Anda di halaman 1dari 5

Komaruddin, Pluralis yang Sufistik

REP | 18 October 2012 | 22:19 Dibaca: 493

Komentar: 4

Biografi singkat
Komaruddin Hidayat lahir di Magelang, Jawa Tengah, pada 18 Oktober 1953. Sejak kecil
Komaruddin dekat dengan dunia Islam utamanya pesantren. Komarudin merupakan Alumni
pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan (1971). Setelah
lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di bidang Pendidikan Islam (1977)
dan sarjana Lengkap (Drs.) di bidang Pendidikan Islam (1981) di IAIN Jakarta. Komaruddin
melanjutkan studi S2 dan doktoral ke luar negeri. Ia Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di
Middle East Techical University, Ankara, Turkey (1990).
Ketika menjadi mahasiswa sampai lulus S1, ia pernah menjadi wartawan majalah Panji
Masyarakat selama 4 tahun (1978-1982). Komaruddin adalah orang yang percaya bahwa masa
kecil seseorang menentukan akan menjadi apa orang tersebut kelak. Dan ia merasa beruntung
karena sejak kecil orangtuanya telah mengarahkannya ke jalan yang kini ia yakini sebagai
benar.
Komaruddin merupakan kolumnis di beberapa media massa seperti Harian Kompas,
Seputar Indonesia dan Republika. Selaku akademisi, Ia menjadi Dosen pada Fakultas Pasca
Sarjana IAIN Jakarta (sejak 1990), dosen pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia
(sejak 1992), dan dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara (sejak 1993). Selain sebagai
dosen, ia juga sebagai Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur`an (sejak 1991), Dewan Redaksi
jurnal Studia Islamika (sejak 1994), Dewan Editor dalam penulisan Encylopedia of Islamic
World, dan Direktur pada Pusat Kajian Pengembangan Islam Kontemporer, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (sejak 1995). Sejak tahun 1990, ia merupakan salah satu peneliti tetap
Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.
Ia juga menulis banyak buku. Diantaranya Memahami Bahasa Agama (1996), Masa
Depan Agama (1995), Tragedi Raja Midas (1998), Tuhan Begitu Dekat (2000), Wahyu di Langit,
Wahyu di Bumi (2002), Menafsirkan Kehendak Tuhan (2003), dan Psikologi Kematian (2005).
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini memiliki visi mengindonesiakan Islam, bukan
mengislamkan Indonesia.
Ia berpendapat bahwa di Indonesia agama pernah menjadi sumber kekuatan melawan
imperialisme demi kemerdekaan bangsa. Tetapi yang terjadi sekarang menurutnya ada segelintir
orang menjadikan agama sebagai sumber konflik. Ia juga mengatakan walaupun masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat plural, tetapi cenderung hidup dalam kepompong suku, ras,dan
agama. Komaruddin berpesan bahwa anyaman sosial yang menjadi jati diri bangsa jangan
sampai dirusak dan dirobek-robek, oleh ideologi ekslufisme penebar kebencian dan permusuhan.
Dengan demikian harus diwujudkan proyek membina, membangun dan menciptakan mimpi-

mimpi besar para the founding fathers. Jangan sampai terlupakan oleh retorika hiruk pikuk yang
kadang-kadang bersifat parsial.
Suami dari Ait Choeriyah dan bapak dari dua anak ini sudah dikukuhkan sebagai guru
besar filsafat agama oleh almamaternya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah
Jakarta sejak Desember 2001. Obsesinya untuk membumikan ajaran-ajaran Islam pernah ia
tuangkan dalam pidato pengukuhannya yang ia beri judul Ketika Agama Menyejarah. Di situ
ia mengemukakan bahwa Islam pada awal pertumbuhannya menunjukkan visi, potensi, dan
prestasi yang sangat menakjubkan dalam membangun peradaban unggul dengan cara damai,
intelektual, dan beradab. Namun, masa-masa produktif Islam menjadi terganggu ketika umat
Islam terjebak dalam sengketa politik, baik sesama Muslim maupun dengan pihak Yahudi dan
Nasrani.
Muhammad menurut Komaruddin
Komaruddin adalah sosok yang suka berdialog tentang Islam kepada siapapun yang
mengajaknya berdiaolog. Tanpa memandang agama atau status sosial orang tersebut karena
baginya ajaran Islam itu sangat luas dan dalam. Ia termasuk sosok yang pluralis karena ia
cenderung tidak suka membicarakan apa yang akan didapatkan seseorang di akhirat kelak.
Ia berpendapat bahwa Islam itu bermula sebagai ajaran wahyu yang datang dari langit,
bukan muncul dari ranah bumi yang bersifat historis-sosiologis dan psikologis. Tapi walaupun
begitu, jika ia ditantang untuk memberikan pembuktian ilmiah empiris, nalar dan metodologi
empiris ia tidak mampu melakukannya karena Alquran itu dari disampaikan oleh malaikat Jibril
yang merupakan makhluk gaib.
Argumen ilmiah historis yang memperkuat keyakinan Komaruddin tentang kebenaran dan
kemuliaan Islam adalah mengenal riwayat hidup pembawanya, yaitu sosok Muhammad. Kalau
mempelajari agama ataupun ideologi besar dunia, Ia selalu ingin memulai dengan mengenal
siapa pembawa atau pendirinya. Untuk ini pun ia pasti dipengaruhi oleh bacaan yang tersedia.
Karena terlahir di wilayah padang pasir dan sudah masuk abad keenam, dua faktor ini sangat
membantu bagi sejarawan untuk menelusuri secara detail tentang sosok Muhammad sebagai
figur historis.
Catatan historis tentang Muhammad jauh lebih utuh dan transparan ketimbang sosok
rasul Tuhan sebelumnya yang sulit ditelusuri secara utuh oleh sejarawan. Sejak kelahiran sampai
wafatnya, Muhammad berada dalam terang sejarah sehingga bagi mereka yang ingin
mempelajarinya sangat terbuka, terlepas nanti seseorang akan memuji, mengkritik, mencintai,
ataukah membenci, itu pilihan sikap masing-masing. Sosok Muhammad benar-benar merupakan
buku kehidupan yang terbukti.
Sufisme ala Komaruddin
Pandangan-pandangan kesufian Komaruddin sudah banyak dikenal, lantaran ia termasuk
rajin berceramah tasawuf di berbagai forum. Kekuatan ceramah tasawuf pria penggemar olah
raga tenis ini terletak pada metafor-metafor yang dinukil dari kisah-kisah sufi klasik kemudian

direfleksikan ke dalam kehidupan aktual saat ini. Tulisan-tulisannya mengalir dan enak dibaca
karena tulisan-tulisannya itu lebih merupakan refleksi ketimbang analisis ilmiah yang kaku.
Corak tasawuf Komaruddin, sebagaimana dituturkan oleh Dawam, adalah tasawuf yang
digandengkan dengan gagasan transformasi sosial sebagaimana juga menjadi concern dari
cendekiawan seperti Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo.
Keadaan umat islam Saat ini
Umat Islam, kata Komaruddin, tidak mampu membangun institusi riset yang independen,
yang mengabdi pada pengembangan ilmu terapan. Kuatnya peradaban teks dan kekuasaan
ulama-umara, yang lebih mementingkan ritual dan kekuasaan politik ketimbang membangun
peradaban, telah menyia-nyiakan aset intelektual yang dimiliki dunia Islam. Seperti kata Toby E
Huff yang secara karikatural menunjukkan ketidakmampuan dunia Islam memanfaatkan aset
intelektualnya, di mana kompas hanya dipergunakan untuk menunjukkan kiblat, sementara oleh
orang Eropa dipakai untuk bisa berkeliling dunia. Ilmu astronomi hanya dipakai untuk
menentukan kapan datangnya bulan Ramadhan, sementara di Eropa dijadikan modal petualangan
angkasa. Lalu dinamit oleh dunia Islam digunakan untuk berperang menghancurkan musuh, di
Eropa dijadikan tenaga untuk menggerakkan industri berat dan kapal besar.
Kitab suci al-Quran, menurut Komaruddin, seharusnya menjadi sumber pencerahan yang
tak pernah kering bagi umat Islam. Namun, itu harus disertai iklim kebebasan berekspresi dan
bereksperimentasi dengan dukungan institusi yang profesional dan dana yang cukup. Di tengah
krisis multidimensi, bangsa Indonesia mempunyai kesempatan untuk melakukan rekonstruksi
ulang guna menemukan format Indonesia baru. Bagi umat Islam, kesempatan ini merupakan
panggilan sejarah untuk memberikan kontribusi bagi bangsa dan peradaban dunia untuk
membangun sebuah model negara demokrasi yang dimotivasi oleh komitmen keislaman. Umat
Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini harus paling merasa terpanggil memperjuangkan
kesejahteraan, keadilan, dan demokrasi. Bukannya malah kembali ke alam pikiran mitologis dan
komunalistik.
Pengamat Urban Sufism
Dalam diskursus kesufian, khususnya yang berkembang di perkotaan, tak jarang
Komaruddin menempatkan dirinya sebagai pengamat, kalau bukan kritikus. Ia, misalnya, pernah
menyindir gejala pengajian di kota-kota besar yang diklaim sebagai gejala tasawuf padahal
sebenarnya menurut dia hanya pengajian biasa saja. Di pengajian semacam itu yang diajarkan
adalah tauhid Islam, praktek ibadah seperti shalat, puasa, haji, zakat, dan persoalan-persoalan
elementer yang memang dibutuhkan oleh orang-orang kaya di kota besar yang sangat buta
terhadap agama Islam. Lalu para pengamat menyebut fenomena semacam itu sebagai urban
sufism. Padahal menurutnya Tasawuf terlalu tinggi untuk mereka yang masih belum tahu
bagaimana berwudhu dengan benar yang tertulis dalam Kata Pengantar untuk buku karya
Sudirman Tebba yang berjudul Hidup Bahagia Cara Sufi terbitan kerjasama Paramadina dan
Gugus Lintas Wacana.

Dalam Kata Pengantar itu pria yang pernah menjadi Fellow Researcher di McGill
University, Montreal, Canada pada 1995 ini memang menempatkan dirinya sebagai pengamat
urban sufism. Lahirnya kelompok-kelompok tarekat di kota besar seperti Jakarta saat ini, lalu
munculnya fenomena zikir akbar ala Muhammad Arifin Ilham atau Ustadz Haryono, serta laris
manisnya buku-buku bertema tasawuf dalam beberapa tahun terakhir, bagi Komaruddin
belumlah cukup dikategorikan sebagai urban sufism. Itu menurutnya adalah semangat jatuh cinta
pada agama.
Bagi Komaruddin, tasawuf mengajarkan kita untuk tidak perlu ngoyo dalam mengejar
hidup yang serba sementara ini. Bersyukur dan merasa qanaah dengan apa yang diberikan oleh
Allah, katanya, menjadikan hidup ini lebih rileks dan nyaman. Jauh dari stress, cemas, dan
penyakit-penyakit hati lainnya. Dan bersyukur, katanya lagi, bukan hanya kepada Tuhan tetapi
juga kepada sesama manusia, lebih-lebih kepada mereka yang pernah berjasa kepada kita.
Buku-buku karya Komaruddin Hidayat
1. Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial
Dalam buku ini ia menulis bahwa prediksi para ilmuwan Barat yang menyatakan bahwa
agama formal (organized religion) akan lenyap, atau setidaknya akan menjadi urusan pribadi,
ketika iptek dan filsafat semakin berkembang, ternyata tidak terbukti. Sebaliknya, dewasa ini
sedang terjadi proses artikulasi peran agama (formal) dalam berbagai jalur sosial, politik,
budaya, ekonomi, bahkan dalam teknologi.
Tapi Ia merasa bingung dengan ekspresi dan artikulasi peran agama tersebut justru
melahirkan suasana mencekam, tidak ramah dan selalu mengundang konflik dan
permusuhan.Agama formal akan tetap ada dan selalu dibutuhkan oleh manusia, tetapi ekspresi
dan artikulasi perannya seperti terjadi dewasa ini bukanlah ekspresi dan artikulasi perannya yang
terjadi. Agama pada hakikatnya mengandung ajaran yang menawarkan jalan kesucian,
keselamatan dan perdamaian serta kebajikan bagi manusia. Agama diturunkan sebagai salah satu
bukti dari kasih sayang Tuhan untuk manusia, agar manusia memiliki petunjuk untuk menempuh
jalan yang lurus, yang penuh keadilan, keharmonisan, dan kesejahteraan.
Agama formal sebagai suatu pilihan pada jalan keselamatan umat manusia, juga
hendaknya selalu ditarik dan dihubungkan dengan kebajikan dan kemuliaan badi (perennial
wisdom) tersebut, dan tidak malah terdistorsi dan tertutupi oleh gerakan pseudo agama.Bicara
tentang prinsip-pinsip yang menjadi kalimantun sawa (ajaran yang sama) bagi agama-agama
yang seolah-olah hanya berkisar pada ramah dunia ilangiti, buku ini juga menampilkan kekuatan
pengubah ekspresi dan artikulasi peran agama yang sering bertolak-belakang dengan tujuan
hakiki agama itu sendiri.
2. Psikologi Kematian, mengubah ketakutan menjadi optimisme
Ia berpendapat bahwa rasa takut itu berakar pada keinginan laten untuk selalu hidup
nyaman, dan rasa takut itu kemudian menjalar kepada bebagai wilayah aktifitas manusia. Lebih
jauh lagi, rasa takut itu kemudian melahirkan anak-pinak, yaitu takut akan bayang-bayang

ketakutan itu sendiri sehingga muncul ungkapan, musuh terbesar dan terdekat kita adalah rasa
takut itu sendiri yang berakar kuat dalam diri. Esenseinya ialah sikap penolakan akan kematian
karena kematian itu selalu diidentikkan dengan tragedi, sakit, ketidak berdayaan, kehilangan dan
kebangkrutan hidup.
Komaruddin Hidayat sendiri juga menulis dalam pengantarnya, membahas soal kematian
bisa menimbulkan pemberontakan yang menyimpan kepedihan dalam setiap jiwa manusia.
tentang kematian, tentang kehidupan. Begitulah, psikologi kematian tentu dapat juga
dibaca sebagai psikologi kehidupan. Sesuai juga dengan pandangan Gede Prama, yang juga
memberikan komentar di bagian depan buku ini, Kematian bukannya lawan kehidupan. Ia
adalah mitra makna kehidupan. Hanya dengan menyelami kematian, manusia bisa hidup dengan
indah sekaligus mati dengan indah.
3. Manuver Politik Ulama: Tafsir Kepemimpinan Islam dan Dialektika Ulama? Negara
Dalam buku ini ia menulis bahwa baik pada tingkat gagasan maupun praksis, kekuatan
Islam di lndonesia hari-hari terakhir ini sedang berjalan memasuki lorong-lorong politik yang
licin dan penuh jebakan. Dari pemilu ke pemilu, drama Islam politik terulang tanpa bisa
dielakkan, tanpa bisa menghindari dahsyatnya godaan dan kutukan kekuasaan. Dari rezim ke
rezim, pertarungan atas nama Islam berputar tanpa skenario baru, tanpa pemain debutan yang
brilian, tanpa kejayaan yang elegan.
Para ulama dan kiai yang sebelumnya konsisten dan sibuk mengurus dalam negeri
pesantren dan umat tiba-tiba menjadi selebriti politik. Ormas Islam, ulama, dan kiai banyak yang
tergoda ikut merebut posisi, diperebutkan, bahkan terkadang tampak terseret untuk memasuki
gelanggang pertarungan politik yang lebih luas. Mereka berpolitik dan men-cemplungkan diri
dalam dunia yang penuh manuver dan intrik.
Menggali kembali ide dan wawasan bagaimana posisi Islam dan apa peran negara, buku
ini berangkat untuk mengeksplorasi tiga varian penting. Pertama, makna agama dan bagaimana
posisi ulama. Kedua, mempertanyakan secara kritis peran umat. Ketiga, menawarkan reposisi
makna dan fungsi negara-bangsa.
Buku ini akan memberi penyadaran dan pandangan kritis atas fenomena manuver politik
ulama yang tak pernah berhenti hingga akhir 2004.
(Tulisan ini jauh dari sempurna karena disadur dan komparasi dari berbagai artikel dari
beberapa situs seperti wikipedia dan blog paramadina)

Anda mungkin juga menyukai