Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Mendapatkan Gelar
Sarjana Strata 1 Jurusan Pemikiran Politik Islam
Oleh
AHMAD ALFAJRI
NIM: 103033227807
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarata
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif hidayatullah Jakarta.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT serta selawat dan salam semoga
disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, karena hanya dengan nikmat
dan karunia-Nya lah skripsi Imperialisme Modern: Analisis Kebijakan War
on Terrorism Presiden Bush Pasca 2001, ini bisa diselesaikan.
Penulis juga hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah banyak membantu proses penyelesaian skripsi ini. Untuk itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. M. Amin Nurdin selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
Seterusnya kepada Dr, Hamid Nasuhi, Dra. Hermawati, MA dan Dr.
Masri Mansoer selaku Pembantu Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils, dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA
selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam
4. Selanjutnya kepada Bapak Dr. Nawiruddin, selaku pembimbing skripsi
ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam membimbing penulis,
memberi kritikan dan masukan yang sangat membantu dalam penulisan
skripsi ini
5. Dosen-dosen jurusan pemikiran politik islam, yang telah membimbing
dan mengajari kami penulis khususnya- akan berbagai hal yang
sebelumnya belum kami ketahui
6. Tak lupa, skripsi ini penulis sembahkan untuk Ayah (H. Mismardi, BA)
dan Ibu (Elidarni) yang selalu memberi dukungan dan semangat kepada
penulis untuk terus maju di setiap jenjang pendidikan. Terima kasih juga
tak lupa penulis ucapkan kepada uda dan uni, Da Haris, Uni Yossy dan
Da Icep, serta kepada adiak-adiak, Iki dan Ayip.
7. Selanjutnya terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dinda Pratiwi
(sweetheart) yang juga tak bosan mengingatkan penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
8. Seterusnya kepada teman-teman aktivis Laboratorium Politik Islam (LPI)
yang merangkap sebagai radaksi Jurnal Politik Islam, diantaranya:
Bawono Kumoro, Arya Fernandes, Muamar Lutfi Harun, Shahibah
Yuliani, Rosi Selly, Subairi, Hafiz, Rey dan lain-lain yang mungkin tidak
bisa disebutkan satu per satu. Kebersamaan kita sangat berarti, dan mari
wujudkan semangat creative minority.
9. Terakhir kepada teman-teman PPI A dan B Angkatan 2003. Semoga yang
belum wisuda, bisa lekas menyusul.
Ahmad Alfajri
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .. i
DAFTAR ISI ..iii
DAFTAR TABEL .v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .. 5
C. Tujuan Penelitian . 6
D. Metode Penelitian 6
E. Sistematika Penulisan .. 7
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan 99
B. Saran . 100
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasca tragedi World Trade Center pada 11 September 2001, terorisme
menjadi isu utama dunia internasional. Perhatian yang diberikan untuk kasus
ini mungkin bisa disejajarkan dengan perhatian terhadap perkembangan
komunisme pada era perang dingin beberapa dekade lalu.
Tragedi ini kemudian berdampak panjang dengan dikeluarkannya
dekrit perang terhadap terorisme oleh Amerika Serikat dengan bantuan para
sekutu. Namun, kemudian muncul dilema dalam upaya mendefenisikan siapa
yang teroris dan siapa yang bukan, serta bagaimana cara meresponnya.
Belum lagi tercapai kesepakatan masalah defenisi, cakupan dan cara
merespon gejala terorisme, Amerika Serikat langsung mengklaim kelompokkelompok seperti al-Qaida, Hamas, Hizbullah, Jamaah Islamiyyah dan
kelompok lain yang memiliki ciri-ciri yang sama sebagai organisasi teroris.
Kelompok-kelompok tersebut secara sosio-religius merupakan bagian dari
sebuah komunitas muslim yang tersebar di berbagai tempat.
Selain itu, Amerika juga mensinyalir keberadaan beberapa negara
yang dengan sengaja memberi perlindungan dan bantuan terhadap kelompokkelompok tersebut1. Irak, Iran dan Afganistan adalah sebagian negara yang
dianggap memiliki kedekatan tertentu dengan kelompok teroris. Iran adalah
negara sponsor aktifitas kelompok Islam di Lebanon dan Palestina. Irak
Lihat Chawat Satha-Anand, Mitigating the Success of Terrorism with Politic of Truth
and Justice, dalam Uwe Johannen, et.all., 911: September 11 and Political Freedom (Singapore:
Select Publishing, 2003), p. 18.
diduga dekat dengan al-Qaida dan diperkirakan kalau senjata pemusnah masal
Irak jatuh ke tangan para teroris, maka bencana besar akan melanda dunia.
Sedangkan Afganistan dianggap sebagai markas dan basis utama al-Qaida
yang telah menyebar ke 60 negara di dunia.
Untuk merespon gejala terorisme global ini, tidak ada pilihan lain bagi
Amerika Serikat selain melakukan tindakan pre emptive. Yaitu menyerang
sebelum diserang. Atas dasar inilah, maka Amerika melakukan penyerangan
ke Afganistan dan Irak beberapa tahun lalu. Bagi Amerika Serikat kedua
negara ini telah kehilangan kedaulatan, karena mereka telah mengorbankan
kedaualatannya di saat mereka melindungi atau bekerja sama dengan
kelompok teroris2.
Di samping itu, untuk mencegah agar kelompok teroris baru tidak
muncul, maka Amerika merasa perlu untuk menata ulang sistem
internasional. Dalam upaya ini Amerika memasuki banyak negara dan
mencegah agar tidak ada negara lain di dunia yang menjadi partner kelompok
teroris sekaligus mencegah agar tidak ada kekuatan baru di dunia --selain
Amerika Serikat dan teman-temannya-- yang mampu mengembangkan
teknologi senjata pemusnah masal.
Amerika tidak membutuhkan bukti untuk bertindak. Ada atau tidak
adanya bukti bukanlah sesuatu yang penting. Tidak adanya bukti bukan
berarti tidak ada aktifitas. Di zaman sekarang ini --bagi Amerika-- tidak boleh
ada kesalahan sedikit pun. Ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tidak tahu,
namun juga ada hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu. Rumsfeld
2
Lihat G. John Ikenberry, Ambisi Imperial AS, dalam Council on Foreign Policy,
Amerika dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, Penerjemah Yusi A.
Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 443.
Ibid., h. 441.
Wawancara Harry Kreisler dengan Kanneth Walt dengan tema Conversations with
History 10 Februari 2003 di UC. Berkeley diakses dari http//en.wikipedia.org/wiki/Kenneth
Waltz
4
membawa misi politik dan ekonomi yang luar biasa yang pada tahap ekstrem
akan menjaga posisi Amerika sebagai penguasa tunggal dunia untuk jangka
waktu yang sangat lama
membatasi
dan
merumuskan
masalah,
maka
perlu
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh
Presiden Goerge W Bush dalam memerangi terorisme global pasca
tragedi WTC 2001?
2. Untuk menjawab pertanyaan mengapa kebijakan luar negeri tersebut
dinilai sebagai tindakan imperialisme?
D. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
cenderung dan banyak digunakan dalam ilmu-ilmu sosial yang berhubungan
dengan perilaku sosial dengan berbagai argumen, yang bersifat deskriptif atau
memaparkan gejala-gejala yang diamati yang tidak harus selalu berbentuk
angka-angka atau koevisien antar variabel dan lebih sering berbentuk studi
kasus, penelitian lapangan dan alamiah atau apa adanya5. Pengumpulan
datanya adalah melalui dokumentasi yaitu dengan mencari data mengenai
masalah bersangkutan melalui literatur buku, surat kabar, jurnal dan
sebagainya6.
Subana dan Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.
17-18.
6
E. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
terbagi dalam beberapa bab dan sub-bab yang pada garis besarnya adalah
sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang di dalamnya dibahas tentang latar belakang
masalah, perumusan dan pembatasan masalah, maksud dan tujuan penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: Terorisme dan Imperialisme. BAB ini akan menjelaskan
pengertian dan sejarah terorisme serta sekelumit konsep imperialisme, tak
lupa akan disertakan penjelasan hubungan yang memungkinkan antara kedua
konsep tersebut.
BAB III: Akan berisi bahasan tentang kebijakan luar negeri Amerika
Serikat dalam memerangi terorisme. Di sini akan dibahas secara berurut dari
latar belakang lahirnya kebijakan tersebut, kebijakan jangka panjang dan
kebijakan jangka pendeknya
BAB IV: Akan menjelaskan alasan mengapa kebijakan Amerika
Serikat disebut kebijakan yang imperial. Alasan-alasan ini akan dibagi kepada
alasan yang bersifat teoritis dan alasan realisme (motif, tindakan dan akibat)
BAB V:
BAB II
TERORISME DAN IMPERIALISME
adalah
usaha
menciptakan
ketakutan,
kengerian
dan
oleh
berbagai
penulis9.
Noam
Chomsky
misalnya
Crenshaw
mendefinisikan
terorisme
sebagai
sebuah
Yusmadi N., Implikasi Kebijakan War on terror Amerika Serikat Serikat Bagi Islam
Politik di Indonesia, (Tesis s2, Universitas Indonesia, 2005), h. 23.
8
Dikutip dari Yusmadi N., Implikasi Kebijakan War on terror Amerika Serikat
Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia, (Tesis s2, Universitas Indonesia, 2005) dari Ensiklopedi
Indonesia, Jilid 6, h. 3518.
9
Yusmadi N., Implikasi Kebijakan War on terror Amerika Serikat Serikat Bagi Islam
Politik di Indonesia, h. 26.
10
Noam Chomsky, Menguak Tabir Terorisme Internasional, Penerjemah Hamid Basyaib
(Bandung: MIZAN, 1991), h. 20.
jalan kekerasan atau teror untuk mencapai tujuan baik yang bersifat politis
maupun ideologis strategis11
Pemerintah Amerika Serikat Serikat mendefinisikan terorisme
sebagai kekerasan terencana bermotif politik terhadap personil non tempur
yang dilatarbelakangi oleh kelompok sub nasional atau agen rahasia yang
bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat12. Uni Eropa menyebut
terorisme sebagai sebuah usaha yang bertujuan untuk menghancurkan
bangunan fundamental dari sistem politik, konstitusi, ekonomi dan struktur
sosial dalam sebuah negara13.
Dari beberapa definisi di atas, bisa disintesakan bahwa terorisme
adalah kekerasan terencana yang bermotif politik atau ideologi, dilakukan
secara terorganisir dalam sebuah kelompok dan menimbulkan dampak
ketakutan yang luar biasa.
Untuk memudahkan pemahaman kita tentang terorisme, perlu
diberikan beberapa kriteria acuan apakah sebuah tindakan bisa disebut
sebagai aksi terorisme atau pun bukan. Berikut kriterianya:
Pertama, Kekerasan. Menurut Walter Liqueur pada Center for
Strategic and International Studies, satu-satunya karakteristik utama
terorisme yang disepakati secara umum adalah penyertaan kekerasan atau
ancaman kekerasan14. Tapi, kekerasan memang tidak serta merta menjadi
satu-satunya tolak ukur sebuah tindakan disebut sebagai teror atau bukan,
11
M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Serikat Perangi Teroris Bukan Islam
(Jakarta: CMM, 2004), h. 16.
12
Dikutip oleh Yusmadi N dalam tesisnya Implikasi Kebijakan War on terror Amerika
Serikat Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia, dari Budi S. Satari, Terorisme Internasional
Ancaman Global Abad 21 dalam Jurnal ISIP UNAS No. 5 Tahun II (Desember 2001), h. 56.
13
Lihat, http:/en. wikipedia.org/wiki/terrorism, p. 2.
14
Ibid., p. 4.
kekerasan ini harus diikuti oleh tindakan atau tujuan lain, karena kekerasan
itu juga identik dengan perang, kerusuhan, kriminalitas yang terorganisir
yang sesungguhnya bukan termasuk aksi terorisme.
Kedua, Efek psikologis dan ketakutan. Serangan terorisme memang
dilancarkan untuk menimbulkan ketakutan dan dampak psikologis pada
sasaran-sarasan yang ditargetkan. Inilah mengapa teror terhadap penduduk
sipil menjadi sangat efektif, karena serangan itu bisa mengisyaratkan pesan
menakutkan bahwa setiap orang, kapan saja dan dimana saja bisa saja
menjadi korban. Jika tuntutan sang teroris tidak dipenuhi bisa saja anda atau
keluarga anda menjadi korban selanjutnya.
Kelompok teroris juga sering menyerang simbol dan kebanggan
sebuah negara untuk menunjukkan kekuatannya. Hal seperti ini bisa dilihat
melalui tragedi 11 September 2001 lalu dengan runtuhnya World Trade
Centre yang menjadi lambang supremasi ekonomi Amerika Serikat Serikat.
Rentetan peristiwa tersebut tak bisa dipungkiri, telah menimbulkan
ketakutan yang mendalam bagi rakyat Amerika Serikat.
Ketiga, memiliki tujuan politis. Memang cukup sering sebuah aksi
berujung pada kepentingan politik. Seperti untuk perebutan kekuasaan,
penghancuran negara dan sebagainya. Ini juga sering dijadikan pembeda
antara aksi terorisme dengan kriminalitas biasa. Terorisme merupakan
bagian dari taktik politik, sedangkan kriminalitas biasa tidak. Namun tidak
jarang juga, motivasi politik tersebut dibalut dengan semangat keagamaan.
Ketika keduanya sudah bergabung, maka gagal dalam cita-cita politik akan
diasumsikan menjadi gagal dalam cita-cita agama. Hal seperti ini sering
kelompok
yang
bermusuhan
kadang-kadang
membingungkan
Ibid., p. 4.
Bernard Lewis, The Crisis of Islam; Holy War and Unholy Terror (London:
Weidenfield & Nicolson, 2003), p. 113.
16
17
http:/en. wikipedia.org/wiki/terrorism, p. 3.
Ibid,. p. 3.
19
Ibid., p. 3.
18
2. Sejarah Terorisme
a. Latar Belakang Istilah
Istilah terorisme berasal dari bahasa Perancis terrorisme yang
diambil dari kosa kata latin terrere yang berarti menggetarkan (to cause to
tremble). Pertama kali digunakan pada Tahun 1795 untuk mendeskripsikan
gerakan kelompok Yacobin dalam pemerintahan pasca revolusi perancis
yang kemudian dijuluki dengan pemerintahan teror (reign of terror)20.
Yacobin dianggap sengaja menggunakan kata teror ini untuk menunjukkan
aksinya. Di antara tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok
Yacobin ini adalah menahan atau mengeksekusi lawan politiknya sebagai
media untuk memaksakan ketaatan kepada khalayak ramai.
Namun kata terorisme dalam bahasa Inggris mulai populer ketika
seorang konservatif bernama Edmund Burke menggunakan kata itu secara
terang-terangan untuk melawan revolusi Perancis.
b. Pelopor
Aksi teror sesungguhnya sudah ada sebelum istilah itu sendiri
diciptakan. Pada abad pertama masehi kelompok Zealots melakukan
kampanye teror melawan Kerajaan Roma di wilayah Timur Mediterenia.
Kelompok Zealot kemudian mendaftar nama-nama kalangan Yahudi kaya
yang akan dimusnahkan dan beberapa orang dari luar Yahudi yang berteman
dengan romawi. Kelompok teroris itu pada akhirnya bisa dikalahkan oleh
Kerajaan Romawi dalam beberapa kali konflik militer.
20
M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Serikat Perangi Teroris, h. 33.
Pada abad ke-11 Masehi, juga telah muncul kelompok Islam radikal
yang terkenal dengan nama Hashshashin (kata ini lahir dari kata hashish
yang jika diterjemahkan mengandung arti pembunuh (assassin)). Kelompok
ini melakukan sejumlah pembunuhan terencana untuk sebuah alasan yang
mereka yakini benar. Selama dua abad mereka beroperasi, kelompok ini
memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan kepercayaan muslim pada
umumnya terutama dalam konsep jihad. Mereka tidak memerangi para
crusaders, namun mereka melawan para pemimpin muslim yang dianggap
telah murtad atau kafir21.
c. Revolusi Perancis
Estafet sejarah terorisme kemudian dilanjutkan pada masa Revolusi
Perancis. Selama Revolusi Perancis (1789-1799), masa yang paling keras
terjadi pada masa Pemerintahan Komite Keselamatan Publik (1793-1795)
yang dilabelkan sebagai pemerintahan teror, sebuah pemerintahan yang
menggunakan teror secara sistematis yang dicontohkan terutama dengan
penggunaan alat pemenggal kepala dan lain-lain. Rujukan sejarah mengenai
penggunaan kata terorisme dalam arti kekerasan berasal dari masa ini.
d. Abad ke-19
Pada Abad ke-19 Masehi, penggunaan istilah terorisme mulai
meluas. Terorisme menjadi --lebih dari sekedar penggambaran tentang era
revolusi Perancis-- penggunaan teknik pembunuhan terutama oleh kaum
anarkhis dan kelompok Narodniks pada Dinasti Tsar Rusia, yang jelas
tercatat melakukan pembunuhan terhadap Alexander II22.
21
22
Kelompok
e. Abad ke-20
Dewasa ini, teknologi senjata modern memungkinkan seseorang
menjadi sangat kuat untuk menciptakan kerusakan dan penghancuran yang
23
Rikard Bangun, Terorisme Gejala Global dalam Farid Muttaqin dan Sukidi, ed.,
Terorisme Serang Islam (Bandung: PustakaHidayah, 2001), h. 25.
dasyat hanya dengan seorang diri dan hanya dengan sedikit konspirasi yang
dilakukan oleh organisasi kecil
Semua fakta ini menunjukkan satu hal bahwa perkembangan
peradaban manusia tidak berbanding lurus dengan penurunan aksi teror. Di
setiap masa, akan terus timbul aksi teror dengan berbagai ragam dan cara.
Terorisme atau yang lebih tepatnya hiperteroris24 di era modern ini paling
tidak dicirikan oleh empat hal. Pertama, ada maksimalisasi korban secara
mengerikan. Kedua, keinginan untuk mendapat liputan di media. Ketiga,
serangan teroris tidak pernah bisa diduga, karena sasarannya sama dengan
luasnya seluruh permukaan bumi25. Ke empat, penggunaan teknologi
canggih sebagai media komunikasi dan pengeksekusian. Karakterisitk ini
terlihat dalam sejumlah tragedi pemboman seperti WTC di Amerika Serikat
Serikat 2001, bom Bali di Indonesia 2002 dan sebagainya.
Hiperteroris adalah sebutan bagi teroris yang menguasai dan memanfaatkan berbagai
bentuk teknologi mutahir, teknologi pengamatan, pengawasan, teknologi interaktif dan teknologi
komunikasi.
25
M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Serikat Perangi Teroris Bukan Islam, h.
41.
Orang-orang yang tidak senang terhadap Inggris pada awal abad ke20 akan menyebut setiap kebijakan luar negeri Inggris sebagai kebijakan
yang imperialistik. Begitu juga orang yang benci Rusia akan mengatakan
bahwa kebijakan luar negeri Rusia sebagai kebijakan yang imperialistik.
Dan sekarang pendukung gerakan anti-Amerika Serikat juga dengan mudah
mengatakan bahwa Amerika Serikat Serikat adalah negara imperialis,
karena kebijakan luar negerinya yang berusaha memperluas kekuasaan yang
sudah ada.
Penyebutan-penyebutan seperti itu membuat istilah imperialisme
menjadi kosa kata murahan yang bisa diklaim begitu saja. Oleh karena itu,
dalam tulisan ini perlu diberikan penjelasan manakah yang bisa disebut
imperialisme dan mana pula yang bukan imperialisme serta aspek-aspek lain
yang terkait.
Hans Morganthau menyebutkan ada beberapa salah pengertian yang
paling dikenal dalam penggunaan istilah imperialisme ini. Pertama, tidak
semua tujuan politik luar negeri untuk meningkatkan kekuasaan suatu
bangsa merupakan manifestasi imperialisme yang penting26. Hans
membedakan antara politik imperialistik dengan politik konsolidasi atau
status quo. Imperialisme adalah sebutan bagi politik yang bertujuan untuk
menumbangkan status quo, mengubah pola hubungan kekuasaan yang sudah
ada dan menatanya menjadi susunan baru. Sedangkan politik status quo
adalah sebuah usaha untuk mempertahankan kekuasaan pada sebuah
wilayah yang sudah menjadi bagian daerah kekuasaannya. Imperialisme
26
Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, Edisi VI, Buku Pertama, Penerjemah S.
Maimoen (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), h. 80.
ingin mengubah tatanan yang sudah ada, sedangkan status quo hanyalah
proses konsolidasi.
Kedua, tidak semua politik luar negeri yang bertujuan memelihara
imperium yang telah berdiri adalah imperialisme27. Banyak orang
mengindentifikasikan apa saja yang dilakukan oleh negara-negara besar
untuk memelihara posisinya yang lebih kuat di daerah tertentu dianggap
sebagai imperialisme. Akan tetapi, imperialisme sebetulnya lebih cocok
diidentifikasikan pada proses mendapatkan wilayah baru, bukan pada proses
pemeliharaan kekuasaannya.
Istilah imperialisme sendiri sesungguhnya muncul pertama kali di
Inggris pada akhir Abad XIX. Ide ini dipakai oleh kaum konservatif di
bawah pimpinan Disraeli dalam kampanye pemilihan tahun 187428. Ide
imperialisme seperti yang difahami Disraeli dan dikembangkan oleh Joseph
Chamberlian serta Sir Winston Churchiil ternyata bertentangan dengan apa
yang disebut oleh kelompok konservatif sebagai kosmopolitanisme dan
internasionalisme oleh kaum liberal. Golongan oposisi takut kalau-kalau
politik Disraeli itu akan menimbulkan krisis-krisis internasional29. Karena
itu
mereka
menghendaki
pemusatan
perhatian
pemerintah
pada
27
Ibid., h. 81.
Ibid., h. 81.
29
Yang direncanaan oleh Disraeli dalam federasi imperialnya adalah (1) penyatuan dan
integrasi Inggris serta miliknya ke dalam suatu imperium ang disatukan melalui bantuan
perdagangan yang bersifat protektif, (2)pencadangan tanah jajahan yang leluasa bagi orang
Inggris; (3) angkatan bersenjata yang disatukan dan (4) badan perwakilan pusat di London (lihat
Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, Edisi VI, Buku Pertama, Penerjemah S. Maimoen,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), h. 81-82).
28
30
http://id.wikipedia.org/wiki/Imperialisme.
kekurangan
mendistribusikan
sumber
hasil
bahan
produksinya,
mentah
untuk
dan
alasan
wilayah
untuk
inilah,
maka
31
Ibid., h. 85.
Ibid., h. 85.
Ibid., h. 92.
Ibid., h. 93.
Perancis sebagai status quo baru yang menguasai aliansi dan sebagian
besar Eropa Timur dan Eropa Tengah yang baru saja dibentuk.
Jerman Tahun 1919 sampai 1939 berupaya menggulingkan status
quo ini. Usaha inilah yang kemudian memperbaiki posisi internasional
Jerman. Dan sejak berkuasanya kaum nasionalis sosialis di Jerman, maka
seluruh usaha Jerman dalam mengubah status quo ini berhasil
menciptakan imperialisme baru.
c. Sebab Ekonomi
Tiap bangsa ingin menjadi jaya. Menjadi bangsa yang terbesar di
seluruh dunia (ambition, eerzucht). Jika suatu bangsa tidak dapat
mengendalikan keinginan ini, bangsa itu mudah menjadi bangsa
imperialis. Karena itu dapat dikatakan, bahwa tiap bangsa memiliki benih
imperialisme36. Sebab-sebab ekonomi inilah yang merupakan sebab yang
terpenting dari timbulnya imperialisme, teristimewa imperialisme
modern.
Labih rinci, motif ekonomi ini bisa berupa (1) keinginan untuk
mendapatkan kekayaan dari suatu negara, (2) ingin ikut dalam
perdagangan dunia, (3) ingin menguasai perdagangan dan (4) keinginan
untuk menjamin suburnya industri.
36
http://id.wikipedia.org/wiki/Imperialisme.
Hasrat
untuk
menyebarkan
agama
atau
ideologi
dapat
4. Tujuan Imperalisme
a. Imperium Dunia
Sejarah memang sudah mencatat berbagai fakta ambisi imperial
sekelompok orang atau negara. Beberapa yang terkenal adalah politik
ekspansionis Alxander Agung, Roma, Arab pada abad ke-7 M, Napoleon
dan Hitler. Kekuatan-kekuatan ini akan terus memperluas wilayah
kekuasaannya selama mereka belum dikalahkan. Dorongan untuk
menguasai ini tidak akan habis selama masih ada daerah yang mungkin
bisa didominasi.
37
Ambisi klasik itu menurut Kanneth Walt masih ada saat ini, untuk
pertama kali nya sejak Roma, satu negara bisa menguasai politik dunia.
Sang penguasa tersebut adalah Amerika Serikat Serikat. Tidak adanya
penyeimbang kekuatan seperti uni soviet pada beberapa dekade lalu,
menyebabkan terciptanya bahaya yang potensial bagi negara lain. Sebuah
negara yang sangat kuat dan Amerika Serikat Serikat melakukannyaakan berfikir dan mendaulat dirinya sebagai pihak yang bertanggung
jawab membawa kedamaian, keadilan dan stabilitas dunia. Semangat
sepihak ini bisa saja bertentangan dengan kepentingan negara lain.
Sewaktu terjadi clash antara kekuatan besar dan kekuatan kecil, maka
terjadi potensi atau dorongan untuk imperialistik38.
b. Imperium Kontinental
Imperium Kontinental berbeda dari imperium dunia dalam
cakupan wilayah. Kalau imperium dunia merupakan ambisi menguasai
seluruh wilayah di dunia, maka imperium kontinental hanya berambisi
menguasai satu kontinental (benua) saja39. Tipe ini jelas sekali terlihat
dalam hubungan negara-negara eropa pada era awal abad 20-an. Masingmasing negara berusaha menguasai negara lain dalam kawasan tersebut
c. Pengaruh Lokal
Yang dimaksud dengan pengaruh lokal adalah keinginan untuk
mengubah status qou dan membangun kekuasaan politik yang lebih besar
dalam sebuah negara, bukan kontinental dan bukan dunia. Dengan
38
Wawancara Harry Kreisler dengan Kanneth Walt dengan tema Conversations with
History 10 Februari 2003 di UC. Berkeley, diakses dari http//en.wikipedia.org/wiki/Kenneth
Waltz
39
Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, h. 96.
5. Imperialisme Modern
Imperialisme Modern (Modern Imperialism) adalah usaha untuk
menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri
yang dijadikan sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti
merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan
ekonomi, kultur, agama dan ideologi. Imperium disini pun tidak perlu
berarti suatu gabungan dari daerah jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa
daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri.
Gagasan imperialisme modern bermula dari kemajuan ekonomi.
Imperialisme modern timbul sesudah revolusi industri. Industri besarbesaran (akibat revolusi industri) membutuhkan bahan mentah yang banyak
dan pasar yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan
mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri, kemudian juga sebagai tempat
penanaman modal bagi kapital surplus.
Imperialisme modern bisa diwujudkan dalam beberapa bentuk:
1. Imperialisme politik. Negara imperialis tersebut menguasai politik
sebuah bangsa. Menguasai dalam arti mempengaruhi atau mendikte
pemerintahan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
2. Imperialisme Ekonomi. Sang imperialis hendak menguasai hanya
ekonomi sebuah negara. Jika suatu negara tidak mungkin dapat dikuasai
dengan jalan imperialisme politik, maka negara itu masih dapat dikuasai
jika ekonominya bisa dikendalikan oleh imperialis. Imperialisme
ekonomi inilah yang sekarang sangat disukai oleh negara-negara
tertentu untuk menggantikan imperialisme politik.
3. Imperialisme Kebudayaan. Tipe ini menghendaki penguasaan atas jiwa
(de geest, the mind) negara lain. Dalam kebudayaan terletak jiwa suatu
bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah, berubahlah jiwa bangsa.
Menguasai budaya suatu bangsa berarti mengusai segala-galanya.
Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat
berbahaya, karena infiltrasinya mudah, dan jika sebuah bangsa telah
terbudayakan
sesuai
budaya
imperialis,
maka
akan
sulit
membebaskan diri.
4. Imperialisme Militer (Military Imperialism). Di mana para imperialis
hendak menguasai kedudukan militer suatu negara. Ini dijalankan untuk
menjamin keselamatan mereka untuk kepentingan agresif atau ekonomi.
Tidak perlu seluruh negara diduduki sebagai jajahan, cukup hanya
menempati lokasi-lokasi yang strategis sehingga de facto-nya berarti
menguasai seluruh negara.
Imperialisme modern inilah yang banyak menggambarkan prilaku
negara kuat (Amerika Serikat) dewasa ini seperti yang akan dibahas pada
bab-bab berikutnya.
40
41
membawa
kebaikan-
terpaksa
melakukan
perang
demi
Louis Janowski, Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy, dalam Foreign Service
Journal, Mei 2004, p. 55.
menyelamatkan warga Athena dari pemimpin yang otoriter dan kejam. Atas
alasan inilah kekuasaan Athena satu per satu ditaklukkan.
Akan tetapi, faktanya tidak pernah ada perang untuk keadilan. Perang di
atas ternyata hanya di latar belakangi oleh ketakutan Sparta atas dominasi
Athena yang makin meluas. Oleh karena itu, Sparta memerlukan tindakan
antisipatif agar dominasi Athena ini terhenti, sehingga posisi Sparta dan
wilayah taklukannya tetap aman dari jangkauan Athena42. Dengan demikian
perang ini bukanlah perang demi kemanusiaan, namun perang demi
kepentingan politik belaka.
Pada masa kolonialisme, justifikasi perang adil ini pun juga
disertakan. Para penjajah termasuk Spanyol dan Belanda pada abad ke-16 juga
menjustifikasi perjalannya sebagai usaha untuk menyebarkan kebaikan (agama
Kristen) di dunia. Namun faktanya adalah penjelajahan negara-negara Eropa
tersebut hanyalah demi sebuah ambisi imperial menaklukkan wilayah baru
guna menciptakan koloni dan mendapatkan sumber produksi untuk kelestarian
industri ekonomi di negara masing-masing.
Perang atau kebijakan luar negeri lainnya memang cenderung memiliki
dua wajah; demi kebaikan bersama (idealisme) atau demi kepentingan politik
se pihak (realisme). Untuk menentukan motif mana yang dominan, bisa diukur
dari motif, strategi dan akibat yang ditimbulkan kemudian.
42
Lihat Thomas L Pangle dan Peter J. Ahrensdorf, Justice Among Nation; On the Moral
Basis of Power and Peace (Kansas: University Press of Kansas, 1999), p. 19.
BAB III
43
44
Carl J. Friedrick, Man and His Government (New York: Mc Graw Hill, 1963), h.79.
Britannica Concise Encyclopedia 2006, diakses dari http//.en.wikipedia.org
45
Uwe Johannen, et.al, 911: September 11 and Political Freedom (Singapore: Select
Publishing, 2003), p. 31.
46
Richard A. Clarke, Menggempur Semua Musuh; di Balik Perang Amerika Serikat
Melawan Teroris (Against all enemies; inside Americas war on terror), Penerjemah Tim Sinergi
(Jakarta: Sinergi Publishing, 2004), h. 95.
47
Ibid., h. 125.
Trias Kuncahyono, Terorisme dan Ambisi Neo-Imperialisme AS; Setahun Setelah
Tragedi 11 September, Kompas, 11 September 2002, h. 30.
49
Ibid., h. 30.
48
Reaksi keras dan emosional ini tidak hanya terulang sekali atau dua
kali saja, Presiden Bush hampir mengulang kata-kata emosional yang sama
kapan pun, dimana pun serta kepada siapa pun. Bob Woodward, pengarang
salah satu buku international best seller mengutip penggalan percakapan
antara Presiden Bush dan Wakil Presiden Dick Cheney, were going to find
who did this Bush said to Cheney, and were going to kick their ass50
Bagitu lah reaksi Presiden Goege W Bush dalam merespon aksi
teror. Oleh karena itu, cukup bisa dimaklumi kenapa pilihan-pilihan militer
lebih diutamakan dari pada opsi diplomasi meskipun cara diplomasi juga
tetap digunakan.
Selain alasan instrinsik di atas, tak kalah andil sebagai
penyumbang lahirnya sistimatisasi kebijakan war on terrorism pada masa
pemerintahan Bush adalah makin intensifnya kegiatan al-Qaida, Jamaah
Islamiyah dan negara-negara sponsor terorisme.
2. Serangan Al-Qaida terhadap Amerika Serikat dan Dunia51
Al-Qaida telah membuktikan dirinya sebagai organisasi yang
fleksibel, gesit dan cepat. Al-Qaida juga telah berhasil merekonfigurasi
dirinya menjadi organisasi yang lebih reflektif terhadap ideologi.
Konsekuensinya
adalah
Amerika
Serikat
semakin
sulit
untuk
mengalahkannya52.
50
53
Steven Simon, Al-Qaida Then and Now dalam Karen J. Greenberg, ed., Al-Qaida
Now: Understanding Todays Terrorists (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), p. 1415.
54
Yasraf Amir Piliang Hiperterorisme dan Hiperteknologi dalam Farid Muttaqin dan
Sukidi, ed., Terorisme Serang Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 63.
55
Bob Woodward, Bush at War, p. 33.
khalq.
Syiria, karena memberi izin kepada Hamas untuk membuka cabang di
Damaskus
Libya, karena memberi bantuan kepada Islamic Jihad Palestina
Kuba, karena keterkaitannya dengan National Liberation Army dan The
56
Chawat Satha-Anand, Mitigating the Success of Terrorism with Politic of Truth and
Justice, dalam Uwe Johannen, et.all., 911: September 11 and Political Freedom (Singapore:
Select Publishing, 2003), p. 18.
57
Lihat Majid Tehranian, The Center Cannot Hold: Terrorism and Global Change
dalam Uwe Johannen, et.all, 911: September 11 and Political Freedom (Singapore: select
Publishing, 2003), p. 46. Lihat juga Louis Janowski, Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy
dalam Foreign Service Journal, Mei, 2004, p. 55.
Clinton. Oleh karena itu, Clinton berusaha mengisolasi Amerika Serikat agar
tidak terlibat langsung dalam konflik internasional.
Kedua adalah penyebaran liberalisme. Liberalisme secara umum adalah
ideologi
yang
menegaskan
komitmen
pada
kesetaraan,
kebebasan,
memenangkan
perang
melawan
terorisme
antara
lain,
Richard Bellamy, Liberalisme dalam Roger Eatwell dan Anthony Wright, ed.,
Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer, Penerjemah R.M. Ali (Yojyakarta: Jendela, 2004), h. 32.
dasar
manusia
termasuk
beragama,
berfikir,
berbicara,
59
Homeland Security Council, 9/11 Five Years Later: Successes and Challenges
(Washington: White House, September 2006), p. 5.
60
Homeland Security Council, Strategies for Winning the War on terror (Washington:
White House, 2003), p. 1.
61
Asumsi pemerintahan Amerika Serikat Serikat ini cukup berbeda dari keyakinan
banyak pemikir sosial dan sejarawan di berbagai negara. Motif ekonomi bagi sebagian pemikir
sama kuatnya dengan motif politik maupun agama. Para eksekutor bom pada umumnya berasal
dari keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah. Dan pelaku adalah tulang punggung keluarga
yang sangat mengharapkan kesejahteraan yang cukup bagi anak dan istrinya. Oleh sebab itu,
tatkala datang tawaran untuk melakukan pem-bom-an dengan imbalan kesejahteraan bagi
keluarga, mereka menerima tawaran tersebut. Kemudian desakan ekonomi ini dibumbuhi
semangat ideologis atau semangat keagamaan. Ini juga sekaligus menjadi penjelasan mengapa aksi
pem-bom-an banyak terjadi di negara-negara berkembang (miskin).
62
Homeland Security Council, Strategies, p. 1.
seperti
ini,
pemerintahan
tersebut
sangat
mudah
63
Asumsi ini memang ada benarnya bahwa tidak semata lahirnya terorisme karena isu
Israel-Palestina. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa isu Israel-Palestina menjadi salah satu
motivasi yang membakar semangat perjuangan kelompok yang dianggap teroris. Lahirnya
terorisme secara umum merupakan sebuah respon keras atas dominasi Amerika Serikat Serikat
yang secara struktural telah mengintervensi dan mendikte para pemimpin di negeri muslim.
Intervensi ini kemudian mengakibatkan liberalisasi dan westernisasi di segala bidang dan akhirnya
menjadi cikal bakal rusaknya ekonomi, politik bahkan moral umat. Jika intervensi Amerika Serikat
ini adalah bara-nya, maka keberpihakan Amerika Serikat kepada Israel adalah api-nya.
64
Hal ini tentu benar jika orang menganggap bahwa intervensi Amerika Serikat Serikat di
wilayah muslim jauh sebelum deklarasi war on terrorism bukanlah sebuah tindakan yang bisa
dilabelkan dengan kejahatan. Namun jika orang menganggap bahwa intervensi Amerika Serikat
di berbagai wilayah muslim sebagai kejahatan, maka sanggahan Amerika Serikat tentulah tak
beralasan.
65
Homeland Security Council, Strategies, p. 1.
inilah yang selalu menjadi retorika dan motivasi yang kuat untuk balas
dendam dan teror.
Kelompok masyarakat korban konspirasi dan informasi yang tidak benar.
Kelompok teroris merekrut --secara lebih efektif dari-- populasi yang
perbendaharaan informasinya tentang dunia telah terkontaminasi atau
terjerat oleh konspirasi66. Distorsi informasi ini menjaga kebencian
mereka terhadap musuh sehingga menutup mata dari fakta yang
sebetulnya bisa mengubah sangkaan dan propaganda se pihak tersebut.
Adanya ideologi yang membenarkan pembunuhan. Inilah point terakhir
yang menakutkan bagi Amarika Serikat. Di saat sebuah aksi sudah
dibenarkan oleh ideologi seperti agama, maka pelakunya tidak akan
merasa takut. Bahkan mati dalam misi adalah sebuah status istimewa
yang pantas mendapat imbalan surga.
Mengalahkan terorisme dalam kurun waktu jangka panjang
membutuhkan penyelesaian pada bidang-bidang tersebut di atas. Demokrasi
yang efektiflah satu-satunya cara untuk menyelesaikan setiap problem di
atas, karena demokrasi adalah sebuah sistem yang mampu menghancurkan
kondisi-kondisi yang bisa dieksploitasi oleh kelompok teroris. Dengan
demokrasi, maka:
66
Ibid., p. 2.
67
Kerja yang paling vital untuk mencapai tujuan itu tentunya akan
berlangsung di dalam dunia Islam itu sendiri seperti Indonesia, Jordan,
Maroco dan lain-lain yang telah memulai usaha ke arah ini. Selain itu peran
pemimpin agama juga sangat dibutuhkan untuk mengalahkan ideologi yang
jahat yang mengeksploitasi Islam untuk membenarkan tindak pembunuhan
orang-orang tak bersalah.
2. Membangun Fail State
Strategi jangka panjang kedua adalah membangun fail state. Fail
state atau negara gagal adalah sebutan bagi negara-negara yang dianggap
telah kehilangan kedaulatan. Kehilangan kedaulatan ini bisa disebabkan
karena negara yang bersangkutan menjadi sarang atau pelindung kelompok
teroris, atau bisa juga karena struktur dan rezim pemerintahannya yang
sangat otoriter.
Afganistan dan Irak adalah contoh negara yang dikategorikan
sebagai fail state, karena Afganistan di satu sisi dianggap sebagai pelindung
kelompok al-Qaida dan Irak di sisi lain, selain dipimpin oleh seorang
diktator, juga disinyalir memiliki senjata pemusnah masal yang berbahaya
bagi dunia.
Pembangunan negara-negara gagal ini dalam asumsi Amerika
Serikat Serikat- menjadi poin yang cukup determinan, karena kalau negara
ini dibiarkan tetap eksis, maka tidak ada jaminan atas stabilitas dan
keamanan nasional maupun internasional.
Kedua negara ini serta negara-negara lain yang satu tipe- akan terus
melahirkan usamah-usamah baru selama struktur negara dan kultur
masyarakatnya tidak diubah. Dengan latar belakang tersebut, maka tidak ada
jalan lain untuk menghentikan aksi teror global ini selain meruntuhan
pemerintahan otoriter dan menggantinya dengan demokrasi yang efektif.
Amerika Serikat Serikat menjadikan hal ini sebagai poin penting,
karena Amerika Serikat-lah yang nantinya menjadi sasaran utama
pelampiasan dendam kelompok-kelompok ekstrem. Dengan demikian,
membantu penyelesaian konflik yang berlarut-larut di negara-negara gagal
tersebut bukan hanya bagus untuk dunia secara umum, namun juga
membuat Amerika Serikat Serikat lebih aman68.
Amerika Serikat meyakini bahwa dunia ini adalah sebuah struktur
yang memiliki hubungan ketergantungan. Ibaratkan sebuah jasad, apabila
satu bagiannya terluka, maka bagian yang lain pun akan merasakan
sakitnya. Sehingga untuk menghilangkan sakit yang dirasakan semua
anggota jasad, maka bagian yang terluka harus disembuhkan69
Proses
perbaikan
fail
state
dimulai
dengan
meruntuhkan
68
Stphen M. Walt. Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Serikat,
dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru
Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 375.
69
Lihat Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2000), h. 63.
70
Amerika
Serikat
ini
memang
sering
dianggap
71
Stephen M Walt, Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Serikat,
dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru
Politik Internasional , h. 388.
72
Ibid., h. 391.
Ibid., h. 392.
Homeland Security Council, 9/11 Five Years Later, p. 7.
menjadi
pegangan
para
pengikutnya
untuk
kemudian
75
itu, yang paling ditakutkan oleh semua pihak adalah jika senjata
pemusnah masal berhasil didapatkan oleh para teroris. Jika senjata
pemusnah masal ada di tangan mereka, maka kerusakan yang
dihasilkan akan jadi berlipat ganda. Oleh karena itu, mencegah agar
semua tidak terjadi adalah kunci prioritas dari strategi Amerika
Serikat Serikat.
Pendanaan. Dana lah yang membuat semua aksi ini menjadi mungkin.
Dengan tersedianya dana, maka dengan mudah alat-alat yang
dibutuhkan dalam operasi bisa dibawa dan didapatkan. Kelompok
teroris mendapatkan pendanaan dari berbagai sumber termasuk
sumbangan dari para kontributor, NGO dan sedekah, selain itu dana
ini juga didapatkan dari sejumlah tindak kriminal seperti penipuan,
pemerasan, penculikan dengan tebusan dan sebagainya. Mereka
kemudian mentransfer dana ini melalui berbagai mekanisme, baik
melalui sistem perbankan biasa, debit, kurier uang cash dan hawalas
yaitu sebuah alternatif pembayaran yang berlandaskan kepercayaan
semata.
Komunikasi. Komunikasilah yang membuat para teroris mampu
mendapatkan, menyimpan dan memanipulasi serta mengubah
informasi. Metode komunikasi yang mereka gunakan cukup beragam.
Biasanya mereka menggunakan kurir dan komunikasi dari wajah ke
wajah dan cenderung menggunakan media yang bisa diakses di
wilayah tempat mereka menetap. Para teroris juga menggunakan
teknologi mutahir untuk meningkatkan efisiensi. Metode seperti ini
untuk
membenarkan
aksi
kekerasan
sekaligus
yang
pemeriksanan
identitas
perjalanan
serta
menciptakan
dan
teroris
tergolong
orang
yang
oportunistik.
Mereka
76
Ibid., p. 5.
77
78
Ibid,, p. 11-12.
dan melindungi kelompok teroris. Negara atau kelompok mana saja yang
memilih untuk menjadi sekutu atau teman kelompok teroris secara otomatis
telah menjadi lawan dari kebebasan dan keadilan. Dunia --dengan demikian- akan menghukum negara tersebut. Untuk mematahkan kerja sama antara
kelompok teroris dengan negara sponsor tersebut, Amerika Serikat Serikat
dan sekutu akan menghancurkan alur pendanaan dari negara kepada
kelompok teroris sembari mengakhiri sponsor mereka terhadap teroris.
a. Mengakhiri Sponsor terhadap Teroris.
Sponsor negara merupakan hal penting bagi kelompok teroris,
sponsor itu bisa dalam bentuk dana, senjata, latihan serta perlindungan.
Beberapa negara sponsor disinyalir telah memiliki kemampuan untuk
mengembangkan senjata pemusnah masal dan teknologi penghancur
lainnya, yang bisa jatuh ke tangan para teroris. Amerika Serikat Serikat
mendaftar lima negara yang dianggap sebagai sponsor utama kelompok
teroris yaitu Iran, Syiria, Sudan, Korea utara dan Cuba. Amerika Serikat
Serikat akan mengupayakan pemberian sanksi atas mereka dan
mengusulkan agar negara tersebut diisolasi dari pergaulan internasional
sampai mereka mengakhiri dukungannya terhadap kelompok teroris
termasuk menyediakan perlindungan.
Iran merupakan negara sponsor teroris yang paling aktif melalui
Garda Revolusi Islam dan Kementerian Inteligen dan Keamanan.
Teheran merencanakan operasi teroris dan mendukung kelompokkelompok seperti Hizbullah di Libanon, Hamas dan kelompok Jihad
Islam di Palestina. Iran juga tidak mau menyerahkan pimpinan senior al-
Qaida yang berada dalam tawanan Iran Tahun 200379. Dan yang paling
menakutkan adalah senjata pemusnah masal yang muncul di Teheran.
Untuk tujuan inilah, Amerika Serikat mendesak PBB sehingga keluarlah
Resolusi 1747 yang melarang pengayaan uranium Iran sekaligus
mengisolasi negara ini dari pergaulan internasional
Syiria juga merupakan negara sponsor yang signifikan dan pantas
mendapat perhatian. Pemerintahan di Damaskus mendukung dan
menyediakan kemudahan bagi Hizbullah, Hamas dan Jihad Islam
palestina. Amerika Serikat Serikat akan terus menentang kedua negara
ini.
b. Mengacaukan Aliran Bantuan dari Negara kepada Kelompok Teroris
Sampai
Amerika
Serikat
Serikat
berhasil
mengeliminasi
kemauan
internasional
(international
will)
untuk
79
sebagai
tempat
perlindungan
dan
persembunyian
untuk
80
BAB IV
ANALISIS KEBIJAKAN WAR ON TERRORISM PRESIDEN BUSH
kesepakatan yang menjaga sebuah dunia yang konsisten dengan kepentingan dan
nilai-nilai Amerika Serikat Serikat82.
Kebijakan baru Pemerintah Amerika Serikat Serikat di bawah pimpinan
Presiden Goerge W. Bush ini (seperti yang dibahas di bab III) dengan berbagai
sudut pandang bisa disebut sebagai tindakan imperial. Kesimpulan ini bisa
dijelaskan melalui analisis berikut.
A. War on Terrorism Menyimpang dari Kriteria Kebijakan yang Ideal
Ada tiga kriteria ideal untuk sebuah kebijakan luar negeri. Tidak
memenuhi ketiga kriteria ini akan melahirkan kebijakan yang tidak adil dan
imperial
1.
Limited goals. Memiliki tujuan yang jelas dan terbatas. Karakter kebijakan
luar negeri Amerika Serikat Serikat sebelum tragedi WTC 2001 bisa
disebut memenuhi kriteria limited goals ini, karena berpatokan pada
gabungan kepentingan real politik dan idealisme moral83. Gabungan
prinsip itu juga
Ibid., h. 438.
Louis Janowski, Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy dalam Foreign Service
Journal, May 2004, p. 55.
83
kriteria di atas. Untuk kategori limited goals misalnya, Amerika Serikat Serikat
sesungguhnya tidak memiliki tujuan yang jelas dan konsisten dari awal
memulai war on terrorism sampai detik ini. Tidak adanya tujuan yang jelas dan
terbatas tersebut terlihat dari perubahan fokus yang sangat drastis dari isu
terorisme al-Qaida kepada isu senjata pemusnah masal Irak. Padahal Irak tidak
memiliki hubungan apa-apa dengan al-Qaida. Tidak hanya berhenti disitu, isu
senjata pemusnah masal pun kemudian diganti lagi dengan isu perubahan rezim
(regime change) dan selanjutnya dibumbuhi dengan isu yang lebih ambisius
yaitu demokratisasi Irak dan Timur Tengah
Selain absennya tujuan yang jelas dan terencana dari awal, Amerika
Serikat Serikat juga tidak memiliki konsep serius terhadap upaya pembangunan
wilayah-wilayah yang hancur pasca perang. Pembangunan kembali supra
maupun infra struktur di negara-negara tersebut bukanlah persoalan mudah,
apa lagi kalau dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Itulah mengapa,
sampai saat ini Irak masih belum stabil baik dalam politik maupun keamanan.
Realitas tersebut mengindikasikan kegagalan yang disadari oleh pihak Amerika
Serikat Serikat. Ini jugalah yang menjadi alasan mengapa Amerika Serikat
kemudian mulai memohon bantuan dari PBB dan negara lain untuk ikut serta
membangun dan menstabilkan Irak.
Fenomena ini turut memperlihatkan ambiguitas dan inkonsistensi sikap
Amerika Serikat Serikat. Sedikit menoleh kebelakang, sesungguhnya invansi
Amerika Serikat ke Irak dilakukan tanpa restu PBB dan negara-negara besar di
Eropa. Amerika Serikat Serikat sama sekali tidak menggubris ajakan dan saran
PBB maupun beberapa negara Eropa untuk tidak melakukan serangan militer.
Namun, di saat Amerika Serikat mulai terdesak akibat dampak negatif invansi
ini, di saat itulah negara Paman Syam ini menghargai eksistensi PBB dan
negara lainnya tersebut84.
Untuk kategori kepentingan nasional, tentu kebijakan war on terrorism
memiliki dampak positif bagi Amerika Serikat, baik politik maupun ekonomi
yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Namun, di sisi lain, intervensi
Amerika Serikat Serikat ini akan membuat negara ini semakin rawan menjadi
sasaran teror. Karena, pihak-pihak yang merasa terganggu dan tersakiti oleh
perang Amerika Serikat akan berupaya memberi balasan serupa.
Untuk kategori dukungan internasional, kebijakan luar negeri Amerika
Serikat Serikat sangat kontroversial. Politik luar negeri Amerika Serikat Serikat
beserta presidennya, George W. Bush, makin tidak dipercaya. Hal ini tercatat
dalam opini publik tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam beberapa
konflik internasional85
84
Redaksi, Bush Panik; AS Bakal Lirik PBB, Kompas, 18 Maret 2004, h. 10.
Steven Kull, Global Polling Data on Opinion of American Policies, Values And People
(Subcommittee on International Organizations, Human Rights, and Oversight of the Committee on
Foreign Affairs House of Representatives, 2007), p. 4.
85
Tabel 1
Opini Dunia terhadap Campur Tangan Amerika Serikat
Data lain dari Survei internasional lembaga non partisan Pew Research
Center juga menunjukkan bahwa dukungan terhadap Amerika Serikat makin
turun sejak Tahun 2002. Itu terbukti dengan rendahnya dukungan publik atas
invansi militer Amerika Serikat Serikat ke Irak dan Afghanistan serta
kampanye war on terrorism yang terus didengungkan86. Tindakan tersebut
justeru memperburuk citra Amerika Serikat di dunia internasional
Hasil
survei
Pew
Research
menggambarkan
fakta
meluasnya
perlawanan publik atas invasi Amerika Serikat ke Irak. Makin banyak orang termasuk di Amerika Serikat sendiri- yang meminta pasukan Amerika Serikat
ditarik dari Irak, Ghana, Nigeria, dan Kenya. Presiden Pew, Andrew Kohut
86
Tabel 2
Pandangan Dunia terhadap Pengaruh Amerika Serikat
87
88
ibid
Bara Hasibuan, Bush Menentang Dunia, Kompas, 21 Maret 2003, h. 4.
89
Ibid., h. 4.
90
Steven kull, Global Polling Data on Opinion of American Policies, p. 1.
Thomas L Pangle dan Peter J. Ahrensdorf, Justice Among Nation; On the Moral Basis
of Power and Peace (Kansas: University Press of Kansas, 1999), p. 14-15.
dan
penolakan
tanpa
harus
mempertimbangkan
peraturan
Wawancara Harry Kreisler dengan Kanneth Walt dengan tema Conversations with
History 10 Februari 2003 di UC. Berkeley, diakses dari http//en.wikipedia.org/wiki/Kenneth
Waltz
Keuntungan Politik.
mengontrol
dan
mengantisipasi
gejolak-gejolak
Irak merupakan tempat lahirnya dua era peradaban besar. Peradaban Mesopotamia di
masa sebelum masehi dan peradaban Islam di era Dinasti Abbasiyyah. Irak menjadi kiblat
peradaban dan pengetahuan yang mengispirasi barat.
99
David Michael Green, What Every American Should Know about Irak pada
mailto:dmg@regressi veantidote. net.
kelompok yang terdiri dari kepala negara dari Uni Eropa menekankan
kepada Amerika Serikat untuk melakukannya secara proporsional100
Perang Amerika Serikat atas Irak ini dapat menjadi awal imperial
over stretch. Selain asalan-alasan di atas, ada beberapa indikasi mengapa
tindakan Amerika Serikat Serikat tersebut dinilai sebagai serangan yang
tidak pantas yang pada akhirnya dinilai sebagai sebuah upaya untuk
mempertahankan dunia yang uni polar adalah:
Kesalahan mengaitkan isu al-Qaida dengan Irak. Irak diperangi karena
alasan terorisme; bahwa al-Qaida memiliki hubungan yang dekat
dengan Irak. Kalau dicermati, Sadam Hussain dan Usamah bin Laden
meskipun sama-sama anti Amerika Serikat-- memiliki asas dan
pemikiran yang sangat berbeda. Saddam Hussain adalah seorang
sosialis sekuler yang tidak terobsesi dengan pemerintahan Islam,
sedangkan Usamah adalah pemimpin al-Qaida yang anti terhadap
Amerika Serikat Serikat, sekutu dan para pemimpin Islam yang
dianggap kafir atau tidak Islami. Keduanya juga merupakan ideolog
yang kuat dan konsisten. Sehingga cukup mustahil jika kedua spektrum
yang bertolak belakang ini bisa bekerjasama. Mantan Perdana Menteri
Inggris Tony Blair juga mengakui bahwa ia tidak mengetahi adanya
bukti yang secara langsung menghubungkan al-Qaida dan Irak serta
aksi teroris di Inggris101. Hal ini turut dibenarkan oleh Louis Janowski,
it is wrong to relate al-Qaida and Baat Irak, because both have
100
Stephen M Walt, Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Serikat
dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru
Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 373.
101
Redaksi, Blair lihat Hubungan al-Qaida dan Irak, Kompas, 22 Januari 2003, h. 3.
different spectrum. It is wrong either to link Iran and Irak and North
Korea102.
Amerika Serikat menganggap bahwa Irak dan al-Qaida akan
bergabung dalam sebuah usaha menciptakan sebuah kekhalifahan di
muka bumi103. Kalau pun asumsi Amerika Serikat itu benar adanya,
lagi-lagi ini menunjukkan ketakutan Amerika Serikat Serikat akan
munculnya kekuatan baru di dunia.
Inkonsistensi tujuan. Semula disebutkan bahwa perang hanya untuk
melucuti senjata pemusnah masal kepunyaan Saddam Hussain. Bush
lalu melangkah lebih jauh dan mengatakan tujuan perang adalah regime
change (perubahan rezim). Setelah itu diungkapkan lagi tujuan yang
amat ambisius, yaitu perang demi menanamkan demokrasi bukan hanya
di Irak tapi juga di seluruh Timur Tengah
Jika memang betul tujuannya adalah melucuti senjata, apakah
perlu serangan militer? Apakah tidak cukup dengan pendekatan
inspeksi? Dan kalau pun Irak memilki senjata itu, apakah ada bukti
bahwa senjata itu akan digunakan untuk menyerang Amerika Serikat
Serikat dan sekutu? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sangat sulit
dijawab secara konkret.
Amerika Serikat tidak bisa membuktikan bahwa Irak memiliki senjata
pemusnah masal yang berbahaya bagi dunia. Laporan CIA (Irak Survey
Group) Tahun 2003 menyimpulkan bahwa setelah ahli persenjataan
melakukan pencarian intensif selama berbulan-bulan di Irak, ternyata
102
Louis Janowski, Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy dalam Foreign Service
Journal, p. 55.
103
National Security Council, Highlights of the Irak Strategy Review, January 2007, p. 1.
104
Irak masih memiliki sumber minyak lain yang belum ditemukan yang bisa
mencapai 250 milyar barel105.
Ada tiga faktor yang membuat minyak Irak menjadi sangat
istimewa106:
Kualitas tinggi. Minyak Irak memiliki kualitas tinggi karena minyak Irak
memiliki unsur kimia yang menarik, mengandung karbon yang tinggi dan
rendah sulfur serta berkilau yang sangat cocok untuk dikembangkan
menjadi produk bernilai tinggi.
Memiliki suplai yang sangat Banyak. Minyak Irak sangat berlimpah.
Tahun 2002 tercatat 112.5 milyar barel, atau sekitar 11% jumlah total
minyak dunia. Sejak nasionalisasi industri Tahun 1972 minyak Irak
masih kurang tereksplorasi. Para pakar yakin bahwa Irak memiliki
potensi sumber minyak di atas 200 milyar barel. Bahkan Departemen
Energi Amerika Serikat mengatakan bahwa Irak memiliki sumber
minyak mencapai sekitar 400 milyar barel.
Irak memiliki 112 milyar barel seperti yang telah
dilaporkan, sebuah negara penghasil minyak terbesar di dunia
setelah Arab Saudi. Potensi minyak Irak mungkin lebih besar dari
pada ini, sesungguhnya negara ini belum dieksplorasi dikarenakan
perang dan sanksi. Di daerah barat gurun misalnya terdapat
sekitar 100 milyar barel yang belum dieksplorasi107.
Sangat rendah biaya produksi sehingga mempertinggi keuntungan
minyak per barel. Departemen Energi Amerika Serikat Serikat
menegaskan bahwa produksi minyak Irak minyak merupakan yang
105
James A. Paul, Irak: the Struggle for Oil, Global Policy Forum, August 2002
(direvisi Desember, 2002)
106
James A. Paul, Oil in Irak: the heart of the Crisis, Global Policy Forum, Desember,
2002.
107
http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/Irak.html.
108
James A. Paul, Irak: the Struggle for Oil, Global Policy Forum.
109
110
Ibid,.
James A. Paul, Irak: the Struggle for Oil, Global Policy Forum.
Appropriated
by
Private
Companies
merupakan
perkiraan
111
James A. Paul, The Irak Oil Bonanza: Estimating Future Profits, Global Policy
Forum, Januari 2004.
112
Ibid,.
113
James A. Paul, Oil in Irak: the Heart of the Crisis, Global Policy Forum.
minyak. Fakta ini didukung oleh keterlibatan Australia di Irak yang memang
hanya dilatar belakangi oleh keinginan mendapat daerah pemasok minyak
bumi tersebut. Menteri Pertahanan Australia Brendan Nelson diketahui
oleh John Howard, Perdana Menteri saat itu- mengakui bahwa menjamin
pasok minyak adalah alasan utama di belakang keberadaan pasukan
Australia di Irak. Dia mengatakan, menjaga "keamanan sumber" di Timur
Tengah adalah prioritas.
"Sudah jelas Timur Tengah sendiri, dan tidak hanya khusus
Irak namun seluruh kawasan, adalah pemasok energi yang penting,
khususnya minyak, bagi seluruh dunia. Rakyat Australia dan kita
semua harus memikirkan apa yang akan terjadi jika pasukan ditarik
lebih cepat dari Irak. Ini adalah kepentingan kita, kepentingan
dalam hal keamanan, untuk memastikan kita keluar dari Timur
Tengah, dan khususnya dari Irak, dalam posisi yang aman114
114
BBC, Australia 'Has Irak Oil Interest', 5 Juli 2007. Lihat juga James Paul,
Confidential Document on Irak Oil Lobbying, Global Policy Forum, 14 Juli 2006.
115
BBC, Australia 'Has Irak Oil Interest'.
Serikat
Serikat
dalam
proses
war
on
terrorism
116
Jacobson and Lipman, An Outline of Political Science (New York: Barnes and Noble,
1951), p. 34.
117
Trias Kuncahyono, Terorisme dan Ambisi Neo-Imperialisme AS, Kompas, 11
September 2002, h. 30.
efektif
telah
mengorbankan
kedaulatan
mereka,
sehingga
118
G. John Ikenberry, Ambisi Imperial AS, dalam Council on Foreign Policy, Amerika
Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, h. 443-444.
119
Ibid., h. 441.
120
Ibid.,, h. 442.
ini
sebagai
tindakan
pembelaan
diri,
namun
dunia
Ibid.,, h. 443.
Amnesty International, Perang AS Melawan Terorisme Lecehkan Hukum
Internasional, Kompas, 2 Juni 2003, h. 34.
122
warga negara asing, sebagian besar muslim yang ditangkap setelah peristiwa
bom WTC. Lebih dari 700 diantaranya ditahan karena pelanggaran hukum
biasa dan sebagian lagi karena pelanggaran peraturan keimigrasian
Sampai akhir Tahun 2002 sebagian besar di antara mereka yang
terjaring dalam operasi sweeping dibebaskan atau dideportasi atau dituntut
telah melakukan kejahatan yang tidak punya sangkut pautnya dengan
peristiwa 11 September atau aksi terorisme.
Laporan Amnesty International juga menyebutkan adanya perlakuan
yang tidak semestinya terhadap para tahanan, seperti penyiksaan,
pembunuhan serta penggunaan kekerasan secara berlebihan. Tercatat
sedikitnya tiga orang tewas setelah mengalami penyiksaan yang dilakukan
dengan menggunaan alat pelumpuh listrik bertegangan tinggi yang
dikembangkan oleh badan kepolisian. Amnesty Internasional juga
mengkritik masalah eksekusi. Sejumlah 69 laki-laki dan 2 perempuan telah
dieksekusi pada tahun 2002123. Sebanyak 820 orang dihukum mati. Amerika
Serikat Serikat menurut Amnesty International selalu melanggar standarstandar internasional tentang menjatuhkan hukuman.
Ini juga merupakan misteri politik internasional yang sangat tidak
adil. Bagaimana mungkin sebuah negara bisa melepaskan diri dari ikatan
internasional dan melakukan sejumlah pelanggaran, namun bebas dari
sanksi internasional.
123
Ibid., h. 34.
Sekali lagi ini merupakan dampak dari absennya kekuatan check and
balance
dalam
dunia
internasional.
Amerika
Serikat
berupaya
masyarakat. Irak dan Afganistan, merupakan dua negara yang telah memiliki
akar budaya yang bersejarah. Irak misalnya, merupakan negara pewaris dua
peradaban besar yang pernah ada di dunia (Mesopotamia dan dinasti
abbasiyah).
124
David Michael Green, What Every American Should Know about Irak pada
mailto:dmg@regressi veantidote. net.
Kalau memang pluralitas dan hak asasi manusia adalah nilai universal
yang perlu dihormati setiap negara, maka sepatutnya war on terrorism pun
hendaknya mencerminkan penghormatan tersebut. Akan tetapi, nilai-nilai
esensi demokrasi di atas, tidak menjadi pedoman Amerika Serikat Serikat
dalam memenangkan perang melawan terorisme125.
Tidak hanya di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, implikasi war
on terrorism juga terasa sampai ke Asia Tenggara. Amerika Serikat Serikat
sebagai bapak negara-negara berkembang di Asia Tenggara memerintahkan
kepada negara asuhannya untuk mewaspadai segmen tertentu dalam
masyarakat, terkhusus muslim. Tidak jarang ajakan ini berujung pada
perubahan perlakuan negara se tempat terhadap kelompok muslim, mulai dari
pengusiran, penangkapan maupun perlakuan sebagai warga negara kelas
dua126.
Kondisi yang terus berlangsung selama berbulan bahkan bertahuntahun ini menimbulkan efek psikologis yang dalam bagi masyarakat di daerah
konflik khususnya dan masyarakat dunia umumnya. Selain efek ketakutan
karena bisa menjadi korban kapan saja, perang ini juga menimbulkan dendam
yang besar di kalangan kelompok tertentu terhadap Amerika Serikat khususnya
serta peradaban barat umumnya.
Untuk selanjutnya dendam ini menjadi embrio munculnya gerakan
radikal yang bertujuan untuk balas dendam.
Selain laporan yang diberikan oleh Amnesty Internasional pada bagian terdahulu,
Amerika Serikat Serikat tidak lagi menjadikan demokrasi sebagai barometer kerja sama dengan
negara lain. Amerika Serikat tetap menjalin kerja sama dengan Pemerintahan Pakistan yang jelas
diperoleh secara non-demokratis.
126
Lebih jelasnya baca John Funston, dkk, Voice of Islam in the South East Asia.
kebijakan ini para tahap tertentu-- bisa mengubah posisi seorang moderat
menjadi seorang fundamentalis, karena intensitas dan arogansi Amerika Serikat
yang tak berbatas127.
Tidak dapat dibantah, serangan pre emptive ke Irak akan membuat
dunia semakin tidak aman dan rentan terhadap berbagai serangan teroris.
Begitu juga, susah untuk membantah argumentasi bahwa perang ini bukan the
last
resort
(cara
terakhir),
karena
Amerika
Serikat
Serikat
belum
Seseorang yang awalnya berfikir moderat, bisa saja bergeser menjadi sangat
fundamentalis terkhusus untuk kasus perang Amerika Serikat. Ini terjadi selain karena adanya
dorongan solidaritas keagamaan dan kemanusiaan, juga karena sifat war on terror itu sendiri yang
diketahui cacat dalam dirinya karena memiliki tujuan terselubung. Fenomena ini terbukti dari
wawancara Ulil Absar Abdalla dengan Prof. Dr. Nurcholish Madjid, 30 Maret 2003 yang diberi
judul dengan Omong Kosong Bush Membebaskan Rakyat Irak.
128
Bara Hasibuan, Bush Menentang Dunia, Kompas, h. 4.
Sikap hitam putih ini menyulitkan banyak negara yang memiliki posisi
dilematis, terutama negara yang berpenduduk muslim. Sebagian kelompok
muslim saat ini telah diidentikkan sebagai teroris global yang memiliki
jaringan komunikasi yang luas (seperti al-Qaida dsb). Dan mereka yang
diklaim sebagai teroris tidak bisa dipungkiri-- juga memiliki tradisi ibadah
yang hampir sama dengan muslim-muslim lainnya di dunia, sehingga mereka
sangat sulit teridentifikasi. Kalau lah disebutkan bahwa mereka berasal dari
kelompok fundamentalisme, sesungguhnya fundamentalisme agama ada di
setiap negara dengan tradisi yang hampir mirip.
Desakan-desakan ini akhirnya berakibat pada pengkotakkan kekuatan
dunia. Masyarakat yang memiliki satu akar peradaban mulai berbagi
solidaritas. Ketidak adilan yang diterima satu segmen masyarakat di satu
negara mulai direspon secara serius atas dasar persaudaraan satu peradaban.
Mudah-mudahan asumsi akan terjadinya benturan antara peradaban
cuma ada dalam tataran asumsi. Namun sayangnya, sikap dan kebijakan war
on terrorism Amerika Serikat Serikat telah menyumbangkan sejumlah saham
yang memungkinkan benturan antara peradaban ini terjadi. Secara formal,
benturan ini mungkin belum terjadi, namun secara kultural, bentural itu
sesungguhnya telah di mulai.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
satu kekuatan yang cukup absolut, maka akan tetap terjadi misteri-misteri
internasional yang tak bisa diprotes oleh satu negara pun.
Lembaga-lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa harus
semakin dikuatkan posisi dan reputasinya. Setelah itu, lembaga ini perlu
dipimpin oleh seseorang yang independen.dan berani melihat realitas.
Dengan demikian lembaga ini akan semakin tegas terhadap setiap
pelanggaran dan memberi sangsi terhadap siapa saja yang terbukti
melanggar.
Diperlukan kajian-kajian kritis untuk melihat fenomena global seperti
terorisme maupun imperialisme. Disinilah peran para akedemisi baik
mahasiswa maupun pengajar demi menghasilkan pemahaman yang
komprehensif
Terakhir, skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi siapa saja yang membaca
terutama pada panulis sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Penerjemah
Syafruddin
Hasani.
Lewis, Bernard. The Crisis of Islam; Holy War and Unholy Terror. London:
Weidenfield & Nicolson, 2003.
--------------------. What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern
Response. Oxford: Oxford University Press, 2003.
Lutz, James M dan Lutz, Brenda J. Global Terrorism. New York: Routledge,
2004.
Mamdani, Mahmood. Good Muslim, Bad Muslim; Amerika, the Cold War and the
Roots of Terror. New York: Pantheon books, 2004.
Morganthau, Hans. Politik Antar Bangsa. Edisi VI. Buku Pertama, Penerjemah S.
Maimoen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990.
Muttaqin, Farid dan Sukidi. ed. Terorisme Serang Islam. Bandung: Pustaka
Hidayah, 2001.
Napoleoni, Loretta. Modern Jihad: Tracing the Dollars Behind the Terror
Networks. London: Pluto Press, 2003.
Nye, Joseph S. Memimpin Dunia; Sifat Kekuatan Amerika yang Berubah.
Penerjemah Budhy Kusworo. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1992.
Pangle, Thomas L dan Ahrensdorf, Peter J. Justice Among Nation; On the Moral
Basis of Power and Peace. Kansas: University Press of Kansas, 1999.
Stern, Jessica. The Ultimate Terrorists. Harvard: Harvard University Press, 2001.
Woodward, Bob. Bush at War. London: Pocket Books, 2003.
Yusmadi N. Implikasi Kebijakan War on Terror Amerika Serikat Bagi Islam
Politik di Indonesia. Tesis s2, Universitas Indonesia, 2005.
Koran
Amerika dan Eropa bersaing Kuasai dunia. Pikiran Rakyat, 16 Desember 2004.
AS dan Terorisme Internasional. KOMPAS, 13 September 2001.
Blair Lihat Hubungan al-Qaeda dan Irak. KOMPAS, 22 Januari 2003.
Bush Beri Kesaksian atas Serangan 11/9. Media Indonesia, 30 April 2004.
Bush Panik, AS Bakal Lirik PBB. Republika, 18 Maret 2004.
Bush Says War on Terrorism is Succeeding. The Jakarta Post, 05 Maret 2003.
Dua Tahun Teror Nine-One-One. Media Indonesia, 11 September 2003.
Irak dan Menguatnya Terorisme serta Radikalisme Global. KOMPAS, 14
Desember 2003.
Ketika AS dengan Hegemoninya Menuai Teror. KOMPAS, 15 November 2003.
Pemimpin AS Diharapkan Hati-hati soal Antiterorisme. KOMPAS, 22
September 2001.
Richard Clarke Bersaksi: Bush Kacaukan Perang terhadap Terorisme. Media
Indonesia, 26 Maret 2004.
The War on Terror. The Jakarta Post, 20 November 2002.
U.S. Warns that al-Qaeda Network is Looking for Soft Targets. The Jakarta
Post, 06 November 2002.
War on Terrorism Must be Within Limits of the Law. The Jakarta Post, 30
September 2002.
Aminy, Aisyah. Perang terhadap Terorisme. Republika, 27 Agustus 2003.
Amnesty International. Perang AS Melawan Terorisme Lecehkan Hukum
Internasional. KOMPAS, 02 Juni 2003.
Baasir, Faisal. Dunia dalam Perangkap AS. Republika, 12 April 2003.
Ghulam Dz, Rifma. Kebijakan Antiterorisme Bush. Republika, 31 Oktober
2003.
Habu, Shuichi. Sept. 11 One Year Later: Terror Aftermath Opens Cracks in the
West. The Jakarta Post, 11 September 2002.
Hasibuan, Bara. Bush Menentang Dunia. KOMPAS, 21 Desember 2003.
Hussain, Mushahid. Bush Reinventing War on Terror in Response to
Opposition. The Jakarta Post, 14 Oktober 2003.
Dokumen:
Homeland Security Council. 9/11 Five Years Later: Successes and Challenges.
Washington: White House, 2006.
Homeland Security Council. Highlights of the Irak Strategy Review. Washington:
White House, 2007.
Homeland Security Council. National Strategy for Homeland Security.
Washington: White House, 2007.
Homeland Security Council. Strategy for Winning the War on Terror.
Washington: White House, 2006.
Website
http//www.whitehouse.com
http//www.wikipedia, the free encyclopedia.com
http//www.thirdworldtraveler.com
http//www.cdi.org
http//www.washingtonpost.com
http//www.dansargis.org
http://www.archives.nouvelobs.com/
http://www.soaw.org
http/www.americandiplomacy.org
http://islamlib.com/id
http//www.worldpublicopinion.org
http//www.globalpolicy.org