Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

MANAJEMEN KRISIS HIPERTENSI

Oleh:
Friska Kusumaningtyas G99141052
Dian Fikri Rachmawan G99141053

Pembimbing

dr. Agung Susanto, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R AK AR TA
2014

HALAMAN PENGESAHAN
Makalah Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

MANAJEMEN KRISIS HIPERTENSI

Oleh:
Friska Kusumaningtyas
Dian Fikri Rachmawan

G99141052
G99141053

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

dr. Agung Susanto, Sp.PD


BAB I
PENDAHULUAN

Krisis hipertensi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan kenaikan tekanan darah
yang sangat tinggi > 180/120 mmHg dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi
kelainan organ target.1,2 Menurut The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VIII) krisis hipertensi ini dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi emergensi (hipertensi gawat darurat) dan hipertensi
urgensi (hipertensi darurat).3
Di Indonesia, prevalensi terjadinya krisis hipertensi rata-rata 1-5% penduduk dewasa,
tergantung dari kesadaran pasien akan adanya hipertensi dan derajat kepatuhan minum obat.1
Sedangkan di Amerika, dari 65 juta orang dengan hipertensi hanya 38% - 44% yang
terkontrol. Kejadian krisis hipertensi kurang dari 1% dari individu dengan hipertensi.
Meskipun krisis hipertensi jarang terjadi, lebih dari 250.000 kunjungan gawat darurat pada
tahun 2005 atau sekitar 14% dikaitkan dengan hipertensi.2 Penelitian terbaru menemukan
76% dari krisis hipertensi termasuk hipertensi urgensi dan 24% dalam keadaan hipertensi
emergensi, yang mewakili seperempat dari semua urgensi medis. Krisis hipertensi lebih
banyak terjadi pada orang tua dan penduduk kulit hitam non hispanik. Laki-laki 2 kali lebih
sering dari pada perempuan.5
Membedakan golongan krisis hipertensi ini bukan hanya dari tingginya tekanan
darahnya saja, namun harus dilihat juga dari kerusakan organ sasaran. Kenaikan tekanan
darah yang sangat pada seorang penderita dipikirkan suatu keadaan emergensi bila terjadi
kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem saraf pusat, mata, miokardial, dan ginjal.
Hipertensi emergensi dan urgensi perlu dibedakan karena cara penanggulangan keduanya
berbeda. Gambaran kilnis krisis hipertensi berupa tekanan darah yang sangat tinggi
(umumnya rata-rata tekanan darah diastolik > 120 mmHg) dan menetap pada nilai-nilai yang
tinggi dan terjadi dalam waktu yang singkat dan menimbulkan keadaan klinis yang gawat. 4
Seberapa besar tekanan yang dapat menyebabkan krisis hipertensi tidak dapat dipastikan,
sebab hal ini juga bisa terjadi pada penderita yang sebelumnya nomortensi atau hipertensi
ringan/sedang. Walaupun telah banyak kemajuan dalam pengobatan hipertensi, namun para
kilinisi harus tetap waspada akan kejadian krisis hipertensi, sebab penderita yang jatuh dalam
keadaan ini dapat membahayakan jiwa bila tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat.
Pengobatan yang cepat dan tepat serta intensif lebih diutamakan dari pada prosedur
diagnostik karena sebagian besar komplikasi krisis hipertensi bersifat reversibel. Dalam
menanggulangi krisis hipertensi dengan obat anti hipertensi, diperlukan pemahaman
mengenai autoregulasi tekanan darah dan aliran darah, pengobatan yang selektif dan terarah
terhadap masalah medis yang menyertai, pengetahuan mengenai obat parenteral dan oral anti
3

hipertensi, variasi regimen pengobatan untuk mendapatkan hasil pengobatan yang memadai
dan efek samping yang minimal. Dalam makalah ini akan dibahas klasifikasi, aspek klinik,
prosedur diagnostik dan pengobatan krisis hipertensi.1,6,7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

ETIOLOGI
Pada individu yang sebelumnya normotensi atau hipertensi ringan/sedang,
pemakaian obat kokain, phencyclidine, amfetamin, kontrasepsi oral, linezolid, AINS,
monoamine oxidase (MAO) inhibitor dapat meningkatkan risiko krisis hipertensi.
Gejala withdrawal putus minum alkohol juga memicu krisis hipertensi. Berikut
bermacam-macam penyebab sekunder dari hipertensi yang dapat menyebabkan krisis
hipertensi:2,5
1.

Ketidakpatuhan minum obat

2.

Pengobatan suboptimal dari hipertensi esensial

3.

Penyakit renovaskular

4.

5.

6.

7.

a.

Stenosis arteri renalis: ateroma atau displasia fibromuskular

b.

Poliarteritis nodusa

c.

Arteritis takayasu

Penyakit parenkim ginjal


a.

Glomerulonefritis

b.

Tubulointerstitial nefritis

c.

Sistemik sklerosis

d.

Sindrom hemolitik uremik

e.

Trombotik trombositopeni purpura

f.

Sistemik Lupus Eritematosus

g.

Karsinoma sel renal

Endokrin
a.

Feokromositoma

b.

Sindroma cushing

c.

Hiperaldosteronisme primer

Obat-obatan
a.

Withdrowal obat antihipertensi (contoh: klonidin, -blocker)

b.

Kokain, fenciclidin, simpatomimetik, eritropoietin, siklosporin

c.

Amfetamin

d.

Keracunan timbal

e.

Interaksi dengan inhibitor monoamine oxidase

f.

Penarikan alkohol

Hiperaktivitas otonom
5

8.

9.

B.

a.

Guillan-Barre sindrom

b.

Porfiria intermiten akut

Sistem saraf pusat


a.

Cidera kepala

b.

Infark serebral

c.

Pendarahan otak

d.

Tumor otak

e.

Cidera tulang belakang

Terkait kehamilan
a.

Preeklamsia

b.

Eklamsia

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang mendasari terjadinya krisis hipertensi belum sepenuhnya
diketahui. Transisi dari hipertensi ringan atau normotensi menuju ke kejadian krisis
hipertensi disebabkan oleh peningkatan tekanan darah yang mendadak. Hal tersebut
dikaitkan dengan penghentian obat antihipertensi, konsumsi obat-obat terlarang, serta
beberapa sindrom klinis. Tekanan darah ditentukan oleh produk dari curah jantung dan
resistensi vaskular sistemik (BP = CO SVR). Dalam kebanyakan krisis hipertensi,
kenaikan awal tekanan darah disebabkan peningkatan resistensi vaskuler sistemik.
Kenaikan resistensi vaskuler sistemik diyakini disebabkan oleh vasokonstriktor
humoral. Dengan peningkatan tekanan darah, stres mekanik pada dinding arteriol
berakibat pada kerusakan endotel dan nekrosis fibrinoid dari arteriol. Dengan gangguan
integritas

endotel

pembuluh

darah

mengakibatkan

lesi

mikrovaskular

difus

berkembang. Nekrosis fibrinoid arteriol terlihat pada organ yang rentan dan dianggap
sebagai ciri histologis krisis hipertensi. Kerusakan vaskular tersebut menyebabkan
hilangnya mekanisme autoregulator, iskemia, dan kerusakan organ akut, yang
selanjutnya memicu terjadinya vasokonstriktor dan dimulai lagi mekanisme dari awal.4,7

Gambar
Gambar 1. Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi7
Tidak jelas apakah hipertensi saja menyebabkan pengembangan krisis hipertensi
atau apakah terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh. Sebagai contoh, peningkatan
resistensi pembuluh darah perifer hasil sebagian dari aktivasi sistem renin-angiotensinaldosteron. Bukti menunjukkan angiotensin II dapat langsung melukai dinding
pembuluh darah oleh aktivasi sitokin proinflamasi (interleukin 6) dan juga faktor nuklir
kB. Kondisi lain yang dapat menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah
perifer, adalah hiperviskositas, faktor imunologi, dan hormon lain seperti katekolamin,
vasopressin, dan endotelin.8,9,10

C.

GEJALA DAN TANDA KLINIS


Gejala dan tanda klinis krisis hipertensi merupakan gambaran kerusakan akut
endotel pembuluh darah yang menyebabkan kerusakan iskemik atau perdarahan.
Temuan klinis krisis hipertensi dapat terlihat melalui pemeriksaan fisik umum berupa
pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan khusus yang mencakup berbagai fungsi
organ seperti otak, mata, jantung, dan ginjal. Oleh karena itu, evaluasi riwayat klinis
dan pemeriksaan fisik harus mencakup sistem organ tersebut.10
Gejala dan tanda klinis umum pada krisis hipertensi:7
1.

Otak
a.

Sakit kepala
7

2.

3.

4.

D.

b.

Perubahan visual

c.

Perubahan status mental

d.

Kejang

e.

Mual

f.

Lateralisasi

Mata
a.

Penurunan visus

b.

Perdarahan pada konjungtiva

Kardiovaskular
a.

Nyeri dada

b.

Nyeri punggung

c.

Dyspneu

d.

Diseksi aorta

e.

Aritmia

Ginjal
a.

Oliguria

b.

Anuria

c.

Proteinuria

d.

Hematuria

e.

Silinder

f.

Gangguan elektrolit

KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi
tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah
dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi.6
1.

Anamnesa
Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting
ditanyakan:6
a.

Riwayat hipertensi: lama dan beratnya.

b.

Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.

c.

Usia: sering pada usia 40 60 tahun.

d.

Gejala sistem saraf: sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas.


8

e.

Gejala sistem ginjal: gross hematuri, jumlah urin berkurang.

f.

Gejala sistem kardiovaskular: adanya payah jantung, kongestif dan oedem


paru, nyeri dada.

2.

g.

Riwayat penyakit: glomerulonefritis, pyelonefritis.

h.

Riwayat kehamilan: tanda eklampsia.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tanda vital, khususnya
pengukuran tekanan darah dan mencari kerusakan organ sasaran, seperti
retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif, altadiseksi. Perlu
dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun
payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain
seperti penyakit jantung koroner.6

3.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara, yaitu:6
a.

Pemeriksaan yang segera seperti :

Darah: rutin, BUN, creatinin, elektrolik, KGD.

Urin: urinalisa dan kultur urin.

EKG: 12 Lead, melihat tanda iskemi.

Foto thoraks: apakah ada oedem paru (dapat ditunggu setelah


pengobatan terlaksana).

b.

Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan


yang pertama):

Sangkalan kelainan renal: IVP, renal angiography (kasus tertentu),


biopsi renal (kasus tertentu).

Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi: spinal tab,


CT Scan.

Bila disangsikan feokhromositoma: urin 24 jam untuk katekolamin,


metamefrin, venumandelic acid (VMA).

Dari anamnese dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dibedakan


hipertensi emergensi atau urgensi dan faktor-faktor yang mempresipitasi krisis
hipertensi. Kondisi klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis hipertensi, antara
lain:6

a.

Kenaikan tekanan darah tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis esensial


(tersering).

b.

Hipertensi renovaskular.

c.

Glomerulonefritis akut.

d.

Sindroma withdrawal anti hipertensi.

e.

Cedera kepala dan ruda paksa susunan saraf pusat.

f.

Renin-secretin tumors.

g.

Pemakaian prekusor katekolamin pada pasien yang mendapat MAO inhibitor.

h.

Penyakit parenkim ginjal.

i.

Pengaruh obat: kontrasepsi oral, anti depressant trisiklik, MAO inhibitor,


simpatomimetik (pil diet, sejenis amfetamin), kortikosteroid, NSAID, ergot alk.

j.

Luka bakar.

k.

Progresif sistematik sklerosis, SLE.


Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi

seperti:6
a.

Hipertensi berat

b.

Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.

c.

Ansietas dengan hipertensi labil.

d.

Oedema paru dengan payah jantung kiri.


Selanjutnya perlu dibedakan krisis hipertensi tersebut mengarah ke hipertensi

emergensi (hipertensi gawat darurat) atau hipertensi urgensi (hipertensi darurat).


Hipertensi emergensi (hipertensi gawat darurat) ditandai dengan tekanan darah >
200/130 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu
atau lebih penyakit/kondisi akut. Keterlambatan pengobatan akan menyebebabkan
timbulnya sequele atau kematian. Tekanan darah harus diturunkan sampai batas tertentu
dalam satu sampai beberapa jam. Tekanan darah harus diturunkan paling lambat 2 jam,
maksimal 25%. Kondisi-kondisi yang termasuk hipertensi emergensi adalah hipertensi
berat dengan disertai adanya:11
a.

Ensefalopati.

b.

Perdarahan intrakranial.

c.

Unstable angina pectoris, infark miokard akut.

d.

Disecting aortic aneurysm.

e.

Eklamsia.

f.

Gagal ginjal progresif.


10

g.

Trauma kepala.

h.

Luka bakar yang luas.


Hipertensi urgensi (hipertensi darurat) yaitu tekanan darah > 180/120 mmHg dan

dengan tanpa kerusakan atau komplikasi minimum dari organ sasaran. Tekanan darah
harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral.
Kondisi-kondisi yang termasuk hipertensi urgensi adalah hipertensi berat dengan
disertai adanya:11
a.

Hipertensi derajat 3 accelerated hypertension (KW III).

b.

Hipertensi berat perioperatif (memerlukan cito operasi).

c.

Feokromositoma dan withdrowal syndrom akibat penghentian obat hipertensi


mendadak.

E.

PENATALAKSANAAN
1.

Hipertensi emergensi (hipertensi gawat darurat)


Pada prinsipnya pengelolaan hipertensi emergensi adalah:10,11
a.

Tekanan darah biasanya > 200/130 mmHg.

b.

Penurunan tekanan darah sekitar 25%, paling lama 2 jam, usahakan tekanan
darah tidak menjadi kurang dari 160/100 mmHg.

c.

Pedoman tekanan darah tidak mutlak tergantung pula pertimbangan klinis.

d.

Penurunan tekanan darah secara cepat (kurang dari 2 jam) dapat


menyelamatkan target organ (otak, jantung, ginjal).

e.

Penderita gawat darurat hipertensi harus dikelola di rumah sakit.

f.

Bila ada keraguan harap menghubungi dokter jaga atau konsultan.

g.

Tekanan darah setelah diturunkan dijaga supaya tetap stabil paling sedikit
selama 24 jam (tensi paling lama diukur tiap 3 jam).

h.

Terapi hipertensi emergensi:

Furosemid 20-40 mg iv (1-2 ampul) kalau perlu tiap 6 jam.

Diberikan drip obat-obat anti hipertensi parenteral pilihannya:


o

Nikardipin injeksi 1 ampul diencerkan 50 cc diberikan 5 cc per


jam, dinaikkan bertahap sesuai respon.

Diltiazem injeksi dengan dosis (5-15 g/kgBB/menit)

11

Klonidin 0,150 mg (1 ampul) diencerkan dengan D5% sampai


10 cc, iv pelan-pelan (5-10 menit). Tekanan darah diukur tiap 10
menit (mencegah terlalu rendah). Bila selama 40 menit tekanan
darah diastol masih diatas 120 mmHg, pemberian klonidin
dapat diulang.

2.

Hipertensi urgensi (hipertensi darurat)


Pada prinsipnya pengelolaan hipertensi urgensi antara lain:10,11
a.

Pengelolaan harus terkendali (diastol 110 mmHg) dalam waktu 24 jam.

b.

Obat oral cukup kuat, namun bila perlu dapat dipakai furosemid 20 mg iv
sebagai terapi awal.

c.

Terapi hipertensi urgensi:

Nifedipin 10 mg. Kalau perlu dapat diulang tiap 3 jam.

Captopril 25-50 mg, dapat diulang tiap 6 jam dan dapat diberikan
dengan digerus sub lingual.

F.

Klonidin 0,150 mg dapat diberikan tiap jam sampai 3 kali.

PROGNOSE
Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita krisis
hipertensi hanyalah 20% dalam 1 tahun. Kematian disebabkan oleh uremia (19%),
gagal jantung kongestif (13%), serebrovascular accident (20%), gagal jantung
kongestif disertai uremia (48%), infark miokard (1%), dan diseksi aorta (1%).4,6,7
Prognose menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif dan
penaggulangan penderita gagal ginjal dengan analisis dan transplantasi ginjal.
Whitworth melaporkan dari penelitiannya sejak tahun 1980, survival dalam 1 tahun
berkisar 94% dan survival 5 tahun sebesar 75%. Tidak dijumpai hasil perbedaan
diantara retionopati KW III dan IV. Serum creatinin merupakan prognostik marker yang
paling baik dan dalam studinya didapatkan bahwa 85% dari penderita dengan creatinin
<300 umol/l memberikan hasil yang baik dibandingkan dengan penderita yang
mempunyai fungsi ginjal yang jelek, yaitu 9 %.6,10,11

12

BAB III
RINGKASAN
Hipertensi urgensi perlu dibedakan dengan hipertensi emergensi agar dapat memilih
pengobatan yang memadai bagi penderita.
Hipertensi emergensi disertai dengan kerusakan organ sasaran, sedangkan hipertensi
urgensi tanpa kerusakan organ sasaran/ kerusakan minimal. Pada kebanyakan penderita krisis
hipertensi, rata-rata tekanan darah diastolik > 120 mmHg.
Dalam memberikan terapi perlu diperhatikan beberapa faktor:
a.

Apakah penderita dengan hipertensi emergensi atau urgensi.

b.

Mekanisme kerja dan efek hemodinamik obat.

c.

Cepatnya tekanan darah diturunkan, tekanan darah yang diinginkan, dan lama kerja dari
obat.

d.

Autoguralsi dan perfusi dari vital organ (otak, jantung, dan ginjal) bila tekanan darah
diturunkan.

e.

Faktor klinis lain, seperti obat lain yang diberikan, status volum dll.

f.

Efek samping obat

g.

Besarnya penurunan tekanan umumnya kira-kira 25% dari MAP ataupun tidak lebih
rendah dari 160/100 mmHg.

h.

Pemakaian obat parenteral untuk hipertensi emergensi lebih aman karena tekanan dapat
diatur sesuai dengan keinginan, sedangkan dengan obat oral kemungkinan penurunan
tekanan darah melebihi yang diinginkan sehingga dapat terjadi hipoperfusi organ.

13

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1.

Roesma J. Krisis hipertensi. Dalam: Sudoyono AW, Setiyohadi B, Alwi I, K


Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi kelima. Jakarta: Interna
Publising. 2010. pp: 1103-1104.

2.

Hebert CJ, Vidt DG. Hypertensive crises. Elsevier, volume 35. 2008. 3: 475-487.

3.

Peterson ED. JNC-8 New Guideline: Finally let the controversies begin. Duke clinical
research institute. http://www.dcri.duke.edu/research/coi.jsp. Feb 2014.

4.

Kaplan NK. Hypertensive crises. In: Kaplasns clinical hypertension. 8th edtion.
Lipincott Williams & Wilkins. 2002. pp: 2273-2289.

5.

Chuda RR, Castillo SM, Poddutoori P. Hypertensive crises hospital medicine clinics
checklist. Elsevier, volume 3. 2014. 1: 111-127.

6.

Majid A. Klinis hipertensi aspek klinis pengobatan. USU Digital Library. 2004.

7.

Parrillo JE, Dellinger RP. Critical care medicine: Principles of diagnosis and
management in the adult. 4th edition. Elsevier Inc. 2014. pp: 585-593.

8.

Funakoshi Y, Ichiki T, Ito K. Induction if interleukin-6 expression by angiotensin II in


rat vascular smooth muscle cells. Hypertension. 2009. 34: 118-125.

9.

Muller DN, Dechend R, Mervaala EM. NF-kB inhibition ameliorates angiotensin IIinduced inflammatory damage in rats. Hypertension. 2010. 35: 193-201.

10.

Vincent JL, Abraham E, Moore FA, Kochanek PM, Fink MP. Textbook of critical care.
6th edition. Elsevier Inc. 2011. pp: 644-671.

11.

Hermawan AG, Arifin, Diding HP. Protap penatalaksanaan kegawatan HCU-Interna.


Surakarta: UNS Press. 2010. pp: 27-29.

14

15

Anda mungkin juga menyukai