Anda di halaman 1dari 4

AL IMAM AL JUNAYD AL BAGHDADI WALIYULLAH

Al-Junayd, nama lengkapnya, Abu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AIKhazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga
Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad
ibn Al-Junayd, memang seorang pedagang barang pecah belah. Makanya, orang menjulukinya
AI-Qawariri, yang artinya barang pecah belah. Al-Junayd sendiri belakangan mendapat julukan
Al-Khazzaz, yang artinya pedagang sutera, karena memang ia seorang pedagang sutera di kota
Baghdad.
Al-Junayd pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang
bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling
menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang
tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junayd, seluruh pelajaran
agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik.
Menginjak usia 20 tahun Al-Junayd belajar ilmu hadis dan fiqih kepada Abu Thawr (wafat
240 H). Abu Thawr adalah seorang faqih terkenal di Baghdad kala itu. Banyak muridnya yang
kemudian menjadi ahli hukum terkemuka.
Di bawah bimbingan guru ini Al-Junayd tumbuh menjadi seorang faqih yang handal.
Tanda-tandanya memang sudah kelihatan sejak ia masih belajar. la sering mengemukakan
pendapat tentang suatu hukum tertentu dan pendapatnya itu sangat tepat untuk berbagai
persoalan fiqih (al-masalah al-fiqhiyah).
Kehandalan Al Junayd juga diakui oleh temannya, Ibnu Durayj (wafat 306 H), seorang
faqih terkenal. Ketika ia sedang mengajar pernah ditanya oleh muridnya: Dari mana pendapat
yang demikian itu diperoleh? Secara jujur Ibnu Duraij menjawab, Ini merupakan hasil yang
saya dapatkan ketika berdiskusi dengan Al-Junayd. Bila saya pertanyaan ini diajukan kepada
saya sebelum itu, niscaya saya tidak akan dapat menjawabnya,
Menguasai ilmu fiqih, bagi Al Junayd, mempunyai arti penting dalam upaya selanjutnya
untuk menguasai ilmu tasawuf. la merasa, dengan menguasai ilmu fiqih yang luas lebih dulu,
maka praktek ajaran sufisme akan tetap dapat dikontrolnya, sehingga tidak keluar dari koridor Al
Ouran dan Hadis.
Seperti pernah dikatakan oleh Al-Makki, setiap orang harus menguasai lebih dulu ilmu
hadis dan fiqih bila ingin mendalami dan mempraktekkan ajaran tasawuf, Itu akan
menghindarkan sufi dari kemungkinan tersesat, karena belum memiliki pengetahuan dasar yang
kuat.
Lebih tegas lagi, Al-Junayd mengungkapkan syarat yang harus dipenuhi bila orang ingin
mengajarkan tasawuf. Saya belajar hukurn pada ulama yang dikenal luas ilmunya tentang hadis,
seperti Abu Ubayd dan Abu Tsaur. Kemudian saya belajar pada AI-Muhasibi dan Sari Ibn
Mughallas. Itulah kunci keberhasilanku. Lantaran ilmu yang kita miliki harus terus dikontrol dan
disesuaikan dengan Al Ouran dan Sunnah, Oleh sebab itu, siapa saja yang tidak menguasi ilmu
Al Quran, tidak secara formal belajar hadis, dan tidak mendalami hukum sebelum menekuni
tasawuf, tidaklah berhak mengajarkan tasawuf.
Nyatanya, Al-Junayd sudah diakui sebagai seorang ahli fiqh, bahkan juga ahli tauhid
(teolog). Kalau saja ia tidak mempelajari tasawuf maka ia sudah menjadi seorang faqih yang
lebih terkenal. Tetapi karena kemudian ia mendalami tasawuf, akhirnya ia lebih dikenal sebagai
seorang sufi.
Ketika penguasa Abbasiyah melakukan mihnah (penyelidikan) terhadap setiap sufi soal
kesetiaan mereka kepada pemerintah, Al-Junayd mengatakan bahwa dirinya lebih merupakan
seorang faqih ketimbang sufi. Dan itu membuatnya terhindar dari mihnah tersebut..
Tak urung, ada beberapa sufi yang menjadi korban mihnah, ditangkap dan disiksa oleh
penguasa, dengan tuduhan ajarannya dianggap menyeleweng dari ajaran Islam dan juga melawan
pemerintah. Salah seorang sufi yang terkena jeratan mihnah adalah AI-Hallaj, yang pernah juga
berguru pada Al-Junayd.
Seperti diketahui, AI-Hallaj mengajarkan tasawuf wihdatul wujud (Ana Al-Haqq), yang
dianggap menyesatkan umat. AI-Hallaj harus menerima hukuman mati. Tapi disinyalir hukuman
itu lebih bernuansa politik, karena AI-Hallaj mendukung perjuangan kaum Qaramitah yang
menuntut dihapuskannya kesewenang-wenangan pemerintah.

Al-Junayd sendiri sebenarnya juga menentang kesewenang-wenangan itu. Tapi


penentangannya tidak lewat gerakan politik seperti muridnya (AI-Hallaj). la hanya bersikap
mengambil jarak dengan pemerintahan, misalnya menolak keterlibatan para sufi menduduki
jabatan di kepemerintahan. Karena hal itu, menurut dia, hanya akan menjadi penghalang
mujahadah dan ketekunan sufi dalam beribadah. Makanya. ketika dua temannya. Uthman AIMakki dan Ruwayn bin Ahmad, menerima jabatan sebagai qadhi, Al-Junayd lalu memutuskan
hubungan dengan mereka.
Kendati begitu, Al-Junayd tetap dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap
radikal dalam menghadapi setiap persoalan. Apalagi yang ada kaitannya dengan persoalan
pemerintahan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran
dan Hadis.
Mengenai keluasan pengetahuan Al-Junayd, diakui oleh AI-Khuldi, Sebelum ini kami
belum pernah menemukan seorang Syekh yang mampu menggabungkan ilmu pengetahuan
dengan pengalaman sufistiknya. Banyak syekh memang memiliki ilmu yang luas. Tapi biasanya
tidak mempunyai pengalaman mistik yang mendalam. Di sisi lain, ada yang mempunyai
pengalaman sufistik yang mendalam, tapi hanya menguasai ilmu pengetahuan ala kadarnya. AlJunayd memiliki keduanya. Pengalamannya mendalam di bidang sufisme dan ilmu
pengetahuannya sangat luas. Bahkan ilmu pengetahuannya, nyaris melebihi pengalaman
mistiknya.
Guru dan Murid Al-Junayd
Sebelum seseorang menjadi tokoh sufi, tentulah memiliki guru dan setelah menjadi tokoh
sufi, memiliki pula murid-murid. Hanya saja, guru yang mengajari Al-Junayd tentang ilmu
tasawuf tidak terlalu banyak. Mereka itu adalah Sari Al-Saqati, AI-Muhasibi, Muhammad AlQassab, Ibn AI-Qaranbi, dan AI-Qantari.
Mengenai Al-Saqati ini - nama lengkapnya Abul al-Hasan Sari Ibn al-Mughallis al-Saqati punya kisah menarik. Selain sebagai sufi, ia juga dikenal sebagai pedagang yang saleh.
Suatu ketika, terjadi kebakaran di pasar Baghdad. Seseorang mengabarkan padanya bahwa
tokonya ikut terbakar. Apa katanya?
Biarlah. Sekarang saya justru menjadi bebas dan tidak perlu lagi mengurus barang-barang
tersebut.
Setelah api dapat dipadamkan, ternyata tokonya tidak terbakar. Sementara toko-toko di
sekelilingnya ludes dilalap api.
Al Saqati talu rnembagi-bagikan semua barang dagangannya kepada para fakir iniskin. la
sendiri kemudian meninggalkan usahanya untuk selanjutnya sibuk menekuni dunia tasawuf.
Pamannya Al-Junayd ini belajar tasawuf kepada Abu Mahfuz Maruf Ibn AI-Fairuz AI-Karkhil
(wafat tahun 200 H). seorang sufi kenamaan dari Persia.
Kalau Al Saqati, paman dan guru Al-Junayd adalah orang Persia, maka Al-Muhasibi
merupakan guru tasawuf Al-Junayd yang bcrasal dari keturunan Arab, namun lahir di Basrah.
Sementara Muhammad AI-Qassab - Abu Jafar Muhammad ibn All AI-Qassab (wafat 275 H) menurut AI-Junayd: adalah guru sufi yang paling utama baginya.
Selain itu, Al-Junayd juga berguru tasawuf pada Ibn AI-Karanbi dan Al-Qantari. Yang
mengesankan dari dua guru ini, hubungannya dengan Al-Junyad sangat akrab, tak tampak
sebagai hubungan antara murid dan guru, Padahal, keduanya merupakan tokoh sufi terkemuka di
kota Baghdad, bahkan Al-Qantari adalah teman Maruf AI-Karkhi: gurunya Sari Al-Saqati.
Murid-murid Al-Junayd cukup banyak. Namun ada tiga muridnya yang paling kesohor,
yakni Al-Jurayri, Al-Shibli, dan AI-Hallaj. Yang disebut terakhtr ini mengembangkan sendiri
faham ittihad yang berbeda dengan faham gurunya. Bila Al-Junayd masih memberi batasan yang
jelas antara Tuhan yang qadim dengan makhluk yang hadis, maka AI-Hallaj melangkah lebih
jauh. Menurut AI-Hallaj, persatuan makhluk dengan Tuhan bisa terjadi secara total. Dan justru di
situlah dia dipandang oleh para ulama Syariat telah menyeleweng dari ajaran Islam. Sehingga la
kemudian diadukan
kepada Khalifah AI-Muqtadir yang berkuasa saat itu. la pun lalu ditangkap, diadili, dan
akhirnya dihukum mati,
Pemikiran Al-Junayd
Dalam pemikiran tasawuf Al-Junayd, Tuhan itu Maha Suci. KesucianNya adalah azali dan
abadi. Tuhan itu suci sejak keberadaanNya yang tanpa awal dan akan terus demikian tanpa akhir.
Sementara manusia yang terdiri dari ruh dan jasad, berbeda dari Tuhan.

Bedanya, pada mulanya ruh manusia diciptakan dalam keadaan suci bersih. Dia tidak
mempunyai keinginan apa-apa selain kepada Tuhan. Namun setelah ruh itu dimasukkan ke
dalam tubuh manusia, ia rnenjadi terikat dengan nafsu yang ada dalam tibuh manusia, bahkan
terkadang berada di bawah pengaruh nafsu yang berusaha untuk menariknya pada berbagai
kesenangan duniawi.
Pada gilirannya, ruh terpesona dengan dorongan nafsu atas kemewahan dunia. Karena
keinginan dan terpengaruhnya ruh pada benda-benda dunia inilah yang kemudian rnenyebabkan
ruh tak lagi suci seperti semula. la tercemar karena dilumuri hasrat dan kenikmatan dunia yang
menipu.
Kendati demikian, dari pemahan itu, manusia menurut Al-Junyad bisa mendekati bahkan
bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu
memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya.
Walau begitu, kata Al-Junayd, sufisme adalah suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya
terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran
formalnya (lahirnya) adalah sifat manusia.
Di sini Al-Junayd ingin menegaskan bahwa sesungguhnya diri manusia telah dihiasi
dengan sifat Tuhan, Sehingga, kondisi tingkat tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang
dicapai seorang sufi pada persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini
seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan
lingkungannya. Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan. Dengan kehilangan
kesadarannya akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan.
Pada tingkat yang demikian. seorang sufi merasakan tidak ada lagi jarak antara dirinya
dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada pada dirinya semuanya sudah digantikan dengan sifat
Tuhan. Segala kehencfak pribadi manusia lenyap, digantikan dengan kehendakNya.
Seperti dipaparkan oleh AI-Hujwiri soal tasawuf Al-Junayd ini. bahwa dalarn persatuan
yang sesungguhnya (tauhid) tidak akan ada lagi sifat manusia yang tertinggal. Lantaran, sifatsifat itu tidak tetap, sehingga hanya berbentuk gambar saja. Oleh sebab itu, Tuhanlah
sesungguhnya yang berbuat. Semua itu sebenarnya sifat-sifat Tuhan. Karenanya, Tuhan misalnya
kemudian menyuruh manusia untuk berpuasa. Bila dilaksanakan, maka Dia memberi nama
Shaim pada mereka. Sehingga sekalipun secara lahir puasa itu milik manusia, tapi sesungguhnya
puasa adalah kepunyaan Tuhan.
Juga untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut Al-Junayd. manusia harus
menyucikan batin, mengendalikan nafsu, dan rnembersihkan hati dari segala sifat-sifat
kemakhlukan. Sctelah kebersatuan dengan Tuhan itu tercapai, seorang sufi kembali tersadar. Dan
selanjutnya harus mengajak urnat dan membimbingnya ke jalan yang diyakininya.
Dari situ, dimaklumi, bahwa pemikiran sufisme Al-Junayd berpangkal pada ajaran tauhid
atau persaluan dengan Tuhan. Paham persatuan dengan Tuhan dalam pemikiran Al-Junayd ini
banyak diikuti oleh para sufi lain di rnasanya dan sesudahnya
Kemoderatan Al-Junayd dalam bertasawuf jelas terlihat ketika ia bicara soal zuliud
misalnya. Karena. zuhud merupakan pangkal atau dasar dari segala ajaran yang terkandung
dalam sufisme yang diyakini oleh setiap sufi. Untuk menjadi sufi, setiap orang harus terlebih
dulu menjalani zuhud atau menjadi zahid.
Untuk menjadi zahid, seorang sufi harus melepaskan kesenangannya pada benda-benda
yang selama ini telah memberinya kenikmatan duniawi. Sebab kesenangan kcpada duniawi bagi para sufi - diyakini sebagai pangkal segala bencana. Sedangkan bencana yang paling besar
bagi setiap sufi adalah ketika mereka tak dapat mendekati dan bersatu dengan Tuhan.
Namun dalam pemikiran Al-Junayd, zuhud adalah kosongnya tangan dari
kepemilikan dan hati dari hal yang mengikuti (ketamakan). Menurut Muhammad Amin AINawai, pengertian zuhud Al-Junayd itu diartikan sebagai suatu sifat yang tidak memberatkan diri
pada duniawi yang dimiliki. Sehingga tidak akan merasa berat untuk menyedekahkan dan
mendermakan
hartanya pada yang lebih membutuhkannya. Jadi, zuhud dalam pikiran Al-Junayd tidak
berarti harus meninggalkan dunia sama sekali.
Zuhud ala Al-Junayd ini lebih merupakan sikap seorang sufi yang tidak begitu terikat pada
urusan dunia. Namun bukan berarti harus menjauhi dunia. Bahkan pemahaman itu akan
melahirkan sikap kedermawanan dan suka bersedekah pada orang yang membutuhkannya. Jadi
seorang zahid

boleh mencari rezeki yang halal sesuai ajaran Tuhan. Tapi setelah rnendapatkannya ia kudu
menggunakannya di jalan yang benar, sesuai
petunjuk Tuhan.
Makanya, fenomena itu terlihat dari penampilan sufi Al-Junayd sehari-hari. la tidak antidunia. la malah berdagang di pasar Baghdad untuk memenuhi kebutuhannya, Kehidupan sehariharinya pun dijalaninya secara wajar bahkan ia memiliki rumah yang cukup bagus dan
mengenakan pakaian yang pantas, tak seperti Kebanyakan pakaian yang digunakan oleh para sufi
umumnya.
Menurut Al-Junyad, setiap Muslim, termasuk juga para sufi, seharusnya mengikuti jejak
Rasulullah saw, yaitu menjalani kehidupan ini seperti manusia biasa, menikah, berdagang,
berpakaian yang pantas. tapi juga dermawan, la tidak suka dengan sifat manusia yang apatis.
Kata Al-Junyad, Seorang sufi tidak seharusnya hanya berdiam diri di masjid dan berzikir
saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya orang tersebut
menggantungkan diri hanya pada pemberian orang lain. Sifat-sifat seperti itu sangatlah tercela.
Karena sekali pun ia sufi, ia harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari.
Dimana jika sudah mendapal nafkah, diharapkan mau membelanjakannya di jatan Allah.
Al-Junayd tetap melaksanakan ibadah sebagaimana layaknya yang dijalani oleh para sufi.
Berzikir, membaca Al Quran dan lain sebagainya. Sehingga dalam pemikiran Al-Junayd
keharusan mencari nafkah tidak menjadi penghalang untuk berada sedekat mungkin dengan
Tuhan. Karena, dunia tidak dibuatnya menjadi suatu kesenangan. Melainkan hanyalah sebuah
pelengkap.
Itulah makanya: meski ia seorang pedagang ia tetap menomorsatukan pengabdiannya
kepada Allah SWT. Di saat-saat pembeli sedang sepi, ia pun memanfaatkan waktunya untuk
shalat sunah. Juga baginya tiada hari tanpa membaca Al Quran. AI-Baghdadi mengatakan, saatsaat akan meninggal Al-Junayd membaca Al Quran sampai tamat. Lalu, ketika ia memulai lagi
dari surat AI-Baqarah sampai ayat ke-70, barulah ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. AlJunayd meninggal pada tahun 298 H dan dimakamkan tepat di sebelah makam pamannya. Sari
Al-Saqati.
Karya-Karya Al-Junayd
Al-Junayd sendiri sebenarnya termasuk seorang sufi yang tawadhu. Saking tawadhunya
ia malah pernah bilang kalau ajaran-ajaran sufinya tak perlu disebarluaskan. Kok begitu? la
khawatlr pikiran-pikirannya itu membuat orang lupa pada ajaran Rasululullah. Kendati begitu,
menurut Al-Sarraj, Al-Junaiyd pernah menulis kitab yang berjudul AI-Munajat dan Shar
Shathiyat Abi Yazid AI-Bistami. Juga ada bukunya yang berjudul Tashih Ai-lradhah dan Al
Rasail.
Al-Rasail selain berisi surat-surat Al-Junayd yang dikirimkannya kepada para sahabatnya,
juga memuat ajaran-ajaran Al-Junayd sendiri berupa tulisan para muridnya ketika menerima
pelajaran dari dia. Selain itu ada satu lagi karya tulisnya. berjudul Dawa Al-Tafit. Buku itu konon
kini tersimpan di Birmingham, Inggris.
Tetapi yang jelas, ajaran-ajaran tasawuf Al-Junayd tersebar di bcberapa karya para sufi
lainnya, lewat berbagai kutipan-kutipan. Imam AI-Ghazali sendiri tampaknya mengetahui ajaran
Al-Junayd melalui berbagai kutipan yang terdapat dalam buku-buku tasawuf. Di dalam
biografinya, AI-Ghazali mengakui bahwa ajaran-ajaran sufi yang terdapat dalam bukunya
merupakan kumpulan dari ucapan Al-Junayd, Al-Shibli, dan Abu Yazid yang tersebar di beberapa
buku.
Alhasil, sufi Al-Junayd telah memberikan pemikiran-pemikiran sufistiknya yang agak beda
dengan para sufi kebanyakan. Baik dalam pola penampilan hidup sehari-harinya maupun dalam
pandangannya soal zuhud. la memang seorang sufi yang lebih bersifat moderat. Itulah makaya
banyak kalangan yang mengikuti ajaran-ajarannya. Bahkan hingga kini, narna sufi Al-Junayd
dan ajarannya masih tetap melambung di deretan para sufi terkemuka.

Anda mungkin juga menyukai