengan berencana (pembunuhan bayi biasa atau
kinderdoodslag), sedangkan Pasal 342 KUHP pembunuhan yang dilakukan dengan rencana lebih
dulu (kindermoord).
Pembunuhan biasa oleh ibu terhadap bayinya sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 341 KUHP,
rumusannya adalah sebagai berikut: Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan
bayi pada saat bayi dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja menghilangkan nyawa
anaknya dipidana karena membunuh bayinya sendiri dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Apabila rumusan itu dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur:
1). Unsur-unsur obyektif terdiri dari:
a. Petindaknya : seorang ibu
b. Perbuatannya : menghilangkan nyawa
c. Obyeknya : nyawa bayi
d. waktunya : (1) pada saat bayi dilahirkan, (2) tidak lama setelah bayi dilahirkan;
2). Unsur subyektif : dengan sengaja
Petindaknya haruslah seorang ibu, yang artinya ibu dari bayi (korban) yang dilahirkan. Jadi
dalam hal ini ada hubungan antara ibu dan anak. Adanya ibu yang merupakan syarat yang

melekat pada subyek hukumnya, menandakan bahwa kejahatan ini tidak dapat dilakukan oleh
setiap orang.
Melihat motifnya karena takut diketahui melahirkan bayi, sesungguhnya kejahatan ini berlatar
belakang pada, bahwa bayi tersebut diperolehnya dari hasil hubungan kelamin di luar
perkawinan yang sah. Sebab tidaklah ada alasan yang cukup untuk takut diketahui bahwa
melahirkan bayi, apabila bayi yang dilahirkannya itu diperoleh dari perkawinan yang sah. Unsur
motif takut diketahui melahirkan pada dasarnya merupakan unsur subyektif, karena menyangkut
perasaan (batin) seorang. Untuk membuktikan adanya perasaan yang demikian ini haruslah
dilihat pada alasan mengapa timbul perasaan takut itu. Dalam hal berupa alasan ini, sudah tidak
bersifat subyektif lagi, melainkan menjadi obyektif, alam nyata, misalnya karena ibu tidak
bersuami yang sah, anaknya banyak dan lain sebagainnya. Dilihat dari sudut ini, maka unsur
motif takut diketahui orang tentang melahirkan bayinya itu adalah berupa unsur subyektif yang
diobyektifkan. Adalah menjadi sulit dalam pembuktian, apabila rasa takut itu hanya didasarkan
pada rasa takut itu sendiri. Misalnya rasa takut diketahui melahirkan bayi, didasarkan pada rasa
takut bahwa nantinya tidak akan mendapatkan jodoh, karena namanya sudah tercemar.
Kesulitannya ialah secara obyektif tidak dapat membuktikan terhadap hal bahwa nantinya
tidak dapat jodoh. Unsur perbuatan berupa menghilangkan nyawa, adalah merupakan perbuatan
yang sama dengan perbuatan dalam pasal 338 maupun 340, yang karena dengan adanya
perbuatan menghilangkan nyawa makankejahatan itu disebut dengan pembunuhan. Sebagaimana
sudah diterangkan pada saat membicarakan pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP), bahwa pada
dasarnya perbuatan menghilangkan nyawa ini mengandung unsur:
1). adanya wujud perbuatan (aktif/positif) tertentu;
2). adanya kematian orang lain (dalam hal ini bayinya sendiri);
3). adanya hubungan kausalitas antara wujud perbuatan dengan kematian orang lain (bayi)
tersebut.
Obyek kejahatan pembunuhan, termasuk pembunuhan bayi adalah nyawa orang lain. Karena
obyeknya adalah nyawa, maka pada pembunuhan bayi wujud perbuatan menghilangkan nyawa
harus dilakukan pada bayi yang terbukti hidup. Bagaimana jika sesungguhnya/ pada
kenyataannya pada saat perbuatan dilakukan si bayi sudah mati, tetapi menurut pengetahuannya

atau perkiraannya (batin) adalah bayi hidup? Mengenai peristiwa ini, si ibu tidak dapat dipidana,
karena tidak ada pembunuhan bayi. Karena dalam Pasal 341 KUHP, disyaratkan secara obyektif,
bayi harus hidup.
Dalam kejahatan pembunuhan dalam bentuk dan dengan cara apapun disyaratkan harus ada
hubungan kausal antara wujud perbuatan yang dilakukan dengan akibat matinya korban, yang
dalam contoh kejadian yang terakhir ini tidak ada hubungan yang demikian.
Hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian pada pembunuhan, adalah
berupa hubungan kausal yang bersifat obyektif, walaupun di dalamnya, juga ada hubungan yang
bersifat subyektif. Tidak cukup ada hubungan subyektif seperti contoh diatas, melainkan harus
juga sekaligus terdapat hubungan kausal obyektif. Contoh, si ibu sengaja melakukan perbuatan
mencekik leher bayinya, berarti ia menginginkan kematian bayinya, artinya disini ada hubungan
subyektif (batin, berupa kehendak) antara perbuatan mencekik dengan unsur kematian.
Hubungan yang bersifat subyektif ini sudah terdapat sebelum perbuatan diwujudkan, sebaliknya
adalah tidak mungkin ada hubungan kausal obyektif sebelum perbuatan dilakukan.
Berbeda dengan kejahatan pembunuhan terhadap bayi pada saat atau tidak lama setelah bayi
dilahirkan dengan direncanakan terlebih dahulu. Pembunuhan bayi berencana yang dimaksud
diatas adalah pembunuhan bayi yang sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 342 KUHP
yakni: Seorang ibu yang untuk melaksanakan keputusan kehendak yang telah diambilnya karena
takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan bayi, pada saat bayi yang dilahirkan atau tidak
lama kemudian dengan sengaja menghilangkan nyawa bayinya itu, dipidana karena pembunuhan
bayinya sendiri dengan rencana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Pembunuhan bayi berencana tersebut mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1). Petindak : seorang ibu;
2). Adanya putusan kehendak yang telah diambil sebelumnya;
3). Perbuatan : menghilangkan nyawa;
4). Obyek : nyawa bayinya sendiri;
5). Waktu : a) pada saat bayi dilahirkan; b) tidak lama setelah bayi dilahirkan;

6). Karena takut akan diketahui melahirkan bayi;


7). Dengan sengaja.
Perbedaan utama dengan kinderdoodslag, justru saat timbulnya keputusan kehendak ini. Sebab
pada kinderdoodslag, kehendak itu timbul, secara tiba-tiba pada saat bayi sedang dilahirkan, atau
pada saat tidak lama setelah bayi dilahirkan. Karenanya juga, saat/waktu timbulnya motif takut
diketahui bahwa melahirkan adalah juga berbeda antara kindermoord.
Kejahatan pembunuhan oleh ibu terhadap bayinya dengan rencana adalah pembunuhan bayi
biasa (Pasal 341 KUHP) ditambah satu unsure lagi yakni dengan rencana terlebih dahulu. Karena
adanya unsure berencana inilah maka pembunuhan ini diberi kualifikasi sebagai pembunuhan
berencana. Unsur keputusan kehendak yang telah diambilnya adalah keputusan kehendak
untuk menghilangkan nyawa bayi yang akan dilahirkannya, yang terbentuknya kehendak ini
adalah harus sebelum bayi dilahirkan. Sebagaimana yang sudah diterangkan di atas, bahwa
tenggang waktu bayi dilahirkan adalah tenggang waktu antara, sejak timbulnya tanda-tanda akan
melahirkan sampai dengan keluarnya/terpisahnya bayi dari tubuh ibu. Maka diambilnya
keputusan kehendak untuk membunuh itu adalah sebelum tanda-tanda tersebut timbul.
Saat/waktu pengambilan keputusan kehendak sebelum timbulnya pertanda itu adalah syarat
mutlak untuk adanya unsur berencana dalam kejahatan pembunuhan bayi berencana.
Berkenaan dengan subyek kejahatan Pasal 341 KUHP dan 342 KUHP harus orang yang
berkualitas pribadi sebagai seorang ibu, dapat terjadi melakukan tindak pidana ini dengan
melibatkan orang lain, yang orang lain itu tidak memiliki kualitas seorang ibu. Misalnya ibu
dalam membunuh bayinya itu, ada orang lain yang ikut serta, apakah dapat dibebani tanggung
jawab terhadap Pasal 341 KUHP atau Pasal 342 KUHP, bagi orang lain yang tidak memiliki
kualitas itu? Dalam hal ini harus melihat pada ketentuan Pasal 343 KUHP, yang merumuskan
sebagai berikut:
Kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta
melakukan, sebagai pembunuhan biasa atau pembunuhan berencana. Jawaban dari masalah tadi
ada dalam ketentuan Pasal 343 KUHP tersebut, bahwa orang-orang tersebut tidak dapat
diberlakukan

terhadap

ketentuan

Pasal

341

KUHP

dan

atau

342

KUHP, tetapi

dipertanggungjawabkan terhadap pelanggaran Pasal 338 KUHP dan Pasal 340 KUHP. Artinya

hal yang meringankan pidana hanyalah berlaku bagi si ibu saja, dan tidak berlaku bagi orang lain
yang tidak berkualitas sebagai seorang ibu.
5.Pembunuhan atas permintaan korban
Bentuk pembunuhan ini diatur dalam Pasal 344 KUHP, yang merumuskan sebagai berikut:
Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
Perbedaan yang nyata antara pembunuhan Pasal 344 KUHP dengan pembunuhan 338 KUHP,
ialah terletak bahwa pada pembunuhan 344 KUHP terdapat unsur (1) atas permintaan korban
sendiri, (2) yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh, dan (3) tidak dicantumkannya unsur
kesengajaan sebagaimana dalam rumusan Pasal 338 KUHP. Dari unsur atas permintaan korban,
membuktikan bahwa inisiatif untuk melakukan pembunuhan itu terletak pada korban sendiri.
Sedangkan pada Pasal 338 KUHP ada pada petindak. Bila inisiatif pembunuhan itu pada orang
lain, tetapi pelaksanaannya bukan pada orang lain itu, melainkan pada korban sendiri, maka
bukan pembunuhan 344 KUHP yang terjadi, tetapi pembunuhan dalam Pasal 345 KUHP.
6.Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yang apabial inisiatif pembunuhan itu pada orang
lain, tetapi pelaksanaannya bukan pada orang lain itu, melainkan pada korban sendiri, dan
ditetapkan pembunuhan seperti yang tertuang dalam Pasal 345 KUHP, yang rumusannya adalah:
Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu
atau memberi sarana kepadanya untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun
kalau orang itu jadi bunuh diri. Berdasarkan pada unsur perbuatan, kejahatan 345 KUHP ini ada
3 bentuk, yakni:
1) Melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan mendorong orang lain untuk
bunuh diri.
2) Melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan menolong orang lain dalam
melakukan bunuh diri.

3) Melarang orang yang denagan sengaja melakukan perbuatan memberikan sarana pada orang
yang diketahui akan bunuh diri. Dalam perbuatan mendorong (aanzetten), inisiatif untuk
melakukan bunuh diri itu bukan berasal dari orang yang bunuh diri, melainkan dari orang lain,
yakni orang yang mendorong. Berbeda dengan perbuatan menolong dan memberikan sarana,
karena dalam kedua perbuatan ini, inisiatif untuk bunuh diri bersal dari korban itu sendiri. Pada
kedua perbuatan ini tidak terdapat pengaruh (batin) apa pun pada pembentukan kehendak bagi
korban untuk bunuh diri itu. Kesengajaan terhadap perbuatan mendorong sedikit berbeda dengan
kesengajaan terhadap perbuatan menolong dan memberi sarana. Perbedaannya adalah, bahwa
kesengajaan terhadap perbuatan mendorong adalah kesengajaan sebagai maksud, yang ditujukan
pada terbentuknya kehendak, yakni agar orang berkehendak untuk bunuh diri.Sedangkan pada
kesengajaan terhadap perbuatan menolong dan memberi sarana adalah ditujukan pada maksud
mempermudah atau memperlancar pelaksanaan bunuh diri.
7.Pengguguran dan pembunuhan kandungan.
Kejahatan pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (doodslag op een ongeborn
vrucht) diatur dalam 4 Pasal yakni:
a. Pasal 346 KUHP, berbunyi:
Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Ada 4 perbuatan yang dilarang dalam Pasal 346 KUHP, yakni: menggugurkan kandungan,
mematikan kandungan dan menyuruh orang lain menggugurkan kandungan dan menyuruh orang
lain mematikan kandungan.
b. Pasal 347 KUHP, berbunyi:
(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan
tanpa persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 tahun.

Terdapat persamaan dan perbedaan antara ketentuan dalam Pasal 346 KUHP dengan ketentuan
Pasal 347 KUHP. Persamaannya ialah (1) pada kedua perbuatan, yakni menggugurkan dan
mematikan, (2) obyeknya yakni kandungan seorang perempuan. Perbedaannya adalah dalam
Pasal 346 KUHP terdapat perbuatan menyuruh (orang lain) mematikan, yang tidak ada dalam
Pasal 347 KUHP. Pada Pasal 347 KUHP ada unsur tanpa persetujuannya (perempuan yang
mengandung). Petindak dalam Pasal 346 KUHP adalah perempuan yang mengandung, sedang
petindak menurut Pasal 347 KUHP adalah orang lain (bukan perempuan yang mengandung).
c. Pasal 348 KUHP, berbunyi:
(1) barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan
dengan persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya 5 tahun 6 bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 tahun.
Perbedaan pokok kejahatan Pasal 348 KUHP dengan Pasal 347 KUHP adalah bahwa perbuatan
menggugurkan atau mematikan kandungan dalam Pasal 348 KUHP dilakukan dengan
persetujuanp erempuan yang mengandung. Persetujuan artinya dikehendaki bersama dengan
orang lain, di sini 2 atau lebih orang yang mempunyai kehendak yang sama terhadap gugur atau
matinya kandungan itu. Syarat terjadi persetujuan adalah harus ada dua pihak yang mempunyai
kehendak yang sama.
d. Pasal 349 KUHP, berbunyi:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346,
ataupun melakukan atau melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan
348, maka pidana yang ditentukan dalam Pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan itu dilakukan.
Perbuatan dokter, bidan atau juru obat tersebut dapat berupa perbuatan (1) melakukan dan (2)
membantu melaksanakan Perbuatan melakukan adalah berupa perbuatan melaksanakan dari
kejahatan itu, yang artinya dialah sebagai pelaku baik sebagai petindaknya maupun sebagai
pelaku pelaksananya (plegen). Dia dapat berkualitas sebagai petindak (dader) apabila dia
sendirilah yang melaksanakan kejahatan itu, tanpa ada orang lain yang ikut terlibat dalam

kejahatan. Misalnya dalam melaksanakan kejahatan dalam Pasal 347,dokter memberikan obat
pada seorang wanita hamil yang maksudnya agar kandungannya itu gugur.
C. Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan
Para pakar mendefinisikan kejahatan secara yuridis dan secara sosiologis. Secara yuridis,
kejahatan adalah segala tingkah laku manusia yang bertentangan dengan hukum, dapat dipidana,
yang diatur dalam hukum pidana. Sedangkan secara sosiologis kejahtan adalah tindakan tertentu
yang tidak disetujui oleh masyarakat. Kesimpulannya, kejahatan adalah sebuah perbuatan anti
sosial, merugikan dan menjengkelkan masyarakat atau anggota masyarakat. Dari uraian di atas,
jelas bahwa kejahatan dipengaruhi oleh kondisikondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat
yang secara tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Berikut
beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan yang berorientasi pada aspek sosial yang
dirumuskan oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, Cuba, diidentifikasikan sebagai
faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya dalam masalah "urban crime"), antara
lain:
a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan perumahan
yang layak dan system pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi;
b. meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses
integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial;
c. mengendurnya ikatan sosial dan keluarga;
d. keadaan-keadaan/ kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang berimigrasi ke kota-kota
atau ke negara-negara lain;
e. rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan
diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan dibidang sosial, kesejahteraan clan lingkungan
pekerjaan;
f. menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan
kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga;

g. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi


sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya, keluarganya, tempat kerjanya atau
lingkungan sekolahnya;
h. penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperlukan karena
faktor-faktor yang disebut diatas;
i. meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan
barang-barang curian;
j. dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap- sikap yang
mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap- sikap tidaktoleransi.
(http://library.usu.ac.id/download/fh/pidsyahruddin1. pdf tanggal 22 maret 2010).
Dari uraian diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa secara garis besar, teori- teori
penyebab terjadinya kejahatan terdiri atas:
1. Faktor ekologi
2. Faktor konflik kebudayaan
3. Faktor ekonomi
4. Faktor pembelajaran dari lingkungan.
D. Upaya Penanggulangan Kejahatan
Kejahatan adalah gejala sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap masyarakat di dunia ini.
Kejahatan dalam keberadaannya dirasakan sangat meresahkan di samping itu juga mengganggu
ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat berupaya semaksimal
mungkin untuk menanggulangi timbulnya kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan telah dan
terus dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya.
Berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan sambil terus mencari cara tepat dan efektif
untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam hubungan ini E.H Sutherland dan Cressesy
mengemukakan bahwa dalam crime prevention dalam pelaksanaannya ada 2 buah metode yang
dipakai untuk mengurangi frekuansi kejahatan, yaitu: membagi

1. Metode untuk mengurangi penanggulangan dari kejahatan. Merupakan suatu cara yang
ditujukan kepada pengurangan jumlah residivis (kejahatan ulang) dengan suatu pembinaan yang
dilakukan secara konseptual.
2. Metode untuk mencegah kejahatan pertama kali. Suatu cara yang ditujukan kepada upaya
untuk mencegah terjadinya kejahatan yang pertama kali, yang akan dilakukan oleh seseorang
dalam metode ini dikenal sebagai metode preventif. Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat
bahwa upaya penanggulangan kejahatan mencakup aktivitas preventif sekaligus berupaya
memperbaiki

perilaku

seseorang

dinyatakan

telah

bersalah

(terpidana)

di

lembaga

pemasyarakatan atau dengan kata lain, upaya kejahatan dapat dilakukan secara preventif dan
represif.

1. Upaya Preventif
Upaya penanggulangan kejahatan secara preventif (pencegahan) dilakukan untuk mencegah
timbulnya kejahatan pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba mendidik
penjahat menjadi lebih baik kembali, demikian semboyan dalam kriminologi, yaitu usaha- usaha
memperbaiki penjahat (narapidana) yang perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi lagi
kejahatan ulang. Memang sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya
preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian yang khusus dan ekonomis,
misalnya menjaga diri jangan sampai menjadi korban kriminalitas. Disamping itu upaya
preventif tidak perlu suatu organisasi atau birokrasi dan lagi pula tidak menimbulkan akses lain.
Dalam upaya preventif (pencegahan) itu bagaimana upaya kita melakukan suatu usaha jadi
positif, bagaimana kita menciptakan suatu kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan juga
budaya masyarakat menjadi suatu dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti
menimbulkan ketegangan- ketegangan sosial atau mendorong timbulnya perbuatan atau
penyimpangan. Dan di samping itu bagaimana meningkatkan kesadaran dan partisipasi
masyarakat bahwa keamanan dan ketertiban adalah tanggung jawab bersama.
2. Upaya Represif

Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang
ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan
untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaiki kembali
agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar
hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak
akan melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat. Dalam membahas
sistem represif, kita tidak terlepas dari permasalahan sistem peradilan pidana kita, dimana dalam
system peradilan pidana paling sedikit terdapat sub sistem Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian,
RUTAN, Pemasyarakatan dan Kepengacaraan yang merupakan suatu keseluruhan yang terangkat
dan berhubungan secara fungsional.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Polewali Mandar tepatnya pada Pengadilan
Negeri Polewali Mandar dan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Polewali Mandar. Dengan
pertimbangan logis bahwa masih banyak peristiwa tindak pidana pembunuhan di Kabupaten
Polewali Mandar.
B. Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis dan sumber data yang akan digunakan sebagai dasar untuk menunjang penelitian
ini adalah :
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan informan yaitu
dengan melakukan Tanya jawab langsung.

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan menelaah literatur
berupa buku-buku ilmiah, majalah, Koran, internet, ataupun artikel-artikel, makalah, Peraturan
Perundang-undangan dan lain sebagainya yang erat kaitannya dengan masalah yang akan diteliti.
C. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan, akan dilaksanakan dengan cara:
1. Wawancara (Interview), yaitu dengan mendatangi informan dengan melakukan Tanya jawab
langsung ,tipe pertanyaan teratur dan terstruktur.Wawancara ini dilakukan kepada pihak yang
berkompeten dengan permasalahan yang akan diteliti.
2. Dokumentasi, yaitu dengan mempelajari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan perkara
pidana yang diteliti antara lain Berita Acara Pemeriksaan, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim.

3. Daftar Pertanyaan (Questionnaire), yaitu dengan memberikan rangkaian pertanyaan tentang


hal yang berkenaan dengan penelitian penulis dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan
yang disampaikan dalam bentuk tertulis. Questionnaire ini dilakukan kepada masyarakat pada
umumnya.
D. Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari hasil penelitian selanjutnya disusun, diolah dan dianalisis
berdasarkan rumusan masalah yang telah diterapkan sehingga diharapkan dapat diperoleh
gambaran yang jelas. Analisis data yang digunakan adalah analisis data yang berupaya
memberikan gambaran secara jelas dan konkrit terhadap objek yang dibahas.

Anda mungkin juga menyukai