Anda di halaman 1dari 68

Refleksi di Balik Bencana

Sorja Koesuma
koesuma@gmail.com

Sejarah telah mencatat bahwa wilayah

pada rakyat Indonesia, terutama mereka

Indonesia

berbagai

yang bertempat tinggal di sekitar wilayah

gunung

pantai yang rawan bencana. Hal ini pantas

berapi, gempa bumi, dan tsunami yang

saja karena dilihat dari sudut pandang

menjatuhkan

Sebutlah

kerugian materi dan nyawa, gempa dan

letusan Gunung Tambora, Sumbawa, pada

tsunami Aceh memiliki nilai kerugian yang

tahun

90.000

paling tinggi. Ini karena infrastruktur di

manusia. Saat itu, Kerajaan Mataram dan

sepanjang pantai Barat Aceh dan Sumut

penduduknya

(sepanjang Banda Aceh hingga Meulaboh)

bencana

lahar.

pernah
bumi

mengalami

berupa

banyak

1815

letusan

korban.

yang menewaskan

lenyap

Bencana

terkubur

lain,

mutahan

gempa

bumi

tersapu hingga tidak ada yang tersisa lagi.

berkekuatan 7,1 skala Richter di Irian Jaya

Di pihak lain, kerugian nyawa tercatat

pada tahun 1976 yang menewaskan 9000

sebanyak 240.000 orang syahid.

orang. Bencana lainnya juga, gempa bumi


dan tsunami yang menerjang Pulau Flores

Pada Pascagempa dan tsunami Aceh,

pada tahun 1977. Dalam bencana tersebut

media mengekspos besar-besaran kejadian.

1000 orang tewas.

Liputan media dengar dan pandang pada


akhirnya menyisakan trauma yang cukup

Pada tiga tahun belakangan ini, 2004-2006,

pakem di dalam minda-minda masyarakat

wilayah Indonesia kembali dilanda berbagai

Indonesia. Pada akhirnya, kedalaman dan

bencana yang cukup membuat dunia cukup

kepekatan ingatan mengenai kejadian di

sibuk menggalang dana kemanusiaan dan

Aceh menyisakan trauma. Hal ini dapat

merehabilitasi lokasi bencana. Bencana-

terlihat ketika gempa bumi mengguncang

bencana tersebut terdiri dari gempa bumi,

Palu pada tanggal 24 Januari 2005, tidak

tsunami, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.

lama

Dari berbagai bencana yang telah terjadi,

Penduduk sekitar spontan berlarian ke

setidaknya

gunung

ada

empat

bencana

yang

setelah

karena

gempa

khawatir

tsunami

akan

Aceh.

disusul

terekam paling jelas dalam pikiran, yaitu

tsunami. Wilayah lain yang juga diliputi

gempa

trauma ialah daerah Lampung. Penduduk

dan

tsunami

di

Aceh,

gempa

Yogyakarta, meletusnya gunung merapi,

terlihat takut sekali dengan

dan tsunami di Pangandaran.

bergolak dan gempa-gempa kecil yang

laut

yang

biasanya sering mereka rasakan. Mereka


Dalam deretan bencana yang disebut di

sampai

mendirikan

kamp-kamp

atas, gempa dan tsunami Aceh yang begitu

penampungan di daerah yang lebih tinggi.

menyisakan trauma psikologis cukup berarti

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

Tujuh belas bulan setelah gempa tsunami

Berita yang disiarkan simpang siur. Ada

Aceh, Yogyakarta terkena gempa bumi yang

yang mengatakan bahwa guncangan itu

menewaskan lebih dari seribu orang. Waktu

berasal dari Gunung Merapi yang bergolak.

kejadian

berbeda

Ada pula yang mengatakan bahwa pusat

dengan kejadian gempa di Aceh, yaitu pagi

gempa ada di laut sehingga harus berlari ke

hari saat orang-orang terlelap tidur atau

gunung. Akhirnya, semua orang panik dan

sedang bersantai-santai sambil menonton

berlarian

berita pagi. Tidak ada sinyal yang bisa

kepanikan ini ialah, jatuhnya korban-korban

mengingatkan mereka akan gempa yang

baru akibat dari kecelakaan di jalan

akan

gempa

terjadi

tidak

hingga

begitu

bencana

ke

segala

arah.

Hasil

dari

yang

menggancurkan itu kembali menghilangkan

Bencana Geologi yang merupakan topik

banyak nyawa. Selain karena tidak ada

utama pada Inovasi kali ini diharapkan dapat

sistem

digunakan masyarakat Indonesia sebagai

peringatan dini juga

tidak ada

penerangan yang jelas dari pemerintah.

media pembelajaran sekaligus pengingat


bahwa wilayah Indonesia termasuk dalam
daerah ring of fire yang berarti bahwa
bahaya geologi bisa datang sewaktu-waktu.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Tektonik Lempeng: antara Sumber Bencana dan Kekayaan Alam


Mohamad Nur Heriawan
Graduate School of Science and Technology, Universitas Kumamoto
Anggota KK Eksplorasi Sumberdaya Bumi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, ITB
E-mail: heriawan@mining.itb.ac.id

1. Apakah Tektonik Lempeng itu?


Tektonik lempeng atau plate tectonics
merupakan teori yang relatif baru yang
terkembang sekitar tahun 1960 dan 1970 dan
telah merevolusi cara berfikir para ahli geologi
tentang bumi. Menurut teori ini, permukaan
bumi terbagi-bagi menjadi beberapa lempeng
besar. Ukuran dan posisi lempeng-lempeng
tersebut selalu berubah setiap waktu. Batasbatas dari lempeng tersebut, dimana lempeng
saling bergerak satu dengan yang lain,
merupakan tempat-tempat yang berpotensi
terhadap aktivitas geologi, seperti gempa
bumi, gunung berapi, dan pembentukan jalur
pegunungan. Sebenarnya tektonik lempeng
merupakan gabungan dari dua teori awal,
yaitu teori pergerakan benua (continental
drift) berkembang pada sekitar paruh pertama
abad ke-20 dan konsep pemekaran lantai
samudera (sea-floor spreading) berkembang
sekitar tahun 1960-an. Teori pergerakan
benua menyatakan bahwa permukaan bumi
terletak di atas kerak bumi yang tipis, dan
kerak
bumi
ini
senantiasa
bergerak
disebabkan pergerakan magma di bawah
kerak bumi. Sedangkan pemekaran lantai
samudera merupakan pembentukan kerak
samudera yang baru pada punggungan
tengah samudera (mid-oceanic ridges) dan
pergerakan kerak menjauh dari punggungan
tengah samudera tersebut.
Bumi sendiri terbagi menjadi tiga lapisan,
yaitu: inti, mantel, dan kerak. Inti bumi
umumnya mengandung unsur-unsur besi dan
nikel yang sangat panas, meskipun telah
mengalami pendinginan selama 4,5 milyar
tahun sampai saat ini. Inti bumi sendiri
tersusun atas dua bagian, yaitu: inti bagian
dalam yang padat dan inti bagian luar yang
berupa cairan. Bagian tengah bumi yang
berupa mantel, kaya akan unsur-unsur besi,
magnesium, silika, dan oksigen. Kerak bumi
juga kaya akan unsur-unsur oksigen dan
silika dengan kandungan aluminium, besi,
magnesium, kalsium, potasium, and sodium

yang lebih rendah dibandingkan pada mantel


bumi. Kerak bumi terbagi menjadi dua jenis
berdasarkan sifat fisik dan kimia material
penyusunnya. Kerak samudera terbentuk dari
batuan yang relatif berat bernama basal.
Sedangkan kerak benua terbentuk dari
batuan yang memiliki densitas lebih ringan,
seperti andesit dan granit. Bagian terluar
bumi dapat dibagi berdasarkan sifat fisiknya
menjadi litosfer dan astenosfer seperti yang
diilustrasikan pada Gambar.1.

Gambar.1. Bagian terluar bumi dimana lempeng


terbentuk atas kerak dan mantel atas yang kaku [1]

Litosfer pada dasarnya mengapung di atas


astenosfer. Litosfer terbagi-bagi menjadi
beberapa bagian yang kita kenal dengan
tektonik lempeng, dimana di bumi ini terdapat
sepuluh lempeng utama dan beberapa
lempeng kecil. Pergerakan lempeng pada
batas antar lempeng secara umum dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) konvergen,
dimana dua lempeng mendorong satu
terhadap yang lain dan umumnya membentuk
zona subduksi atau tumbukan antar benua
sehingga pergerakan ini bersifat kompresif,
(2) divergen, dimana dua lempeng menjauhi
satu sama lain, sehingga pergerakannya
bersifat ekstensif, dan (3) bergeser (sliding),
dimana dorongan lempeng berpapasan satu
sama lain sepanjang patahan atau sesar
geser (lihat Gambar.2).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Gambar.2. Sebaran lempeng-lempeng


utama di bumi [2]

Pergerakan lempeng saling mendekati


akan menyebabkan tumbukan (subduksi),
dimana salah satu dari lempeng akan
menunjam ke bawah yang lain. Daerah
penunjaman membentuk suatu palung yang
dalam, yang biasanya merupakan jalur
gempa bumi yang kuat. Di belakang jalur
penunjaman akan terbentuk rangkaian
kegiatan magmatik dan gunungapi serta
berbagai cekungan pengendapan. Salah satu
contoh yang terjadi di Indonesia adalah
pertemuan antara lempeng Indo-Australia dan
Lempeng Eurasia. Pertemuan kedua lempeng
tersebut menghasilkan jalur penunjaman di
selatan Pulau Jawa, jalur gunung api di
sepanjang pantai barat Sumatera, Jawa
bagian selatan sampai ke Nusa Tenggara,
dan pembentukan berbagai cekungan seperti
Cekungan
Sumatera
Utara,
Sumatera
Tengah, Sumatera Selatan dan Cekungan
Jawa Utara [3].
Sedangkan pergerakan lempeng yang
saling menjauh akan menyebabkan penipisan
dan peregangan kerakbumi dan akhirnya
terjadi pengeluaran material baru dari mantel
membentuk jalur magmatik atau gunung
berapi. Sebagai contoh adalah pembentukan
gunung berapi di punggungan tengah
samudera di Lautan Pasifik dan Benua Afrika
[3].
Pergerakan
lempeng
yang
saling
berpapasan dicirikan oleh adanya sesar
mendatar (geser) yang besar seperti misalnya
Sesar Mendatar San Andreas di Amerika.
Pergerakan lempeng kerak bumi yang saling
bertumbukan akan membentuk zona obduksi
dan menimbulkan gaya yang bekerja baik
horizontal maupun vertikal, yang akan
membentuk pegunungan lipatan, jalur gunung

api/magmatik, persesaran batuan, dan jalur


gempabumi serta terbentuknya wilayah
tektonik tertentu. Selain itu terbentuk juga
berbagai jenis cekungan pengendapan
batuan sedimen seperti palung (parit),
cekungan busur muka, cekungan antar
gunung dan cekungan busur belakang. Pada
jalur gunung api/magmatik biasanya akan
terbentuk zona mineralisasi emas, perak dan
tembaga, sedangkan pada jalur penunjaman
berpotensi terbentuknya mineral kromit.
Setiap wilayah tektonik memiliki karakteristik
atau indikasi tertentu, baik pada jenis batuan,
mineralisasi, struktur geologi maupun pola
kegempaannya [3]. Sebagai contoh Gambar.3.
mendeskripsikan tatanan geologi pada
penampang baratdaya - timurlaut yang
memotong Sumatera bagian tengah sebagai
akibat tektonik lempeng di perairan bagian
barat Sumatra.

Gambar.3. Tatanan geologi pada penampang


baratdaya - timurlaut memotong
Sumatra bagian tengah [4]

2. Tektonik Lempeng sebagai Sumber


Bencana
Secara umum bencana alam yang
disebabkan oleh aktivitas tektonik lempeng
dapat berupa gempa bumi maupun letusan
gunung berapi. Baik gempa bumi maupun
gunung berapi yang sumber aktivitasnya
berada di laut bisa menyebabkan bencana
tsunami pada kekuatan tertentu.
2.1. Gempa Bumi
Gempa bumi merupakan suatu fenomena
yang disebabkan oleh terlepasnya energi
secara tiba-tiba yang menghasilkan radiasi

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

gelombang seismik. Di permukaan bumi,


gempa bumi dapat dirasakan dalam bentuk
goncangan atau pergeseran tanah, dan
terkadang menyebabkan tsunami yang tentu
saja dapat menghancurkan apa saja yang
ada di atas permukaan bumi.
Secara umum gempa bumi diakibatkan
baik oleh aktivitas tektonik maupun volkanik.
Gempa bumi tektonik dapat disebabkan oleh
patahnya massa batuan di bawah permukaan
bumi. Penunjaman kerak samudera ke bawah
kerak benua pada jalur subduksi dengan
gerakan yang lambat tapi cenderung konstan
menyebabkan
terjadi
tegangan
akibat
pergesekan. Pada saat tegangan tersebut
terakumulasi dan akhirnya mencapai suatu
nilai kritis, maka massa batuan yang
menerima tegangan tersebut bisa runtuh atau
patah.
Beberapa dampak merugikan dari kejadian
gempa bumi, antara lain:
Menghancurkan kaca jendela yang dapat
melukai siapa saja yang sedang berada di
sampingnya.
Meruntuhkan bangunan dan menyebabkan
korban terperangkap bahkan meninggal
karena tertimpa reruntuhan.
Kebakaran, seperti yang terjadi pada
gempa bumi di San Francisco tahun 1906.
Tsunami, seperti yang terjadi pada gempa
bumi Sumatra pada akhir tahun 2004 dan
gempa bumi di berairan Jawa Barat bagian
selatan yang menyebabkan gelombang
tsunami di pantai Pangandaran pada Juli
2006.

menyebabkan perpindahan sejumlah besar


massa air laut oleh pengaruh aktivitas letusan
gunung api, gempa bumi, longsoran maupun
meteor yang jatuh ke laut dengan kekuatan
tertentu. Namun, 90% tsunami yang terjadi di
dunia adalah akibat gempa bumi yang
berpusat di bawah laut. Dalam rekaman
sejarah beberapa tsunami yang diakibatkan
oleh gunung meletus, misalnya ketika
Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus
pada 27 Agustus 1883 menyebabkan
gelombang tsunami mencapai ketinggian 40
meter dan menimbulkan korban jiwa sekitar
36,4 ribu jiwa [5].
Umumnya apabila gelombang tsunami
menghampiri pantai, ketinggiannya meningkat
sementara kelajuannya akan menurun dari
semula. Gelombang tersebut bergerak
dengan kecepatan tinggi, hampir tidak dapat
dirasakan efeknya, misalnya oleh kapal laut
yang sedang melintasi laut dalam, tetapi
ketinggian gelombang bisa meningkat sampai
30 meter atau lebih. Tsunami bisa
menyebabkan kerusakan dan korban jiwa
pada kawasan pesisir pantai dan kepulauan
yang dilaluinya. Sebagai contoh adalah
tsunami yang terjadi di perairan Sumatra
bagian utara pada 26 Desember 2004 yang
dipicu oleh gempa bumi dengan kekuatan
hampir 9 Skala Richter. Total korban jiwa
pada peristiwa tersebut mencapai sekitar 174
ribu jiwa meliputi sebagian besar warga
provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan
sebagian kecil warga Kepulauan Nias,
Sumatra Utara.
2.3. Aktivitas Gunung Berapi

Tanah longsor.
Ketidakstabilan pada pondasi-pondasi
bangunan yang dapat menyebabkan
runtuhnya bangunan tersebut jika terjadi
gempa bumi pada lain waktu.
Menyebarnya berbagai penyakit.
Berkurangnya sumber-sumber kebutuhan
hidup mengingat banyak terjadi kerusakan
pada sistem infrastruktur.
2.2. Tsunami
Tsunami yang menurut terrminologi
Jepang berarti "gelombang besar di
pelabuhan" adalah sebuah gelombang laut
(ombak) yang terjadi akibat gangguan yang

Apabila gunung berapi meletus, magma


yang terkandung di dalam dapur magma di
bawah gunung berapi menekan keluar
permukaan dalam bentuk lahar atau lava.
Peristiwa letusan gunung berapi (vulkanisme)
selain mengakibatkan kerugian harta benda
dan nyawa manusia serta kerusakan alam
sekitarnya, juga memberikan efek samping
yang bermanfaat bagi umat manusia.
Beberapa kerugian yang dialami akibat
aktivitas vulkanik antara lain:
1. Gempa bumi vulkanik yang dapat
menimbulkan beberapa kerusakan, meski
gempa bumi ini lebih bersifat lokal daripada
gempa bumi tektonik.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

2. Kebakaran hutan akibat aliran lava pijar.


3. Ancaman banjir lahar dingin jika terjadi
hujan yang cukup intensif di sekitar puncak
dan lereng gunung berapi setelah peristiwa
vulkanisme.
4. Bahaya gas beracun yang umumnya
berupa gas H2S.
5. Bahaya luncuran awan panas dari puncak
gunung berapi ke arah sekitar lereng
gunung yang dapat membakar apa saja
yang dilewatinya.
6. Jatuhan
material-material
vulkanik
(piroklastik) dalam berbagai ukuran dari
bongkah sampai kerikil yang tentu saja
membahayakan apa saja yang tertimpa.
7. Sebaran abu vulkanik yang sangat tebal
dan meluas dapat mengganggu kesehatan
dan mengotori sarana yang ada sampai
radius beberapa kilometer dari kawasan
gunung berapi, tergantung arah dan
kecepatan angin yang membawanya.
8. Letusan gunung berapi di laut juga dapat
menimbulkan gelombang tsunami.

sekitar lereng dan kaki Gunung Merapi,


Jawa Tengah.
4. Sumber bahan galian berupa material sirtu
(pasir dan batu) yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan konstruksi, sebagai contoh
material
sirtu
di
lereng
Gunung
Galunggung dimana endapan pasir dari
kawasan tersebut sangat terkenal dengan
kualitas yang bagus sebagai bahan
pembuatan beton.
3. Tektonik Lempeng sebagai Sumber
Kekayaan Alam
Sumber-sumber kekayaan alam terutama
mineral, dalam kaitannya dengan jalur
tektonik lempeng tidak bisa terpisahkan
dengan istilah yang dalam ilmu kebumian
disebut sebagai Mendala Metalogenik atau
Metallogenic Province. Mendala metalogenik
merupakan suatu area yang dicirikan oleh
kumpulan endapan mineral yang khas, atau
oleh satu atau lebih jenis-jenis karakteristik
mineralisasi.
Urat (Vein)
(Au - Ag - Hg)
(Cu - Pb - Zn)
Eksalatif - S
Placer Au - Sn
Sedimentary (Fe - Mn)

Ofiolit - Cu

Vulkanogenik
Pb-Cu-Zn

Porfiri
(Cu - Mo)

Sandstone Host
(U - V - Cu)

Mafik - Ultramafik

Shale hosted (Cu-Pb-Zn)


Limestone Hosted (Pb - Zn - Cu)

Cr - Ni - Pt
KERAK SAMUDERA

Urat (Vein)
(Sn - W)

KERAK BENUA

Pa
rt
ia

lM
el
tin
g

Skarn
(Cu - Pb - Zn)

ZONA TUMBUKAN
(SUBDUCTION ZONE)

ZONA REGANGAN
(RIFT ZONE)
ZONA TUMBUKAN
(SUBDUCTION ZONE)

Gambar.4. Model tatanan geologi endapan mineral dan kaitannya


dengan proses tektonik lempeng [4]

Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh


setelah vulkanisme berlangsung antara lain:
1. Terbentuknya kawah dan sumber mata air
panas yang dapat dijadikan objek wisata,
misalnya di Gunung Tangkubanperahu,
Ciater, dan sekitarnya.
2. Sumber energi panas bumi, seperti di
Kamojang, Jawa Barat.
3. Tanah yang subur mengingat abu volkanik
yang dihasilkan letusan gunung berapi
mengandung unsur-unsur mineral yang
bermanfaat sebagai nutrisi tanaman seperti
magnesium, potasium, kalsium, sulfur, dan
besi. Sebagai contoh tanah yang subur di

Suatu mendala metalogenik mungkin


memiliki lebih dari satu episod mineralisasi
yang disebut dengan Metallogenic Epoch.
Mendala metalogenik selalu berkaitan dengan
siklus-siklus geologi dan formasi endapan
mineral. Proses-proses yang terlibat meliputi
pendinginan, kristalisasi, dan perombakan
material-material bumi yang telah ada
sebelumnya.
Pembentukan
bijih
dan
perkembangan
strukturnya
dapat
diinterpretasikan sebagai model tektonik
lempeng yang terjadi selama evolusi kerak
bumi seperti model yang ditunjukkan pada
Gambar.4. Model tersebut menjelaskan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

bagaimana kerak yang baru terbentuk di


dalam zona regangan (rift zone), terutama di
punggungan
tengah
samudera,
oleh
penambahan magma basaltik dari dalam.
Proses tersebut membentuk kerak samudera
yang homogen yang telah mengalami sedikit
proses
segregasi
logam-logam
yang
membentuk endapan bijih.
Selain sumberdaya mineral, seperti yang
telah disebutkan pada Bab 1 di atas bahwa
terbentuknya
cekungan-cekungan
akibat
tektonik lempeng dapat menjadi medium
pengendapan sedimen yang bisa berpotensi
sebagai reservoir air, migas, maupun
batubara. Beberapa keuntungan akibat
vulkanisme seperti yang telah dijelaskan pada
Subbab 2.3. juga merupakan anugerah
tersendiri yang bermanfaat bagi negara dan
masyarakat.
4. Penutup
Dengan terjadinya bencana alam secara
beruntun yang menimpa bangsa Indonesia
sejak peristiwa Gempa Sumatra yang disertai
gelombang tsunami pada akhir tahun 2004,
sampai aktivitas vulkanisme Gunung Merapi
di Jawa Tengah yang secara kebetulan
bersamaan dengan peristiwa gempa bumi di
daerah Yogyakarta dan sekitarnya pada akhir
Mei 2006, kemudian yang terakhir adalah
gempa bumi yang disertai dengan gelombang
tsunami di pantai Pangandaran, Jawa Barat
menunjukkan
bahwa
seluruh
wilayah
Indonesia terutama yang berdekatan dengan
batas antar lempeng merupakan wilayah
rawan bencana yang setiap saat dapat terjadi.

Namun media massa dan masyarakat


tampaknya lupa bahwa fenomena tektonik
lempeng yang menjadi sumber bencana alam
tersebut sebenarnya telah memberikan
sumber kekayaan dan potensi alam yang
dapat bermanfaat untuk kepentingan dan
kemakmuran rakyat, mulai dari sumberdaya
mineral, air, batubara, minyak bumi dan gas,
sumber energi panas bumi, sampai pada
potensi keindahan alam.
5. Daftar Pustaka
[1] Volcano World The Webs Premier
Source of Volcano Info, http://volcano.
und.edu/
[2] Center for Educational
http://www.cet.edu/

Technologies,

[3] Tatanan Tektonik Indonesia, http://www.


geocities.com/museumgeologi/Geologi/tat
anan.htm
[4] Darijanto, T. dan Syafrizal, 2002, Diktat
Genesa Bahan Galian, Departemen
Teknik Pertambangan FIKTM ITB.
[5] Satyana, A.H., 2006, IAGI (Ikatan Ahli
Geologi
Indonesia

Indonesian
Association of Geologists): One Earth for
All, http://www.iagi.or.id/

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.2/XVI/November 2004

Sumberdaya Air, Bagian dari Bencana Geologi ?


Rachmat Fajar Lubis
Graduate School of Science and Technology, Chiba University, Japan
E-mail : fajarlubis@graduate.chiba-u.jp
Bencana geologi (geologic hazard) adalah
suatu yang alami dan merupakan proses
kesetimbangan (equibilirium) bumi ini sendiri
yang bersifat dinamis. Menjadi masalah ketika
bencana ini sudah mulai berdampak kepada
umat manusia baik dalam bentuk korban jiwa
ataupun materi (geology disaster). Pada
dasarnya memang bencana geologi tidak dapat
kita hindari tapi dengan pemahaman dan
perhitungan yang kita miliki, prediksi dapat
dilakukan dan kerugian dapat kita kurangi.
Berkaitan dengan judul diatas. Tulisan ini ingin
mencoba menggambarkan bahwa sumberdaya
air, apabila tidak dikelola dengan sungguhsungguh dapat menjadi bagian dari bencana
diatas.
1. Permasalahan Sumberdaya Air Alami.
Permasalahan sumberdaya air saat ini sudah
menjadi suatu permasalahan yang sangat
penting di Indonesia, khususnya pulau Jawa,
Bali dan kepulauan Nusa Tenggara.
Kebutuhan sumberdaya air yang terus
meningkat tidak dapat diimbangi oleh siklus air
yang relatif tetap. Perubahan lahan akibat
tekanan aktifitas penduduk mengakibatkan
perubahan badan air yang terbentuk di daratan.
Contoh nyata di berbagai wilayah pada saat
musim hujan selalu/menjadi banjir, sedangkan
pada saat musim kemarau daerah yang sama
mengalami kekeringan (Gambar 1). Perubahan
ini mengakibatkan penduduk di wilayah-wilayah
ini, yang pada awalnya bertumpu pada
penggunaan air sungai sebagai sumber air
bersih mulai beralih kepada penggunaan
sumberdaya air lainnya.

Mengapa ini bisa terjadi? Tabel yang


dikeluarkan oleh UNDP/FAO tahun 1992 (Tabel
1) dapat memberikan gambaran mengenai
permasalahan yang ada. Tabel ini disusun
hanya berdasarkan ketersediaan air permukaan
(dalam hal ini difokuskan kepada air sungai)
sebagai sumber utama penyediaan kebutuhan
air bersih. Dalam tabel ini hanya ditampilkan 4
pulau yang merupakan prioritas utama
permasalahan sumberdaya air (khususnya air
permukaan) yang akan datang. Dalam tabel ini
dapat
dilihat
secara
umum
potensial
sumberdaya air permukaan di wilayah Indonesia
sebenarnya lebih dari cukup. Akan tetapi pada
saat aliran rendah (low flow) masalah mulai
muncul.
Aliran rendah di Indonesia terjadi pada saat
musim kemarau. Bulan kering untuk dekade ini
jatuh antara bulan Mei hingga bulan Oktober.
Pada musim ini, pulau Jawa dan Bali telah
mengalami
kekurangan
sumberdaya
air
permukaan pada saat kemarau sejak awal tahun
1990. Data inipun menunjukkan bahwa
kenyataan ketersediaan sumberdaya air pulau
Jawa dan Bali sehingga masih mampu bertahan
hingga saat ini, mestilah didukung dengan
penggunaan alternatif sumberdaya air lainnya
seperti airtanah, air hujan dan sumber lainnya
Pulau yang diperkirakan akan bermasalah
selanjutnya adalah pulau Sulawesi. Berita di
pertengahan tahun ini menunjukkan bahwa
permasalahan ini mengalami akselerasi yang
lebih cepat dari yang diperkirakan pada tahun
1992.
Selain dari ketersediaan air secara alami,
ternyata pola kebutuhan air inipun memunculkan
permasalahan yang lain.

Tabel 1. Perbandingan Ketersediaan Sumberdaya Air Permukaan Potensial dan Kebutuhan Pulau [2]
Ketersediaan
Irigasi dan Kebutuhan Air Domestik
Luas
Perkiraan
Air
Wilayah
Aliran
Pulau
Permukaan
1990
2000
2015
(1000
Rendah
3
3
3
Potensial
(m /detik)
(m /detik)
(m /detik)
3
km2 )
(m
/detik)
3
(m /detik)
Jawa/ Bali
139
6,199
786
1,074
1,777
1,878
Sulawesi
187
2,488
561
126
365
529
Sumatera
470
23,660
4,704
297
497
693
Kalimantan
535
32,279
6,956
73
93
193

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.2/XVI/November 2004

2. Permasalahan Sumberdaya Air Akibat


Aktifitas Manusia
Tekanan lingkungan akibat kepadatan
penduduk, tanpa disadari merubah rona
lingkungan secara lebih cepat pada skala
mikro. Perubahan tata ruang secara signifikan
memberikan bukti perubahan kesetimbangan
alam. Gangguan kesetimbangan inipun
berakibat langsung terhadap sumberdaya air
sebagai salah satu komponen alam.
Banjir yang tiba-tiba muncul di lokasi yang
sebelumnya bukan termasuk dalam kategori
dataran banjir. Longsor, gerakan tanah dan
perubahan iklim secara mikro (mikroklimat)
mulai dilaporkan terjadi di berbagai pelosok
daerah.
Pemakaian airtanah sebagai alternatif
sumberdaya air, tanpa pengawasan yang
berimbang ternyata dapat menjadi sumber
bencana lainnya. Amblesan (subsidence) dan
intrusi airlaut saat ini menghantui beberapa
wilayah yang mengalami kondisi pengambilan
airtanah yang berlebih (over exploitated).
Penggunaan air hujan juga tidak terlepas
dari ancaman sebagai salah satu faktor
bencana di masa mendatang. Pencemaran
udara
yang
tidak
terkendali,
dapat
menimbulkan hujan asam. Hujan ini
selanjutnya dapat menjadi masalah yang
serius bagi kelangsungan hidup umat
manusia di masa mendatang. Secara
sederhana, hujan asam dapat dikatakan
sebagai hujan dengan kualitas air yang
memiliki nilai pH dibawah 5,5- 5,6 [2].
3. Manajemen Sumberdaya
Berkesinambungan

Air

yang

Ketika dampak lingkungan mulai terasa,


maka pentingnya upaya konservasi barulah
disadari. Sumberdaya air haruslah mulai
diperhitungkan dan menjadi salah satu
parameter kendali dalam penentuan tata
ruang [3].

Perbedaan kondisi yang ada pada tiap


daerah dan minimnya data penelitian yang
telah ada menuntut perlunya penangangan
permasalahan ini dengan sungguh-sungguh.
Peningkatan
jumlah
ahli
dibidang
sumberdaya air untuk setiap wilayah
sangatlah diperlukan. Ratio jumlah yang ideal
adalah, 1 kecamatan memiliki 1 ahli
sumberdaya air.
Hal lainnya adalah upaya pengamatan dan
pengumpulan
data
ketersediaan
dan
penggunaan sumberdaya air yang menerus
dan dilakukan di berbagai wilayah di
Indonesia. Pengumpulan data dan analisa
yang
dilakukan
dengan
menekankan
pemahaman pada karakteristik yang berbeda
untuk tiap daerah, sangatlah perlu dilakukan
untuk menghindari bencana geologi yang
diakibatkan oleh sumberdaya air, saat ini dan
di masa mendatang.
4. Ucapan Terima Kasih
Tulisan ini diperuntukkan kepada Dr. Haris
Syahbuddin atas dedikasinya yang luar biasa
terhadap majalah ilmiah semi populer :
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI Jepang),
Inovasi On-line selama masa studinya di
Jepang, Sorja Koesuma atas masukan dan
koreksiannya sehingga tulisan ini lebih mudah
dipahami serta para peneliti lainnya yang
terus
bergiat
dibidang
ketersediaan
sumberdaya air yang layak bagi umat
manusia di Indonesia dan dunia.
Daftar Pustaka
[1]

, 2003 The Columbia Electronic


Encyclopedia, Sixth Edition. Columbia
University Press.

[2] Black & Veatch, 2004, Draft Report of


National Water Sector Profile for
Asian Development Bank.
Indonesia,
Limited, December 2004
[3] Lubis, R. F, 2006, Air sebagai parameter
kendali dalam tata ruang, Majalah Inovasi
on Line Edisi Vol.7/XVIII/Juni 2006.

Gambar 1 . Kondisi sumberdaya air ekstrim di Indonesia

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI VOL 8/XVIII/September 2006

Mengenal Bencana Alam Tanah Longsor dan Mitigasinya


Agus Setyawan
Department of Earth Resources Engineering, Graduate School of Engineering, Kyushu
University, 6-10-1, Hakozaki, Higashi-ku, Fukuoka, 812-8581, JAPAN
E-mail: asetyawan@mine.kyushu-u.ac.jp

Wahyu Wilopo
Department of Earth Resources Engineering, Graduate School of Engineering, Kyushu
University, 6-10-1, Hakozaki, Higashi-ku, Fukuoka, 812-8581, JAPAN
E-mail: wilopo@mine.kyushu-u.ac.jp

Supriyanto Suparno
Department of Earth Resources Engineering, Graduate School of Engineering, Kyushu
University, 6-10-1, Hakozaki, Higashi-ku, Fukuoka, 812-8581, JAPAN
E-mail: suparno@mine.kyushu-u.ac.jp
1. Pengantar
Bencana alam sebagai peristiwa alam
dapat terjadi setiap saat dimana saja dan
kapan saja, disamping menimbulkan kerugian
material dan imaterial bagi kehidupan
masyarakat. Gerakan tanah adalah salah
satu
bencana
alam
yang
sering
mengakibatkan kerugian harta benda maupun
korban jiwa dan menimbulkan kerusakan
sarana dan prasarana lainnya
yang
membawa dampak sosial dan ekonomi.
Bencana adalah sesuatu yang tidak kita
harapkan, oleh karena itu pemahaman
terhadap proses terjadinya gerakan tanah
berikut faktor penyebabnya menjadi sangat
penting bagi pemerintah maupun masyarakat.
Alternatif penanggulangan bencana baik dari
aspek pencegahan (preventif), pengurangan
(mitigasi)
maupun
penanggulangan
(rehabilitasi) perlu dikaji secara mendalam.
Mitigasi adalah segala usaha untuk
meminimalisasi akibat terjadinya suatu
bencana pada saat bencana terjadi maupun
pasca bencana, yang dalam hal ini dilakukan
baik dalam skala lokal, nasional, maupun
regional [3]. Beberapa instansi yang
menangani hal ini antara lain Direktorat
Geologi
Tata
Lingkungan,
Direktorat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Alam,
LAPAN, BPPT, Pemda Tingkat I dan II, Dinas
Pertambangan dan Energi, Perguruan Tinggi,
Bakornas,
Kimpraswil,
dan
Lembagalembaga penelitian lainnya. Walaupun
demikian korban akibat bencana alam tanah
longsor masih saja terjadi, hal ini

menunjukkan bahwa mitigasi bencana harus


ditingkatkan pelaksanaannya.
2. Tanah longsor
Tanah longsor adalah suatu jenis gerakan
tanah, umumnya gerakan tanah yang terjadi
adalah longsor bahan rombakan (debris
avalanches) dan nendatan (slumps/rotational
slides). Gaya-gaya gravitasi dan rembesan
(seepage) merupakan penyebab utama
ketidakstabilan (instability) pada lereng alami
maupun lereng yang di bentuk dengan cara
penggalian atau penimbunan [2].
2.1. Tipe longsoran dan tipologi lereng
Terdapat beberapa tipe longsoran yang
sering terjadi diantaranya [2] :
a. Kelongsoran rotasi (rotational slip).
b. Kelongsoran translasi (translational slip).
c. Kelongsoran gabungan (compound slip).
Pada dasarnya sebagian besar wilayah di
indonesia merupakan daerah perbukitan atau
pegunungan yang membentuk lahan miring.
Lereng atau lahan yang kemiringannya
melampaui 20
derajat (40%), umumnya
berbakat untuk bergerak atau longsor. Namun
tidak selalu lereng atau lahan yang miring
berpotensi untuk longsor. Dari berbagai
kejadian longsor, dapat didentifikasi 3 tipologi
lereng yang rentan untuk bergerak [1] yaitu:
a. Lereng timbunan tanah residual yang
dialasi oleh batuan kompak.
b. Lereng batuan yang berlapis searah lereng
topografi.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

c. Lereng yang
batuan.

tersusun

oleh

blok-blok

3. Penyebab Tanah Longsor


Faktor penyebab terjadinya gerakan pada
lereng juga tergantung pada kondisi batuan
dan tanah penyusun lereng, struktur geologi,
curah
hujan,
vegetasi
penutup
dan
penggunaan lahan pada lereng tersebut,
namun secara garis besar dapat dibedakan
sebagai faktor alami dan manusia:
3.1. Faktor alam
Kondisi alam yang menjadi faktor utama
terjadinya longsor antara lain:
a. Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiriringan
lapisan, sisipan lapisan batu lempung,
struktur sesar dan kekar, gempa bumi,
stratigrafi dan gunung api.
b. Iklim: curah hujan yang tinggi.
c. Keadaan topografi: lereng yang curam.
d. Keadaan tata air: kondisi drainase yang
tersumbat, akumulasi massa air, erosi
dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika.
e. Tutupan lahan yang mengurangi tahan
geser, misal tanah kritis.

4.1. Tahap awal (preventif)


Langkah
pertama
dalam
upaya
meminimalkan kerugian akibat bencana tanah
longsor adalah:
a. Identifikasi daerah rawan dan pemetaan.
Dari evaluasi terhadap lokasi gerakan
tanah yang telah terjadi selama ini ternyata
lokasi-lokasi kejadian gerakan tanah
merupakan
daerah
yang
telah
teridentifikasi
sebagai
daerah
yang
memiliki kerentanan menengah hingga
tinggi.
b. Penyuluhan
pencegahan
dan
penanggulangan bencana alam gerakan
tanah dengan memberikan informasi
mengenai bagaimana dan kenapa tanah
longsor, gejala gerakan tanah dan upaya
pencegahan serta penangulangannya.
c. Pemantauan daerah rawan longsor dan
dilakukan secara terus menerus dengan
tujuan untuk mengetahui mekanisme
gerakan tanah dan faktor penyebabnya
serta mengamati gejala kemungkinan akan
terjadinya longsoran.

3.2. Faktor manusia


Ulah manusia yang tidak bersabat dengan
alam antara lain:
a. Pemotongan tebing pada penambangan
batu dilereng yang terjal.
b. Penimbunan tanah urugan di daerah
lereng.
c. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
d. Penggundulan hutan.
e. Budidaya kolam ikan diatas lereng.
f. Sistem
pertanian
yang
tidak
memperhatikan irigasi yang aman.
g. Pengembangan
wilayah
yang
tidak
diimbangi dengan kesadaran masyarakat,
sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya
merugikan sendiri.
h. Sistem drainase daerah lereng yang tidak
baik.
4. Mitigasi
Mitigasi bencana tanah longsor berarti
segala usaha untuk meminimalisasi akibat
terjadinya tanah longsor. Langkah-langkah
yang dapat dilakukan untuk menekan bahaya
tanah longsor dibagi menjadi 3 yaitu:

Gambar 1. Bagan alir sistem manajemen bencana


longsor (Karnawati, 2002)

d. Pengembangan
dan
penyempurnaan
manajemen mitigasi gerakan tanah baik
dalam skala nasional, regional maupun
lokal
secara
berkelanjutan
dengan
memanfaatkan perkembangan teknologi
informasi dan menggalang kebersamaan
segenap lapisan masyarakat (gambar 1).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

e. Perencanaan
pengembangan
sistem
peringatan dini di daerah rawan bencana.
f. Pola pengelolaan lahan untuk budidaya
tanaman pertanian, perkebunan yang
sesuai dengan azas pelestarian lingkungan
dan kestabilan lereng.
g. Hindari
bermukim
atau
mendirikan
bangunan di tepi lembah sungai terjal.
h. Hindari melakukan penggalian pada
daerah bawah lereng terjal yang akan
mengganggu kestabilan lereng sehingga
mudah longsor.
i. Hindari membuat pencetakan sawah baru
atau kolam pada lereng yang terjal karena
air yang digunakan akan mempengaruhi
sifat fisik dan keteknikan yaitu tanah
menjadi lembek dan gembur sehingga
kehilangan
kuat
gesernya
yang
mengakibatkan tanah mudah bergerak.
j. Penyebarluasan informasi bencana gerakan
tanah melalui berbagai media dan cara
sehingga masyarakat, baik secara formal
maupun non formal.
4.2. Tahap bencana
Hal penting yang harus dilakukan ketika
suatu daerah terkena bencan tanah longsor
diantaranya:
a. Menyelamatkan warga yang tertimpa
musibah
b. Pembentukan pusat pengendlian (Crisis
Center).
c. Evakuasi korban ke tempat yang lebih
aman.
d. Pendirian dapur umum, pos-pos kesehatan
dan penyediaan air bersih.
e. Pendistribusian air bersih, jalur logistik,
tikar dan selimut.
f. Pencegahan berjangkitnya wabah penyakit.
g. Evaluasi, konsultasi dan penyuluhan.
4.3. Tahap pasca bencana
Berlalunya bencana tanah longsor bukan
berarti permasalahan sudah selesai, masih
ada beberapa tahapan yang perlu kita
lakukan:
a. Penyusunan
dan
penyempurnaan
peraturan tata ruang dalam upaya
mempertahankan fungsi daerah resapan
air.
b. Mengupayakan
semaksimal
mungkin
pengembalian fungsi kawasan hutan
lindung.
c. Mengevaluasi dan memperketat studi
AMDAL pada kawasan vital yang
berpotensi menyebabkan bencana.

d. Mengevaluasi kebijakan Instansi/Dinas


yang berpengaruh terhadap terganggunya
ekosistem.
e. Penyediaan lahan relokasi penduduk yang
bermukim di daerah bencana, sabuk hijau
dan di sepanjang bantaran sungai.
f. Normalisasi areal penyebab bencana,
antara lain seperti
normalisasi aliran
sungai dan bantaran sungai dengan
membuat semacam polder dan sudetan.
g. Rehabilitasi
sarana
dan
prasarana
pendukung kehidupan masyarakat yang
terkena
bencana
secara
permanen
(seperti: perbaikan sekolah, pasar, tempat
ibadah, jalan, jembatan, tanggul dll).
h. Menyelenggarakan forum kerjasama antar
daerah dalam penanggulangan bencana.
5. Kesimpulan
Bencana alam tanah longsor masih tetap
berpotensi terjadi di tahun-tahun mendatang,
mengingat kondisi alam (morfologi dan
geologi) di beberapa wilayah di Indonesia
berbakat untuk longsor terutama di musim
hujan. Potensi terjadinya longsoran ini dapat
diminimalkan
dengan
memberdayakan
masyarakat untuk mengenali tipologi lereng
yang rawan longsor, gejala awal longsor,
serta upaya antisipasi dini yang harus
dilakukan, sehingga pengembangan dan
penyempurnaan manajemen mitigasi gerakan
tanah baik dalam skala nasional, regional
maupun lokal secara berkelanjutan dengan
memanfaatkan
perkembangan
teknologi
informasi dan menggalang kebersamaan
segenap lapisan masyarakat.
Daftar Pustaka
[1] Anwar,H.Z., Suwiyanto, E. Subowo,
Karnawati, D., Sudaryanto, Ruslan, M.,
2001, Aplikasi Citra Satelit Dalam
Penentuan Dareah Rawan Bencana
Longsor. Pusat Penelitian Geoteknologi
LIPI, Bandung.
[2] Dwiyanto JS, 2002, Penanggulangan
Tanah longsor dengan Grouting Pusdi
kebumian LEMLIT UNDIP, Semarang.
[3] Karnawati, D, 2002, Pengenalan Daerah
Rentan Gerakan Tanah Dan Upaya
Mitigasinya, Pusdi kebumian LEMLIT
UNDIP, Semarang.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Aspek Iklim dalam Perencanaan Tata Ruang


Indah Susanti
E-mail: indah_satklim05@bdg.lapan.go.id

Teguh Harjana
E-mail: teguh@bdg.lapan.go.id
1. Pengantar
Masalah perkotaan pada saat ini telah
menjadi masalah yang cukup pelik untuk
diatasi. Perkembangan perkotaan membawa
pada konsekuensi negatif pada beberapa
aspek,
termasuk
aspek
lingkungan.
Perkembangan kota membutuhkan ruang
sebagai tempat hidup penduduk dengan
aktivitasnya. Pertambahan jumlah penduduk
kota berarti juga peningkatan kebutuhan
ruang. Karena ruang tidak dapat bertambah,
maka yang terjadi adalah perubahan
penggunaan
lahan,
yang
cenderung
menurunkan proporsi lahan-lahan yang
sebelumnya merupakan ruang terbuka hijau.
Pada saat ini hanya 1,2% lahan di dunia
merupakan kawasan perkotaan, namun
coverage spasial dan densitas kota-kota
diperkirakan akan terus meningkat di masa
yang akan datang. PBB telah melakukan
estimasi dan menyatakan bahwa pada tahun
2025, 60% populasi dunia akan tinggal di
kota-kota.
Pada saat ini telah diakui bahwa iklim
perkotaan
memiliki
karakteristik
yang
berbeda dengan iklim kawasan di sekitarnya
yang masih memiliki unsur-unsur alami
cukup banyak. Perubahan unsur-unsur
lingkungan dari yang alami menjadi unsur
buatan menyebabkan terjadinya perubahan
karakteristik iklim mikro . Berbagai aktivitas
manusia di perkotaan, seperti kegiatan
industri
dan
transportasi,
mengubah
komposisi atmosfer yang berdampak pada
perubahan komponen siklus air, siklus
karbon dan perubahan ekosistem. Selain itu,
polusi udara di perkotaan menyebabkan
perubahan visibilitas dan daya serap
atmosfer terhadap radiasi matahari. Radiasi
matahari itu sendiri merupakan salah satu
faktor utama yang menentukan karakteristik
iklim di suatu daerah.

dalam perancangan dan perencanaan kota.


Namun di sisi lain, pemahaman mengenai
urbanisasi dan dampaknya pada sistem
iklim-bumi belum lengkap. Dan dalam sistem
perencanaan pembangunan perkotaan di
Indonesia, unsur iklim masih dianggap
sebagai elemen statis, dimana diasumsikan
tidak ada interaksi timbal balik antara iklim
dengan perubahan guna lahan. Data-data
iklim lebih sering dipergunakan sebagai data
yang mendukung pernyataan kesesuian
lahan dan lokasi bagi pengembangan fungsi
sebuah
kawasan,
terutama
untuk
pengembangan kawasan pertanian. Namun
dalam perancangan dan perencanaan
kawasan perkotaan di Indonesia, hampir
tidak
pernah
dipertimbangkan
bahwa
perubahan guna lahan yang direncanakan
akan memberikan implikasi yang sangat
besar terhadap sistem iklim.

2. Beberapa Karakteristik Iklim Perkotaan


Iklim perkotaan merupakan hasil dari
interaksi
banyak
faktor
alami
dan
antropogenik.
Polusi
udara,
material
permukaan
perkotaan,
emisi
panas
anthropogenik, bersama-sama dengan faktor
alam menyebabkan perbedaan iklim antara
kota dan area non perkotaan.
Iklim suatu kota dikendalikan oleh
banyak faktor alam, baik pada skala makro
(seperti. garis lintang) maupun pada skala
meso (seperti topografi, badan air). Pada
kota yang tumbuh dan berkembang, faktorfaktor baru dapat mengubah iklim lokal kota.
Guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas
industri dan transportasi, serta ukuran dan
struktur kota, adalah faktor-faktor yang terus
berkembang dan mempengaruhi iklim
perkotaan (Gambar 1).

Perubahan-perubahan tersebut sangat


penting untuk menjadi bahan pertimbangan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi iklim perkotaan


(Sumber: Sebastian Wypych, 2003)
Dalam tahap awal perkembangan kota,
sebagian besar lahan merupakan ruang
terbuka hijau. Namun, adanya kebutuhan
ruang untuk menampung penduduk dan
aktivitasnya, ruang hijau tersebut cenderung
mengalami konversi guna lahan menjadi
kawasan
terbangun.
Sebagian
besar
permukaannya, terutama di pusat kota,
tertutup oleh jalan, bangunan dan lain-lain
dengan karakter yang sangat kompleks dan
berbeda dengan karakter ruang terbuka hijau.
Setiap material permukaan mempunyai
albedo berbeda yang mengubah fraksi dari
radiasi matahari yang terpantul dan terserap
di permukaan. Dalam beberapa penelitian
ditemukan bahwa albedo kawasan perkotaan
hanya sekitar 10-15% (albedo untuk salju
adalah lebih besar dari 80%) yang berarti
banyak energi matahari yang datang diserap
oleh suatu kota [2]. Selain itu, bahan
bangunan yang digunakan untuk konstruksi
kota pada umumnya dicirikan oleh kapasitas

dan keterhantaran panas tinggi. Kombinasi


albedo yang rendah dan kapasitas panas
yang tinggi ini adalah faktor antropogenik
yang menciptakan karakter khusus pada
kondisi atmosfer di atas kawasan perkotaan.
Dari sisi yang lain, geometri tiga dimensi,
kota cenderung untuk menjebak radiasi dekat
permukaan,
dan
dengan
demikian
menurunkan radiasi gelombang panjang yang
mungkin dapat dilepaskan. Energi yang
cukup besar yang disimpan kota sepanjang
siang hari, dilepaskan pada malam hari
dengan proses yang sangat lambat. Proses
pendingingan di kawasan perkotaan ini jauh
lebih lambat bila dibandingkan dengan
pendinginan yang terjadi di kawasan non
perkotaan yang memiliki jumlah vegetasi
cukup banyak.
Polusi udara yang tinggi adalah faktor lain
yang menjadi ciri kawasan perkotaan. Polusi
udara perkotaan terdiri dari gas dan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/Agustus 2006

partikel/unsur/butir padat yang diemisi oleh


industri, transportasi, sistem pemanas dan
lain lain. Polusi udara yang teremisi, merubah
komposisi atmosfir perkotaan, menurunkan
transmissivitas dan meningkatkan daya serap
terhadap radiasi matahari. Dengan kata lain,
polusi udara menyerap cahaya matahari dan
visibilitas udara menurun, sehingga lebih
sedikit radiasi matahari yang menjangkau
permukaan tanah.
Pada umumnya pusat kota lebih terpolusi
dibanding bagian pinggir kota, tetapi hal
tersebut tergantung pada sebaran lokasi
industri dan intensitas penggunaan jalan-jalan.
Pada siang hari, konsentrasi polusi udara
tertinggi cenderung terjadi pada jam-jam
puncak, yaitu pada kondisi dimana arus lalu
lintas yang terjadi sangat tinggi. Dalam
rentang waktu satu tahun, di negara-negara
subtropis, konsentrasi polutan tertinggi
cenderung terjadi pada waktu musim dingin
ketika banyak polusi udara berbahaya
dipancarkan karena kombusi berbagai
macam bahan bakar, untuk memanaskan
bangunan, dan ketika atmosfir dalam
keadaan paling stabil yang memperkecil
kemungkinan udara untuk bercampur. Namun,
pada musim panas, kabut photochemical
tidak jarang pula tebentuk.
Dalam sebuah kota, evaporasi dapat
berkurang
secara
signifikan
karena
permukaan artifisial tidak menyerap air
sebagaimana halnya permukaan alami. Lebih
dari itu, selama musim hujan, air mengalami
run off dengan cepat ke dalam sistem
drainase kota dan permukaan di perkotaan
menjadi cepat kering. Karena air di atas
permukaan tanah jumlahnya sedikit, panas
yang ada tidak digunakan untuk evaporasi,
melainkan digunakan untuk memanaskan
atmosfer kota. Penting untuk disadari bahwa
kondisi vegetasi di suatu daerah atau
kawasan, sangat berpengaruh terhadap suhu
udara.
Dampak faktor antropogenik pada iklim
perkotaan tergantung pada ukuran kota,
struktur spasial, jumlah penduduk, dan
konsentrasi industri. Kota kecil dengan
bangunan-bangunan yang relatif rendah dan
menyebar di antara area hijau, tanpa pabrikpabrik atau industri, akan cenderung memiliki
pengaruh
yang
lebih
kecil
terhadap
perubahan iklim perkotaan dibandingkan
dengan kota-kota besar dengan bangunanbangunan yang tinggi.

Selain itu, setting alam dimana kota


berada, memiliki implikasi yang besar
terhadap sistem interaksi faktor antropogenik
dan iklim lokal. Contohnya, kota yang terletak
di daerah bergunung sering berkabut dan
aliran
udara
lemah.
Hal
tersebut
menyebabkan kualitas udara buruk, ditambah
lagi oleh inversi temperatur yang sering
terjadi.
Kota yang berada di lembah, formasi
inversi terjadi karena adanya shading di
bagian dasar dari landform oleh karena
adanya kemiringan, sehingga bagian yang
lebih rendah sebagai area yang mendapat
shade tetap lebih dingin dari area yang
terletak di atasnya, dan dengan begitu udara
yang berada di dekat permukaan tanah,
membentuk inversi temperatur. Ditambah lagi,
udara dingin (dan lebih berat) dari area miring
sekitar kota turun secara gravitasi dan
berkumpul di lembah atau basin, yang
memperkuat inversi.
Iklim perkotaan dapat diperbaiki oleh
perencanaan struktur perkotaan dengan cara
mengurangi dampak negatif faktor-faktor
alam dan antropogenik. Misalnya melalui
penempatan daerah hijau (misalnya taman)
dan badan air daerah lokasi-lokasi yang
strategis. Pabrik-pabrik sebaiknya dibangun
dengan memperhatikan arah angin, sehingga
polusi udara terbawa oleh angin dan tidak
mencemari ke area-area dimana dibutuhkan
kualitas udara yang baik sseperti area
permukiman.
3. Perubahan Iklim Global
Perubahan iklim pada abad ini telah
menjadi isu lingkungan yang cukup penting.
Berbagai penelitian dilakukan untuk dapat
mengidentifikasi
berbagai
penyebab
terjadinya perubahan iklim. Penelitianpenelitian lainnya mengarah pada identifikasi
strategi mitigasi bencana perubahan iklim.
Berbagai perubahan dan konsekuensi yang
terukur sangat diperlukan untuk dapat
melakukan respon dan adaptasi yang tepat
terhadap perubahan iklim, terutama adaptasi
yang dapat dilakukan di kawasan perkotaan.
Hal penting lainnya yang diperlukan adalah
eksplorasi
pengetahuan
mengenai
bagaimana pembangunan kota-kota baru
dapat memenuhi kriteria untuk mitigasi dan
tujuan-tujuan adaptasi.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/Agustus 2006

Pada tahun 2030, diperkirakan 60%


penduduk dunia akan tinggal di kawasan
perkotaan. Ini merupakan tantangan yang
cukup berat. Pertambangan penduduk
perkotaan menuntut adanya efisiensi dalam
sistem ekonomi, termasuk efisiensi dalam
intensitas penggunaan ruang. Pembangunan
pencakar langit dengan kepadatan yang
tinggi merupakan salah satu bentuk efisiensi
penggunaan ruang. Penggunaan teknologi
bahan yang kedap air untuk meningkatkan
daya tahan bangunan, adalah bentuk lain dari
efisiensi ekonomi di perkotaan. Padahal,
tingkat
kepadatan
yang
tinggi
dan
penggunaan bahan-bahan kedap air dengan
kapasitas panas yang tinggi merupakan
faktor-faktor yang memberikan kontribusi
besar terhadap pemanasan di perkotaan.
Respon yang sering muncul terhadap gejala
pemanasan ini adalah adanya peningkatan
penggunaan energi untuk pendingin ruangan,
yang
memberikan
respon
balik
dan
memperkuat gejala pemanasan di perkotaan
[5].

4. Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim


dalam Perencanaan Kawasan Perkotaan
Berbagai isu lingkungan di perkotaan
muncul dan memberi peringatan mengenai
ancaman keberlanjutan pembangunan kotakota. Dalam hal ini, diperlukan pemikiran jauh
ke depan, yang tidak hanya berorientasi pada
pemenuhan tujuan berjangka pendek, dan
perlu reorientasi visi pembangunan kota lebih
mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan
dan keberlanjutan pembangunan. Strategi
pemanfaatan ruang, baik untuk kawasan
budidaya maupun kawasan lindung, perlu
dilakukan secara kreatif, sehingga konversi
lahan dari pertanian produktif ataupun dari
kawasan hijau lainnya menjadi kawasan non
hijau dan non produktif, dapat dikendalikan.
Ini merupakan langkah preventif untuk
menurunkan laju perubahan suhu, baik
secara lokal maupun global.
Sebagai langkah represif, respon dalam
sistem perencanaan dan perancangan
kawasan perkotaan dapat dilakukan salah
satunya melalui desain perkotaan yang
mempertimbangkan sistem iklim.
Beberapa unsur perkotaan yang perlu
diamati antara lain:

Desain dan konstruksi bangunan. Adanya


kemungkinan
terdapat
masalah
bangunan dan geoteknik. Desain untuk
ventilasi dan pendinginan dengan cara
alami, mungkin akan sangat diperlukan.

Ruang terbuka dan ekologi perkotaan.


Desain
perkotaan
sebaiknya
menggabungkan koridor-koridor habitat,
badan air dan anak sungai, dan pohonpohon peneduh. Penggunaan lahan multi
fungsi mungkin menjadi kunci adaptasi
ekologi perkotaan, dengan fokus pada
kelompok permukiman baru untuk
perencanaan dan pemeliharaan karakter
ekologis.

Utilitas. Area-area yang jauh dari


pelayanan fasilitas dan utilitas, serta
area-area pantai akan menjadi area yang
rentan. Pengaruh yang paling besar akan
terjadi pada perubahan geoteknik dalam
hidrologi dan air tanah, yang akan
mempengaruhi drainase serta jaringan
suplay air bersih. Infrastruktur utama
lainnya sering kali berada pada lintas
otoritas kewenangan dan membutuhkan
pendekatan yang kolaboratif.

Transportasi.
Berbagai
prasarana
transportasi seperti jalan kereta api
(terutama di daerah pantai dan daerahdaerah yang berpotensi banjir) kanalkanal, pelabuhan laut dan udara harus
diadaptasikan terhadap kejadian-kejadian
cuaca ekstrim.

Pengembangan sistem drainase dan


pembuangan air kotor. Area perkotaan
akan membutuhkan desain engineering
yang memasukkan unsur area permeabel
dan soft engineering.

Perencanaan
dan
zoning
sensitif
terhadap iklim dan menuntut konsistensi
pembuatan
keputusan-keputusan
yang
didasarkan pada pengetahuan mengenai
keterhubungan unsur-unsur iklim dan elemen
kota serta berbagai konsekuensi terhadap
berbagai perubahan.
Beberapa hal yang dapat
dalam perencanaan ruang :

dilakukan

1. Preservasi dan akuisisi ruang hijau


a. Benchmarks untuk penggambarkan
penggunaan lahan, terutama ruang
terbuka hijau
b. Menghindari soil capping melalui
pengembangan ruang hijau dan air
c. Pengembangan roof greening

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/Agustus 2006

d. Pengembangan faade greening


2. Pengamanan pertukaran udara lokal,
yang menyangkut :
a. Produksi udara dingin
b. Suplay udara segar
c. Pengembangan koridor hijau
d. Pengembangan bentuk-bentuk
bangunan yang menguntungkan
3. Menentukan tindakan untuk kontrol polusi
a. Terhadap kawasan industri dan
komersial
b. Terhadap home heating
c. Terhadap lalulintas

5. Peranan Ruang Hijau dalam Penentuan


Iklim Mikro Perkotaan
Tingginya tingkat pembangunan di
daerah perkotaan, seringkali mengabaikan
unsur-unsur alami seperti vegetasi. Padahal
dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa
vegetasi memiliki manfaat dan nilai untuk
mempertahankan tingkat kenyamanan udara
[1]. Dalam hal ini, sangat penting untuk
mempertimbangkan kebutuhan ruang hijau di
perkotaan. Pembangunan fisik kota itu sendiri
mempengaruhi ketersediaan ruang untuk
vegetasi dan distribusinya [3].
Hasil analisis yang dilakukan dalam
beberapa penelitian mengungkapkan adanya
dampak dampak-dampak menguntungkan
dari ruang hijau perkotaan pada iklim mikro,
kualitas udara, reduksi konsumsi energi pada
gedung-gedung
yang
berdekatan,
penyimpanan karbon, dan juga memperkaya
biodiversity [3,4,5]. Telah diakui pula bahwa
terdapat keuntungan sosial ekonomi yang
dapat diperoleh dari ruang hijau perkotaan,
dan kontribusinya pada perbaikan kesehatan
manusia.
Telah diketahui bagaimana perubahan
iklim dapat mempengaruhi fungsi dan struktur
ruang hijau, yang mana hal tersebut pada
akhirnya
berdampak
pada
lingkungan
perkotaan. Pengetahuan mengenai hal ini
menjadi penting untuk memberikan respon
terhadap pengaruh-pengaruh perubahan iklim
dengan strategi yang adaptif melalui
manajemen, perancangan dan perencanaan
ruang hijau perkotaan.

Beberapa peranan ruang hijau di


perkotaan yang berhubungan dengan kualitas
udara antara lain :
1. Penahan dan Penyaring Partikel Padat
dari Udara
2. Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal
3. Penyerap dan Penjerap Debu Semen
4. Peredam Kebisingan
5. Mengurangi Bahaya Hujan Asam
6. Penyerap Karbon-monoksida
7. Penyerap Karbon-dioksida dan Penghasil
Oksigen
8. Penahan Angin
9. Penyerap dan Penapis Bau
10. Mengatasi Penggenangan
11. Ameliorasi Iklim
12. Penapis Cahaya Silau
Beberapa model telah dibangun dan
diaplikasikan
untuk
mengkuantifikasi
indikator-indikator kinerja ruang hijau seperti
temperatur permukaan, run-off permukaan,
carbon
storage
dan
sequestration.
Kombinasinya dengan sistem informasi
geografis, menghasilkan model-model yang
didukung peralatan untuk mengeksplor
bagaimana pola spasial ruang hijau dan
atribut-atributnya seperti tutupan pohon
berhubungan dengan kinerja lingkungannya
[6]. Dari hasil studi tersebut disimpulkan
bahwa ruang hijau dapat menjadi alat yang
efektif untuk melakukan mitigasi terhadap
perubahan iklim di area perkotaan. Tetapi
masih terdapat banyak hal yang belum digali,
seperti berapa banyak ruang hijau diperlukan,
jenis ruang hijau seperti apa yang dibutuhkan
dan bagaimana konfigurasi spasial yang
paling efektif untuk memperbaiki iklim
perkotaan secara efektif.
6. Penutup
Urbanisasi sebagai fenomena yang
terjadi di berbagai belahan dunia, merupakan
kontributor terhadap terjadinya perubahan
iklim. Ini karena dalam proses urbanisasi
terjadi perubahan karakteristik lansekap, dari
yang bersifat alami menjadi artifisial. Dalam
hal ini, berbagai kebijakan yang ditempuh
dalam perencanaan dan perancangan kota
dan lingkungan, perlu mempertimbangkan
perubahan aspek-aspek iklim yang akan
terjadi. Penetapan pengembangan kawasan
permukiman, kawasan industri, atau pun
kawasan budidaya lainnya, tentunya akan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/Agustus 2006

memberikan berbagai konsekuensi terhadap


kondisi atmosfer di atasnya. Oleh karena itu,
para ahli klimatologi ataupun meteorologi
perlu dilibatkan dalam proses perencanaan
dan perancangan kota. Dengan demikian
dapat diharapkan bahwa dalam proses
perencanaan tata ruang kota terjadi reaksi
yang tepat terhadap situasi atmosfer yang
terpolusi dan akan terjadi perbaikan kondisi
kenyamanan iklim/bioklimatik di perkotaan.

Daftar Pustaka
[1] Elsa, Fabio Bertrand. The urban heat
isles and the micro-climatic variations
brought
about
by
vegetation.
http://www.mybestlife.com/eng_bio/BioArchitecture/Urban_vegetation.htm, 2005.
[2] Landsberg, H.E., 1981. The Urban
Climate. National Academy Press, New
York 275pp.Li Q., et al., 2004. Urban heat
island effect on annual mean temperature
during the last 50 years in China.
Theoretical Applied Climatology 79: 165
174

[3] McPherson,
G.
R.
Ecology and
Management
of
North
American
Savannas. University of Arizona Press,
Tucson, Arizona, 1997
[4] Nowak, David J., Daniel E. Crane, and
John F. Dwyer. Compensatory Value of
Urban Trees in the United States.
Journal of Arboriculture. Volume 21,
Number 4. 2002. pp.194-1999.
[5] Paul Moccia, Lauren. Climate Change in
Area F.A.Q. http://www.terry.
Urban
ubc.ca/index.php/2006/02/08/climatechange-in-urban-areas-faq-moccia-mix/.
[6] Pauleit S., Duhme F., Assessing the
Environmental Performance of Land
Cover Types for Urban Planning. Journal
of Landscape and Urban Planning 52 (1):
1-20, 2000.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Me-Rumput di Piala Dunia


Tatang Sopian
United Graduate School of Agricultural Science, Tokyo University of Agriculture and
Technology ; Dinas Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam, Kabupaten Purwakarta
E-mail: tsopian@yahoo.com ; tspn@cc.tuat.ac.jp
Tahukah apa yang paling sibuk dilakukan
Panitia Piala Dunia 2006 Jerman terhadap
stadion-stadion yang dipersiapkan untuk
perhelatan akbar sepakbola dunia yang baru
berlalu tersebut? Ternyata mereka sibuk
mengganti hamparan rumput yang ada
dengan yang baru. Tidak kurang dibutuhkan
530.000 meter persegi hamparan rumput
untuk keperluan ini.
Kesibukan Jerman dalam mempersiapkan
hamparan rumput untuk Piala Dunia 2006 lalu
telah terlihat sejak 2 tahun sebelumnya.
Seperti yang diberitakan di dalam website
resmi Piala Dunia 2006 [3] bahwa federasi
sepakbola
Jerman
secara
khusus
menyelenggarakan workshop tentang rumput
yang dihadiri oleh ahli-ahli rumput (turf
specialist) termasuk juga Panitia Piala Dunia
2006. Pada saat itulah Panitia Piala Dunia
2006 secara resmi mengumumkan rencana
penggantian hamparan rumput di stadionstadion di Jerman yang akan dipergunakan
untuk Piala Dunia 2006.
Yang menarik adalah bahwa Jerman
sampai perlu mendatangkan sebagian besar
hamparan rumput baru itu dari lahan
pertanian Perusahaan Hendriks Graszoden
Groep (Hendriks Grass Sod Group) di
Belanda seperti diberitakan oleh Reuters [6].
Meskipun sekitar 160.000 meter persegi
sisanya, disuplai dari lahan pertanian milik
keluarga Buchner pengusaha Jerman sendiri.
Jenis rumput yang dipilih adalah campuran 80
persen Poa pratensis yang lembut serta 20
persen rumput kasar Lolium parenne [4]
(Gambar 1).
Mengutip pemberitaan surat kabar Inggris,
The Observer [8], ketika wartawan mereka
mendatangi
lahan
pertanian
Hendriks
Graszoden Groep, pemiliknya yaitu John
Hendriks, menolak memberitahukan letak
persis di antara 350 hektar hamparan rumput
yang dikelolanya untuk dipergunakan pada
perhelatan Piala Dunia tersebut.
Hal ini
memang merupakan kesepakatan dengan
FIFA untuk merahasiakan tentang hamparan

rumput yang dipersiapkan tersebut, untuk


mencegah hal-hal yang tidak dikehendaki.

Gb.1. Penggantian rumput di salah satu stadion


Piala Dunia 2006 (sumber:Reuters)

Sedemikian pentingnya rumput dalam


arena bergengsi olahraga sepakbola ini,
sampai-sampai
lapangan-lapangan
sepakbola berstandar Eropa dan selalu
dipergunakan
oleh
tim-tim
Bundesliga
ternyata harus diganti untuk perhelatan akbar
sepakbola Piala Dunia 2006. Itupun tidak
tanggung-tanggung, hamparan rumputnya
pun diimpor dari perusahaan Belanda yang
telah berpengalaman selama 30 tahun dalam
bisnis rumput untuk olahraga dan rekreasi,
lalu dirahasiakan lagi tempat penanamannya.
Hal ini mengundang rasa penasaran kita
tentang bagaimana rumput yang baik bagi
olahraga dunia semacam ini.
Di Atas Rumput Alam
Rumput lapangan sepakbola, merujuk
kepada istilah turf atau turfgrass, seringkali
kita terjemahkan dengan padanan frase
rumput golf, meskipun ternyata bukan hanya
lapangan golf yang memanfaatkan rumput
semacam ini, lapangan olahraga lainnya
seperti lapangan sepakbola dengan Piala
Dunia
sebagai
ajang
pertandingan
terbesarnya, menempatkan rumput sebagai
standar tertinggi untuk penyelenggaraannya.
Sehingga penggunaan istilah turf atau
rumput menjadi tidak asing dan juga melekat
erat dengan penyelenggaraan Piala Dunia.
Di dalam dokumen-dokumen FIFA, hampir
tidak ditemukan adanya referensi yang

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

mengatur tentang permukaan lapangan harus


mempergunakan rumput alam (natural turf)
untuk pertandingan sepakbola versi FIFA.
Satu-satunya pegangan bahwa lapangan
rumput alam harus dipergunakan dalam
sepakbola, adalah dikarenakan asal-muasal
sepakbola dari Inggris terkait dengan adat
dan budayanya mengatur penggunaan
lapangan rumput alam (lawn).
Ide-ide penggunaan rumput buatan
(artificial turf) sebagai permukaan lapangan
dalam pertandingan-pertandingan sepakbola
versi FIFA sempat mendapat tentangan dari
Inggris dan Skotlandia, namun akhirnya FIFA
mengizinkan penggunaan rumput buatan
untuk
penyelenggaraan
pertandingan
sepakbola versi FIFA di negara-negara
tertentu. Hal ini dilakukan demi memberikan
kemudahan bagi negara-negara itu dalam
pengelolaan lapangan sepakbola tersebut,
sehubungan karena pengelolaan lapangan
rumput alam membutuhkan biaya dan
teknologi tinggi.
Misalnya
pada
penyelenggaraan
pertandingan sepakbola Piala Dunia di bawah
usia 17 tahun (World Cup U-17) pada tahun
2003
di
Finlandia,
lapangan
yang
dipergunakan di 10 pertandingan yang
berlangsung termasuk di final, menggunakan
lapangan rumput buatan (Gambar 2). Tentu
saja standar rumput buatannya merupakan
yang terbaik direkomendasikan menurut versi
FIFA, yang mempunyai sifat hampir mirip
dengan rumput alam.

Gb.2. Rumput buatan di salah satu stadion


Piala Dunia U-17 2003 (sumber:UEFA.com)

Meskipun FIFA telah mengeluarkan


ketentuan-ketentuan tentang penggunaan
rumput
buatan
untuk
pertandinganpertandingan sepokbola versi FIFA, namun
hal ini masih belum berlaku untuk perhelatan
sepakbola bergengsi Piala Dunia, FIFA masih
memilih lapangan rumput alam sebagai
tempat
penyelenggaraannya,
setidaknya

sampai saat ini. Mengingat tentunya masih


perlu dipertimbangkan pula faktor-faktor
kenyamanan bagi pemain dan wasit.
Salah satu faktor luar yang menjadi
penyebab resiko cedera olahragawan adalah
permukaan
lapangan,
sebagaimana
dikemukakan Murphy dkk [5] dalam sebuah
review di British Journal of Sport Medicine, di
samping juga level pertandingan, jenis sepatu
dan
pelindung
tungkai
kaki,
turut
mempengaruhi resiko cedera.
Menurut
review mereka, permukaan lapangan rumput
buatan dilaporkan lebih sering menyebabkan
cedera pemain sepakbola, dikarenakan
rumput
buatan
relatif
lebih
keras
permukaannya
serta
meningkatkan
pergesekan antara sepatu dan permukaan
lapangan, meskipun hal ini masih perlu
dikonfirmasi lebih jauh.
Keseragaman, Elastisitas dan Kecepatan
Berbagai jenis rumput alam telah dikenal
dapat dipergunakan untuk permukaan
lapangan olahraga, misalnya : Bentgrass
(Agrotis spp.), Kentucky Bluegrass (Poa
pratensis), Ryegrass (Lolium spp.), Tall
Fescue (Festuca arundinacea), Fine Fescues
(Festuca spp.), Bermudagrass (Cynodon
dactylon), Hybrid Bermudagrass (Cynodon
spp.),
Kikuyugrass
(Pennisetum
clandestinum),
Augustinegrass
(Stenotaphrum secundatum), Zoysiagrass
(Zoysia japonica), dan Dichondra (Dichondra
micrantha). Masing-masing rumput tersebut
mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
Khusus untuk olahraga sepakbola, seperti
pada penyelenggaraan Piala Dunia 1994 di
Amerika Serikat, rumput jenis Bermudagrass
hibrida C-transvaalensis dipergunakan pada 5
lapangan
yang
dipergunakan
untuk
pertandingan, dan rumput campuran jenis
Kentucky bluegrass dengan Ryegrass
dipergunakan pada 4 lapangan lainnya. Hal
ini dilakukan karena kesembilan lapangan
tersebut terletak pada daerah yang berbeda
iklimnya.
Ini adalah salah satu kriteria
pertimbangan dalam penentuan jenis rumput
yang diperlukan untuk permukaan lapangan
sepakbola.
Dalam majalah kerjasama penyuluhan
California University, Cockerham dkk [2]
sempat mengemukakan pada performansi
lapangan rumput bagi pemain membutuhkan
kriteria
keseragaman,
elastisitas
dan
kecepatan.
Pertimbangan ini pula yang

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

dipergunakan dalam penyiapan lapangan


rumput pada Piala Dunia 1994 tersebut.
Kriteria keseragaman yang dimaksud
adalah keseragaman dari rumput tersebut di
lapangan, tentunya pemain sepakbola dunia
kurang merasa nyaman apabila rumputnya
ada yang tinggi dan ada yang rendah akibat
pemeliharaan yang kurang baik atau banyak
warna-warni
akibat
fisiologi
tanaman
rumputnya kurang baik.
Elastisitas rumput mempunyai rentang dari
keras hingga lembut, dan tentunya yang
dipilih adalah pada tingkat elastisitas optimum
yang mampu meningkatkan permainan para
pemain sepakbola. Untuk kecepatan dapat
diperhatikan dari kemampuan pemain untuk
dapat berlari dengan nyaman, di sini yang
menjadi
ukurannya
adalah
ketebalan
lapangan rumput dan kekerasannya.

Penempatan hamparan rumput lapangan


sepakbola di luar ini, memang terkait dengan
kebutuhan rumput mendapatkan cahaya
matahari langsung atau tidak boleh ternaungi
terlalu lama. Hal ini ditunjukkan oleh Bell dkk
[1] di dalam jurnal Crop Science, bahwa
rumput turf membutuhkan irradiasi cahaya
matahari. Mereka juga membuktikan bahwa
kerapatan
hamparan
rumput
semakin
berkurang bila ternaungi, bahkan di dalam
gedung tertutup dapat menyisakan 28 %
hamparan rumput dalam 8 hari.

Tidak Ternaungi
Dalam perhelatan sepakbola Piala Dunia,
kita sering melihat bahwa lapangan
sepakbola berada di dalam stadion yang tidak
beratap (outdoor). Namun tidak semuanya,
sebagai contohnya duel bergengsi ArgentinaInggris pada penyisihan Grup F putaran Piala
Dunia 2002 Korea/Jepang yang berlangsung
di Sapporo Dome - Jepang, juga 2
pertandingan lainnya pada ajang tersebut,
dilakukan di stadion tertutup atau dalam
ruangan (indoor).
Sapporo Dome adalah salah satu stadion
futuristik dalam ruangan tertutup yang
memamerkan
teknologi
tinggi
dan
menghabiskan biaya pembangunan sebesar
42,2 milyar yen. Stadion berkapasitas 42.831
tempat duduk ini dibangun dengan sengaja
oleh Jepang, sebagai salah satu dari dua
negara yang menjadi tuan rumah, dalam
rangka mempersiapkan Piala Dunia 2002.
Kecanggihan Sapporo Dome ini, adalah
adanya perangkat untuk memindahkan
hamparan rumput lapangan sepakbola, dari
luar ruangan masuk ke dalam ruangan
stadion tertutup tersebut, dan kemudian
mengembalikannya ke luar apabila tidak
dipergunakan untuk pertandingan sepak bola.
Pada keadaan normal, di dalam stadion
tertutup tersebut, terhampar rumput lapangan
baseball yang terbuat dari rumput buatan,
sedangkan di luar ruangan terhampar secara
terbuka lapangan sepakbola dari rumput alam
(Gambar 3).

Gb.3. Sapporo dome tampak dari udara


(sumber:website resmi Sapporo dome)

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka


tidak
heran
apabila
pertandinganpertandingan yang berlangsung di Piala
Dunia, seringkali dilakukan di lapangan
terbuka.
Win on Home Turf
Kita
tentunya
masih
mengingat
penyelenggaraan Piala Dunia tahun 1998.
Saat itu Tim Perancis sebagai tuan rumah
berhasil menjadi juara dunia setelah
mengalahkan Brazil dengan skor telak 3-0 di
final. Beberapa media massa internasional,
mengangkat kembali isu kemenangan Tim
Perancis tersebut.
Misalnya pemberitaan
Reuters
[7]
yang
bertajuk
Zidane
mengatakan Perancis harus mengembalikan
semangat tim. Salah satu pernyataan di
dalamnya menyebutkan bahwa Tim Perancis
menang Piala Dunia di atas lapangan
rumput-nya pada tahun 1998 (French team
won the World Cup on home turf in 1998).
Lalu pada penyelenggaraan Piala Dunia
2006 di Jerman, isu kemenangan di atas
rumput
sempat
ramai
dibicarakan.
Penyebabnya yaitu karena Tim Jerman
sebagai runner up pada Piala Dunia 2002
Korea/Jepang, adalah tim yang diunggulkan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

bersama dengan Tim Brazil sebagai juara


bertahan. Selain itu sebagai tuan rumah,
Jerman mendapatkan keuntungan ganda
dengan
adanya
dukungan
penonton,
sehingga menambah peluang mengulang
keberhasilan win on home turf seperti
Perancis pada Piala Dunia 1998.
Cuma
sayangnya
ternyata
Jerman
memang tidak beruntung. Mereka dikalahkan
oleh tim sepakbola Eropa lainnya di semifinal.
Mungkinkah karena faktor rumput ?
Daftar Pustaka
[1] Bell, GE, TK Danneberger, and MJ
McMahon. 2000. Spectral irradiance
available for turfgrass growth in sun and
shade. Crop Science. 40:189195.
[2] Cockerham, ST, JR Watson, and JC
Keisling. 1995. The soccer fieldgauge:
measuring field performance. Cooperative
Extension: California Turfgrass Culture.
45:3-4.

[4] Kompas (7/6/2006), Rumput ruwet


rumput
rumit.
http://www.kompas.com/kompascetak/0606/07/pialadunia/2705002.htm
[5] Murphy, DF, DAJ Connolly, and BD.
Beynnon. 2003. Risk factors for lower
extremity injury: a review of the literature.
British. Journal of Sports Medicine. 37:
13-29.
[6] Reuters (5/5/2006), Dutch turf begins
journey to German World Cup stadiums.
http://worldcup.reuters.com/netherlands/n
ews/usnL05667497.html
[7] Reuters (19/5/2006), Zidane says France
must
recover
team
spirit.
http://fifaworldcup.yahoo.com/06/en/0605
19/7/6ubo.html
[8] The Observer (19/2/2006), Secret site of
the
World
Cup
turf.
http://observer.guardian.co.uk/world/story/
0,,1713143,00.html

[3] FIFAworldcup.com (6/8/2004), Fresh turf


at
World
Cup
venues.
http://fifaworldcup.yahoo.com/06/en/0408
06/1/1y8g.html

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Biogas sebagai Peluang Pengembangan Energi Alternatif


Asep Bayu Dani Nandiyanto
Mahasiswa Chemical Engineering, Graduate School of Engineering, Hiroshima University
Email: asepbayudn@hiroshima-u.ac.jp

Fikri Rumi
Mahasiswa Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC),
Hiroshima University
Email: fikrirumi@hiroshima-u.ac.jp
1. Latar Belakang
Dengan timbulnya kelangkaan bahan bakar
minyak yang disebabkan oleh kenaikan harga
minyak dunia yang signifikan, pemerintah
mengajak masyarakat untuk mengatasi
masalah energi ini secara bersama-sama
karena kenaikan harga yang mencapai 72
dolar/barel ini termasuk luar biasa [1]. Harga
ini membuat harga minyak menjadi yang
tertinggi sepanjang abad 21. Masalah ini
memang sulit sebagaimana yang dikatakan
oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa
kenaikan harga minyak akan menyebabkan
kenaikan subsidi bahan bakar minyak (BBM)
pada APBN 2006. Peryataan selanjutnya
dikatakan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono
yang
menyatakan
bahwa
masyarakat
perlu
untuk
melakukan
penghematan di segala sisi termasuk
penggunaan BBM, listrik, air, dan telepon [2].
Sebetulnya, proses penghematan ini sudah
berlangsung sejak dahulu terutama sejak
pemerintah
melakukan
program
penghematan energi secara nasional [3]. Dan
proses penghematan ini telah berhasil
menurunkan pengeluaran negara terutama
subsidi pada listrik dan BBM.
Adapun hal yang menyebabkan keharusan
setiap warga untuk melakukan proses
penghematan adalah karena pasokan bahan
bakar yang berasal dari minyak bumi
merupakan sumber energi fosil yang tidak
dapat diperbarui (unrenewable), sementara
permintaan menunjukkan kecenderungan
yang terus meningkat dan demikian pula
dengan kondisi harga sehingga tidak ada
stabilitas keseimbangan antara permintaan

dan penawaran. Dengan adanya ketidakstabilan permintaan dan penawaran ini


mengakibatkan peningkatan harga minyak
yang terus-menerus hingga saat ini [4]. Salah
satu jalan untuk melakukan penghematan
BBM adalah dengan mencari sumber energi
alternatif terutama yang dapat diperbarui
(renewable) [5]. Sebagai contoh, potensi
sumber daya alam yang dapat dikembangkan
menjadi sumber energi adalah batu bara,
panas bumi, aliran sungai, angin, matahari,
sampah serta sumber-sumber lain yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti pohon
jarak, dan energi biogas [6].
Dalam paper ini, akan dijelaskan tentang
teknologi biogas yang merupakan salah satu
sumber energi pengganti minyak bumi. Hal
yang menyebabkan biogas menarik perhatian
penulis adalah proses pemeliharaan pada
pembangkit biogas yang sederhana dan
energi yang dihasilkan cukup besar (8900
kkal/m3 gas methan murni) [7].
2. Teknologi Biogas
2.1. Sejarah Penemuan Biogas
Gas methan ini sudah lama digunakan oleh
warga Mesir, China, dan Roma kuno untuk
dibakar dan digunakan sebagai penghasil
panas. Sedangkan, proses fermentasi lebih
lanjut untuk menghasilkan gas methan ini
pertama kali ditemukan oleh Alessandro Volta
(1776). Hasil identifikasi gas yang dapat
terbakar ini dilakukan oleh Willam Henry pada
tahun 1806. Dan Becham (1868), murid Louis
Pasteur dan Tappeiner (1882), adalah orang
pertama
yang
memperlihatkan
asal
mikrobiologis dari pembentukan methan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Adapun alat penghasil biogas secara


anaerobik pertama dibangun pada tahun
1900. Pada akhir abad ke-19, riset untuk
menjadikan gas methan sebagai biogas
dilakukan oleh Jerman dan Perancis pada
masa antara dua Perang Dunia. Selama
Perang Dunia II, banyak petani di Inggris dan
Benua Eropa yang membuat alat penghasil
biogas
kecil
yang
digunakan
untuk
menggerakkan traktor. Akibat kemudahan
dalam memperoleh BBM dan harganya yang
murah pada tahun 1950-an, proses
pemakaian biogas ini mulai ditinggalkan.
Tetapi,
di
negara-negara
berkembang
kebutuhan akan sumber energi yang murah
dan selalu tersedia selalu ada. Oleh karena
itu, di India kegiatan produksi biogas terus
dilakukan semenjak abad ke-19. Saat ini,
negara berkembang lainnya, seperti China,
Filipina, Korea, Taiwan, dan Papua Nugini,
telah
melakukan
berbagai
riset
dan
pengembangan alat penghasil biogas [5].
Selain di negara berkembang, teknologi
biogas juga telah dikembangkan di negara
maju seperti Jerman [8].
2.2. Prinsip Teknologi Biogas
Pada prinsipnya, teknologi biogas adalah
teknologi
yang
memanfaatkan
proses
fermentasi (pembusukan) dari sampah
organik secara anaerobik (tanpa udara) oleh
bakteri methan sehingga dihasilkan gas
methan. Gas methan adalah gas yang
mengandung satu atom C dan 4 atom H yang
memiliki sifat mudah terbakar. Gas methan
yang dihasilkan kemudian dapat dibakar
sehingga dihasilkan energi panas. Bahan
organik yang bisa digunakan sebagai bahan
baku industri ini adalah sampah organik,
limbah yang sebagian besar terdiri dari
kotoran, dan potongan-potongan kecil sisasisa tanaman, seperti jerami dan sebagainya,
serta air yang cukup banyak [5]. Proses ini
sebetulnya
terjadi
secara
alamiah
sebagaimana peristiwa ledakan gas yang
terbentuk di bawah tumpukan sampah di
Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA)
Leuwigajah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
[5].
Prinsip
pembangkit
biogas,
yaitu
menciptakan alat yang kedap udara dengan
bagian-bagian pokok terdiri atas pencerna
(digester), lubang pemasukan bahan baku
dan
pengeluaran
lumpur
sisa
hasil
pencernaan (slurry), dan pipa penyaluran

biogas yang terbentuk. Di dalam digester ini


terdapat bakteri methan yang mengolah
limbah bio atau biomassa dan menghasilkan
biogas.
Dengan pipa
yang
didesain
sedemikian rupa, gas tersebut dapat dialirkan
ke kompor yang terletak di dapur. Gas
tersebut dapat digunakan untuk keperluan
memasak dan lain-lain [5].
Alat biogas ini terbagi atas dua tipe, tipe
terapung (floating type) yang dikembangkan
di India dan tipe kubah tetap (fixed dome
type) yang dikembangkan di China. Tipe
terapung terdiri atas sumur pencerna dan di
atasnya diletakkan drum terapung dari besi
terbalik yang berfungsi untuk menampung
gas yang dihasilkan oleh digester. Bagian
sumur dibangun dengan menggunakan
bahan-bahan yang biasa digunakan untuk
membuat fondasi rumah seperti pasir, batu
bata, dan semen. Berbeda halnya dengan
tipe terapung, tipe kubah berupa digester
yang dibangun dengan menggali tanah,
kemudian dibuat bangunan dengan bata,
pasir, dan semen yang berbentuk seperti
rongga yang ketat udara dan berstruktur
seperti kubah (bulatan setengah bola) [5].
Untuk
permulaan
pembangunan
pembangkit biogas memang diperlukan biaya
yang relatif besar bagi penduduk pedesaan
tetapi alat tersebut dapat dipergunakan untuk
menghasilkan biogas selama bertahun-tahun.
Keuntungan
pembangkit biogas selain
sebagai sumber energi adalah untuk
mengatasai
masalah
sampah
organik
terutama di pedesaan seperti feses, urine,
sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak,
darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen,
dan sebagainya. Sampah ini akan semakin
menjadi
masalah
ketika
adanya
pengembangan usaha di pedesaan karena
semakin berkembang usaha peternakan,
maka semakin meningkat limbah yang
dihasilkan [7].
2.3.

Perhitungan Peluang Pemanfaatan


Biogas dalam Mengatasi Masalah
BBM

Program
penghapusan
BBM
yang
dilaksanakan pada tahun 2005 akan menjadi
momentum yang tepat dalam penggunaan
energi alternatif seperti biogas. Hal ini bisa
dihitung dengan adanya jumlah bahan baku
biogas yang melimpah dan rasio antara
energi biogas dan energi minyak bumi yang

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006


menjanjikan (8900 kkal/m3 gas methan murni)
[7].

penggunaan BBM di masa depan.


4. Daftar Pustaka

Hal yang pertama harus diperhitungkan


dalam menghitung jumlah energi yang
dihasilkan adalah berapa banyak jumlah
bahan baku yang dihasilkan. Jumlah bahan
baku
gas
ini
didapatkan
dengan
menjumlahkan jumlah feses dan sampah
organik yang dihasilkan setiap hari. Jumlah
bahan baku ini akan menentukan berapa
jumlah energi dan volume alat pembentuk
biogas [5].
Sebagai pertimbangan, telah diketahui di
China dan India, dalam 1 hari jumlah feses
yang dihasilkan 1 ekor sapi adalah 5 kg [7]
dan 80 kilogram kotoran sapi yang dicampur
80 liter air dan potongan limbah lainnya dapat
menghasilkan 1 meter kubik biogas [1]. Jika
diasumsikan bahwa jumlah feses manusia
yang dihasilkan sebanyak 0.5 kg/hari/orang, 1
keluarga terdiri dari 5 orang, dan setiap
keluarga memelihara 1 ekor sapi, serta 1
desa terdiri dari 40 orang, maka akan
didapatkan hasil perhitungan jumlah feses
yang dihasilkan sebanyak 140 kg feses/ hari.
Dengan jumlah ini, maka biogas yang
dihasilkan setiap hari sebanyak 1,75 m3/hari
atau sebesar 15.575 kkal/hari.
Hal ini akan semakin mengejutkan dengan
adanya perhitungan bahwa jumlah penduduk
indonesia berdasarkan data statistik pada
tahun 2000 sebanyak lebih dari 200 juta jiwa
[9]. Dengan hanya mengandalkan asumsi
perhitungan jumlah kotoran manusia tanpa
memperhitungan sampah organik dan feses
hewan ternak, akan didapatkan hasil feses
sebanyak 100 juta kg feses/hari atau 1,25 juta
3
m /hari atau 11.125 juta kkal/hari. Apabila
dengan asumsi konversi 1 J = 4.2 kal maka
akan didapatkan hasil total energi yang
dihasilkan hanya dari jumlah penduduk
adalah sebesar 30.66 MW.

[1] Kompas, edisi 24 April 2006, Wapres:


Subsidi BBM Naik, Jika Harga Minyak
Melambung.
[2] Liputan6, edisi 24 April 2006, Presiden
Yudhoyono
Mengajak
Masyarakat
Indonesia Berhemat.
[3] Liputan 6, 7 Juli 2005, Hemat Energi
Nasional dimulai pekan depan 5. Burhani
Rahman, Sumber Energi Alternatif,
2005
http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?arti
kel&1123717100&2
[4] Teguh Dartanto, BBM, Kebijakan Energi,
Subsidi, dan Kemiskinan di Indonesia,
Inovasi, Vol.5/XVII/November 2005
[6] Pikiran rakyat, edisi 24 Maret 2006,
Benarkah Kita Mengalami Krisis Energi?
[7]

Eddy Nurtjahya dkk, Pemanfaatan


Limbah Ternak Ruminansia Untuk
Mengurangi Pencemaran Lingkungan,
2003,
http://tumoutou.net/6_sem2_023/kel4_se
m1_023.htm

[8] Gatra, edisi 29 April 2006, Menuai Listrik


di Kampung Energi.
[9] STATISTIK INDONESIA 2000, Biro Pusat
Statistik, Jakarta, 2001.

3. Kesimpulan
Dengan jumlah energi yang cukup besar
dan tidak adanya pemanfaatan merupakan
salah satu penyebab timbulnya masalah baru,
terutama masalah pemanasan global karena
gas methan ini adalah salah satu gas yang
bertanggung jawab terhadap pemanasan
global dan perusakan ozon [7].
Di lain
pihak, apabila biogas ini dimanfaatkan, maka
akan
mengurangi
kecenderungan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Produksi Tanaman dan Makanan dengan Menggunakan Hidroponik


- Sederhana hingga OtomatisM.Affan Fajar Falah
Mahasiswa Program Doktor, The United Graduate School Of Agriculture Ehime University
Staff Pengajar Jur. Teknologi Industri Pertanian, FTP UGM Yogyakarta
E-mail : affan.fajar@gmail.com
1. Pendahuluan
Kecenderungan konsumen dalam memilih
hasil produksi tanaman dan makanan di kotakota besar Indonesia adalah mencari produk
dengan nilai tambah terhadap manfaat
kesehatan, berpenampilan menarik, dan dengan
harga yang rasional. Produk-produk tersebut
sebagian besar dapat terpenuhi oleh produk
hidroponik [7]. Dalam makalah ini akan
dijelaskan tentang cara memproduksi tanaman
makanan dan non-makanan (seperti bunga atau
yang dikenal dengan ornamental plants) dengan
metode hidroponik, secara sederhana hingga
otomatis.
Dalam sejarahnya, penelitian hidroponik
dikenal melalui penelitian Woodward (1699)
yang menggunakan hidroponik untuk studi
pertumbuhan tanaman, namun penelitian De
Saussure (1804) lebih signifikan untuk dikatakan
sebagai cikal bakal penelitian hidroponik yang
menggunakan larutan nutrisi sebagai komposisi
awal dengan berbagai macam komponen

elemen mineral di dalam distilled water [2].


Hidroponik atau hydroponics, berasal dari
bahasa latin yang terdiri atas kata hydro yang
berarti air dan kata ponos yang berarti kerja,
sehingga hidroponik dapat diartikan sebagai
suatu pengerjaan atau pengelolaan air sebagai
media tumbuh tanaman tanpa menggunakan
media tanah sebagai media tanam dan
mengambil unsur hara mineral yang dibutuhkan
dari larutan nutrisi yang dilarutkan dalam air.
Beberapa
kelebihan
sistem
hidroponik
dibanding dengan media tanah adalah
kebersihan
lebih
mudah
terjaga,
tidak
memerlukan pengelolaan tanah, penggunaan
pupuk dan air lebih efisien, tidak tergantung
musim, tingkat produktivitas dan kualitas cukup
tinggi dan seragam, tanaman dapat dikontrol
dengan baik, dapat diusahakan di tempat yang
tidak terlalu luas ataupun dipergunakan sebagai
bisnis dengan luasan yang cukup, dapat
mengurangi jumlah tenaga kerja, kenyamanan
kerja dapat ditingkatkan secara ergonomis, dan
diferensiasi produk dapat dilakukan [10, 11].

Tabel 1. Perbandingan produktivitas panen sayuran hidroponik (dalam greenhouse) dengan


sayuran (dalam pertanian terbuka dengan tanah) di Univesitas Arizona [6].
Hidroponik (dalam greenhouse)
Pertanian Terbuka
Tanaman
Hasil Panen
Jumlah Panen
Total
Total
(Ton/ha)
per tahun
(Ton/ha/tahun)
(Ton/ha/tahun)
Brokoli
32.5
3
97.5
10.5
Kedelai
11.5
4
46
6
Kubis
57.5
3
172.5
30
Sawi putih
50
4
200
-Mentimun
250
3
750
30
Terong
28
2
56
20
Lettuce
31.3
10
313
52
Lada
32
3
96
16
Tomat
187.5
2
375
100
2. Dasar-dasar Teknologi Hidroponik
Dalam upaya memproduksi tanaman atau
makanan secara hidroponik, diperlukan bebera-

pa peralatan dasar agar tanaman dapat tumbuh


dengan baik seperti daerah perakaran harus
memperoleh cukup udara, air dan unsur

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006


hara/nutrisi, sehingga dapat menghasilkan
tanaman dan makanan yang berkualitas.
Peralatan dasar yang diperlukan untuk
memenuhi kriteria tersebut di atas adala :
1. Tempat tumbuh tanaman, seperti bak atau
kolam penampung, pot, dan bedengan.
Diusahakan agar tempat tumbuh tanaman dijaga
kebersihannya
secara
berkala
dengan
membersihkan dan menghilangkan tumbuhan
atau tanaman lain yang tidak diinginkan
(terutama dalam bedengan atau kolam
penampung).
2. Aerator
Alat ini dipakai untuk tercukupinya oksigen
untuk
pertukaran
udara
dalam
daerah
perakaran.
Kekurangan
oksigen
akan
mengganggu penyerapan air dan nutrisi oleh
akar dan respirasi [8].
3. Larutan Nutrisi
Larutan nutrisi sebagai sumber pasokan air
dan mineral nutrisi merupakan faktor penting
untuk pertumbuhan dan kualitas hasil tanaman
hidroponik, sehingga harus tepat dari segi
jumlah, komposisi ion nutrisi dan suhu. Unsur
hara ini dibagi dua, yaitu unsur makro (C, H, O,
N, P, S, K, Ca, dan Mg) dan mikro ( B, Cl, Cu,
Fe, Mn, Mo, dan Zn). Pada umumnya kualitas
larutan nutrisi ini diketahui dengan mengukur
electrical conductivity (EC) larutan tersebut.
Semakin tinggi konsentrasi larutan semakin
tinggi arus listrik yang dihantarkan (karena
pekatnya kandungan garam dan akumulasi ion
mempengaruhi
kemampuan
untuk
menghantarkan listrik larutan nutrisi tersebut).
Larutan nutrisi dapat dibuat sendiri dengan
melarutkan pupuk yang diramu khusus untuk
tanaman hidroponik atau membeli pupuk
hidroponik secara komersial.
Di Jepang, larutan nutrisi yang digunakan oleh
para petani maupun peneliti hidroponik di
lembaga riset atau universitas umumnya dibuat
oleh perusahaan kimia Otsuka Chemical bagian
fertilizer untuk tanaman. Salah satu yang banyak
dipakai adalah Otsuka House yang juga
menjelaskan cara pemakaian untuk tanaman
dengan tingkat EC dan pH tertentu untuk

beberapa tanaman dengan tingkat konsentrasi


tertentu
(http://chemical.otsukac.co.jp/products/agli/h
iryo.html).
Tabel 2. PH dan EC beberapa tanaman sayur
dan buah [11]
Tanaman
pH
EC (mS/cm)
Brokoli
6.0- 6.8
3.0-3.5
Kubis
6.5-7.0
2.5-3.0
Kubis bunga
6.5-7.0
1.5-2.0
Seledri
6.0-6.5
2.5-3.0
Mentimun
5.5-6.0
1.0-2.5
Lettuce
6.0-6.5
2.0-3.0
Bayam
6.0-7.0
1.4-1.8
Terung jepang
5.8-6.2
2.5-3.5
Tomat
5.5-6.5
1.2-5.0
Melon
5.5-6.0
2.0-2.5
Apel
6.8-7.5
2.2-3.0
Stroberi
6.0-6.5
1.4-2.0
Semangka
5.8-6.2
1.7-2.5
Larutan nutrisi juga dapat dipertahankan dan
dikontrol sesuai dengan kebutuhan tanaman
dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan. Hal ini mendasari adanya sistem
kontrol secara sederhana maupun otomatis
pada larutan nutrisi. Selain EC dan konsentrasi
larutan nutrisi, suhu dan pH merupakan
komponen
yang sering dikontrol untuk
dipertahankan pada tingkat tertentu untuk
optimalisasi tanaman. Suhu dan pH larutan
nutrisi dikontrol dengan tujuan agar perubahan
yang terjadi oleh penyerapan air dan ion nutrisi
tanaman (terutama dalam hidroponik dengan
sistem yang tertutup) dapat dipertahankan. Suhu
yang terlalu rendah dan terlalu tinggi pada
larutan
nutrisi
dapat
menyebabkan
berkurangnya penyerapan air dan ion nutrisi [1],
untuk tanaman sayuran suhu optimal antara 515oC dan tanaman buah antara 15-25oC.
Beberapa
tanaman
sayuran
dan
buah
dipertahankan mempunyai tingkat pH dan EC
tertentu yang optimal.
Beberapa komposisi larutan nutrisi untuk
hidroponik disajikan dalam tabel 3 dibawah ini.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Referensi
Hoagland
dan Arnon
Schawartz
Resh
Verwer
Graves

Tabel 3. Komposisi larutan nutrisi hidroponik [6].


Elements (mg/kg)
K
Ca
Mg
S
Fe
Mn
Cu

210

31

234

160

48

64

0.6

0.5

126
175
173
175

93
65
39
50

312
400
280
400

124
197
170
225

43
44
25
50

160
197
103
-

2
1.7
3

0.5
1.1
1

3. Tipe Aplikasi Hidroponik


Secara umum tipe aplikasi hidroponik dapat
dibedakan menjadi 3 jenis : Pot culture system,
Floating Hidroponic System (FHS) dan Nutrient
Film Technique (NFT) System.

Zn

Mo

0.02

0.05

0.5

0.01

0.03

0.05
0.25
0.1

0.5
0.35
0.4

0.02

0.017

0.1

0.058

0.05

larutan nutrisi dapat juga diukur dengan


menambahkan sensor ion, pH atau EC dalam
larutan nutrisi.
Growth Chamber

Penerangan Buatan

3.1. Pot Culture System.


Kalo kita menanam tanaman di dalam rumah
menggunakan tempat plastik atau gelas dengan
air sebagai media maka ini dapat dikatakan
sebagai pot culture system yang sederhana.
Namun, sesuai dengan kebutuhan tanaman agar
tumbuh dengan baik maka harus diperhatikan
ketentuan-ketentuan dasar seperti aerasi dan
larutan nutrisi dalam pot atau tabung dengan
media air ini. Untuk aerasi dapat digunakan
pompa udara untuk akuarium (kalau ukuran pot
atau tabungnya tidak terlalu besar). Selain dua
hal tersebut perlu juga diperhatikan suhu larutan
nutrisinya, untuk ini dapat digunakan pendingin
atau pemanas buatan yang dapat dikendalikan.
Pada gambar 1, ditunjukkan pot culture system
yang ditumbuhkan dalam ruang tumbuh (growth
chamber) dengan penerangan buatan (artificial
lighting) dengan suhu ruangan yang terkontrol,
kemudian berkurangnya larutan nutrisi oleh
transpirasi dan penyerapan oleh tanaman dapat
diketahui dari potometer dan suhu daerah
perakaran
dapat
dikontrol
menggunakan
pengatur suhu dengan pendingin dan pemanas
pada bak air.
Untuk otomatisasi, berkurangnya larutan
nutrisi oleh transpirasi dan penyerapan tanaman
dapat juga dideteksi menggunakan timbangan
otomatis yang dapat diletakkan dibawah pot dan
bias dihubungkan dengan komputer. Kemudian
bisa juga ditambahkan tangki larutan nutrisi dan
dihubungkan dengan pipa atau selang kecil
untuk penambahan otomatis. Konsentrasi

Pengatur Suhu

Pompa udara

Potometer

Sensor suhu

Pemanas dan
Pendingin

Bak Air

Gambar 1. Hidroponik dengan pot (pot culture


system) dalam growth chamber dengan
pengontrol suhu dan level air (potometer) [1].
3.2. Floating Hidroponics System (FHS)
Floating hidroponic system (FHS) merupakan
suatu budidaya tanaman (khususnya sayuran)
dengan cara menanamkan /menancapkan
tanaman
pada
lubang
styrofoam
yang
mengapung diatas permukaaan larutan nutrisi
dalam suatu bak penampung atau kolam
sehingga akar tanaman terapung atau terendam
dalam larutan nutrisi. Metode ini dikembangkan
pertama kali oleh Jensen (1980) di Arizona dan
Massantini (1976) di Italia [6].
Pada sistem ini larutan nutrisi tidak
disirkulasikan, namun dibiarkan pada bak
penampung dan dapat digunakan lagi dengan
cara mengontrol kepekatan larutan dalam jangka
waktu tertentu. Hal ini perlu dilakukan karena
dalam jangka yang cukup lama akan terjadi
pengkristalan dan pengendapan pupuk cair
dalam dasar kolam yang dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman. Sistem ini mempunyai

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006


beberapa karakteristik seperti terisolasinya
lingkungan perakaran yang mengakibatkan
fluktuasi suhu larutan nutrisi lebih rendah, dapat
digunakan untuk daerah yang sumber energi
listriknya
terbatas
karena
energi
yang
dibutuhkan tidak terlalu tergantung pada energi
listrik (mungkin hanya untuk mengalirkan larutan
nutrisi dan pengadukan larutan nutrisi saja).
Pada Gambar 2 di bawah ditunjukkan
pemakaian system FHS pada tanaman daun
bawang
dalam
greenhouse.
Tanaman
ditancapkan pada lubang dalam styrofoam
dengan bantuan busa (agar tanaman tetap
tegak) serta ditambahkan penyangga tanaman
dengan tali. Lapisan styrofom digunakan
sebagai penjepit, isolator panas dan untuk
mempertahankan tanaman agar tetap terapung
dalam larutan nutrisi. Agar pemakaian lapisan
styrofoam tahan lama biasanya dilapisi oleh
plastik mulsa. Dalam gambar juga ditunjukkan
adanya
bak
larutan
nutrisi
dengan
penyangganya, biasanya bak penampung ini
mempunyai kedalaman antara 10-20 cm dengan
kedalaman larutan nutrisi antara 6-10 cm. Hal ini
ditujukan agar oksigen dalam udara masih
terdapat di bawah permukaan styrofoam. Untuk
otomatisasi dalam FHS tidak berbeda jauh
dengan cara untuk pot culture system.
3.3. Nutrient Film Technique (NFT)
Nutrient film technique (NFT) merupakan salah
satu tipe spesial dalam hidroponik yang
dikembangkan pertama kali oleh Dr. A.J Cooper
di Glasshouse Crops Research Institute,
Littlehampton, Inggris pada akhir tahun 1960-an
dan berkembang pada awal 1970-an secara
komersial. Konsep dasar NFT ini adalah suatu
metode budidaya tanaman dengan akar
tanaman tumbuh pada lapisan nutrisi yang
dangkal dan tersirkulasi sehingga tanaman
dapat memperoleh cukup air, nutrisi dan
oksigen. Tanaman tumbuh dalam lapisan
polyethylene dengan akar tanaman terendam
dalam
air yang berisi larutan nutrisi yang
disirkulasikan secara terus menerus dengan
pompa. Daerah perakaran dalam larutan nutrisi
dapat berkembang dan tumbuh dalam larutan
nutrisi yang dangkal sehingga bagian atas akar

tanaman berada di permukaan antara larutan


nutrisi dan styrofoam, adanya bagian akar dalam
udara ini memungkinkan oksigen masih bisa
terpenuhi dan mencukupi untuk pertumbuhan
secara
normal.
Beberapa
keuntungan
pemakaian
NFT
antara
lain
:
dapat
memudahkan pengendalian daerah perakaran
tanaman, kebutuhan air dapat terpenuhi dengan
baik dan mudah, keseragaman nutrisi dan
tingkat konsentrasi larutan nutrisi yang
dibutuhkan oleh tanaman dapat disesuaikan
dengan umur dan jenis tanaman, tanaman dapat
diusahakan
beberapa kali dengan periode
tanam yang pendek, sangat baik untuk
pelaksanaan penelitian dan eksperimen dengan
variabel
yang
dapat
terkontrol
dan
memungkinkan
untuk
meningkatkan
produktivitas tanaman dengan high planting
density. Namun NFT mempunyai beberapa
kelemahan seperti investasi dan biaya
perawatan yang mahal, sangat tergantung
terhadap energi listrik dan penyakit yang
menjangkiti tanaman akan dengan cepat
menular ke tanaman lain [3].
Pada sistem NFT, kebutuhan dasar yang
harus terpenuhi adalah : Bed (talang), tangki
penampung dan pompa. Bed NFT di beberapa
negara maju sudah diproduksi secara massal
dan disediakan oleh beberapa perusahaan
supplier greenhouse dan pertanian, di Jepang
terbuat dari styrofoam, namun di Indonesia
belum diproduksi sehingga banyak petani
Indonesia memakai talang rumah tangga (lebar
13-17 cm dan panjang 4 meter). Tangki
penampung dapat memanfaatkan tempat atau
tandon air. Pompa berfungsi untuk mengalirkan
larutan nutrisi dari tangki penampung ke bed
NFT dengan bantuan jaringan atau selang
distribusi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam NFT adalah : kemiringan talang (1-5%)
untuk pengaliran larutan nutrisi, kecepatan aliran
masuk tidak boleh terlalu cepat (dapat diatur
oleh pembukaan kran berkisar 0.3-0.75 L/menit)
dan lebar talang yang memadai untuk
menghindari terbendungnya larutan nutrisi [1, 3,
11].
Dalam gambar dibawah ditunjukkan NFT
system dengan tanaman tomat menggunakan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006


suhu, aliran dan jumlah air (larutan nutrisi) yang
terkontrol dengan komputer.
4. Otomasi Hidroponik
Proses
pengontrolan
dalam
hidroponik
merupakan proses yang dilakukan secara
kontinyu, dalam jangka waktu yang panjang dan
memerlukan akurasi pengontrolan yang tinggi
(apalagi kalau variabel yang dikontrol cukup
banyak). Untuk itu perlu dilakukan pengontrolan
otomatik agar tidak terjadi permasalahan seperti
pada pengontrolan secara manual antara lain :
kelelahan,
subyektifitas,
kejemuan,
ketidakseragaman dan ketidaktelitian manusia.
Pada kontrol otomatik ini, tahapan kontrol seperti
mengukur, membandingkan, menghitung dan
mengoreksi dilakukan oleh instrumen secara
berulang. Dengan kontrol otomatik dapat dicapai
tujuan
kelancaran
operasi,
pengendalian
keamanan dan mutu produk [11]. Secara umum
pengontrolan yang dilakukan dalam hidroponik
dapat dilakukan untuk mengontrol : air
(penjadwalan, sirkulasi dan distribusi), larutan
nutrisi (kandungan konsentrasi nutrisi, pH, suhu,
EC dan oksigen) dan juga faktor ekternal seperti
lingkungan dalam greenhouse.
Pengontrolan air dapat dilakukan dengan
mudah dengan menggunakan aksi kontrol on-off

(seperti yang diterapkan dalam gambar 3 untuk


sistem NFT). Untuk pengontrolan larutan nutrisi
diperlukan sensor-sensor yang akan membaca
kandungan larutan nutrisi (sensor ion), sensor
pH, sensor suhu dan sensor oksigen (DO
sensor). Sebagai contoh yang dilakukan oleh
beberapa peneliti dalam mengontrol komposisi
larutan nutrisi baik dengan pendekatan
matematik maupun simulasi [4,9] ataupun
penerapan dalam sistem NFT [5]. Untuk
pengontrolan konsentrasi larutan nutrisi secara
otomatis diperlukan : dispensing technology;
tangki pencampur dan pompa pengukur; sensor
untuk mengukur konsentrasi larutan nutrisi (per
ion nutrisi atau menggunakan ISFET (ion
selective field effect transistor), EC dan pH;
software computer untuk mengukur, mengontrol
dan komunikasi termasuk model dan algoritma
untuk menentukan set point dan kebutuhan air
dan nutrisi [5].
Adanya kemajuan teknologi sensor, komputer
dan elektronika memungkinkan adanya adaptasi
wireless
teknologi
untuk
mengendalikan
hidroponik secara lebih komprehensif, terutama
untuk
mengendalikan
faktor
eksternal
lingkungan
dalam
greenhouse
serta
pengendalian air dan larutan nutrisi [12].

Penyangga tanaman

Lapisan styrofoam

Bak larutan nutrisi


Penyangga bak larutan nutrisi
Gambar 2. Floating Hidroponic System (FHS) pada tanaman daun bawang dalam greenhouse di
Kochi University (dari Hidaka, 2006, personal komunikasi).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Sensor Suhu

Kom puter

Bedengan NFT

Penghangat
Pendingin

Pengatur Suhu
Pemancar
Tekanan

IFMC

A rah S irkulasi
IFM = Integrated Flow Meter,
c : sirkulasi dan s : suplai

P om pa

B ak
P enam pung

IFMS

Pompa

K atup
P engatur

Bak Penyuplai
Larutan Nutrisi

Gambar 3. NFT system dengan suhu, aliran dan level air yang terkontrol oleh komputer
pada
tanaman tomat di dalam greenhouse (dari Affan, 2004).

Daftar Pustaka
[1] Affan, M. F.F, 2004, High temperature
effects on root absorption in hydroponic
system, Master thesis, Kochi University,
pp 78.
[2] Asher, C.J., and Edwards, D.G, 1983,
Modern solution culture technique. In :
Inorganic plant nutrition (eds : Lauchli, A
and
Bieleski, R.L)
Springer-verlag,
Heidelberg, 94-115.
[3] Graves, C.J, 1983, The nutrient film
technique. Hortic. Reviews, 5, 1-37.
[4] Heinen, M, 1992, Control of the
composition of the nutrients solution in an
automated NFT system : A simulation
study. In :Sensors in Horticulture (eds :
Schurer, K et al). Acta Hortic, 304, 281289.
[5] Kupers, G., van Gaalen, J., Gieling, T.H.,
van Os, E.A., 1992, Diurnal changes in
the ion concentration of the supply and
return water of a tomato crop grown on
rockwool. In :Sensors in Horticulture (eds :
Schurer, K et al). Acta. Hortic, 304, 291299.
[6] Jensen, M.H., and Collins, W. L, 1985,
Hydroponic vegetable production. In :
Hortic. Reviews 7, 483-553.

teknologi hidroponik untuk pengembangan


agribisnis perkotaan.Creata-IPB, Bogor.
pp 1-20.
[8] Morard, P., and Silvestre, J, 1996, Plant
injury due to oxygen deficiency in the root
environment of soilless culture : A review.
Plant and Soil, 184, 243-254.
[9] Savvas, D, and Manos, G, 1999,
Automated composition control of nutrient
solution in closed soilless culture
systems. J.Agric.Eng.Res, 73, 29-33.
[10] Shinohara, Y, 2002, Perspective of
st
hydroponics in 21 century. Dalam :
Seminar prospek masa depan hidroponik
di Indonesia. FTP BPTIY
UGM.Yogyakarta.pp 1-25.
[11] Suhardiyanto,
S,
2002,
Teknologi
hidroponik. Dalam : Pelatihan aplikasi
teknologi
hidroponik
untuk
pengembangan
agribisnis
perkotaan.Creata-IPB, Bogor. pp 1-12.
[12] Wang, N., Zhang, N, and Wang, M, 2006,
Wireless sensors in agriculture and food
industry- recent development and future
perspective. Comp and Elec in Agric. 50,
1-14.
[13]http://chemical.otsukac.co.jp/products/agli
/hiryo.html.

[7] Marsoem, S, 2002, Tantangan dan


prospek
pengembangan
usaha
hidroponik. Dalam : Pelatihan aplikasi

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

MENUJU KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA YANG INTEGRATIF


Heru Susetyo
Visiting Researcher Disaster Prevention Research Institute Kyoto University
Staf Pengajar Fakultas Hukum UI Depok
E-mail : hsusetyo@ui.ac.id

Indonesia adalah negeri yang sarat dengan


bencana alam. Tengoklah musibah datang
silih berganti. Gempa bumi dan tsunami di
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan
Sumatera Utara 26 Desember 2004, gempa
bumi Yogyakarta 27 Mei 2006, lalu tsunami di
pantai Selatan Jawa pada 17 Juli 2006.
Kesemuanya
adalah
suatu
momentum
berharga bagi pemerintah dan bangsa
Indonesia. Yang menunjukkan bahwa nyata
betul bahwa negara ini begitu tidak berdaya
menghadapi musibah tersebut.
Bahwa,
ternyata kita belum memiliki manajemen
penanggulangan bencana yang baik.
Contoh paling nyata adalah penanganan
bencana tsunami pantai selatan Jawa 17 Juli
2006. Tsunami pantai selatan telah menelan
korban jiwa sekitar 531 jiwa dan 280 jiwa
lainnya hilang. Kerusakan fisik yang terjadi
luar biasa besarnya karena terpaan tsunami
mengoyak daratan hingga 300 meter jauhnya.
Sebenarnya
skala
kerusakan
dapat
diminimalisir
apabila
negara
Indonesia
memiliki manajemen peringatan dini yang baik.
Apabila kita cepat relajar dari tsunami AcehSumut 2004. Karena Hawai Pacific Tsunami
Warning Center dan Japans Meteorological
Agency sebelumnya telah mengeluarkan
peringatan (warning) akan kemungkinan
terjadinya tsunami 15 menit setelah gempa
terjadi.
Dan, memang tsunami kemudian
menyapu pantai selatan Jawa
45 menit
setelah gempa terjadi tanpa sedikitpun ada
peringatan dari pemerintah pusat ataupun
pemerintah setempat. Kalaupun pemerintah
berkehendak
memberikan
peringatan,
medianya-pun terbatas.
Tak ada alarm
ataupun sirine di pinggir pantai yang setiap
saat dapat difungsikan.
Maka, tak heran apabila mudah sekali timbul
informasi menyesatkan pasca bencana.
Bahwa tsunami akan kembali datang, ombak
telah sampai pinggir pantai, dan sebagainya.
Sehingga membuat masyarakat setempat
kembali panik dan berlarian tak beraturan
hingga kembali memakan korban jiwa.

Terlepas dari kenyataan bahwa bencana alam


adalah bagian dari takdir Illahi, sehingga
seringkali tak bisa dicegah, namun manusia
memiliki kekuatan akal dan pengetahuan yang
semestinya
bisa
dimaksimalkan
untuk
mereduksi
atau
meminimalisir
bahaya
(damages) bencana alam.
Dalam suatu lingkaran manajemen bencana
(disaster management cycle) ada dua kegiatan
besar yang dilakukan.
Pertama adalah
sebelum terjadinya bencana (pre event) dan
kedua adalah setelah terjadinya bencana (post
event). Kegiatan setelah terjadinya bencana
dapat berupa disaster response/ emergency
response (tanggap bencana) ataupun disaster
recovery. Kegiatan yang dilakukan sebelum
terjadinya bencana dapat berupa disaster
preparedness (kesiapsiagaan menghadapi
bencana) dan disaster mitigation (mengurangi
dampak bencana). Ada juga yang menyebut
istilah disaster reduction, sebagai perpaduan
dari
disaster
mitigation
dan
disaster
preparedness.
Berdasarkan pengamatan selama ini, kita
lebih banyak melakukan kegiatan pasca
bencana (post event) berupa emergency
response dan recovery daripada kegiatan
sebelum
bencana
berupa
disaster
reduction/mitigation dan disaster preparedness.
Padahal,
apabila kita memiliki sedikit
perhatian terhadap kegiatan-kegiatan sebelum
bencana,
kita dapat mereduksi potensi
bahaya/ kerugian (damages) yang mungkin
timbul ketika bencana.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan
sebelum bencana dapat berupa pendidikan
peningkatan kesadaran bencana (disaster
awareness), latihan penanggulangan bencana
(disaster drill), penyiapan teknologi tahan
bencana (disaster-proof), membangun sistem
sosial yang tanggap bencana, dan perumusan
kebijakan-kebijakan
penanggulangan
bencana (disaster management policies).
Kebijakan yang Memprihatinkan
Kebijakan penanggulangan bencana di
Indonesia bisa dibilang memprihatinkan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

Apabila kebijakan tersebut harus dituangkan


melalui Undang-Undang, maka kenyataannya
sampai sekarang kita belum memiliki UU
Penanggulangan Bencana ataupun kebijakan
terpadu sejenis yang berkekuatan hukum
untuk menangani bencana dan pengungsi
(semacam disaster management act).
Dalam program legislasi nasional (prolegnas)
tahun 2005 2009 pemerintah dan DPR
cenderung
lebih
memprioritaskan
pengundang-undangan RUU bidang ekonomi
(sebanyak 28 RUU) dan bidang politik
(sebanyak 14 RUU). Rancangan UndangUndang tentang Manajemen/ Penanganan
Bencana tidak diprioritaskan dan tidak
disebutkan sama sekali.
Barulah ketika
bencana tsunami dan gempa bumi Aceh/
Sumut tahun 2004 terjadi, desakan untuk
lahirnya UU ini begitu mengemuka dan kini UU
ini tengah dalam proses pembahasan yang
entah kapan akan diundangkan.
Regulasi yang tersedia saat ini hanyalah
Keppres No. 3 Tahun 2001 tentang Badan
Koordinasi Nasional Penanganan Bencana
dan Penanggulangan Pengungsi, Keppres No.
111 tahun 2001 tentang Perubahan atas
Keppres RI No. 3 tahun 2001, dan Pedoman
Umum
Penanggulangan
Bencana
dan
Penanganan Pengungsi yang ditetapkan
melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP
No. 2 tahun 2001.
Di masa silam, pemerintah Indonesia pernah
membentuk Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana Alam (BAKORNAS
PBA) dengan Keputusan Presiden No. 28
tahun 1979.
Pada tahun 1990,
melalui
Keppres No. 43 tahun 1990, Badan tersebut
disempurnakan menjadi Badan Koordinasi
Nasional
Penanggulangan
Bencana
(BAKORNAS PB) yang tidak hanya berfokus
pada bencana alam belaka, namun juga
berfokus pada bencana oleh ulah manusia
(man-made disaster) (Sekretariat Bakornas
PBP, 2001).
Selanjutnya, Keppres ini
disempurnakan lagi dengan Keppres Nomor
106 tahun 1999 yang memberikan tugas
tambahan kepada Bakornas PBP untuk juga
menangani dampak kerusuhan sosial dan
pengungsi.
Namun usia Keppres No. 106 tahun 1999 tidak
bertahan lama. Sebabnya antara lain
pembubaran Departemen Sosial pada era
tersebut yang menyebabkan Bakornas PBP
kehilangan salah satu organnya. Menyadari
kejadian tersebut, Pemerintah kemudian

menerbitkan Keppres No. 3 tahun 2001


tentang Bakornas Penanggulangan Bencana
dan Penanganan Pengungsi yang diketuai
oleh Wakil Presiden dan Sekretaris Wakil
Presiden secara ex officio menjadi Sekretaris
Bakornas PBP.
Strategi
penanggulangan
bencana
berdasarkan
Pedoman
Umum
Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi
yang
ditetapkan melalui
Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2
tahun 2001 meliputi empat tahapan yaitu : (1)
tahap
penyelamatan;
(2)
tahap
pemberdayaan; (3) tahap rekonsiliasi; dan (4)
tahap penempatan.
Sedangkan, kegiatan
penanganan pengungsi meliputi
kegiatankegiatan : (1) penyelamatan (2) pendataan (3)
bantuan tanggap darurat; dan (4) pelibatan
masyarakat/ LSM (Sekretariat Bakornas PBP,
2001).
Pengalaman Jepang
Jepang adalah negara Asia yang memiliki
karakteristik hampir sama dengan Indonesia
dalam hal saratnya terjadi bencana. Terletak
pada zona Circum-Pacific
dan memiliki
kondisi geografi, topografi, dan meteorologi
yang khas, membuat gempa bumi, hujan deras
dan banjir, letusan gunung api, hujan salju
berskala besar, hingga badai (typhoon) sangat
sering terjadi di Jepang setiap tahunnya.
Bedanya, negara ini memiliki kesiapsiagaan
menghadapi bencana yang amat baik.
Termasuk, dimilikinya sejumlah regulasi dan
kebijakan yang mendukung pelaksanaan
manajemen penanggulangan bencana terpadu.
Sebelum tahun 1960, Jepang belum memiliki
kebijakan penanganan bencana yang terpadu
(integrated disaster management).
Titik
baliknya terjadi sejak terjadi badai besar IseWan pada tahun 1959 yang disebut sebagai
the Epoch-Making Turning Point. Sejak itu
pendekatan
penanggulangan
bencana
berubah dari response oriented approach
kepada preventive approach. Kemudian dari
Individual approach menjadi comprehensive
multi-sectoral approach. Juga, dibenamkan
sejumlah besar investasi untuk programprogram
pengurangan
resiko
bencana
(Investment for disaster reduction).
Pada tahun 1961 Jepang melahirkan Disaster
Countermeasures Basic Act (1961) yang
mengatur dan memiliki sejumlah elemen
antara lain :

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

Pendirian Dewan Penanggulangan


Bencana
(Disaster
Management
Council) di tingkat nasional, prefektur,
kota
atau
municipality
yang
berkoordinasi
dengan
organisasiorganisasi multi sektoral.
Pemantapan
Rencana
Penanggulangan Bencana (Disaster
Management Plan) di tingkat nasional,
prefektur, dan kota atau municipality.
Pemantapan markas pusat yang
bersifat ad hoc dan kerjasama
multisektoral untuk respon gawat
darurat .

Penanggulangan bencana alam di Jepang


dilakukan utamanya oleh pemerintah kota/
municipal. Apabila skalanya terlalu besar,
maka pemerintah prefektur dan nasional akan
turun tangan. Upaya koordinatif dan integratif
semacam ini yang didukung oleh program
promosi konservasi bumi tingkat nasional,
peningkatan
teknologi
meteorologi,
penyempurnaan sistem komunikasi bencana
dan manajemen bencana, telah terbukti dapat
mengurangi
dampak
bencana
dan
meminimalisir korban jiwa dalam bencana di
Jepang selama ini.
Faktor sukses berikutnya, adalah tersedianya
sejumlah besar kebijakan penanggulangan
bencana yang komprehensif dan integratif.
Bahkan,
tak hanya sejak tahun 1960.
Kebijakan setingkat Undang-Undang ini telah
dirintis sejak tahun abad 18 dan berlanjut
hingga kini.
Adapun daftar kebijakankebijakan tersebut dapat dilihat pada bagan
berikut :

Daftar UU terkait Penanggulangan Bencana Alam di Jepang


TAHUN

JENIS UNDANG-UNDANG

1880
1896

Provision and Saving Act for Natural Disaster


River Act
Erosion Control Act
Forest Act
Disaster Preparation Funds Special Account Act
Flood Prevention Association Act
Flood Control Expenditure Funds Special Account Act
Disaster Relief Act
Fire Organization Act
Fire Service Act
Flood Control Act
Temporary Measures Act for Subsidizing Recovery Projects for Agriculture,
Forestry and Fisheries Facilities Damaged due to Disasters
Act concerning National Treasury Share of Expenses for Recovery Projects
for Public Civil Engineering Facilities Damage due to Disasters
Meteorological Service Act
Temporary Measures Act for Financing Farmers, Forestrymen and
Fishermen Suffering from Natural Disasters
Seashore Act
Landslide Prevention Act
Soil conservation and Flood Control Urgent Measures Act
Disaster Countermeasures Basic Act
Act of Special Countermeasures for Heavy Snowfall Area
Act concerning special financial support to deal with the designated disaster
of extreme severity.
River Act (revised)
Act for Earthquake Insurance
Act Concerning Prevention of Steep Slope Collapse Disaster
Marine Pollution Prevention Act

1897
1899
1908
1911
1947
1948
1949
1950
1951
1952
1955
1956
1958
1960
1961
1962
1964
1966
1969
1970

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

1972

1973
1975
1978
1980
1987

1995

1996
1997
1998
1999
2000

Act Concerning Special Financial Support for Promoting Group Relocation


for Disaster Mitigation
Act Concerning Improvement etc. Or Refugee etc. In Vicinal Areas of Active
Volcanoes (revised to the Act on Special Measures for Active Volcanoes in
1978)
Act for the payment of Solatia for Disaster
Industrial Complexes and Other Petroleum Facilities
Large Scale Earthquake Countermeasures Special Act (Basic Plan for
Earthquake Disaster Prevention)
Special fiscal Measures Act for Urgent Improvement Project for Earthquake
Countermeasures in Areas under Intensified Measures Against Earthquake
Disaster
Act Concerning Dispatch of Japan Disaster Relief Team
Act for the Statement of Principles and Organization of the Great
Hanshin-Awaji Earthquake Revival
Partial Revision of Disaster Countermeasures Basic Act
Earthquake Disaster Management Special Measures Act
Partial revision of Disaster Countermeasures Basic Act and Large
Scale Earthquake Countermeasures Special Act
Act for promotion of the earthquake proof retrofit of Buildings
Act Regarding Special Measures to Weigh the Preservation of Rights and
Profits of the Victims of Specified Disasters
Act of Densely Inhabited Areas Improvement for Disaster Mitigation
Act concerning support for reconstructing livelihoods of disaster victims
Special Measures of Nuclear Disaster Act
Sediment Disaster Countermeasures for Sediment Disaster Prone Areas Act

Menuju
Kebijakan
Penanggulangan
Bencana yang Integratif
Belajar dari pengalaman Jepang yang begitu
reaktif dan responsif dalam menghadapi
bencana alam, semestinya demikian pula
Indonesia.
Sebagai negeri yang sarat
bencana dengan bentangan alam yang jauh
lebih luas serta jumlah penduduk yang jauh
lebih banyak, semestinya kita tak bertaruh lagi
untuk masalah ini.
Program-program
dan
kegiatan-kegiatan
kesiapsiagaan terhadap bencana harus segera
dirintis dan dikembangkan. Pendidikan sadar
bencana dan latihan menghadapi bencana
mesti segera dibiasakan. Pusat-pusat studi
dan pelatihan menghadapi bencana wajib
untuk dimunculkan dan didukung sepenuhnya.
Juga,
kebijakan
dan
manajemen
penanggulangan bencana mesti segera ditata
dan dilahirkan.
Tak ada alternatif lain bagi Indonesia saat ini
selain
menggesa
lahirnya
kebijakan
penanganan bencana yang komprehensif dan
integratif. Kebijakan ini bisa bernama UU
Penanggulangan Bencana atau apapun.
Karena, satu Undang-Undang saja tak cukup
untuk mengatur ribuan permasalahan di

bidang penanggulangan bencana.


Maka,
perlu ada kebijakan yang integratif. Semisal,
mengamandemen UU terkait di wilayah lain
(kehutanan, lingkungan hidup, pertambangan,
sumber daya air, dll), supaya selaras dengan
semangat penanggulangan bencana. Ataupun
membuat UU baru di wilayah yang belum
banyak dijangkau selama ini.
Jepang
misalnya, memiliki UU tentang sungai, tentang
banjir, tentang polusi di laut, tanah longsor,
hingga penanggulangan bahaya nuklir.
Karena membuat UU yang lengkap dan
integratif cukup memakan waktu dan dana,
maka barangkali prioritas utama saat ini
adalah
menggesa
lahirnya
UU
Penanggulangan Bencana (yang mudahmudahan segera diikuti oleh UU terkait di
wilayah yang lain). Kami memantau bahwa
banyak sekali pihak-pihak yang sebenarnya
telah memberi masukan bahkan membantu
membuatkan draft UU tersebut ke DPR.
Disamping itu, pedoman tentang manajemen
bencana telah terserak dalam pelbagai
instrumen
internasional
seperti
pada
Humanitarian Charter and Minimum Standards
in Humanitarian/ Disaster Relief yang
disponsori oleh Federasi Palang Merah dan
Bulan Sabit Merah Internasional dan beberapa

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

lembaga internasional seperti OCHA (UN


Office for Coordination of Humanitarian Affairs)
ataupun lembaga lain yang bergerak di bidang
intervensi kemanusiaan.
Selain itu,
secara simultan mestinya
Pemerintah dan DPR dapat meratifikasi
Konvensi tentang Status Pengungsi 1951
(Convention Relating to the Status of
Refugees) Karena, tak jarang dari korban
konflik dan bencana di Indonesia lahir banyak
pengungsi yang hijrah dan terlantar di negara
lain.
Selain pengungsi, masalah yang juga urgent
adalah menangani pengungsi dalam negeri
(Internally Displaced Persons - IDPs) yang
keberadaannya di luar yurisdiksi dari Konvensi
Pengungsi 1951 yang hanya mengatur
pengungsian antara negara.

Masalah perlindungan pengungsi dalam negeri


ini
harus
diintegrasikan
dengan
UU
Penanggulangan Bencana atau dibuatkan
Undang-Undang tersendiri.
Rujukannya
adalah pada The Guiding Principles on Internal
Displacement yang diproduksi oleh Office for
Coordinating of Humanitarian Agencies
(OCHA) PBB pada tahun 1998.
Maka, tunggu apa lagi? Mari segera kita
realisasikan
kebijakan-kebijakan
penanggulangan bencana di Indonesia dan
kita budayakan hidup dalam kesiapsiagaan
terhadap bencana. Atau, anak bangsa kita
akan mengalami lagi kerugian dan kehilangan
yang besar pada bencana alam yang akan
datang. Wallahualam...

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Bencana Alam dan Delegitimasi


Ach. Faidy Sujaie
Email: afys_pascal@yahoo.co.id
Siapa yang tidak kenal Indonesia? Negara
yang terhampar dari Sabang sampai Merauke
ini mempunyai berjuta kekayaan alam yang
melimpah, gemah ripah loh jinawi, toto
tentrem kerto raharjo, kata inilah yang mampu
menggambarkan kekayaan Indonesia. Selain
kaya budaya, bahasa, agama dan adat
istiadat, ternyata belakangan ini bumi pertiwi
juga tercatat sebagai negara yang kaya akan
bencana alam. Hal ini, disebabkan oleh posisi
Indonesia yang terletak pada daerah
pertemuan tiga lempeng besar yang aktif,
yaitu lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia
dan lempeng Eurasia.
Tiga tahun terakhir merupakan tahun
bencana bagi bangsa Indonesia, dimana
rakyat Indonesia mengawali pergantian tahun
ini dengan berbagai bencana alam (banjir,
tanah longsor, gempa bumi, tsunami) yang
hampir merata diseluruh pelosok tanah air,
kondisi alam inilah yang memaksa masyarakat
berdesak-desakan di wilayah pengungsian,
berjuang melawan ketidaknyamanan untuk
mempertahankan hidupnya sambil menunggu
bantuan yang akan diberikan oleh saudarasaudaranya
dan
kucuran
dana
dari
pemerintah.
Di kantong-kantong pengungsian inilah
mereka harus berperang dengan banyaknya
gangguan kesehatan, karena terbatasnya
bahan makanan yang dapat dikonsumsi,
lingkungan yang serba kotor dan kumuh, serta
carut-marutnya lingkungan hidup disekitarnya.
Tentunya hal ini memerlukan perhatian serius
dari pemerintah untuk menanggulanginya dan
menjadi tanggung jawab lembaga legislatif
untuk mengontrol setiap kebijakan-kebijakan
pemerintah.
Berawal dari peristiwa tsunami di Aceh
yang menelan korban 285.000 jiwa, termasuk
korban di negara negara lain, kemudian
banjir bandang di Jember, merupakan
peristiwa bencana alam yang mengawali
pergantian tahun 2006, disusul gempa di
Jogja dan jawa Tengah. Bencana geologi
terkini adalah bencana alam yang menimpa

masyarakat
sekitarnya.

pantai

Pangandaran

dan

1. Berebut Muka
Analisis Erving Goffman, sosiolog ternama
abad ke-20 tentang tingkah laku manusia, dia
mengibaratkan prilaku manusia sebagai
metafora
teatrikal.
Dimana
lingkungan
masyarakat menjelma menjadi sebuah
panggung sandiwara dan orang-orang di
dalamnya bertindak sebagai aktor dan aktris
yang menyusun performa untuk memberi
kesan baik pada yang lainnya.
Tampaknya analogi di atas sangat relevan
untuk digunakan dalam melihat hiruk-pikuk
yang terjadi di bumi nusantara selama negeri
ini
diguncang
bencana
alam
yang
berkepanjangan. Fenomena ditempat-tempat
pengungsian ramai sekali dengan kunjungan
orang, mulai dari rakyat biasa sampai rakyat
yang tidak biasa (wakil rakyat atau legislatif
dan ekesekutif).
Kelompok pertama; golongan yang
menjadikan wilayah bencana sebagai tempat
rekreasi (bencana-tainment), mereka datang
berbondong-bondong
dengan
keinginan
menikmati nuansa alam pasca bencana.
Kerena itulah, di beberapa tempat terjadinya
bencana sering terjadi kecemburuan bagi
korban bencana, mereka beranggapan telah
ditempatkan sebagai tontonan masyarakat
banyak.
Kelompok kedua; elit politik dan elit
pemerintahan yang datang berkunjung
ketempat-tempat bencana dengan seribu janji
dan sejuta iming-iming bagi korban bencana,
seolah-olah mereka tampak murung dan sedih
melihat
penderitaan
yang
menimpa
masyarakat korban bencana, nyatanya,
semua itu dilakukan untuk membangun image
di masyarakat semata. Alih-alih ingin
membantu, secara personal baik birokrat
maupun politisi dari level paling bawah sampai
level paling atas, dengan dorongan ingin

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

berkuasa (will to power) datang dengan janji,


lalu setelah itu selesai sudah.
Kelompok ketiga; Ormas, Parpol dan
LSM, terjadinya bencana alam di seluruh
pelosok negeri mengundang perhatian banyak
kalangan
untuk
memberikan
bantuan,
datanglah tenaga-tenaga sukarelawan dari
berbagai instansi dan institusi, semua akan
mafhum, bahwa kelompok ketiga inilah yang
melakukan evakuasi korban, rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana alam, tetapi tidak
dapat dipungkiri juga, bahwa bencana alam
menjadi lahan basah bagi kelompok ini untuk
mengais lebih banyak lagi proyek yang
mengalir pada mereka.
2. Krisis Legitimasi
Oleh karena tidak didasari rasa tanggung
jawab sebagai pemerintah yang secara de
jure mempunyai kewajiban untuk melindungi
masyarakatnya,
termasuk
perlindungan
masyarakat dari bencana alam, meskipun
menurut logika, memang tidak mungkin
menghentikan bencana dan menghalangi
bencana sebagai rutinitas alamiah, akan tetapi
bagi
wilayah
yang
rawan
bencana,
seharusnya Indonesia tidak hanya melakukan
evakuasi,
rehabilitasi
dan
rekonstruksi
terhadap korban bencana alam, tetapi juga
yang tidak kalah pentingnya adalah upaya
pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan pada
saat sebelum terjadinya bencana, usaha ini
dapat memperkecil korban jiwa dan harta
kekayaan.

Untuk menghindari resistensi legitimasi


pemerintah, paling tidak harus ada langkah
kongkret dari pemerintah untuk membuat janjijanjinya menjadi nyata, dua hal yang ingin
penulis
sampaikan
disini,
pertama,
pencegahan
bencana,
mitigasi
dan
kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadai
bencana alam jauh lebih penting dilakukan
sebelum bencana alam terjadi. Kedua, korban
bencana alam bukan kawula yang hanya
dijadikan objek meraih kekuasaan politik
semata, daerah bencana bukan tempat
rekreasi serta tidak bijak dijadikan tempat
mengais rezeki. Oleh karena itu, wujudkan
janji-janji
pemerintah
untuk
memenuhi
kebutuhan korban bencana alam di tempat
pengungsian,
realisasikan
program
rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana.
Dengan dua langkah inilah setidaknya dapat
membantu Indonesia keluar dari krisis
bencana alam dan krisis legitimasi.
Akhirnya, bagaimanapun harus diakui,
bahwa semua kelompok yang disebutkan
diatas, merupakan pihak-pihak yang paling
berjasa mengembalikan kondisi bangsa dan
melakukan rekonstruksi daerah bencana
alam, tanpa mereka, Indonesia tak ubahnya
seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA),
karena setiap detik, sepanjang waktu selalu
saja dilanda bencana dan bencana.

Benar apa yang dikatakan Micheal


Foucault (1980) bahwa perlawanan telah
menjadi bagian yang melekat dari sebuah
kekuasaan. Penerapan kekuasaan selalu
berbanding lurus dengan munculnya sejumlah
kekerasan di masyarakat. Menghadapi
kenyataan sebuah kekuasaan dan teatrikal
penguasa, para korban bencana alam akan
melakukan
perlawanan.
Penjarahan,
perampokan, perusakan fasiltas umum, dan
berlaku culas adalah serangkaian strategi
perlawanan yang menentang dehumanisasi
dan teatrikal elit politik dan kaum birokrat.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Sketsa Buram Indonesia dan Refleksi Kemerdekaan


Oleh Sakdullah Abdulkadir
University of the Ryukyus, Okinawa
Kementerian Lingkungan Hidup
sakdu@yahoo.com
Sengaja penulis mamadukan dua topik di
atas, karena sesungguhnya esensi nilai-nilai
kemerdekaan yang telah kita perjuangkan
mulai dari perjuangan fisik oleh para
pendahulu kita sejak sebelum tahun 1945
hingga perjuangan non-fisik di masa kini
tidaklah
jauh
berbeda.
Yaitu,
untuk
membebaskan harkat dan martabat manusia
Indonesia dari ketertindasan secara fisik,
ekonomi, ideologi, politik serta pertahanan
dan keamanan, sehingga pada gilirannya
bangsa kita bisa menggapai kemandirian
dengan segenap rakyatnya yang berkeadilan
dan berkemakmuran lagi aman sentosa.
Kini kembali kita memperingati hari ulang
tahun
(HUT)
kemerdekaan
Republik
Indonesia dengan usia yang ke-61. Meskipun
kemerdekaan kita telah mencapai usia lebih
dari setengah abad, namun rasa-rasanya
nilai-nilai kemerdekaan yang hendak kita
capai masih jauh dari harapan. Selama ini
kita baru gegap gempita ketika merayakan
HUT kemerdekaan di seluruh pelosok tanah
air, dan bahkan di seantero jagat ini. Tetapi
semua itu masih sekadar seremoni, dan
hanya
memberikan
kegembiraan
dan
kebanggaan sesaat. Pertanyaan klasik
kembali mengemuka. Hingga detik ini,
sudahkah rakyat kita menikmati arti
kemerdekaan secara hakiki dengan limpahan
keadilan dan kemakmuran? Yaitu ketika kita
sudah tidak mendengar lagi ada kelaparan di
setiap jengkal bumi nusantara Indonesia yang
kita kenal subur dan kaya ini? Dan sudahkah
bangsa kita benar-benar telah mencapai
kemandirian secara ekonomi, dan juga dalam
arti luas telah bebas dari segala macam
intervensi baik ekonomi, politik, maupun
hukum dari anasir-anasir kekuatan asing?
1. Fakta Lama
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di
atas, sebagian diantaranya, telah terkuak
dalam presentasi panel Temu Ilmiah (TI)
2006 di Hiroshima beberapa waktu yang lalu.
Para pembicara mengungkap fakta-fakta
mengenai
status
ekonomi,
sosialkelembagaan, serta soal kependidikan di

tanah air. Mungkin secara umum kita sudah


mengetahui potret buram wajah Indonesia,
baik melalui forum-forum diskusi ataupun
yang tereskpos di berbagai media. Para
presenter yang sangat berkompeten dibidang
mereka
masing-masing
seolah
hanya
menegaskan kembali, dan menyodorkan
bukti-bukti konkrit dan ilmiah tentang
problematika bangsa kita. Dan apa yang
terungkap di ruang panel TI itu hampir
semuanya seperti mengatakan kembali
bahwa realita yang menyangkut moneter dan
ekonomi, sosial-kelembagaan, serta soal
pendidikan di negara kita memang masih
memprihatinkan.
Ambil contoh, ketika salah seorang
pembicara dari lembaga otoritas keuangan
kita, Bank Indonesia (BI), mengungkap fakta
tidak menyenangkan tentang kondisi ekonomi
kita dan sambil mengekpresikan kata .very
sad, lantas para peserta TI malah
menyambutnya dengan ketawa gerr, dan
bukannya mengekspresikan kesedihan. Ini
seolah memberitahukan, bahwa kita memang
telah memafhumi masalah bangsa kita ini
yang sudah terjadi sekian lama dari waktuwaktu yang lalu. Indonesia yang ekonominya
keropos karena digerogoti oleh ekonomi
biaya tinggi, penyakit KKN dan sebagainya,
telah terjerumus dalam keterpurukan ekonomi
yang cukup lama setelah dipicu oleh krisis
moneter pada 1997 dan diperburuk dengan
krisis politik di tahun 1998. Meskipun sudah
lebih dari setengah dasa warsa krisis moneter
telah berlalu, namun situasi ekonomi riil
negara kita belum menunjukkan pemulihan
yang berarti. Bila dibandingkan dengan
negara-negara tetangga yang sama-sama
diterjang badai krisis moneter, seperti
Malaysia dan Thailand, yang sudah
menggeliat kembali ekonominya, maka
sebaliknya perjalanan ekonomi Indonesia
masih saja berjalan terseok-seok. Sementara
stabilitas makro-ekonomi menggembirakan
yang ditandai dengan menguatnya nilai tukar
rupiah dan ekspor, namun sektor riil masih
berjalan tertatih-tatih.
Lambannya
pemulihan
ekonomi
Indonesia, selain karena ada tudingan salah

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

resep dari IMF (Dana Moneter International),


diduga terutama karena masih maraknya
praktik korupsi yang sedemikian parah yang
terjadi pada semua lapisan birokrasi. Seolah
pekerjaan korupsi adalah hal lumrah dan
menjadi
makanan
sehari-hari.
Saking
biasanya,
kita
tidak
mudah
untuk
membedakan antara tindakan korupsi dan
bukan.
Korupsi hanya menguntungkan
sebagian kecil orang dari 220-an juta
penduduk Indonesia. Namun, karena korupsi
terjadi dalam skala luas dan hampir di semua
sektor kehidupan, maka dampaknya sungguh
luar biasa.
Triliunan rupiah (diprediksi
mencapai Rp 300 triliun) uang negara raib
setiap tahunnya dari kas negara, yang
mestinya bisa digunakan untuk membiayai
pembangunan, antara lain dapat digunakan
untuk meningkatkan mutu pendidikan dan
pembukaan lapangan kerja baru.
Bayangkan, masih ada sekitar 40 juta
penduduk
miskin
yang
mesti
harus
dientaskan.
Salah satunya disuarakan oleh seorang buruh
panggul di Kota Palembang, Rakid (69),
sebagaimana ditulis di harian Kompas 16
Agustus 2006, Jadi, kapan kami bisa kerja
dan makan cukup?. Mereka tidak minta yang
aneh-aneh dan tidak minta fasilitas yang
nyaman, sebagaimana yang diminta oleh
kalangan pejabat dan wakil rakyat kita.
Cukup bagi mereka hanyalah bisa bekerja
dengan keringatnya sendiri dan cukup makan
untuk menghidupi keluarganya. Mereka yang
sudah kerja keras seperti Rakid, untuk
kebutuhan makan sehari-hari saja masih
susah, apalagi bagi banyak orang diantara
jutaan penduduk miskin Indonesia yang tidak
mempunyai pekerjaan.
Komitmen pemerintah yang dikomandani
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dalam pemberantasan korupsi sudah ada.
Bahkan telah didukung pula oleh segenap
elemen masyarakat, termasuk organisasi
kemasyarakatan besar seperti NU dan
Muhammadiyah. Tapi hasilnya belum banyak
menggembirakan. Pemerintah terlihat masih
setengah hati atau terkesan tebang pilih
dalam menangani kasus-kasus korupsi.
Banyak kasus yang akhirnya harus berhenti
di tengah jalan sebelum diputuskan di sidang
pengadilan atau diputus bebas.
Soal pemberantasan korupsi barangkali
kita bisa belajar dari pemerintah Cina. Ketika
menjadi Perdana Menteri Cina, Zhu Ronji
memberlakukan hukuman mati bagi koruptor,
tak peduli siapa koruptor itu. Rupanya Zhu
mengerti betul makna pepatah Cina kuno,

bunuhlah seekor ayam untuk menakuti


seribu monyet. Ternyata kebijakan Zhu
sangat efektif dan membuat calon pelaku
korupsi
bergidik.
Keberhasilan
pemberantasan korupsi itu kemudian diikuti
dengan pertumbuhan ekonomi Cina yang
fantastis, mencapai rata-rata 9 persen per
tahun.
Potret buram lainnya di negara kita
adalah soal pendidikan. Berdasarkan data
Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index) yang dikeluarkan oleh
United Nation Development Program (UNDP),
negara kita menempati peringkat 111 dari 175
negara. Data ini mengindikasikan bahwa
kualitas manusia Indonesia masih rendah.
Bila dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN, maka peringkat kita jauh di bawah
mereka, Singapura (25), Brunei (33),
Malaysia (58), Thailand (76), dan Filipina (83).
Salah satu cara untuk meningkatkan
kulitas manusia Indonesia adalah melalui
penyediaan alokasi anggaran pendidikan
yang memadai. Meskipun Undang-undang
Dasar kita (UUD 1945) mewajibkan negara
untuk mengalokasikan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN
serta dari APBD, namun realisasinya dari
tahun ke tahun masih jauh dari harapan.
Sebagai contoh pada tahun 2006, pemerintah
kita baru sanggup menyediakan alokasi
anggaran pendidikan sebesar 9,3 persen dari
total APBN yang bernilai Rp 427,5 triliun.
Di sisi lain, kurikulum pendidikan kita
masih dianggap sebagai penyakit lama yang
belum tuntas disembuhkan. Masih banyak
mata pelajaran sekolah yang dianggap
membebani dan tidak perlu diberikan dari
tingkat pendidikan dasar hingga perguruan
tinggi, disamping seringnya ada perubahan
kurikulum di tingkat pendidikan dasar dan
menengah. Sehingga ada anekdot di negeri
kita, setiap ganti menteri selalu ganti
kurikulum. Perubahan kurikulum pendidikan
kita tidak didasarkan atas hasil evaluasi yang
dilakukan oleh para pelaku pendidikan di
lapangan, tetapi lebih banyak diputuskan oleh
para penentu kebijakan di tingkat atas.
Akibatnya, banyak materi pelajaran yang
dianggap membebani para peserta anak didik
atau malah dianggap tidak perlu.
2. Utang dan Kepentingan Asing
Barangkali banyak yang tidak asing
dengan ucapan Bung Karno ketika menolak
tawaran bantuan asing, terutama dari AS, Go
to hell with your aid. Tentu saja bukan tanpa

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

alasan Presiden RI pertama ini menolak


bantuan asing tersebut. Dia sudah dapat
mencium gelagat yang tidak baik dibalik
agenda bantuan itu. Neoimperialisme,
demikian Bung Karno menyebut misi dibalik
agenda itu. Sementara koleganya, Bung
Hatta,
menawarkan
konsep
ekonomi
kerakyatan untuk mengawal pembangunan
perekonomian bangsa Indonesia. Kemudian
konsep ekonomi kerakyatan itu disuarakan
kembali oleh Prof. Mubyarto dan Prof. Sri Edi
Swasono.
Namun para perumus kebijakan ekonomi
Indonesia di masa orde baru seolah
melupakan pesan-pesan penting para pendiri
republik ini, dan sebaliknya mereka lebih
memilih konsep yang ditawarkan oleh pihak
asing, khususnya Amerika Serikat (AS).
Pemimpin kita terlena dan telah mengambil
jalan pintas dengan jalan mengambil
pinjaman luar negeri yang terus menerus
untuk membiayai pembangunan. Padahal
negara kita sangat kaya akan sumberdaya
alam, baik pangan, mineral dan migas, yang
tersebar di daratan maupun di lautan. Karena
kemalasan pula, kita telah menyerahkan
sepenuhnya
pengelolaan
sumberdaya
mineral dan migas yang kita miliki kepada
pihak asing, dengan keuntungan yang jauh
berkurang untuk pihak Indonesia. Maka
tidaklah berlebihan jika ada kekhawatiran
Bung Karno beberapa puluh tahun yang lalu,
Biarkan kekayaan alam kita, hingga insinyurinsinyur Indonesia mampu mengolahnya
sendiri.
Kini setelah beberapa dasa warsa berlalu,
kekhwatiran Bung Karno seolah terbukti. Kita
manjadi bangsa pengutang. Seolah negara
kita seperti menjadi kecanduan utang. Setiap
tahun harus diberi infus dari pinjaman luar
negeri. Jeratan utang luar negeri nampak
semakin menyengsarakan, terutama setelah
krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun
1997. Dan akumulasinya, kini utang luar
negeri kita mencapai US$ 80 miliar, dengan
angsuran pokok dan bunga utang dalam dan
luar negeri mencapai spertiga APBN.
Blunder kedua pemerintah kita adalah
ketika meminta pinjaman dari IMF sebesar
US$ 12,779 milyar di tahun 1998. Anehnya
pinjaman dari IMF itu tidak boleh dipakai
untuk belanja modal. Meskipun tidak dipakai,
tetapi pemerintah Indonesia harus membayar
bunganya. Sebagai contoh pada tahun 2002,
Indonesia membayar bunga utang kepada
IMF sebesar US$ 1,755 milyar atau setara
dengan Rp 15,795 triliun dengan asumsi kurs
Rp 9.000. Lalu apa bedanya IMF dengan

rentenir.
Dana angsuran bunga utang
sebesar itu tentu akan sangat bermanfaat bila
kita gunakan untuk meningkatkan anggaran
pendidikan nasional kita atau untuk membuka
lapangan
kerja
baru.
Yang
lebih
mengenaskan, untuk membayar bunga utang
IMF itu Indonesia diharuskan menjual
beberapa BUMN. Karena sebagian besar
dana telah tersedot untuk membayar bunga
dan cicilan pokok utang, maka untuk
memperoleh tambahan dana pada APBN
2002, pemerintah mesti rela menjual Indosat.
Meskipun pemerintahan SBY mengakui
bahwa resep ekonomi IMF (Dana Moneter
International) salah, tetapi anehnya tetap saja
mengikuti program anjuran IMF. Negeri
berdaulat yang berpenduduk lebih dari 200
juta orang, tapi dalam menjalankan kebijakan
ekonominya harus tunduk pada kemauan
sebuah lembaga keuangan internasional
yang bernama IMF. Sementara ekonomi di
dalam negeri sendiri dan kepentingan
rakyatnya masih terabaikan, pemerintah
justeru terus saja mengadopsi kebijakan IMF.
Tujuan kebijakan ekonomi IMF tidak lain
adalah untuk mentransformasikan ekonomi
Indonesia sehingga menjadi wilayah yang
nyaman
untuk
kepentingan
investor
internasional. Demikian pendapat Revrisond
Baswir. Karena itu, sesuai anjuran IMF,
pemerintah kita tak segan-segan mengambil
kebijakan ekonomi yang tidak populer (seperti
menaikkan harga BBM, listrik dan telepon). Ini
artinya Indonesia direkayasa sedemikian rupa
sehingga menguntungkan dieksploitasi oleh
pemodal asing. Di sisi lain, pendekatan ala
IMF ini telah menghasilkan biaya sosial
ekonomi, bahkan politik, yang makin
menyengsarakan rakyat Indonesia.
Dalam banyak kasus di negara-negara
berkembang, sebagaimana dikemukakan
oleh Revrisond Baswir, utang luar negeri
telah menimbulkan banyak persoalan. Secara
internal, utang luar negeri tidak hanya
dipandang sebagai penghambat tumbuhnya
kemandirian ekonomi negara-negara Dunia
Ketiga, tetapi juga diyakini menjadi pemicu
terjadinya
kontraksi
belanja
sosial,
merosotnya kesejahteraan rakyat, dan
melebarnya
kesenjangan
ekonomi.
Sedangkan secara eksternal, utang luar
negeri
dianggap
sebagai
pemicu
meningkatnya ketergantungan negara-negara
Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, arus
masuk
modal
asing,
dan
terjadinya
ketergantungan pada utang luar negeri
secara kesinambungan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Utang luar negeri juga menimbulkan


implikasi sosial dan politik di negara-negara
penghutang. Sebab, utang luar negeri bisa
menjadi sarana yang sengaja dikembangkan
oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk
mengintervensi negara-negara penerima
pinjaman. Bahkan, secara tidak langsung,
utang luar negeri juga dituduh ikut
bertanggung jawab terhadap munculnya
rezim
diktator,
kerusakan
lingkungan,
meningkatnya
tekanan
migrasi
dan
perdagangan obat-obatan, serta terhadap
muculnya konflik dan peperangan.
Selain itu, lembaga-lembaga keuangan
multilateral yang berperan sebagai penyalur
utang luar negeri, seperti Bank Dunia dan
IMF, bukan hanya dinilai telah bersikap tidak
transparan dan akuntabel, namun juga
mereka diyakini telah bekerja sebagai
kepanjangan tangan negara-negara Dunia
Pertama yang menjadi pemegang saham di
kedua lembaga tersebut. Bahkan, utang luar
negeri juga diyakini sebagai sarana untuk
menyebarkan kapitalisme neo-liberal ke
seluruh penjuru dunia. Dan dengan demikian,
utang luar negeri telah dengan sengaja
dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman
sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya dari seluruh penjuru dunia.
Masih segar dalam ingatan kita,
bagaimana mungkin cadangan minyak yang
luar biasa besar di blok Cepu dengan enteng
diserahkan ke ExxonMobil. Padahal puteraputera
Indonesia
melalui
perusahaan
nasional
kita
sendiri,
PERTAMINA,
menyatakan sanggup untuk mengelolanya,
yang pada gilirannya akan memberikan
keuntungan besar buat bangsa kita sendiri.
Demikian juga soal peninjauan ulang kontrak
Freeport, yang menguasai pertambangan
emas terbesar di dunia, pun tidak dilakukan
pemerintah.
Ini
menunjukkan
bahwa
ketergantungan Indonesia terhadap AS dari
segi ekonomi hampir mutlak, demikian
penilaian Revrisond Baswir. Dan setiap
persoalan yang menyangkut kepentingan
perusahaan
multinasional
milik
AS,
pemerintah Indonesia senantiasa bersikap
melunak.
Di sisi lain, Presiden SBY yang memiliki
legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh
rakyat,
ternyata
belum
menunjukkan
keberaniannya berdiri bersama rakyat, yaitu
dalam
posisi
selalu
mengutamakan
kepentingan rakyat dan berani menolak
intervensi kekuatan asing. Sepertinya ia lupa
dengan apa yang pernah diucapkan ketika
berupaya menarik simpati rakyat untuk

menjadi orang nomor satu memimipin negeri


ini, Bersama kita bisa.
3. Penguasaan Iptek
Momentum HUT RI ke-61 seyogyanya
bisa menjadi tonggak kesadaran para
intelektual muda Indonesia bukan hanya pada
soal pentingnya penguasaan iptek, namun
juga termasuk kesadaran yang menyangkut
masa depan bangsanya, yaitu kesadaran
untuk merealisasikan cita-cita proklamasi
yang belum tercapai hingga kini.
Penguasaan iptek pun bukan hanya soalsoal yang bisa memberikan kontribusi pada
kemajuan ekonomi, industri dan teknologi,
namun perlu juga kita menguasai ilmu-ilmu
alam dan kebumian, seperti biologi, geologi,
geofisika, vulkanologi dan oceanografi.
Terlebih lagi negeri kita, terdiri dari deretan
pulau-pulau dengan ragam bentang alamnya
dari Sabang sampai Merauke, merupakan
mata rantai Cincin Api (Ring of Fire) yang
melingkari
seluruh
nusantara
hingga
memanjang ke wilayah negara-negara Asia
Pasifik.
Selama ini kita baru sibuk
memandang Indonesia dari sudut pandang
ekonomi dan politik, dan kita melupakan sisi
lainnya.
Setelah kita mengalami berbagai musibah
bencana alam; tsunami, gempa, letusan
gunung merapi, dan banjir; yang senantiasa
akan datang lagi, maka tidak ada alasan bagi
putera-putera bangsa kita ini untuk tidak
menguasai ilmu-ilmu alam dan kebumian.
Dan tak kalah pentingnya, kita perlu
memberikan ruang dan penghargaan bagi
para ilmuwan kita. Kita perlu ubah cara
pandang kita terhadap alam raya kita, bahkan
juga kita tanamkan ke anak-anak kita, bukan
hanya untuk mengeksploitasi, namun juga
kita mesti memperlakukannya secara baik.
Semakin banyak kita mengerti tentang alam
kita, semakin besar pula kemungkinan kita
mengerti
cara
mengurangi
dampak
katastropiknya.
Alam ini telah banyak memberikan
pelajaran bagi kita. Bukti-bukti empiris
menunjukkan, sejauh apa yang kita perbuat
pada alam dan lingkungan kita, sejauh itu
pula kita akan menuai akibatnya. Banjir,
peubahan iklim, penyakit, hama, penurunan
stok pangan baik di darat maupun laut,
adalah hasil-hasil dari perbuatan manusia
juga yang telah banyak mengotori dan
merusak lingkungan dan alam semesta
selama ini. Jadi, eksistensi generasi yang
akan datang jelas ditentukan pula oleh apa-

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

apa yang telah kita perbuat terhadap


lingkungan dan alam jagat raya ini.
Bermodalkan lebih dari 17.000 pulau,
dengan limpahan kekayaan sumberdaya
kenakeragaman hayati baik di darat dan laut,
sumberdaya mineral, minyak dan gas (migas),
serta didukung oleh iklim tropis yang sangat
bersahabat, merupakan tantangan tersendiri
bagi para kaum intelektual muda Indonesia
untuk bangkit dan menjadikan amanat untuk
mengelolanya sendiri bagi kesejahteraan
anak-anak cucu kita. Karena itu, penguasaan
iptek menjadi suatu keharusan bagi putera
puteri Indonesia.
Dan mesti diingat pula, kekayaan alam
kita bukanlah warisan untuk kita kuras habis
saat ini, tetapi anak-anak cucu kita sedang
menunggu untuk meneruskan kelanjutan
eksistensi bangsa kita ini di kemudian hari.
Kalau sekiranya kita belum bisa menapakkan
kaki kita sendiri berdiri sejajar secara
ekonomi maupun ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan bangsa-bangsa maju dunia
di saat ini, setidaknya kita mesti meletakkan
batu pondasi bagi anak-anak cucu kita guna
menjejakkan kakinya untuk meneruskan
harapan-harapan kita dan untuk menggapai
cita-cita kemerdekaan yang diusung oleh
para pendahulu kita.
4. Bangkitnya Kaum Terpelajar
Kaum terpelajar yang dimaksud disini
bukanlah semata-mata untuk mereka yang
masih aktif di sekolah-sekolah atau kampuskampus, namun lebih luas lagi termasuk juga
mereka yang telah menyelesaikan pendidikan
dan sedang menjalani aktivitas di masyarakat
dengan beragam profesi.
Kembali membuka lembaran sejarah
perjuangan bangsa kita. Babak baru
kesadaran
berbangsa
dalam
periode
penjajahan adalah dipelopori oleh kaum
terpelajar, yang dirintis oleh dokter Sutomo
dan kawan-kawan. Sedangkan tendangan
golnya diselesaikan oleh Sukarno-Hatta dan
koleganya
dengan
diproklamasikannya
kemerdekaan Republik Indonesai pada 17
Agustus 1945, 61 tahun lalu. Mereka, kaum
terpelajar itu, bukan hanya berperan sebagai
pendobrak kebangkitan kaum muda di
jamannya, tetapi juga sekaligus sebagai
pelaku gerakan perjuangan pada tingkatan
praktis.
Ini berbeda dengan gerakan kaum
terpelajar (baca: mahasiswa) di tahun 1966
(pergantian orde lama ke orde baru) dan juga
tahun 1998 (era reformasi). Gerakan kaum

terpelajar di era kemerdekaan ini hanya


manjadi pendobrak palang pintu untuk
kemudian
diteruskan
oleh
generasi
pendahulu
(kaum
tua)
untuk
mengimplementasikan idealismenya. Jadi,
mereka hanya memecahkan kulit luarnya, isi
buahnya diserahkan pada generasi tua untuk
mengurusnya. Tapi, ada perbedaan idealisme
yang mendasar antara kaum terpelajar
dengan generasi tua yang mendapatkan
kepercayaan memimpin negeri. Generasi tua,
meskipun
tidak
semua,
yang
telah
terkontaminasi oleh pembusukan sistem
birokrasi tentu tidak serta merta mau
kehilangan kedudukan dan kenyamanan
mereka, sehingga masih saja setengah hati
untuk
melakukan
perubahan-perubahan.
Maka tak heran, gegap gempita demonstrasi
dan semangat reformasi dengan segala
euforianya,
selalu
hanya
berhasil
menggantikan
lapisan
luar
atau
pembungkusnya pada tataran konsep dan
formalitas belaka, tetapi gagal merombak isi
yang hendak diperbarui. Antara harapan atau
idealisme dengan kenyataan dan praktik
acapkali tidak sejalan.
Kini, sudah saatnya kaum terpelajar kita
mempelopori semangat kemandirian di
berbagai aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dan sudah waktunyalah untuk
merebut kembali kekayaan sumberdaya alam
strategis negara yang dikuasai asing untuk
kita kelola sendiri buat kemakmuran seluruh
rakyat Indonesia. Untuk mengurus negara
kita, bukan hanya penguasaan iptek saja
yang mesti kita miliki, tetapi juga kita mesti
memperbaiki moralitas bangsa ini. Tidak kita
pungkiri lagi bahwa kerusakan moral telah
melanda di semua lapisan masyarakat, baik
di lingkup birokrasi maupun di kehidupan
sosial bermasyarakat.
Karena itu,
mambangun moralitas bangsa agar menjadi
lebih baik juga mutlak kita perlukan. Dan
salah satunya adalah dengan menyiapkan
generasi yang lebih baik untuk meneruskan
pembangunan dan untuk mewujudkan citacita bersama menuju masyarakat Indonesia
yang adil dan makmur.
Sudah menjadi hukum alamiah, manusia
terlahir dengan membawa ciri-ciri yang
berbeda, seperti warna kulit, tempat kelahiran,
serta suku dan budaya. Sesuai dengan
perkembangannya, setiap manusia akan
memiliki visi sosial dan politik yang berbedabeda
sesuai
dengan
latar
belakang
pendidikan, pengalaman hidup, lingkungan
pergaulan, dan ideologi yang dianut. Namun,
meskipun berbeda-beda, manusia tetap

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

mempunyai keinginan yang sama, yaitu ingin


sukes dan bahagia. Dengan kesamaan
keinginan asasi ini, sebenarnya kita
mempunyai kesamaan dasar untuk bisa
melangkah bersama guna memperbaiki
bangsa dan membangun negeri.
Masih banyak putera-putera bangsa yang
baik di negeri kita, hanya saja mungkin
mereka membawa baju daerah, bendera
partai, atau ideologi yang berbeda. Tapi,
karena kita mempunyai keinginan yang sama
untuk memperbaiki dan membangun negeri,
maka perbedaan-perbedaan itu mesti kita
buang jauh-jauh. Dan sebaliknya, kita perlu
mensinergikan kekuatan dan potensi yang
ada untuk bersama-sama membangun
Indonesia tercinta (Diolah dari berbagai
sumber).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Meranti (Shorea sp), Mampukah Menjadi Primadona HTI Indonesia?


Ika Heriansyah
Peneliti pada Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan
Jl. Gunung Batu No. 5, 16610, Bogor.
E-mail: ika_heriansyah@yahoo.com

1. Pendahuluan
Produktifitas
hutan
alam
semakin
menurun baik segi kuantitas maupun segi
kualitas. Beberapa penyebabnya adalah
operasional logging yg kurang terkendali,
maraknya illegal logging, perambahan dan
konversi lahan hutan menjadi areal lain, serta
kebakaran yang terjadi baik secara alami
akibat kekeringan yang panjang maupun non
alami akibat ulah manusia yang tidak
bertanggung jawab.
Salah satu dampak
nyata terhadap hutan adalah semakin sulit
dalam mendapatkan kayu dari jenis komersial,
dan karena permintaan kayu yang besar
maka pergeseran target produksipun terjadi
dengan memanfaatkan jenis lain yang kurang
komersial.
Untuk mengurangi tekanan terhadap
hutan alam ini, pembangunan hutan tanaman
industri (HTI) mulai marak dikembangkan.
Namun
sangat
disayangkan,
yang
seharusnya dikembangkan di areal yang
terdegradasi dan kurang produktif, pada
kenyataannya
tidak
sedikit
yang
mempergunakan lahan hutan alam potensial
dengan dalih konversi lahan karena tidak
potensial
lagi.
Jenis-jenis
HTI
yang
dikembangkanpun masih dapat dihitung
dengan jari dan umumnya dipilih jenis cepat
tumbuh. Tujuan penggunaan kayunya masih
terbatas sebagai bahan baku pulp dan kertas
atau konstruksi ringan saja, disamping dari
segi luas areal yang belum mampu
mengcover kebutuhan bahan baku kayu.
Beberapa industri pulp dan kertas masih
sangat tergantung pada pasokan kayu dari
hutan alam dengan memanfaatkan fasilitas
ijin pemanfaatan kayu (IPK), sehingga tujuan
awal untuk mengurangi tekanan terhadap
hutan alam yang tersisa pun masih jauh dari
harapan.
Dalam perkembangan HTI, berbagai
permasalahan mulai bermunculan bukan
hanya
terbentur
masalah
penurunan
biodiversitas saja tetapi juga masalah
kerawanan akan hama dan penyakit,
kebakaran, penurunan kualitas air, bahkan

sampai kepada menurunkan daya dukung


lingkungannya.
Terjadinya
defisiensi
beberapa
unsur
hara
dan
mineral,
mengindikasikan bahwa siklus hara belum
berjalan sempurna/lengkap dan disinyalir
akan terus merosot pada daur-daur
berikutnya.
Beberapa solusi ditawarkan
termasuk perlakuan pemupukan pada rotasi
berikutnya, tetapi akankah hal tersebut kita
pertahankan? Jawabnya tentu saja tidak.
Sehingga solusi ekologis yg menjamin
keberlangsungan hutan dan kehutanan serta
menguntungkan secara ekonomi sangat
diperlukan.
2. Potensi Meranti
Meranti (Shorea sp) sebagai salah satu
jenis kayu primadona dari hutan tropika ini
mulai sulit dicari di pasaran, eksploitasi
terhadap jenis ini dimasa ekspor log maupun
dimasa kini begitu besar sejalan dengan
kebutuhan kayu konstruksi yang meningkat.
Sementara pengembangan jenis ini lebih
banyak mengandalkan regenerasi alam,
belum lagi masa berbuahnya yang tidak
beraturan [1] dan masa simpan benih yang
pendek [9], menjadi batasan dalam produksi
bibit secara berkesinambungan, sebelum
teknik
propagasi
vegetatif
berhasil
dikembangkan.
2.1 Produksi Bibit dan Pertumbuhannya
Dewasa
ini
banyak
pemerhati
Dipterocarpaceae termasuk didalamnya jenis
meranti mencoba berbagai teknik pengadaan
bibit, salah satu yang berhasil dalam skala
besar adalah melalui sistem pendingin kabut
yang dikembangkan oleh Puslitbang Hutan
dan Konservasi Alam (P3HKA) yang
bekerjasama dengan Komatsu Ltd. yang
dimulai sejak awal tahun 1990-an [8].
Beberapa jenis yang telah dikembangkan
diantaranya Shorea leprosula, S. selanica, S.
javanica, S. pinanga, S. seminis dan S.
stenoptera.
Sejak
itu
permasalahan
pengadaan bibit sudah mulai terantisipasi.
Lalu bagaimana dengan pertumbuhan bibit

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

stek ini dilapangan?, dalam proyek yang


sama juga telah dibangun hutan tanaman di
lahan terdegradasi di Leuwiliang, Jawa Barat
sejak tahun 1995 dengan target luasan 250
ha dan di Perawang, Riau sejak tahun 2000
dengan target seluas 100 ha, khususnya
untuk jenis S. selanica dan S. leprosula [10].
Pertumbuhan
awal
di
lapangan
mengindikasikan bahwa bibit asal stek ini
mempunyai performa yang lebih baik
daripada bibit asal biji yang ditanam sebagai
plot pembanding di areal yang sama [6].
Sebagai jenis meranti yang cepat tumbuh,
jenis ini tidaklah terlalu memerlukan naungan
untuk pertumbuhan awal di lapangan, kunci
keberhasilan terletak pada masa adaptasi
lapangan sebelum penanaman, dengan cara
mengurangi naungan secara bertahap sampai
dengan tanpa naungan sama sekali.
Perlakuan ini telah terbukti berhasil, baik di
areal gambut di Riau, dimana naungan hanya
berupa 10% tanaman ekaliptus sakit maupun
di areal terbuka pada ujicoba perlakuan arang
di Jasinga, Jawa Barat [5].
2.2 Potensi Produksi Kayu Meranti
Berbagai
jenis
meranti
telah
dikembangkan di beberapa hutan penelitian
(HP) yang dikelola oleh P3HKA sejak tahun
1940, mulai di dataran rendah di HP Carita,
Banten, di dataran sedang di HP Haurbentes,
HP Dramaga, HP Yanlappa, Jawa Barat
sampai di dataran tinggi di HP Pasir Hantap
dan HP Cikole, Jawa Barat bahkan juga
dikembangkan di daerah lebih kering seperti
di HP Cikampek, Jawa Barat. Kondisi hutan
tanaman jenis ini sudah menyerupai kondisi di
hutan alam dengan strata tajuk yang lengkap
mulai dari tingkat seedling, sapling, pole
sampai tingkat pohon. Selain berfungsi
sebagai konservasi jenis, dan sumber
benih/bibit, juga sebagai pengatur tata air dan
hunian bagi berbagai satwa liar. Keberhasilan
ini kemudian diimplementasikan oleh Perum
Perhutani III, Jawa Barat dengan membuat
kelas perusahaan meranti secara operasional,
dengan memanfaatkan hutan penelitian
sebagai sumber benih.
Setidaknya ada dua jenis meranti yaitu S.
leprosula dan S. selanica yang cepat
pertumbuhannya dan berpotensi untuk
dikembangkan sebagai tanaman HTI [7;2].
Berdasarkan hasil riset di HP Haurbentes,
diketahui bahwa produktifitas kayunya jauh
lebih tinggi dibanding dengan HTI Acacia
mangium, baik yang dijarangi seperti di areal
KPH Bogor, Perum Perhutani Jawa Barat,

maupun dengan yang tidak dijarangi seperti


di PT Musi Hutan Persada, Sumatra Selatan
[2].
Pada umur masak tebang, HTI A.
mangium di Jawa Barat dan Sumatra Selatan
menghasilkan volume kayu perdagangan
3
rata-rata 17.9 dan 15.6 m /ha/tahun [3],
sedangkan tanaman S. leprosula dan S.
selanica di HP Haurbentes menghasilkan
volume kayu perdagangan masing-masing
38.4 dan 45.0 m3/ha/tahun [2]. Belum lagi jika
ditinjau dari segi kualitas, ukuran log dan nilai
jualnya, kayu dari jenis meranti ini dapat
digunakan untuk berbagai keperluan mulai
dari meubeler sampai dengan konstruksi
sedang, dengan harga yang lebih tinggi. Di
samping itu, daur/rotasi tebang meranti yang
jauh lebih lama (antara 30 sampai 50 tahun),
merupakan salah satu faktor penting yang
berpengaruh terhadap konservasi tanah dan
air, konservasi biodiversitas, serta dalam
pemeliharaan daya dukung ekosistem hutan.
Jenis ini mampu tumbuh di lahan
terdegradasi, mulai dataran rendah sampai
dataran sedang, dan pada jenis tanah asam
sampai agak basa.
2.3 Meranti dan Penyerapan Karbon
Rosot karbon hutan memainkan peranan
penting dalam siklus ekologi secara alami dan
berkontribusi dalam mencegah pemanasan
global dengan menyerap CO2 dari atmosfer
dan menyimpannya sebagai karbon dalam
bentuk materi organik tanaman.
Karena
separuh massa tanaman merupakan karbon,
maka sejumlah karbon tersimpan dalam
hutan, sehingga hutan merupakan penyimpan
karbon terbesar di daratan bumi.
Potensi hutan tanaman meranti dalam
menyerap karbon pun telah dilakukan untuk
menjawab isu di atas, melalui pendugaan
akumulasi volume kayu dan biomassa
tanaman terhadap 7 jenis meranti pada
berbagai tingkat umur. Kemampuan mereka
bervariasi sesuai jenis dan umur tanaman.
Lebih jauh dikatakan bahwa variasi daya
serap karbon disebabkan oleh perbedaan
luas kawasan, perbedaan kombinasi dan
komposisi jenis, kerapatan tanaman dan
perbedaan komposisi umur tegakan [4]. Ratarata penyerapan CO2 perindividu tanaman
jenis S. leprosula, S. palembanica, S. pinanga,
S. selanica, S. seminis, S. stenoptera Burck
dan S. stenoptera forma Ardikusuma adalah
masing-masing 55.13, 35.37, 28.97, 40.46,
71.32, 72.18 dan 20.41 ton CO2 per tahun [4].

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

3. Kesimpulan
Keberadaan meranti di alam sudah dalam
tahap kritis, sehingga diperlukan langkahlangkah konkrit, baik dalam hal konservasi
maupun pengembangannya.
Kejayaan
meranti di masa lalu selayaknya dijadikan
dasar pijakan untuk membuatnya berjaya
kembali di masa mendatang.
Beberapa
keterbatasan
dan
hambatan
dalam
pengembangannya secara umum telah
berhasil diantisipasi, mulai dari permasalahan
penyediaan dan perbanyakan bibit secara
masal, teknik penanaman dan pemeliharaan
sampai dengan pengaturan daur panen yang
optimal.
Menilik performa pertumbuhan dan
potensi produksi kayu dan rosot karbonnya,
diperlukan upaya untuk menjadikan jenis ini
tampil sebagai primadona HTI di Indonesia,
terutama di areal-areal endemik sebaran
aslinya.
Pengembangan
jenis
ini
menguntungkan ditinjau dari segi ekonomis,
dan jika ditinjau dari segi ekologi tidaklah
berlebihan jika jenis ini dikatakan lebih ramah
lingkungan.
Pustaka
[1] Ashton, P.S., Givinish, T.J., dan Appanah,
S.
1998.
Staggered
flowering in
Dipterocarpaceae: New insights into floral
induction and the evolution of mast
flowering in the seasonal tropic. American
Naturalist 132: 44-60.
[2] Heriansyah, I. 2006. Growth patterns and
potential production of fast growing
meranti in the humid tropics of West Java,
Indonesia. Proc of the 15th Indonesia
Scientific Conference in Japan. Hiroshima
University. Japan.
[3] Heriansyah, I. dan Kanazawa, Y. 2005.
Potential production of Acacia mangium
Willd. forests at harvest-age under
different conditions in Indonesia. Proc of
th
the 14 Indonesia Scientific Conference in
Japan. Nagoya University. Japan.

[4] Heriansyah I, dan Mindawati, N. 2005.


Potensi hutan tanaman marga Shorea
dalam menyerap CO2 melalui pendugaan
biomassa di Hutan Penelitian Haurbentes.
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam. Departemen Kehutanan. Bogor.
[5] Heriansyah I, dan Siregar, C.A. 2002.
Demonstration study on carbon fixing
forest management in Indonesia. Dalam
Noor, Y.R. (Ed.) Lahan gambut untuk
perlindungan
iklim
global
dan
kesejahteraan masyarakat. Wetlands
International. Bogor.
[6] Heriansyah, I., Subiakto, A., Nuroniah,
H.S., dan Sakai, C. 1999. Rehabilitation of
degraded forest at Leuwiliang, West Java
using meranti cuttings. Impacs of fire and
human activities on forest ecosystems in
rd
the tropics. Proc. 3 International Symp.
Asean Tropical Forest Management.
Samarinda.
[7] Masano, Alrasjid, H., dan Hamzah, Z.
1987. Planting trials of dipterocarps
species out side their natural distribution
range in the Haurbentes experimental
forest, West Java. Proc. The third round
table conference on Dipterocarps.
[8] Sakai, C., Yamamoto, Y., Subiakto, A.,
Hendromono, dan Prameswari, D. 1994.
Vegetative
propagation
of
Dipterocarpaceae. Biorefor proc. Kangar
Workshop.
[9] Sasaki, S. 1980.
Storage
and
germination of dipterocarp seeds. Malay.
Forester 46 (2): 175-185
[10] Subiakto, A., Heriansyah, I., Nuroniah,
H.S., dan Sakai, C. 1999. Cutting
technique of meranti using fog-cooling
system. Impacs of fire and human
activities on forest ecosystems in the
rd
tropics. Proc. 3 International Symp.
Asean Tropical Forest Management.
Samarinda.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

KEPUNAHAN BAHASA1
(Kontemplasi terhadap Bencana Geologis di Indonesia)
Imelda
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB),
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
E-mail: jendelabahasa@yahoo.com
Abstract
Indonesia is the second country, after Papua New Guinea, which has numerous languages. There are
726 languages that still used by the native speakers in Indonesia. However, those languages do not
always develop in the save places. It is because Indonesia has unstable land. Massive geological
disasters like earth quake, volcanic eruption and tsunami shake Indonesia frequently. These massive
disasters caused thousands of people to die. Thousand of people death could be one of the factors of
language extinction. To avoid this, linguists need to know the riskiest land in Indonesia to save the
languages before the disaster buried the languages.
kata kunci: kepunahan bahasa, bencana alam, bahasa nusantara.
The West Caucasian language Ubuh...died at
th
a daybreak, October 8 , 1992, when the Last
Speaker, Tevfik Esen, passed away. I
happened to arrive in his village that very
same day, without appointment, to interview
this famous Last Speaker, only to learn that he
had died just a couple of hours earlier. He was
burried letter the same day.
(Dikutip dari Andersen (1990:3)
dalam Crystal 2000:2))

Nukilan di atas merupakan sebuah cerita


tragis mengenai kematian bahasa. Cerita
tersebut dikatakan tragis karena linguis
terlambat menangani bahasa yang terancam
punah. Kepunahan bahasa disebabkan
kematian penutur terakhir merupakan hal yang
wajar terjadi. Namun, punahnya bahasa akibat
bencana merupakan kejadian luar biasa dan
tidak pernah terduga akan terjadi.

Di wilayah Indonesia, hilangnya bahasa


secara tiba-tiba mungkin saja terjadi karena
wilayah Indonesia rawan bencana alam. Ini
karena Indonesia masuk ke dalam lingkaran
Cincin Api Dunia (gambar 1). Menurut para
geolog, wilayah yang masuk ke dalam Cincin
Api Dunia merupakan wilayah yang rawan
gempa bumi dan letusan gunung api. Dalam
artikel Crystallink.com, dijelaskan bahwa 90%
gempa bumi di dunia terjadi di wilayah Cincin
Api Dunia, 81% dari gempa termasuk dalam
kategori gempa berkekuatan besar. Dalam
artikel itu dinyatakan pula bahwa wilayah
paling rawan gempa ada di sepanjang Jawa,
Sumatra, Himalaya, Mediterania, dan Atlantik.
Lima puluh enam persen gempa bumi di dunia
terjadi di wilayah-wilayah rawan tersebut, 17%
di antaranya masuk dalam kategori gempa
terdahsyat
di
dunia.

Gambar 1. Peta Cincin Api Dunia


Sumber: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/fire.html

Kepulauan Indonesia termasuk ke dalam


cincin api dunia karena wilayah ini adalah
tempat pertemuan tiga lempengan dunia:
lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan
lempeng Pasifik. Dua dari tiga lempengan
tersebut, yaitu lempeng Indo-Australia dan
lempeng Pasifik, aktif bergerak. Rata-rata
gerakannya 3-4 sentimeter per tahun.
Lempengan-lempengan itu bertumbukan dan
membentuk gunung berapi dan pulau Sumatra,
Jawa, Nusa Tenggara, dan Maluku. Ketika
tumbukan
lempeng-lempeng
tersebut
mencapai ambang batas, terjadilah gempa.
Akibat susulan dari gempa di laut dangkal
yang berkekuatan sama atau lebih dari 6,2
pada skala Richter adalah gelombang tsunami.
1. Hilangnya Komunitas Akibat Bencana
Beberapa bencana yang pernah terjadi di
Indonesia termasuk dalam kategori bencana
dahsyat di dunia. Salah satunya ialah bencana
letusan gunung api di Sumbawa. Bencana
tersebut terjadi pada tahun 1815. Dalam
bencana tersebut, Kerajaan Mataram hilang
terkubur muntahan Gunung Tambora dan
diperkirakan 117.000 orang tewas (National
Geographic: 2006). Tidak ada catatan yang
tersisa pada kejadian tersebut. Sirgurdsson
dalam artikel yang ditulis oleh Roach (National
Geographic, 2006) baru mampu menduga
jenis bahasa dan beberapa hasil bumi yang
menjadi mata pencaharian masyarakat
Tambora pada waktu itu. Selain itu ia juga
mengatakan bahwa bahasa yang digunakan di
Tambora mirip dengan bahasa di Laos dan
Kamboja.
Saat ini, sepanjang tahun 2000-2006,
Indonesia setidaknya mengalami tujuh kali
gempa bumi dahsyat (lebih dari 6,2 pada skala
Richter) dan dua kali tsunami. Salah satunya
termasuk dalam kategori gempa terdahsyat di
dunia. Bencana tersebut ialah gempa dan
tsunami Aceh. Dalam kejadian tersebut,
kekuatan gempa mencapai 9,3 pada skala
Richter. Selain itu, gempa tersebut juga
memicu terjadinya tsunami dengan ketinggian
10 meter. Owen (National Geographic, 2005)
mencatat bahwa korban meninggal mencapai

jumlah 240.000 orang di Aceh dan Nias.


Bencana lain yang terakhir terjadi ialah gempa
di Yogyakarta dan gempa tsunami di Selatan
Jawa. Dua bencana yang terakhir ini juga
menewaskan ribuan orang.
Korban manusia yang begitu banyak
jumlahnya menimbulkan sebuah prediksi
mengenai hilangnya suatu desa dan
penduduknya, terutama pada desa yang
berada di sepanjang pantai yang tersapu
tsunami saat gempa dan tsunami Aceh. Dari
laporan Pribadi dalam Cahanar (2005:215)
dinyatakan bahwa 70% penduduk kota Calang
tewas dalam bencana tersebut. Menurut data
statistik Pemerintah Daerah NAD tercatat
jumlah penduduk yang tinggal di Kota Calang
sebelum bencana sekitar 86.000 orang. Akan
tetapi, setelah bencana, penduduk yang
tersisa berjumlah 25.800 orang.
2. Persebaran Bahasa-Bahasa Nusantara2
Bagi Indonesia yang dikenal dengan kemegadiversity-annyasalah
satu
keanekaragaman
yang
dimiliki
bangsa
Indonesia ialah keanekaragaman bahasa
hilangnya
suatu
kampung
bersama
komunitasnya merupakan suatu kerugian
karena
secara
otomatis
mengurangi
keanekaragaman penduduknya. Selain itu,
Indonesia juga kehilangan keanekaragamn
bahasanya. Ini merupakan kerugian yang sulit
dihitung nilainya karena kebudayaan adalah
yang berharga, terutama dalam ilmu
pengetahuan
lokal.
Singkatnya,
keanekaragaman bahasa memiliki arti penting
bagi Indonesia.
Dalam keanekaragaman bahasa, Indonesia
menempati urutan kedua, setelah Papua New
Guinea. Summer Institute of Linguistics (SIL)
Internasional cabang Indonesia dalam Grimes
(2001:1) telah mencatat bahwa Republik
Indonesia memiliki 731 bahasa3. Dari 731
bahasa tersebut, 726 bahasa masih memiliki
penutur asli, 3 bahasa telah punah, dan 2
bahasa tidak memiliki penutur asli lagi. Pada
gambar (2) di bawah dapat dilihat gambaran
persebaran bahasa-bahasa di seluruh dunia.

Gambar 2. Peta Bahasa-Bahasa di Dunia


Sumber: http://www.ethnologue.com/show_map.asp?name=World&seq=10

Dari gambar tersebut dapat dilihat pola


sebaran bahasa-bahasa dari Indonesia bagian
Barat ke Indonesia bagian Timur. Bahasabahasa tersebut semakin ke Timur semakin
beraneka ragam. Hal ini diduga karena
keunikan masyarakat Indonesia bagian Timur
yang setiap suku, bahkan keluarga, memiliki
bahasa sendiri.
3. Jumlah
Penutur
Nusantara

Jumlah penutur bahasa-bahasa nusantara


semakin ke Timur semakin sedikit. Selain itu,
jumlah penutur sebagian besar bahasabahasa tersebut juga tidak berada dalam
hitungan yang aman untuk tetap hidup. Selain
karena keunikan masyarakat Indonesia bagian
Timur yang setiap suku, bahkan keluarga,
memiliki bahasa sendiri, fenomena ini juga
diduga karena tingkat mobilitas penduduk di
bagian Timur lebih rendah dibandingkan
penduduk di bagian Barat. Gambaran jumlah
penutur pada bahasa-bahasa di nusantara
dapat
dilihat
pada
Tabel
1.

Bahasa-Bahasa

Tabel 14. Bahasa-Bahasa Nusantara dan Jumlah Penuturnya5


Katagori Jumlah
Wilayah

Total

Sumatra

17

17

52

Jawa dan Bali

19

Kalimantan

35

25

82

Nusa Tenggara

20

12

20

68

Sulawesi

15

45

31

15

114

Maluku

26

60

27

12

131

Papua

19

87

139

10

265

Total

15

14

53

164

218

192

22

49

731

Keterangan: A = sangat besar (di atas100 juta), B = besar (antara 35-100 juta), C = menengah (antara 1-35 juta), D = agak
kecil (antara -1 juta), E = kecil (antara 100.000-1/2 juta), F = sangat kecil (antara 10.000-100.000), G = sangat
kecil (antara 1000-10.000), H = jumlah minimum (kurang dari 1000), I = hampir punah (kurang dari 100), J = punah,
K = Belum diketahui jumlahnya

Tabel 1 memperlihatkan, sebagian besar


bahasa-bahasa
nusantara
berlokasi
di
Sulawesi (114 bahasa), Maluku (131 bahasa),
dan Papua (265 bahasa). Di daerah-daerah
tersebut juga didapati kebanyakan jumlah
penutur bahasa berada dalam kategori F, G,
dan H. Fakta tersebut memberikan gambaran
mengenai kerawanan eksistensi bahasa-

bahasa di Indonesia, terutama di Indonesia


bagian Timur. Bahasa-bahasa tersebut bisa
punah karena bencana besar yang kerap
melanda Indonesia menewaskan ribuan,
bahkan
puluhan
ribu
manusia.

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

4. Lokasi-Lokasi Rawan Bencana


Hampir
semua
wilayah
Indonesia
merupakan lokasi rawan bencana. Aprianti
(2005:52) menyatakan bahwa daerah di
Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku,
dan Papua merupakan
daerah rawan
bencana gempa bumi dan tsunami. Hanya
beberapa daerah di Pulau Kalimantan yang
bebas dari bahaya bencana-bencana
tersebut. Gambaran yang lebih lengkap
dapat dilihat pada tabel 2 yang diadaptasi
dari data yang ditulis oleh Aprianti.
Tabel 2. Wilayah rawan gempa bumi dan
Tsunami di Indonesia
Gempa Bumi
Aceh
SUMUT -Simeulue
SUMBAR - Jambi
Bengkulu
Lampung
Banten-Pandeglang

Tsunami
Aceh
SUMUT
SUMBAR
Bengkulu
Lampung
JATENG
bagian
Selatan

JABAR-Bantar
JATIM bagian Selatan
Kawung
Yogyakarta
Bali
Lasem
NTB
JATIM-Bali
NTT
NTB
SULUT
NTT
SULTENG
Kepulauan Aru
SULSEL
SULSEL
Maluku Utara
Sulawesi Tenggara
Maluku Selatan
SULTENG
Biak
SULUT
Pak-Pak
Sangir Talaud
Balikpapan
Maluku Utara
Maluku Selatan
Kepala Burung-Papua
Utara
Jayapura
Nabire
Wamena
Kalimantan Timur
Sumber: Aprianti (2005:52)

5. Manfaat
Penyelamatan
Bahasa Nusantara

Bahasa-

Bahasa merupakan keunikan yang


diberikan Tuhan kepada manusia karena
hanya manusia yang memiliki kemampuan
berbahasa. Dengan bahasa, manusia
mengkomunikasikan gagasan, tindakan,
dan
karyanya
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, tidak keliru

apabila
Koentjaraningrat
(1985:203)
memasukkan bahasa sebagai salah satu
aspek kebudayaan bagi semua bangsa di
dunia. Singkatnya, bahasa merupakan
aspek utama dalam kehidupan manusia.
Selain sebagai alat menyampaikan
gagasan, bahasa juga digunakan sebagai
alat penyimpan kekayaan alat intelektual
dan
penyampai
sejarah,
seperti
pengetahuan tentang cara mengelola
lingkungan,
cara
bertahan
hidup,
pengobatan, perbintangan, dan lain-lain.
Ilmu-ilmu
tersebut
secara
sinkronis
ditularkan di dalam komunitas dan secara
diakronis ditularkan kepada keturunan
mereka.
Singkatnya, dapat dikatakan
bahwa bahasa merupakan kapsul ilmu.
Bagi Bangsa Indonesia keanekaragaman
bahasa
nusantara
pantas
untuk
dipertahankan. Hal itu karena bahasa
memiliki
berbagai
kegunaan
bagi
kehidupan bangsa Indonesia di masa kini
dan masa depan. Hal ini beralasan karena
dalam setiap bahasa yang dimiliki setiap
suku di Indonesia terdapat beraneka ragam
ilmu sesuai dengan lokasi di mana bahasabahasa tersebut tumbuh dan hidup.
6. Simpulan
Fakta
mengenai
kondisi
geologis
Indonesia yang rawan bencana, jumlah
penutur yang kebanyakan berkategori
sedikit, serta lokasi daerah rawan bencana
yang hampir meliputi seluruh wilayah
Indonesia memberikan gambaran tentang
ancaman kelangsungan hidup bahasabahasa di Indonesia. Dapat dikatakan
bahwa bencana alam menjadi salah satu
penyebab kepunahan bahasa yang tidak
dapat diperdebatkan lagi. Gambaran
tersebut selayaknya menjadi rambu-rambu
bagi para linguis untuk melakukan langkahlangkah strategis dalam penyelamatan
bahasa di daerah yang sangat rentan
dengan bencana geologis. Hal tersebut
penting dilakukan karena bahasa adalah
kapsul kekayaan intelektual lokal yang
berguna untuk memecahkan permasalahan
kehidupan masyarakat pada masa kini dan
masa mendatang.
Daftar Pustaka
[1] Aprianti, Yenti. 2005. Hidup Harmonis
dengan Gempa Bumi dan Tsunami

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

dalam Bencana Gempa dan Tsunami


(Nanggroe Aceh Darussalam dan
Sumatera Utara), Cahanar, P. (ed.).
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
[2] Crystal, David. 2000. Language Death.
Cambridge: Cambridge.
[3] Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
[4] Pribadi, Dody Wisnu. 2005. Penduduk
Kota Calang Tersisa 30 Persen dalam
Bencana
Gempa
dan
Tsunami
(Nanggroe Aceh Darussalam dan
Sumatera Utara), Cahanar, P. (ed.).
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

[10] Roach, John. 2006. Lost Kingdom


discovered on Volcanic Island in
Indonesia dalam National Geogaphic
News.http://news.nationalgeographic.c
om/news/2006/02/0227_060227_lost_k
ingdom.html. Diakses tanggal 10
Agustus 2006.
[11] USGS. 2006. Understanding Plate
Motion.
http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/under
standing.html/. Diakses tanggal 10
Agustus 2006.
1

Kata bahasa terintegrasi dengan kata budaya


karena bahasa dan kebudayaan merupakan
dua sisi mata uang yang berbeda, tetapi tidak
dapat dipisahkan.

Istilah bahasa nusantara digunakan dalam


tulisan ini dengan tujuan mereduksi makna
subordinasi yang tersirat dalam istilah bahasa
daerah. Jadi, ada kesamaan derajat antara
bahasa nasional dan bahasa daerah. Selain itu,
istilah ini dianggap dapat menggambarkan
keanekaragaman yang terintegrasi: Binneka
Tunggal Ika. Perlu dicatat pula bahwa konsep
bahasa bertumpangtindihan dengan dialek.
Jadi, tidak ada pembedaan antara bahasa dan
dialek dalam tulisan ini.

Krauss (1992:6) dalam Skutnabb-Kangas


(2000:34)
mencatat
bahwa
Indonesia
memiliki 670 bahasa dan Papua New Guinea
memiliki 850 bahasa. Perlu dicatat pula
bahwa konsep bahasa yang digunakan oleh
buku Ethnologue bertumpang tindih dengan
konsep dialek.

Tabel 1 dibuat berdasarkan data Ethnologue


versi tercetak (2001).

Perhitungan jumlah penduduk mengikuti


aturan yang dibuat oleh Gunnemark dalam
Skutnabb-Kangas (2000:45).

[5] Grimes, Berbara F. (ed.), 2001.


Ethnologue:Languages of The World
(fourth Eds.), Jakarta:SIL International.
[6]

Skutnabb-Kangas,
Tove.
2000.
Linguistic Genocide in Educationor
Worldwide Diversity and Human
Rights?
New
Jersey:
Lawrance
Erlbaum Associates.

Internet:
[7] Grimes, Berbara F. (ed.), 2006.
Ethnologue:Languages of The World
(fourth
Eds./On
Line
Edition),
http://www.ethnologue.com/show_map.
asp?name=World&seq=10. Diakses 14
Agustus 2006.

[8]

Owen, James. 2005. Tsunami


Rebuilding Could Deforest Sumatra,
Green Groups Say dalam National
Geographic
News.
http://news.nationalgeographic.com/ne
ws/2005/04/0426_050426_indonesia.ht
ml. Diakses tanggal 14 Agustus 2006.

[9] Pacific
Ring
of
Fire.
http://www.crystalinks.com/rof.html.
Diakses tanggal 14 Agustus 2006.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA IRASIONAL PADA ANAK


Dr Widodo Judarwanto SpA
Rumah Sakit Bunda Jakarta
email : wido25@hotmail.com

1. Pendahuluan
Penderita yang sering berobat di Indonesia
bila berobat di luar negeri (terutama di negara
maju) sering khawatir, karena bila sakit jarang
diberi antibiotika. Sebaliknya pasien yang
sering berobat di luar negeri juga sering
khawatir bila berobat di Indonesia, setiap
sakit selalu mendapatkan antibiotika. Hal ini
bukan sekedar pameo belaka. Tampaknya
banyak fakta yang mengatakan bahwa
memang di Indonesia, dokter lebih gampang
memberikan antibiotika.
Penggunaan antibiotika irasional atau
berlebihan pada anak tampaknya memang
semakin
meningkat
dan
semakin
mengkawatirkan. Penggunaan berlebihan
atau
penggunaan
irasional
artinya
penggunaan tidak benar, tidak tepat dan tidak
sesuai
dengan
indikasi
penyakitnya.
Sebenarnya permasalahan ini dahulu juga
dihadapi oleh negara maju seperti Amerika
Serikat. Menurut penelitian
US National
Ambulatory Medical Care Survey pada tahun
1989, setiap tahun sekitar 84% setiap tahun
setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil
lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak
usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka
tersebut menurut perhitungan banyak ahli
sebenarnya sudah cukup mencemaskan.
Dalam tahun yang sama, juga ditemukan
resistensi kuman yang cukup tinggi karena
pemakaian antibiotika berlebihan tersebut.
Di Indonesia belum ada data resmi tentang
pengguanaan antibiotika ini. Sehingga
banyak pihak saat ini tidak terlalu peduli
dengan masalah ini. Berdasarkan tingkat
pendidikan dan pengetahuan masyarakat
serta fakta yang ditemui sehari-hari,
tampaknya
penggunaan
antibiotika
di
Indonesia baik jauh lebih banyak dan lebih
mencemaskan.
2. Bahaya Penggunaan Antibiotika pada
Anak
Sebenarnya penggunaan antibiotika secara
benar dan sesuai indikasi memang harus
diberikan. Meskipun terdapat pertimbangan

bahaya efek samping dan mahalnya biaya.


Tetapi
menjadi
masalah
yang
mengkawatirkan,
bila
penggunaannnya
berlebihan. Banyak kerugian yang terjadi bila
pemberian antibiotika berlebihan tersebut
tidak dikendalikan secara cepat dan tuntas.
Kerugian yang dihadapi adalah meningkatnya
resistensi terhadap bakteri. Belum lagi
perilaku
tersebut
berpotensi
untuk
meningkatkan
biaya
berobat.
Seperti
diketahui bahwa harga obat antibiotika
merupakan bagian terbesar dari biaya
pengobatan.
Efek samping yang sering terjadi pada
penggunaan antibiotika adalah gangguan
beberapa organ tubuh. Apalagi bila diberikan
kepada bayi dan anak-anak, karena sistem
tubuh dan fungsi organ pada bayi dan anakanak masih belum tumbuh sempurna. Apalagi
anak beresiko paling sering mendapatkan
antibiotika, karena lebih sering sakit akibat
daya tahan tubuh lebih rentan. Bila dalam
setahun anak mengalami 9 kali sakit, maka 9
kali 7 hari atau 64 hari anak mendapatkan
antibiotika. Gangguan organ tubuh yang bisa
terjadi adalah gangguan saluran cerna,
gangguan ginjal, gangguan fungsi hati,
gangguan sumsum tulang, gangguan darah
dan sebagainya. Akibat lainnya adalah reaksi
alergi karena obat. Gangguan tersebut mulai
dari yang ringan seperti ruam, gatal sampai
dengan yang berat seperti pembengkakan
bibir atau kelopak mata, sesak, hingga dapat
mengancam jiwa (reaksi anafilaksis).
Pemakaian antibiotika berlebihan atau
irasional juga dapat membunuh kuman yang
baik dan berguna yang ada didalam tubuh
kita. Sehingga tempat yang semula ditempati
oleh bakteri baik ini akan diisi oleh bakteri
jahat atau oleh Namur atau disebut
"superinfection". Pemberian antibiotika yang
berlebihan akan menyebabkan bakteri-bakteri
yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan
menjadi kuman yang resisten atau disebut
superbugs.
Jadi jenis bakteri yang awalnya dapat
diobati dengan mudah dengan Antibiotika
yang ringan, apabila antibiotikanya digunakan
dengan irasional, maka bakteri tersebut
mutasi dan menjadi kebal, sehingga

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

memerlukan jenis antibiotika yang lebih kuat.


Bila bakteri ini menyebar ke lingkungan
sekitar, lama kelamaan, apabila pemakaian
antibiotika yang irasional ini terus berlanjut,
maka suatu saat akan tercipta kondisi dimana
tidak ada lagi jenis antibiotika yang dapat
membunuh bakteri yang terus menerus
bermutasi ini. Hal ini akan membuat kembali
ke zaman sebelum antibitica ditemukan.
Pada zaman tersebut infeksi yang diakibatkan
oleh bakteri tidak dapat diobati sehingga
angka kematian akan drastis melonjak naik.
Hal lain yang mungkin terjadi nantinya
kebutuhan pemberian antibiotika dengan
generasi lebih berat, dan menjadikan biaya
pengobatan semakin meningkat karena
semakin harganya mahal.
3. Indikasi Pemakaian Antibiotika
Indikasi yang tepat dan benar dalam
penggunaan antibiotika pada anak adalah bila
penyebab infeksi tersebut adalah bakteri.
Menurut CDC (Centers for Disease Control
and
Prevention)
indikasi
pemberian
antibiotika adalah bila batuk dan pilek
berkelanjutan selama lebih 10 14 hari.yang
terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada
malam hari dan pagi hari). Batuk malam dan
pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi
atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak
perlu antibiotika Indikasi lain bila terdapat
gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti
panas > 39 C dengan cairan hidung purulen,
nyeri, pembengkakan sekitar mata dan wajah.
Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk
kasus
ini
cukup
dengan
pemberian
Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate.
Bila dalam 2 3 hari membaik pengobatan
dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah
keluhan membaik atau biasanya selama 10
14 hari.
Bila batuk dan pilek yang berkelanjutan
yang terjadi hanya pada malam hari dan pagi
hari (bukan sepanjang hari) biasanya
berkaitan dengan alergi atau bukan lagi
dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika
Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi
sinusitis akut yang berat seperti panas > 39
C dengan cairan hidung purulen, nyeri,
bengkak di sekitar mata dan wajah. Pilihan
pertama pengobatan antibiotika untuk kasus
ini cukup dengan pemberian Amoxicillin,
Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2
3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan
selama 7 hari setelah keluhan membaik atau
biasanya selama 10 14 hari. Indikasi
lainnya adalah radang tenggorokan karena

infeksi kuman streptokokus. Penyakit ini pada


umumnya menyerang anak berusia 7 tahun
atau lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya
15% yang mengalami radang tenggorokan
karena kuman ini. Bila sakit batuk dan pilek
timbul sepanjang hari (bukan hanya malam
dan pagi hari) lebih dari 10-14 hari disertai
cairan hidung mukopurulen (kuning atau
hijau). Untuk mengetahui apakah ada infeksi
bakteri biasanya dengan melakukan kultur
yang membutuhkan beberapa hari untuk
observasi. Apabila dicurigai adanya infeksi
saluran kemih, dilakukan pemeriksaan
sample urin dan kemudian di lakukan
pemeriksaan kultur di rumah sakit. Setelah
beberapa hari akan ketahuan bila ada infeksi
bakteri berikut jenisnya dan sensitivitas
terhadap jenis obatnya.
Penyakit
yang
lain
yang
harus
mendapatkan antibiotika adalah infeksi
saluran kemih dan penyakit tifus Untuk
mengetahui apakah ada infeksi bakteri
biasanya dengan melakukan kultur darah
atau urine. Apabila dicurigai adanya infeksi
saluran kemih, dilakukan pemeriksaan kulut
urine. Setelah beberapa hari akan diketahui
bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan
sensitivitas terhadap antibiotika. Untuk
mengetahui penyakit tifus harus dilakukan
pemeriksaan darah Widal dan kultur darah
gal. Anak usia di bawah 5 tahun yang
mengalami infeksi virus sering mengalami
overdiagnosis penyakit Tifus. Sering terjadi
kesalahan persepsi dalam pembacaan hasil
laboratorium.
Infeksi
virus
dengan
peningkatan sedkit pemeriksaan nilai widal
sudah divonis gejala tifus dan dihantam
dengan antibiotika.
Sebagian besar kasus penyakit infeksi pada
anak penyebabnya adalah virus. Dengan kata
lain seharusnya kemungkinan penggunaan
antibiotika yang benar tidak besar atau
mungkin hanya sekitar 10 15% penderita
anak. Penyakit virus adalah penyakit yang
termasuk self limiting disease atau penyakit
yang sembuh sendiri dalam waktu 5 7 hari.
Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk,
pilek dan panas penyebabnya adalah virus.
Secara umum setiap anak akan mengalami 2
hingga 9 kali penyakit saluran napas karena
virus. Sebaiknya jangan terlalu mudah
mendiagnosis (overdiagnosis) sinusitis pada
anak. Bila tidak terdapat komplikasi lainnya
secara alamiah pilek, batuk dan pengeluaran
cairan hidung akan menetap paling lama
sampai 14 hari setelah gejala lainnya
membaik. Sebuah penelitian terhadap gejala
pada 139 anak penderita pilek(flu) karena

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

virus didapatkan bahwa pemberian antibiotik


pada kelompok kontrol tidak memperbaiki
cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika
tidak efektif mengobati Infeksi saluran napas
Atas dan tidak mencegah infeksi bakteri
tumpangan. Sebagian besar infeksi Saluran
napas Atas termasuk sinus paranasalis
sangat jarana sekali terjadi komplikasi bakteri.
4. Siapa yang Bertanggungjawab
Dalam
permasalahan
penggunaan
antibiotika yang berlebihan ini, pihak
manakah yang bertanggung jawab untuk
mengatasinya. Permasalahan ini tidak
sesederhana seperti yang kita lihat. Banyak
pihak yang berperanan dan terlibat dalam
penggunaan antibiotika berlebihan ini. Pihak
yang terlibat mulai dari penderita (orang tua
penderita), dokter, rumah sakit, apotik, sales
representatif, perusahaan farmasi dan pabrik
obat.
Bila penggunaan antibiotika berlebihan
lebih dikarenakan faktor dokter, maka orang
tua sebagai penerima jasa dokter dalam
keadaan posisi yang sulit. Tetapi orang tua
penderita sebagai pihak pasien mempunyai
hak untuk mendapatkan informasi sejelasjelasnya
rencana
pengobatan,
tujuan
pengobatan dan akibat efek samping
pengobatan tersebut Kalau perlu orang tua
sedikit berdiskusi dengan cara bukan
menggurui untuk peluang apakah boleh tidak
diberi antibiotika.
Dilain pihak, orangtua juga sering sebagai
faktor terjadinya penggunaan antibiotika yang
berlebihan. Pendapat umum yang tidak benar
terus berkembang,
bahwa kalau tidak
memakai antibiotika maka penyakitnya akan
lama sembuhnya Tidak jarang penggunaan
antibitika adalah permintaan dari orang tua.
Yang lebih mengkawatirkan saat ini beberapa
orang tua dengan tanpa beban membeli
sendiri
antibitika
tersebut
tanpa
pertimbangan
dokter.
Antibiotika
yang
merupakan golongan obat terbatas, obat
yang harus diresepkan oleh dokter. Tetapi
runyamnya ternyata obat antibiotika tersebut
mudah didapatkan di apotik atau di toko obat
meskipun tanpa resep dokter.
Persoalan menjadi lebih rumit karena
ternyata bisnis perdagangan antibiotika
sangat
menggiurkan.
Pabrik
obat,
perusahaan
farmasi,
medical
sales
representative dan apotik
sebagai pihak
penyedia
obat
mempunyai
banyak
kepentingan. Antibiotika merupakan bisnis
utama mereka, sehingga banyak strategi dan

cara dilakukan. Dokter sebagai penentu


penggunaan antibiotika ini, harus lebih bijak
dan harus lebih mempertimbangkan latar
belakang ke ilmiuannya. Sesuai sumpah
dokter yang pernah diucapkan, apapun
pertimbangan pengobatan semuanya adalah
demi
kepentingan
penderita,
bukan
keperntingan
lainnya.
Peningkatan
pengetahuan dan kemampuan secara berkala
dan berkelanjutan dokter juga ikut berperanan
dalam mengurangi perilaku penggunaan
antibitika yang berlebihan ini.
Departemen Kesehatan (Depkes), Balai
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM),
Ikatan dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Rumah
Sakit Indonesia (PERSI) dan beberapa intitusi
terkait lainnya harus bekerjasama dalam
penanganannya. Pendidikan tentang bahaya
dan indikasi pemakaian antibiotika yang
benar terhadap masyarakat harus terus
dilakukan melalui berbagai media yang ada.
Penertiban penjualan obat antibiotika oleh
apotik dan lebih khusus lagi toko obat harus
terus dilakukan tanpa henti. Organisasi
profesi kedokteran harus terus berupaya
mengevaluasi dan melakukan pemantauan
lebih ketat tentang perilaku penggunaan
antibitika yang berlebihan ini terhadap
anggotanya. Kalau perlu secara berkala
dilakukan penelitian secara menyeluruh
terhadap penggunaan antibitioka yang
berlebihan ini. Sebaiknya praktek dan strategi
promosi obat antibiotika yang tidak sehat juga
harus menjadi perhatian. Bukan malah
dimanfaatkan untuk kepentingan dokter,
meskipun hanya demi kepentingan kegiatan
ilmiah. PERSI sebagai wadah organisasi
rumah sakit, juga berwenang memberikan
pengawasan kepada anggotanya untuk terus
melakukan evaluasi yang ketat terhadap
formularium obat yang digunakan.
Di Amerika Serikat, karena upaya
kampanye dan pendidikan terus menerus
terhadap masyarakat dan dokter ternyata
dapat menurunkan penggunaan antibiotika
secara drastis. Proporsi anak usia 0 4
tahun
yang
mendapatkan
antibiotika
menuirun dari 47,9% tahun 1996 menjadi
38,1% tahun 2000. Jumlah rata-rata
antibitika yang diresepkan menurun, dari
47.9 1.42 peresepan per anak tahun 1996
menjadi 0.78 peresepan per anak tahun 2000.
Rata-rata pengeluaran biaya juga dapat
ditekan cukup banyak, padfa tahun 1996
sebesar $31.45 US menjadi $21.04 per anak
tahun 2000.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Rekomendasi dan kampanye penyuluhan


ke orangtua dan dokter yang telah dilakukan
oleh kerjasama CDC (Centers for Disease
Control and Prevention) dan AAP (American
Academy
of
Pediatrics)
memberikan
pengertian yang benar tentang penggunaan
antibiotika. Pilek, panas dan batuk adalah
gejala dari Infeksi Pernapasan Atas yang
disebabkan virus. Perubahan warna dahak
dan ingus berubah menjadi kental kuning,
berlendir dan kehijauan adalah merupakan
perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas Atas
karena virus, bukan merupaklan indikasi
antibiotika. Pemberian antibiotika tidak akan
memperpendek perjalanan penyakit dan
mencegah infeksi tumpangan bakteri
Upaya ini seharusnya menjadi contoh yang
baik terhadap intitusi yang berwenang di
Indonesia dalam mengatasi permasalahan
penggunaan antibiotika ini. Melihat rumitnya
permasalahan pemberian antibiotika yang
irasinol di Indonesia tampaknya sangat sulit
dipecahkan. Tetapi kita harus yakin dengan
kemauan keras, niat yang tulus dan
keterlibatan
semua
pihak
maka
permasalahan ini akan dapat terpecahkan.
Jangan sampai terjadi, kita semua baru
tersadar saat masalah sudah dalam keadaan
yang sangat serus.

Daftar Pustaka
[1] Rosenstein N, Phillips WR, Gerber MA,
Marcy SM, Schwartz B, Dowell SF. The
common cold-principles of judicious
use.Pediatrics 1998;101:181-184.
[2] Monto AS, Ullman BM. Acute respiratory
illness in an American community. JAMA
1974;227:164-169.
[3] Wald ER. Purulent nasal discharge.
Pediatric Infect Dis J1991;10:329-333.
[4] Centers for Disease Control and
Prevention. Get smart: know when
antibiotics
work.
Web
site:
http://www.cdc.gov/drugresistance/comm
unity/. Accessed Oct. 2004.
[5] Mainous AG III, Hueston WJ, Davis MP,
et al. Trends in antimicrobial prescribing
for bronchitis and upper respiratory
infections among adults and children. Am
J Public Health 2003 Nov; 93(11):1910-4.

[6] Perz JF, Craig AS, Coffey CS, et al.


Changes in antibiotic prescribing for
children after a communitywide campaign.
JAMA 2002; 287:3101-9.
[7] Schwartz B, Bell DM, Hughes JM.
Preventing
the
emergence
of
antimicrobial resistance. A call to action
by clinicians, public health officials, and
patients. JAMA.1997; 278 :944 945.
[8] US Interagency Task Force. A Public
Health
Action
Plan
to
Combat
Antimicrobial Resistance. Bethesda, MD:
US Interagency Task Force; 2001
[9] Finkelstein JA, Metlay J, Davis RL, Rifas
S, Dowell SF, Platt R. Antimicrobial use in
defined populations of infants and young
children. Arch Pediatr Adolesc Med.2000;
154 :395 400.
[10] Nyquist AC, Gonzales R, Steiner JF,
Sande MA. Antibiotic prescribing of
children with colds, upper respiratory tract
infections, and bronchitis. JAMA.1998;
279 :875 877.
[11] Nash DR, Harman J, Wald ER, Kelleher
KJ. Antibiotic prescribing by primary care
physicians for children with upper
respiratory tract infections. Arch Pediatr
Adolesc Med.2002; 156 :1114 1119.
[12]Koopman LP, Smit HA, Heijnen M-LA, et
al. Respiratory infections in infants:
interaction of parental allergy, child care,
and
siblingsthe
PIAMA
Study.
Pediatrics.2001; 108 :943 948
[13]Barden LS, Dowell SF, Schwartz B,
Lackey C. Current attitudes regarding use
of antimicrobial agents: results from
physicians and parents focus groups.
Clin Pediatr.1998; 37 :665 671.
[14] Mangione-Smith R, McGlynn EA, Elliott
M. Parental expectations for antibiotic,
physician-parent communication, and
satisfaction.
Arch
Pediatr
Adolesc
Med.2001; 155 :800 806.
[15] Mangione-Smith R, McGlynn EA, Elliott
MN, Krogstad P, Brook RH. The
relationship between perceived parental
expectations
and
pediatrician
antimicrobial
prescribing
behavior.
Pediatrics.1999; 103 :711 718.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

[16] Takata GS, Chan LS, Shekelle P, Morton


SC, Mason W, Marcy SM. Evidence
assessment of management of acute
otitis media: I. The role of antibiotics in
treatment of uncomplicated acute otitis
media. Pediatrics.2001; 108 :239 247.
[17] Oannidis JPA, Lau J Technical report:
evidence for the diagnosis and treatment
of acute uncomplicated sinusitis in
children:
a
systematic
overview.
Pediatrics.2001; 108(3) .
[18] van Buchem FL, Peeters MF, vant Hof
MA. Acute otitis media: a new treatment
strategy. BMJ.1985; 290 :1033 1037

[19] Paradise JL. On classifying otitis media


as suppurative or non-suppurative, with a
suggested
clinical
schema.
J
Pediatr.1987; 111 :948 951.
[20] Brien KL, Dowell SF, Schwartz B, Marcy
SM, Phillips WR, Gerber MA. Cough
illness/bronchitisprinciples of judicious
use
of
antimicrobial
agents.
Pediatrics.1998; 101(suppl) :178 181.
[21] American
Academy
of
Pediatrics,
Subcommittee on Management of
Sinusitis and Committee on Quality
Improvement. Clinical practice guideline:
management of sinusitis. Pediatrics.2001;
108 :798 808.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Sisi Lain Dari TI Hiroshima 2006: Refleksi Dibalik Angka


Sakdullah Abdulkadir
University of the Ryukyus, Okinawa
E-mail: sakdu@yahoo.com
Temu Ilmiah (TI) Persatuan Pelajar
Indonesia di Jepang (PPI-J) yang ke-15 telah
berlangsung dengan sukses pada 5 Agustus
2006 di Hiroshima, tepatnya di kampus
Hiroshima University, Higashi Hiroshima-shi.
Perhelatan akbar satu tahunan ini dihadiri
lebih dari 100 peserta, bukan hanya mereka
yang masih berstatus pelajar (tingkat master
dan doktoral), tetapi juga dihadiri oleh kaum
intelektual lainnya yang telah bekerja di
beberapa lembaga di Jepang, baik yang
berprofesi sebagai pengajar ataupun peneliti
di universitas maupun yang bekerja pada
perusahaan-perusahaan di Jepang. Melihat
latar belakang peserta yang beragam dari
berbagai disiplin ilmu dan datang dari
berbagai universitas di Jepang, setidaknya ini
bisa menjadi indikator perlunya sebuah
wahana pertemuan ilmiah bagi komunitas
intelektual
Indonesia
semacam
TI.
Katakanlah ada semacam obat rindu bagi
para ilmuwan muda kita ini untuk bisa saling
mengetahui,
menjajagi,
dan/atau
memberikan informasi terkini dari bidang
keilmuan yang selama ini digeluti.
Jika menilik jumlah peserta dan paper yang
masuk, dapatlah dikatakan TI Hiroshima 2006
berlangsung sukses. Paling tidak tercatat 87
peserta sebagai pemakalah dengan 104
paper, dan belum termasuk mereka yang
hanya hadir sebagai peserta biasa. Namun
bila kita menengok data jumlah pelajar
Indonsesia di seluruh Jepang, maka kita
masih patut kecewa dengan tampilan peserta
yang mencapai sedikit lebih dari 100 orang
tersebut. Dengan mengambil data jumlah
pelajar
dari
Bagian
Pendidikan
dan
Kebudayaan KBRI Tokyo, dan ditambah
sekitar 300-400 orang yang tidak terdata
(sebagaimana yang ditaksir oleh PPI Jepang),
maka jumlah total pelajar Indonesia di Jepang
diperkirakan sekitar 1300 orang. Jadi, baru
sekitar 10 persen pelajar kita yang ikut
berpartisipasi dalam TI ini
Tentu ini agak ironis jika melihat komposisi
pelajar kita di Jepang yang didominasi oleh
mereka yang menempuh jenjang pendidikan
master dan doktor (dengan kontribusi masingmasing 27,33 % dan 42,16 %), dan hanya

15,25 % yang menempuh pendidikan tingkat


S1 (undergraduate). Pasalnya, pertemuan
ilmiah
semacam
TI
mestinya
bisa
mengundang gairah ilmuwan-ilmuwan muda
kita
untuk
beramai-ramai
hadir
mempresentasikan hasil-hasil riset mutakhir
yang telah ditekuninya selama ini. Setidaknya,
pergaulan ilmiah sesama anak negeri dalam
TI ini diharapkan mampu merangsang dan
menumbuhkan iklim keilmiahan dan kompetisi
positip dalam dunia riset diantara mereka
pada saat ini, dan lebih-lebih setelah kembali
di tanah air.
Lebih
mengherankan
lagi,
ternyata
mahasiswa-mahasiswa kita dari daerahdaerah konsentrasi pelajar dan yang berasal
dari universitas-universitas terkenal di Jepang
nyaris tidak menampakkan diri. Sebagai
contoh, dari 200-an mahasiswa kita yang
sedang menimba ilmu di Tokyo (tidak
termasuk Chiba, Ibaraki, Saitama dan
Kanagawa), tercatat hanya 14 orang sebagai
pemakalah, atau hanya sekitar 7 % dari
jumlah mahasiswa kita yang ada di kota
Tokyo.
Itupun 8 pemakalah diantaranya
datang dari institusi tunggal, Tokyo University
of Agriculture and Technology (TUAT), dan
sisanya 2 pemakalah masing-masing berasal
dari Tokyo Institute of Technology dan Tokyo
University of Marine Science and Technology,
serta 1 pemakalah dari Tokyo Metropolitan
University dan 1 pemakalah lainnya tanpa
menyebutkan afiliasinya. Dan diluar dugaan,
tak satupun pemakalah yang hadir dengan
membawa
bendera
Tokyo
University.
Padahal di universitas top ini diperkirakan ada
40-50 mahasiswa kita.
Bagaimanapun juga, jumlah pemakalah
terbanyak adalah berasal dari tuan rumah
sendiri, sebanyak 14 pemakalah atau 16,1 %.
Kemudian disusul oleh TUAT (8 pemakalah),
dan jumlah pemakalah yang sama banyak,
yaitu 7 orang, datang dari Chiba University,
Kobe University dan Okayama University.
Perlu dicatat, meskipun letak Kobe dari
Hiroshima hanya dipisahkan oleh Okayama,
namun jumlah pemakalahnya masih bisa
dikatakan belum sepadan dengan jumlah
mahasiswa kita yang belajar di Kobe, yaitu

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

sekitar 50 orang.
Kondisi yang tidak jauh
berbeda juga bisa dilihat dari partisipasi
mahasiswa kita yang sedang belajar di
Fukuoka. Dari sekitar 40-50 pelajar kita yang
ada di Fukuoka, hanya 4 orang yang tercatat
sebagai pemakalah.
Sedangkan dari
Toyohashi University of Technology, yang
letaknya dari Hiroshima dipisahkan oleh 5
prefecture, setidaknya ada 5 orang sebagai
pemakalah,. Jumlah yang lumayan banyak
juga berasal dari Nara Institue of Science and
Technology sebanyak 4 pemakalah dan dari
Ibaraki University sebanyak 4 orang.
Sementara 1-2 pemakalah lainnya tersebar
datang dari Yamaguchi, Kanazawa, Keio,
Tottori, Ehime, Gifu, Nagoya, Chukyo dan
Ritsumeiken Asian Pacific University (Oita),
serta dari Saga dan Kawasaki Medical School,
dan Japan Advanced Institute of Science and
Technology (JAIST). Adapun 2 pemakalah
lainnya berasal dari lembaga non-universitas,
NTT dan KY Research Institute. Dan, tidak
ada satupun pemakalah yang datang dari
daerah Tohoku dan Hokkaido

Satu hal lagi, dua distrik yang juga dikenal


sebagai daerah kantung pelajar Indonesia di
Jepang yaitu Kyoto dan Osaka, yang
lokasinya dari arena TI hanya dipisahkan oleh
Okayama dan Hyogo, ternyata tak satupun
ada yang tercatat dari universitas-universitas
di kedua daerah tersebut sebagai pemakalah.
Terlebih lagi bagi Kyoto, karena di kota inilah
akan digelar TI ke-16 pada 2007 yang akan
datang.
Dari gambaran-gambaran di atas tampak
bahwa TI PPI-J yang diselengarakan setiap
tahunnya ini belum mampu menjadi magnit
yang mampu menyedot kehadiran ilmuwanilmuwan muda Indonesia di seluruh Jepang.
Relatif rendahnya partisipasi mereka dalam TI
setidaknya perlu menjadi perhatian kita
bersama, terutama bagi para pengurus PPI-J,
baik pusat, korda maupun komisariat, untuk
kembali memikirkan bersama guna mencari
format yang paling tepat agar TI ini mampu
menjadi wahana kita bersama, warga PPI-J,
dalam mengartikulasikan diri secara optimal
untuk saling berbagi informasi tentang
kemajuan riset dan ilmu pengetahuan yang
digelutinya selama ini. Dan juga tak kalah
pentingnya, bagaimana agar TI ini mampu
menelorkan
sumbangan-sumbangan
pemikiran bagi kemajuan pendidikan dan ilmu
pengetahuan di tanah air. Sampai ketemu di
TI 2007 Kyoto.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Ramai-Ramai Membantu Yogya


Oleh: Tim Inovasi (Contact Person: Ilham Maulana)
E-mail: il_maulana@yahoo.com
Hari itu keadaan biasa saja, masyarakat masih memusatkan perhatiannya pada sang
Merapi yang sesekali masih menguap mengeluarkan asapnya. Masyarakat di
Yogyakarta yang bertempat tinggal jauh dari Merapi seperti halnya Bantul,
menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Namun dalam beberapa detik, pemandangan
berubah menjadi amat mengerikan. Bumi bergerak seakan menggeliat,
mengahancurkan satu persatu bangunan yang berdiri di atasnya. Tawa riang berubah
menjadi teriakan yang mencekam, seorang ibu hanya melihat tak percaya seluruh
keluarganya termasuk bayinya hilang di dalam reruntuhan rumahnya yang hancur.
Sementara di sisi lain seorang anak meraung-raung karena ditinggal ibunya entah
kemana. Ribuan jiwa melayang, menyisakan deraian air mata. Ribuan lainnya menjadi
papa. Yang tersisa hanya luka, kepedihan dan derita berkepanjangan. Indonesia
menangis untuk kesekian kalinya.

1. Bencana dan Kesiapan Pemerintah


Bencana alam memang datang silih
berganti di negara yang kita cintai ini. Setelah
Aceh diterjang tsunami, berbagai gempa juga
terjadi di daerah yang lain. Belum lagi
bencana longsor, kekeringan dan banjir
bandang. Bencana yang cukup besar adalah
kejadian gempa tektonik berkekuatan 5,9
pada skala richter yang terpusat di
Yogyakarta tanggal 27 Mei lalu, yang
menelan korban hingga 6.500 orang. Pada
saat Yogyakarta memasuki fase pembangunan kembali, kita pun dikejutkan dengan
gempa dan tsunami di pantai selatan Jawa
Barat dan Jawa Tengah pada hari senin 17
Juli 2006. Ratusan orang tewas dan puluhan
lainnya hilang dalam sekejap
Hati bangsa inipun tergerak. Semua orang,
seperti halnya pada saat tsunami Aceh
tergerak untuk membantu. Bantuan mengalir
dari berbagai pihak, dalam dan luar negeri.
Beratus orang relawan berdatangan untuk
membantu
korban.
Sejumlah
elemen
masyarakat menghimpun dana untuk korban
gempa. Berbagai organisasi mahasiswa
langsung turun tangan mendirikan posko
perduli bencana gempa bumi Yogyakarta.
Presiden bahkan harus menginap di
Yogyakarta selama 2 hari untuk mengawasi
penanganan pasca bencana.
Peristiwa gempa Yogyakarta dan Tsunami
di Pangandaran juga kembali menghiasi
berbagai
mass
media
Internasional.
Gaungnya mencapai gedung terhormat
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menye-

rukan komunitas Internasional untuk segera


memberikan bantuan kemanusiaan. Para
pemimpin dunia juga ikut menyatakan
keprihatinannya atas musibah yang melanda
bangsa Indonesia
Namun kejadian yang sama seperti yang
selalu terjadi kembali terulang di Yogyakarta
dan Pangandaran. Manajemen koordinasi
bencana selalu menjadi momok yang paling
menakutkan bagi para korban. Lambannya
pemerintah dalam penanganan bencana
benar-benar dirasakan oleh korban. Sehari
setelah bencana gempa belum semua korban
yang selamat memperoleh bantuan makanan.
Bahkan beberapa hari setelah kejadian,
tenda-tenda darurat yang seharusnya sudah
terpasang di daerah bencana, hanya terlihat
di sebahagian kecil lokasi. Penduduk yang
selamat dan mengungsi ke tempat yang
aman kembali menyanyikan lagu lama,
kekurangan makan-an dan obat-obatan.
Sementara korban yang meninggal terus
bertambah.
Kesiapan pemerintah dalam penanganan
pasca bencana memang belum memadai.
Posko-posko bantuan yang berdiri sehari
setelah gempa, hanya mampu melayani
sebahagian kecil korban. Pemerintah daerah
juga tidak mempunyai dana yang cukup untuk
membantu para korban. Ditambah lagi
dengan buruknya pendistribusian di lapangan,
sehingga banyak bantuan hanya menumpuk
di daerah yang dekat dengan kecamatan atau
di dekat jalan utama. Alam seakan belum
cukup mengajari bangsa ini untuk belajar
menangani bencana. Bangsa ini selalu

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

mengulang kesalahan yang sama berulang


kali. Bahkan masih ada yang sibuk dengan
terminologi untuk menentukan apakah ini
bencana nasional atau lokal.
2. Kesetiakawanan Nasional
Ada suatu hal yang menarik untuk
dicermati di balik ruwetnya berbagai
penanganan
bencana dan penyaluran
bantuan di tanah air. Respon seketika dari
seluruh masyarakat, tanpa memandang suku,
agama, status sosial dan afiliasi politik untuk
bahu membahu bekerja sama, adalah suatu
pemandangan yang sudah sangat jarang
dijumpai di Indonesia, terutama untuk suatu
kegiatan berskala nasional. Namun suasana
seperti inilah yang tanpa kita sadari tumbuh
kembali pasca Tsunami di Aceh dan Gempa
Yogya, dua bencana besar yang melanda
negeri ini.
Di sepanjang jalan besar, baik di Jakarta
maupun di kota-kota lain di seluruh Indonesia,
tampak mahasiswa, pelajar dan masyarakat
umum mengedarkan kotak amal untuk korban
gempa Yogya. Masyarakatpun tanpaknya
tidak merasa terganggu dan secara suka
rela mengulurkan tangannya untuk mengisi
kotak yang diedarkan tersebut.
Sebagai salah satu contoh adalah
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) Cabang Jember, Ikatan Mahasiswa
Klaten (Imakla), Keluarga Mahasiswa Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) Unej, Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indoneia (KAMMI) dan sejumlah
elemen lainnya bahkan mendirikan posko di
berbagai tempat strategis selama satu
minggu.
Solidaritaspun tidak hanya dimonopoli
kalangan mahasiswa. Perhimpunan Bank
Umum Nasional (Perbanas) sebagaimana
disampaikan anggota pengurus Perbanas,
Winny Hasan kepada Tempo, Minggu (28/5),
berhasil mengumpulkan dana lebih dari 4
milyar, satu hari setelah gempa di Yogyakarta.
Jumlah ini belum dari semua anggota. Kami
masih menunggu konfirmasi dari bank-bank
lain, termasuk BNI," ungkap Winny. PT Bank
Negara Indonesia Tbk menurut Winny
mengalokasikan Rp 2 miliar untuk bantuan ke
Yogyakarta
Pemerintah daerah di seluruh Indonesia
bahu membahu menggalang bantuan untuk di
salurkan ke Yogyakarta. Di Banda Aceh,
daerah yang masih belum pulih pasca
tsunami, Pemda Aceh, menurut harian
Serambi Indonesia (27/5) membantu korban

Gempa Jogya senilai Rp 1,25 miliar. Bantuan


tidak hanya datang dari masyarakat setempat,
tetapi juga dari warga Aceh di luar negeri.
Media setempat melukiskan kesungguhan
warga yang menyumbang dengan motto:
watte tsunami ureng Yogya dibantu geutanyo,
jino geutanyo wajib ta tulong korban geumpa
Yogya.(waktu tsunami orang di Yogya telah
membantu kita, sekarang saatnya kita wajib
membantu korban gempa di Yogya)
Selain di dalam negeri, bencana alam
gempa bumi di Yogyakarta juga mendapat
perhatian cukup besar dan simpati dari
berbagai kalangan di dunia.
Menurut informasi dari KBRI Ottawa,
Kanada, sepekan setelah kejadian ini KBRI
Ottawa masih sibuk melayani permintaan
wawancara di televisi setempat, seperti CBC
TV (Canadian Broadcasting Corporation) dan
CBC Radio, Global TV, CFRA News Talk
Radio. Selain dari rekening khusus KBRI,
dari kalangan masyarakat Indoensia di
Kanada, penggalangan dana antara lain
dilakukan oleh komunitas WNI di Propinsi
Quebec serta Perhimpunan Indonesia
Kanada (ICC) yang berpusat di Ottawa.
Di luar negeri, dompet Yogya perduli bukan
hanya monopli KBRI. Persatuan Pelajar
Indonesia di berbagai negara juga terlibat
aktif dalam penggalangan bantuan untuk
saudara-saudara di Yogya.
PPI Oxford, mengadakan malam dana
yang bertajuk malam kultur Spirit of
Indonesia. Hasil yang diperoleh dari kegiatan
ini disalurkan melalui program ESQ perduli
gempa bekerja sama dengan ESQ Indonesia.
Persatuan Pelajar Indonesia Jepang, di
bawah koordinasi Komite Aceh yang pada
perjalanannya juga menangani berbagai
bencana lain di tanah air, menyalurkan dana
bantuan yang di dapat dari komsat bekerja
sama
dengan
PKPU
dalam
rangka
rehabilitasi sekolah dasar.
PPI Osaka-Nara mengadakan kegiatan
pemutaran film Indonesia di berbagai tempat
di wilayah Osaka-Nara dalam rangka
mengumpulkan bantuan untuk membangun
sekolah dasar di Yogya. Dari target sebesar 3
juta yen, sampai saat ini PPI Osaka-Nara
telah berhasil mengumpulkan dana sebesar
900 ribu yen.
Di
Kobe,
dengan
menggandeng
International Student Center Kobe University,
mahasiswa Indonesia di Kobe mengadakan
berbagai
kegiatan,
mengumpulkan
sumbangan di tempat strategis, mengadakan
bazar makanan Indonesia dan charity event,
yang mendapat liputan luas dari media

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

Jepang. Kegiatan charity bahkan mendapat


lebih dari satu kali liputan pada televisi
Jepang.
Menurut ketua Forum perduli Jogya yang
dibentuk dengan masa kerja selama 6 bulan,
Teguh Sasongko, kegiatan ini berhasil
mengumpulkan uang tunai lebih dari 800 ribu
yen. Demikian juga dengan anak asuh yang
di tawarkan semuanya berhasil memperoleh
orang tua asuh. Program orang tua asuh
masih tetap berlanjut dan dipertahankan
keberadaan, dan untuk selanjutnya akan
dikoordinir oleh PPI Kobe, kata Teguh.
Forum Masyarakan Indonesia (FORMASI)
di Nagoya, mengadakan konser amal di
Nagoya dan seluruh hasilnya disumbangkan
untuk Yogya.
Kegiatan
pengumpulan
dana
juga
dilakukan oleh PPI Hirosima dan berbagai
Komsat PPI lainnya yang ada di Jepang. Para
mahasiswa melupakan sejenak aktivitas
rutinnya,
menyusun
dan
menjalankan
berbagai kegiatan dalam rangka membantu
masyarakat
Yogyakarta
yang
terkena
bencana.
3. Potensi Nasional
Dalam dua tahun terakhir negeri ini
memang dirundung berbagai bencana. Baik
itu yang berasal dari alam, maupun akibat
ulah manusia. Namun bencana pulalah yang
telah membuka mata kita bahwa bangsa ini
masih memiliki energi sosial yang positif yang
bernama rasa kesetiakawanan nasional.
Energi ini hendaknya mampu dimanfaatkan
oleh pemerintah saat ini, bukan hanya untuk
penanggulangan bencana, namun juga untuk
berpartisipasi dalam penyembuhan bangsa
secara luas.
Kebersamaan inilah yang telah mampu kita
tunjukkan pada masa lalu pada saat kita
harus bersama-sama melawan penjajahan
meskipun hanya bersenjatakan bambu
runcing. Rasa kebersamaan ini pula yang
muncul pada tanggal 28 Oktober 78 tahun
lalu yang kerap kita peringati sebagai hari
sumpah pemuda. Rasa kebersamaan dan
kesetiakawanan bangsa ini adalah energi
besar yang akan mampu membawa
Indonesia untuk lepas dari krisis yang
berkepanjangan.
Akan tetapi rasa kesetiakawanan dan
semangat kebersamaan ini akan segera
luntur manakala masyarakat menyaksikan
sikap segelintir orang yang akhirnya
berselingkuh
terhadap
rakyat
dengan

menyalahgunakan kepercayaan yang mereka


berikan untuk menahkodai bangsa ini.
Rasa
kesetiakawanan
tentu
saja
memerlukan lingkungan sosial yang tepat
untuk tumbuh. Rasa ini tidak akan tumbuh
jika pemegang kekuasaan masih larut dengan
budaya korupsi, sementara disisi lain,
masyarakat kecil bahkan harus berbuat
kejahatan demi memenuhi hajat hidup
mereka.
Lihat saja bagaimana pedagang kaki lima
yang terpaksa mengorbankan hak orang lain
manakala mereka terpaksa menggunakan
trotoar jalan untuk mencari nafkah, meskipun
harus melanggar peraturan. Keberadaan
mereka akan tetap ada selama tidak
memperoleh lahan lain untuk mencari
pekerjaaan dan masih ada oknum yang
mengutip restribusi yang melegalkan mereka
demi kepentingan pribadi dan golongan.
Bagaimana pula dengan puluhan bahkan
mungkin ratusan anak bangsa yang
berpotensi dan memiliki kemampuan tinggi
harus terlempar dari kampung halaman dan
negerinya sendiri, terpaksa harus mencari
makan di negara-negara maju, yang siap
menampung mereka sebagai tenaga yang
murah dan siap pakai?. Mereka terpaksa
meninggalkan rasa kesetiakawanan dan
nasionalisme mereka karena merasa tidak
memperolah tempat di negaranya dan
terpaksa bekerja di negara lain yang
menghargai prestasinya.
Karena itu, harus ada perubahan besar
dalam kerangka berpikir yang disertai dengan
politik kebijakan. Kebijakan dalam menata
bangsa ini dengan semangat keikhlasan,
kerja keras dan professional, hendaknya tidak
lagi berupa slogan yang tertulis besar di
berbagai kantor pemerintahan
Data terbaru dari penduduk miskin yang
dikeluarkan oleh BPPS, yaitu jumlah
penduduk miskin Indonesia pada bulan Maret
sebanyak 39,05 juta jiwa atau 17,75% dari
total penduduk (222 juta jiwa), bertambah
3,95 juta jiwa dari data pada Februari 2005.
Ini merupakan beban besar bagi pemerintah
yang harus segera diselesaikan sebelum
menjadi bom waktu kelak.
Kebijakan pemerintah yang jujur dan
memihak kepada rakyat niscaya akan mampu
menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk
bersatu padu sebagaimana yang dilakukan
oleh pendahulu kita pada masa perjuangan
kemerdekaan. Sebaliknya kebijakan yang
bersifat charity, menempatkan rakyat sebagai
objek bukan subjek tanpa mengubah pola
pikir hanya akan membuat bangsa ini menjadi

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006

keledai yang terperosok pada lubang yang


sama.
Dalam konteks bencana, jangan sampai
kebijakan birokasi bantuan menyebabkan
korban dibiarkan mati kelaparan. Penyaluran
bantuan pasca bencana maupun masa
rekonstruksi harus di lakukan secara
transparan dan tidak dicemari oleh budaya
korupsi kolektif.
Ini adalah momentum yang baik bagi
bangsa ini untuk belajar kepada rakyatnya
apa arti kesetiakawanan yang sesungguhnya.
Spontanitas membantu korban bencana
adalah wujud nyata rasa cinta kepada tanah
air. Turut merasakan penderitaan orang lain
sebagai anak bangsa adalah hakikat dari
persatuan. Kita merasa satu dalam suka dan
duka sebagai bangsa.

Apa yang tidak kita miliki sebagai suatu


bangsa yang besar?. Kita punya kekayaan
alam yang berlimpah. Kita memiliki ribuan
pulau, laut, hutan dan tanah yang subur. Kita
punya anak bangsa yang bahkan mampu
menjadi juara dunia olimpiade fisika. Kita juga
punya ribuan ahli, ilmuan dan 222 juta
penduduk. Tapi kita masih gagal memanfaatkan segala potensi yang ada. Penyakit
terjadi di segala bidang. Bangsa ini tumbuh
secara kronis, digerogoti oleh penyakit
menular yang bernama korupsi. Akhirnya
seperti kata pepatah lama; ayam mati di
lumbung padi.
Hanya dengan kemauan yang kuat,
responsibility dan good awareness, kita dapat
bekerja sama memanfaatkan segala potensi
bangsa yang ada untuk membangun sebuah
negara yang bernama Republlik Indonesia.
MERDEKA!
17 Agustus 2006.
Kecerdasan untuk Inovasi

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.2/XVI/November 2004

Dr. Arif Satria :


INOVASI bisa menjadi miniatur majalah NATURE

Tokoh yang satu ini memang bukan


wajah baru bagi aktivis dan anggota
Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang.
Dosen
Departemen
Sosial
Ekonomi
Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB ini menyelesaikan studi
Doktornya pada Kagoshima University,
Kagoshima pada dekade 7 Oktober 2002
sampai dengan 29 April 2006. Selain sebagai
anggota PPI dan mahasiswa doktor yang
berpotensi, Arif adalah mantan ketua PPI
Kagoshima dan Pemimpin Redaksi pertama
majalah INOVASI.
Lahir di Pekalongan 17 september tiga
puluh lima tahun yang silam, Arif memulai
pendidikan tingginya sebagai mahasiswa
pada jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Institut Pertanian Bogor. Gelar master
diraihnya di Institut yang sama pada jurusan
Sosiologi Pedesaan pada tahun 1999.
Selanjutnya
pada
tahun
2002
Arif
melanjutkan pendidikan doktornya pada
Marine Policy Kagoshima University, Jepang.
Bidang
perketuaan
menurut
Arif
dirintisnya secara tidak sengaja. Sejak Arif
muda memasuki bangku sekolah, ia sudah
terbiasa dipercayakan pada posisi ketua oleh
teman-temannya
yang
melihat
bakat
kepemimpinan pada diri Arif. Mulai dari ketua
OSIS Sekolah Menengah pertama, Ketua
Pramuka, Ketua MPK OSIS Sekolah
Menengah Atas dan Ketua Pelajar Islam
Indonesia Kodya Pekalongan. Semasa
menjadi Mahasiswa di IPB Arif juga menjabat
sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam
Indonesia dan Presidium Senat Mahasiswa
IPB. Pengalaman sebagai aktivis sangat
membantu pekerjaan saya sebagai dosen,
kata Arif. Paling tidak dalam formulasi dan
memperjuangkan sebuah gagasan Hal lain
adalah dunia aktifis mendorong kita untuk
tidak memikirkan diri sendiri, tapi sebaliknya
membiasakan kita untuk senantiasa perduli
terhadap lingkungan sekitar.
Dunia organisasi pulalah Arif yang yang
mempertemukan
Arif
dengan
Retna
Widayawati yang kemudian dinikahinya dan
dikaruniai satu orang anak. Dulu sewaktu di
IPB, saya pernah menjabat National Director
of International Association of Agricultural
Student (IAAS) Indonesia. Kebetulan beliau
adalah bendahara saya yang sangat hebat,
cantik, berkarakter, punya inner-beauty, tak

kenal lelah, dan committed pada tugastugasnya. Hampir setiap hari ketemu, dan
cocok. Disamping memang ada factor
eksternal yakni peran teman-teman saya
yang sengaja ingin menjodohkan saya
dengan beliau, kenang Arif mengenai sang
istri tercinta yang disuntingnya 7 September
1997 yang silam.
Ayah dari Zafran Akhmadery Arif yang
sekarang duduk kelas 2 SD Bina Insani Bogor
ini dalam kesehariannya dikenal sangat kritis.
Baik semasa berprofesi sebagai mahasiswa,
pimpinan organisasi, dosen maupun dalam
kapasitasnya
sebagai
Kepala
Divisi
Pemberdayaan Masyarakat pesisir, Pusat
Kajian Masyarakat pesisir dan Lautan
(PKSPL IPB). Kritik-kritiknya tajam dan keras
serta
senantiasa
berpihak
kepada
masyarakat kecil. Ia pun dikenal sebagai
seorang yang sungguh bersahaja dalam
hidup sehari-harinya.
Sebagai mantan aktivis dan sekarang
menjadi birokrat di lingkungan Universitas,
Arif turut prihatin akan berbagai bencana
yang terjadi di tanah air dan penanganannya,
termasuk gempa Yogya-Jateng yang terjadi
dan telah menewaskan lebih dari 4000 jiwa,
meruntuhkan ribuan rumah, dan sejumlah
kerugian psikologis lainnya, seperti perasaan
traumatik yang begitu menghantui para
korban. Saya yang berada di Klaten saat
terjadi gempa, setelah merasakan dan
mengamati
gempa
tersebut,
bisa
menyimpulkan bahwa masyarakat kita
memang tidak disiapkan untuk menghadapi
bencana. Masyarakat tidak tahu langkahlangkah yang harus dilakukan begitu terjadi
gempa. Begitu pula aparat pemerintah dan
kepolisian. Hal ini karena memang tidak ada
sistem yang disiapkan untuk menghadapi
bencana. Padahal bencana Aceh sudah
setahun berlalu. kata Arif kecewa.
Arif melihat, setelah empat jam gempa
terjadi, ribuan orang dari arah Yogya menuju
Klaten dengan penuh kepanikan dan
berteriak-teriak bahwa tsunami datang.
Serentak seluruh warga di pedesaan sekitar
Klaten bersiap-siap meninggalkan desa. Ada
yang sudah berkumpul di atas truk, dan ada
pula yang bergerombol di jalan menunggu
mobil kosong. Namun isu tsunami ini telah
mendorong terjadinya perampokan di desadesa di Klaten. Murid-murid yang sedang

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.2/XVI/November 2004

mengikuti ujian SD, dijemput paksa oleh


orang tuanya dengan alasan tsunami datang.
Ini semua terjadi akibat tidak adanya sistem
informasi bencana yang efektif. Polisi-polisi di
jalan meski mengetahui bahwa tidak terjadi
tsunami ternyata tidak bereaksi menetralisasi
isu yang berkembang di masyarakat, dan
membiarkan ribuan orang panik di jalan-jalan.
Dan, kantor-kantor desa juga tak difungsikan
untuk menangkal isu-isu liar tersebut.
Ia berharap, dengan belajar dari
bencana-bencana ini, pemerintah Indonesia
mesti mulai sadar bahwa tanah air kita
memang rawan bencana, dan karena itu
mestinya pula menyadari pentingnya mitigasi
bencana alam, khususnya gempa. Dari mulai
sistem
deteksi
dini
yang
memang
mengandalkan riset, sistem informasi darurat,
manajemen rehabilitasi pasca gempa, serta
penyuluhan gempa. Saat ini mitigasi bencana
yang disiapkan pemerintah masih bertumpu
pada bencana gunung berapi. Gambaran
model mitigasi bencana gempa ala jepang
nampaknya perlu diperhatikan, dan beberapa
hal patut ditiru khususnya dalam menyiapkan
perangkat sistem informasi serta penyuluhan
gempa. Dan, tentu kesiapan kita dalam
mengantisipasi gempa tersebut akan dapat
membantu memperkecil jumlah dan besaran
korban.
Merintis INOVASI
Sewaktu masih berstatus mahasiswa
Doktor pada Kagoshima University, Arif Satria
perrtama kali ditawari sebagai Pemred oleh
Candra Dermawan (Ketua PPI Jepang waktu
itu). Saat itu ia merasa kurang percaya diri,
dan sempat bertanya pada dirinya sendiri:
apa saya mampu? Tapi karena terus didesak
akhirnya ia menerima amanah tersebut yang
sekaligus merupakan tantangan baginya agar
bisa membuat sejarah di PPI Jepang.
Dengan catatan, bahwa ia tidak diberi
amanah untuk menerbitkan edisi cetak.
Menurut
Arif,
edisi
cetak
terlalu
complicated dan nggak mungkin dikerjakan
dengan baik dengan status redaksi sebagai
mahasiswa saat itu. Mengawali INOVASI
gampang-gampang susah, kenang Arif.
Awalnya memang tim redaksi kesulitan
mencari penulis sehingga mereka coba door
to door untuk memenuhi jumlah artikel.
Alhamdulillah mulai edisi kedua sudah mulai
banyak tulisan yang masuk dan selanjutnya
relative lancar tanpa harus capek menagih
tulisan orang. Juga saat menentukan topik
utama memang agak susah karena biasanya

tiap orang punya preferensi masing-masing


sesuai dengan minat dan bidang keahliannya.
Tentu saya sangat bahagia karena hasil jerih
payak kami dulu dapat berbuah melalui terus
eksisnya INOVASI secara regular dengan
jumlah pembaca yang makin meningkat,
format makin menarik, tulisan makin
berkualitas, kata Arif bangga. Memang
semula sulit dibayangkan, bahwa INOVASI
bisa dikendalikannya dari Kagoshima dengan
para redaktur yang tersebar di Kyoto, Tokyo,
Hiroshima, dan Kobe tanpa pernah ketemu
sebelumnya. Semua proses komunikasi dan
diskusi dilakukan melalu email. Alhamdulillah
di tengah kesibukan studi semua itu bisa
dilakukan dengan lancar. Ini adalah buah dari
hasil kerja tim, sehingga saya harus berterima
kasih kepada tim kerja waktu itu.
Sebagai mantan perintis sekaligus
pemimpin redaksi INOVASI, Arif merasa
sangat bangga sekali dengan semangat dan
kerja tim INOVASI yang sekarang.. Bahkan
dalam berbagai diskusianya dengan Dr. Haris
Syahbuddin (mantan Pemred Inovasi) Arif
yakin bahwa Inovasi bisa menjadi miniatur
majalah NATURE nantinya. Orientasinya
tetap pada informasi dan kajian IPTEK yang
dilihat dari berbagai perspektif: sosial,
ekonomi, politik, maupun kacamata hardsciences itu sendiri. Seiring perbaikan
kualitas, menjaga kontinuitas juga penting.
Menurutnya, banyak majalah kolaps karena
tak sanggup menjaga kontinuitas. Kuncinya
terletak pada kaderisasi pengelola serta
hubungan yang baik dengan para pembaca
dan penulis. Oleh karena itu redaktur saat ini
mesti menyiapkan paling tidak dua generasi
lagi agar proses regenerasi benar-benar
terjamin.

Menekuni ekologi-politik untuk kelautan


dan perikanan
Meski disibukkan dengan berbagai
aktivitasnya dan kesibukannya menulis,
peraih gelar pelajar teladan I tk SLTP se
Kodya pekalongan dan pelajar teladan I tk
SLTA se Kab Pekalongan masih tetap
mempertahankan idealisme sebagai peneliti.
Sepulangnya dari Jepang, Arif tidak larut
dengan
rutinitas
pekerjaannya
dan
mengabaikan tugasnya sebagai peneliti. Ia
sekarang sangat serius dalam menekuni
ekologi-politik untuk kelautan dan perikanan
yang merupakan bidang relatif baru.
Tapi Arif punya alasan. Selama ini
persoalan kelautan dan perikanan sering

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.2/XVI/November 2004

tereduksi hanya sebatas isu-isu teknis.


Padahal banyak isu-isu non-teknis yang
penting dicermati, khususnya yang berkaitan
dengan relasi kekuasaan antara negara,
pasar, dan masyarakat. Ada ketimpangan hak
dalam
akses
pemanfaatan
maupun
pengelolaan sumberdaya antar mereka, yang
tentu
pada
akhirnya
berujung
pada
marjinalisasi masyarakat atau kaum nelayan.
Hal menarik lainnya adalah bagaimana
pengaruh sains dan pengetahuan lokal
terhadap kebijakan perikanan dan kelautan.
Selama ini sains yang positivistik sangatlah
dominan dalam mempengaruhi kebijakan
perikanan
dan
kelautan,
sementara
pengetahuan lokal milik nelayan tradisional
seringkali diabaikan. Politik pengetahuan dan
kaitannya
dengan
formulasi
kebijakan
sumberdaya juga menjadi salah satu kajian
dalam ekologi-politik. Disinilah menjadi
wilayah pendekatan pasca-strukturalis.
Meskipun begitu, sebagaimana halnya
para alumnus luar negeri lainnya, ada sedikit
masalah yang dialaminya ketika pulang ke
tanah air. Idealisme untuk pengembangan
riset-riset unggulan belum bisa sepenuhnya
terwujud. Kesempatan baca jurnal berkurang.
Memang saat ini ia sibuk memenuhi
undangan pembicara di seminar-seminar dan
serta menjadi konsultan. Namun demikian, ia
masih meyempatkan diri untuk menulis di
koran. Arif berharap masa-masa seperti ini
berlangsung tidak lama, sehingga ia bisa
kembali memikirkan hal-hal yang strategis
yang terkait dengan riset. Untuk sementara,
Arif coba berbesar hati menganggap masamasa sekarang adalah masa reorientasi
baginya.
Buku dan upaya membuat sejarah
Kesederhanaan,
kejujuran
dan
keteladanannya
membuat
apa
yang
dikatakannya menjadi lebih bernilai dan
berbobot serta rasa kebenarannya menjadi
sangat nyata. Menurut Airf, orang tuanyalah
yang menyiapkan dirinya agar suatu saat
kelak ia harus mampu menulis. Orang
tuanyalah, menurut Arif yang menekankan ia
agar boleh berprofesi sebagai apa saja, tapi
kemampuan menulis tetap harus dimiliki.
Ketika kelas 3 SD ayahnya memberikannya
mesin ketik agar ia tiap hari bisa mengetik
apa saja.
Selain menulis, orang tua Arif juga
mendidiknya untuk menjadi atlet. Pertamakali
ia diarahkan untuk jadi atlet renang. Namun
pelatih renang bilang bahwa ia tidak bakat

renang karena persoalan napas yang pendek.


Kemudian orang tuanya membawa Arif ke
klub bulutangkis saat kelas 4 SD. Akhirnya
Arif berlatih di klub dan menjuarai beberapa
turnamen, seperti Porseni SD, HUT PBSI,
serta POR Seni SMP. Namun karena ia harus
memakai kacamata saat duduk di kelas 3
SMP, akhinya ia berhenti berambisi menjadi
atlet. Bulutangkis sekedar hiburan dan olah
raga saja. Padahal beberapa teman se
klubnya saat ini sudah bisa masuk pelatnas
dan masuk dalam jajaran elit dunia. Tapi
lumayanlah, bekal latihan di SD tetap masih
berbuah saat ini.paling tidak tiga kali juara di
Olimpiade PPI Kyushu dan ditakuti anak-anak
Fukuoka, kata Arif
Salah satu obsesi yang ingin dicapainya
adalah membuat buku teks berbahasa Inggris
yang berpengaruh bagi proses pendidikan
dan penelitian di bidang kelautan dan
perikanan. Saat ini, Arif telah pengarang
berbagai
buku;
Dinamika
Modernisasi
perikanan: Formasi Sosial dan Mobilitas
Nelayan (Humaniora Press, 2001), Pengantar
Sosiologi Masyarakat Pesisir (Cidesindo,
2002), Menuju desentralisasi kelautan
(Cidesindo, 2002) (ketua tim penulis), Acuan
Singkat
Desentralisasi
pengelolaan
Sumberdaya perikanan(Cidesindo, 2002)
(ketua tim penulis) dan Fishers knowledge in
fisheries Science (UNESCO, 2006) (book
chapter). Namun ia mengaku baru bisa
menghasilkan buku teks berbahasa Indonesia.
Membuat buku teks, bagi penulis yang
buah karyanya tersebar di berbagai media
lokal, nasional maupun internasional, antara
lain di Gatra, Kompas, Republika, Koran
Tempo, Suara Pembaruan, Sinar Harapan
dan Forum Keadilan, merupakan bagian dari
suatu upaya merubah sejarah. Arif ingin
buku-buku tersebut masih terus bermanfaat
bagi kemaslahatan umat, karena itulah
bentuk amal sholeh yang bisa ia lakukan, dan
tetap bermanfaat bagi kehidupannya di
akhirat nanti.
Tekadnya dalam menghasilkan karyanya
didukung oleh falsafah hidup yang diyakini
oleh Arif. Saya masih memegang prinsip
bahwa tugas kita adalah sebagai khalifah di
muka bumi yang tugasnya membawa rahmat
bagi seluruh alam. Karena itu kita
menjalankan fungsi sebagai pembuat sejarah.
Sejarah terjadi karena ada karya berupa
perubahan. Sehingga dimana pun saya ingin
terus membuat sejarah, sekecil apapun
sejarah yang saya buat. Inipun makin kuat
dengan adanya kata-kata seorang filsuf
bahwa kebodohan dan keterbelakangan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

INOVASI Vol.2/XVI/November 2004

bukan semata karena buta huruf tapi karena


ketidakmampuan kita untuk terlibat dalam
proses sejarah, kata pria yang merasa tidak
punya potongan sebagai politisi ini.
***
Meskipun sudah meninggalkan negeri
Sakura dan kembali berkiprah di tanah air,
Arif belum bisa begitu saja meninggalkan
kenangannya selama berada di Jepang.
Bahkan ia masih sedikit menyesali karena
hingga saat ini hanya memiliki kemampuan
pas-pasan dalam berbahasa Jepang. Karena
itu Dr. Arif Satria berpesan kepada seluruh
anggota PPI Jepang agar memanfatkan
keberadaannya di sini untuk mempelajari
bahasa Jepang dan mengenali kehidupan
masyarakat Jepang. Saya menyesal karena
hingga saat ini hanya pas-pasan berbahasa
jepang. Padahal itu modal yang sangat
penting bagi kita untuk menimba ilmu lebih
banyak dari sini, kata penggemar lagu-lagu
Ebiet G Ade ini menutup wawancaranya.
(ihm-Inovasi)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

Anda mungkin juga menyukai