Kelas: XI MIA 5
Antara Hipotesis Cinta Bersama Kenangannya
(oleh: Ajeng Amalia Santika)
Dikeheningan pagi, diselimuti dinginnya embun pagi, duduk
di kursi kayu yang nyaris rapuh, terdiam. Merenung menanti
untuk menyambut sang surya yang akan terbut untuk menempati
singgasananya di lazwar biru yang akan menetangi bumi ini,
bukan hatiku, bukan pikiranku, ya bukan untukku. Kini masih
ku bisa menikmati terangnya bumi dikala siang meskipun hatiku
yang selalu berada di malam hari, dalam kegelapan, dan tak
mungkin adanya pelangi. Tak ada lagi hari-hari yang penuh warna
bagiku, hari demi hari selalu sama, selalu dalam keheningan. Tak
terasa sang surya pun telah menampakkan wajahnya di balik
gunung menyorotkan sinar terangnya yang menyilaukan mataku
yang berinai. Bibirku mulaimeeberi reflex dengan emotku yang
tersenyum. Tetapi kali ini ada yang berbeda, tidak seperti harihari kemarin saat ku menyambut sang surya. Di balik cahaya
terangitu, muncul seorang lelaki berjas putih, dengan membawa
gitar di tangan kananya, matanya yang coklat menatapku dengan
keseriusan membawa senyuman yang manis. Ketika ia tepat
dihadapanku, diulurkannya tangan kananya, seakan ia akan
mengajakku. Siapa kau? Tanya ku. Sungguh kau tak
mengenaliku?. Diraihnya tanganku oleh tangannya. Ku terdiam
tanpa kata. Hanya memoriku yang bermain, membawaku ke
dalam sebuah kenangan.
Tak terasa 14 tahun kita bersama dalam suka maupun duka.
Menjalin pesahabatan yang abadi,, Aditya dan Aqila. Sudah sangat lama
sekali kita bersahabat. Dari kita usia satu tahun sampai saat ini kita akan
masuk ke SMA, masa dimana para remaja merasakan lika-likunya cinta.
Persahabatan aku dan Aditya memang persahabatan yang abadi . Takkan
ada yang memisahkan kita berdua. Kita akan selalu bersama selamalamanya.
Hari pertama masuk SMA, di pagi hari ku begitu sibuk. Sama
seperti anak sekolah lainnya yang melakukan aktivitasnya saat akan
berangkat ke sekolah, tetapi aku berbeda dengan anak sekolah lainnya,.
Sangat jarang sekali aku bisa sarapan bersama kedua orangtuaku,
mencium tangannya, saat aku akan berangkat ke sekolah. Ya bagiku itu
benar-benar moment yang sangat langka. Kedua orang tuaku selalu sibuk
dengan pekerjaannya. Mereka tak pernah memperhatikanku. Mereka tak
pernah menyadari bahwa aku sudah hgaus akan kasih sayang. Terdengar
Qil..? Hey Qil.. kamu kenapa ?. hah apa ? oh aku gak kenapa-kenapa
ko iya Syai, akan aku bantu. Dont worry, friend.
Keesokan harinya di sekolah. Qil, kamu kenapa kok melamun?
Harusnya kamu senang, pulang sekolah nanti kita kan akan menjemput
orang tuami di bandara yang baru pulang dari UK. Ucap Adit dengan
riang gembira. Aku gak melamun kok. Aku sedang memikirkan nanti
malam kita akan makan malam bersama orangtuaku dan orangtuamu di
rumahku. Jawabku r\tersenyum. Dlaam pikiranku berbeda dengan
ucapanku. Sebenarnnya aku sedang memikirkan curhatan Syaima
kemarin. Dalam ucapanku, kubilang akan membantuny. Tapi dalam hatiku
berkata lain. Rasanya tak ikhlas hati ini. Baru kusadari, sebenarnya sudah
sangat lama ku menyimpan rasa kepadanya. Hanya perlu kau tahu.
Disaat aku berpacaran dengan lelaki lain, sebenarnya hatiku hanya
untukmu. Untuk mu Dit. Namun rasanya tak mungkin jika Adit merasakan
apa yang aku rasakan. Dia hanya menganggapku sebagai sahabat.. ya..
sebagai sahabat.
Di malam minggu ini Adit bersama orangtuanya datang ke
rumahku untuk mengadakan makan malam bersama. Sungguh
bahagianya aku. Ini benar-benar moment yang sangat indah, meskipun
hatiku sedang gundah. Dini hari tepatnya sekitar jam 2 malam, ku
mendengar bunyi Vas bunga yang pecah, tangisan perempuan, teriakan
yang membutku terbangun. Aku keluar dari kamar untuk mendekati
sumber keributan itu. Tidak disangka keributan itu berasal dari kamar
orangtuaku. Sepintas ku mendengar sebab-sebab mereka bertengkar.
Karena orang ketiga. Ayahku terbukti selingkuh. Sungguh tak kuat
mendengar pertengkaran mereka. Aku pergi ke luar rumah dengan
berpakaian piyama membawa handphone menuju taman di bukit nan
indah, tempat aku dan Adit menghabiskan waktu bermain bersama. Ku
duduk di kursi kayu, menangis sendirian di keheningan malam. Ku
telepon Adit tuk segera menemaniku di taman. Terdengar suara motor,
kukenali itu adalah suara motor Adit. Secara spontan akumenghampirinya
dan aku pun langsung memeluknya. Ku menangais di pelukannya. Adit
berusaha menenangkanku. Setelah aku tenang, baru aku menceritakan
semuanya kepada Adit. Adit ikut sedih. Dia berusaha mencarikan solusi
kepadaku. Tak terasa matahari mulai terbit di timur dan cahaya mulai
menyorotkan ke arah aku dan Adit. Adit mencoba untuk menghiburku
dengan memainkan musik dan gitarnya dan menyanyikan sebuah lagu
untuk ku. Ku tersenyum menatap kagum. Hingga akhirnya ku tertarik
untuk belajar gitar. Adit pun sangat antusian untuk mengajariku bermain
gitar hingga sore hari. Aku tidak mau pulang ke rumah. Lalu
kumemutuskan untuk pulang bersama Adit ke rumahnya. Tak disangka
ternyata di rumah Adit ada ibuku yang sedang berbicara kepada ibunya
Adit. Aku dan Adit mengupingkan pembicaraan itu dari jendela ruang
tamu. Di pembicaraan tersebut, ibuku akan menitipkan aku kepada