A.
Pendahuluan
Bertitik tolak dari UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dimana masyarakat
bentuk
pengelolaan hutan oleh masyarakat adalah merupakan inti dari konsep Social Forestry yang
sekarang ini menjadi paradigma baru dalam pembangunan sektor kehutanan. Menindaklanjuti
hal itu oleh Pemerintah c.q Departemen Kehutanan pada bulan Juli 2003 dicanangkanlah
program Social Forestry sebagai upaya perbaikan kondisi hutan di Indonesia sekaligus dapat
meningkatkan kesejahterakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Inti dari program
Social Forestry adalah masyarakat terlibatkan aktif secara langsung dalam pengelolaan hutan
dengan tujuan masyarakat bisa sejahtera dan kondisi hutan bisa lebih baik.
Berdasarkan paradigma Social forestry tersebut maka keberhasilan pembangunan
kehutanan sangat ditentukan oleh sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dalam
berkontribusi terhadap upaya pengelolaan hutan dan kualitas sumberdaya manusia yang
mendukungnya. Dalam upaya pengembangan kualitas masyarakat khususnya yang bermukim
di dalam dan sekitar hutan agar maju dan mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan,
maka strategi pemberdayaan masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan mutlak
dilaksanakan.
Pada kenyatannya dilapangan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan
kehutanan masih lemah karena belum didukung oleh kelembagaan masyarakat yang kuat
antara lain pengetahuan dan ketrampilan yang rendah, sistem pengorganisasian yang belum
sempurna, kesulitan memperoleh modal dan akses pemasaran yang belum memadai. Padahal
aspek kelembagaan mempunyai peranan sangat besar bagi kesuksesan pembangunan hingga
dapat dikatakan bahwa kegagalan pembangunan umumnya dikarenakan lemahnya
kelembagaan yang ada termasuk sektor kehutanan.
Dalam rangka mewujudkan masyarakat mandiri sebagai pelaku pembangunan
kehutanan dimasa yang akan datang sebagaimana semangat dalam program Social Forestry
maka
hal
yang
sangat
urgen
dilakukan
adalah
membangun,
memperkuat
dan
Proses pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan upaya bagaiman masyarakat itu
dapat mengenal dan merefleksikan permasalahannya sendiri, potensi diri dan lingkungannya
serta memotivasi dalam mengembangkan potensi tersebut secara proporsional dengan
cara/metode partisipatif.
B.
pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia sudah dimulai sejak lama yang implementasinya
dalam bentuk penghijauan, reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis di berbagai Daerah Aliran
Sungai (DAS) sejak tahun PELITA I (1970-an). Semua program tersebut dimaksudkan
supaya nilai-nilai pengelolaan hutan dan lahan dapat melembaga di masyarakat. Dari segi
keproyekan sudah ribuan ha lahan yang sudah direboisasi, dihijaukan dan direhabilitasi.
Demikian juga pembinaan masyarakat, sudah ribuan orang dilatih dan disuluhkan nilai-nilai
pengelolaanhutan dan lahan. Namun demikian issu dan permasalahan yang berkaitan dengan
kelestarian hutan dan lahan masih saja menjadi issu atau problematik yang menarik untuk
dibicarakan dan memerlukan penanganan tersendiri.
Fenomena kerusakan hutan dan lahan dalam satuan DAS seperti kekeringan, banjir,
erosi dan sedimentasi masih saja terjadi bahkan kecenderungannya meningkat. Data terakhir
menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan sebesar 1,6 juta ha/tahun jauh melebihi
kemampuan untuk merehabilitasinya yang hanya sekitar 900.000 s/d 1,2 juta ha/tahun. Dari
beberapa laporan menunjukkan bahwa: tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolan
DAS masih rendah, banyak proyek-proyek yang keberhasilannya sulit dipertahankan,
kebijakan antar pemerintah atau NGO sering tidak sejalan (conflik of interest), intervensi
masyarakat terhadap lahan semakin ganas karena telah mamasuki zona lindung. Padahal
undang-undang telah menegaskan bahwa setiap masyarakat atau lembaga yang mengelolah
atau memanfaatkan sumberdaya alam diwajibkan untuk memelihara dan melakukan kegiatan
konservasi tanah dan air.
Dari fenomena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan hutan dan lahan
Indonesia belum melembaga dalam kehidupan masyarakat. Masih banyak pemanfatan
sumberdaya alam yang tidak menerapkan konsep-konsep pengelolaan hutan lestari . Indikasi
ini menunjukkan bahwa penerapan nilai-nilai pengelolan hutan lestari masih rendah, belum
diikuti oleh partisipasi masyarakat.
Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah strategi yang dilaksanakan
selama ini kurang melibatkan masyarakat. Keterlibatan mereka dalam pengelolaan hutan
2
menjadi terbatas bahkan di berbagai lokasi menjadi hilang. Hal ini membuat masyarakat
merasa asing terhadap lingkungan yang selama puluhan tahun digelutinya, bahkan di
beberapa tempat kegiatan mereka di hutan dianggap illegal. Lebih jauh lagi, rasa memiliki
mereka terhadap hutan di sekelilingnya menghilang.
Di berbagai daerah di Indonesia banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan
pihak swasta (HPH) dan BUMN (Perhutani, Inhutani), dan antara masyarakat dengan
pemerintah berkaitan dengan pemanfaatan dan pemilikan hutan. Dampak dari keadaan ini
adalah kerusakan hutan yang tak terkendali disamping itu kesejahteraan masyarakat juga
tidak kunjung membaik. Disamping itu paradigma yang berkembang dimasa lalu adalah
bahwa problema pengelolaan hutan dan lahan bukanlah problema masyarakat akan tetapi
merupakan problema pemerintah. Karena kegiatan yang dilakukan bersifat top down dan
instruksional serta kurang memperhatikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses
pelembagaan baik dari aspek teknologi maupun dari aspek organisasi dan nilai yang
menyertainya. Teknologi yang diintrodusir biasanya merupakan paket yang ditentukan dari
pusat, demikian juga dalam penentuan organisasi kelompok tani peserta kegiatan proyek
tertentu.
Untuk dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat sekaligus melindungi dan atau
memperbaiki kondisi hutan yang telah rusak, oleh pemerintah sekarang ini lebih menekankan
bentuk keterlibatan masyarakat secara luas dalam pengelolaan hutan dengan menjadikan
mereka sebagai partner. Sehingga pada tahun 2003, berlokasi di Kalimantan Tengah,
Pemerintah Indonesia c.q Departemen Kehutanan mencanangkan program nasional Social
Forestry. Program ini diharapkan dapat mengurangi kerusakan hutan dan menjaga kelestarian
hutan itu sendiri serta memberikan penghasilan dan sumber pangan bagi masyarakat
setempat. Sebagai pilot percontohan telah dipilih 11 lokasi Social Forestry di seluruh
Indonesia. Kesebelas lokasi tersebut mewakili berbagai type peruntukan hutan.
Social Forestry atau Perhutanan Sosial dapat didefinisikan sebagai suatu sistem
pengelolaan hutan dimana masyarakat lokal berpartisipasi aktif didalamnya untuk
mensejahterakan mereka dan sekaligus melestarikan atau memperbaiki hutan di
sekelilingnya. Dalam program Social Forestry ini, masyarakat akan dilibatkan dalam
pengelolaan hutan dari perencanaan, pemanfaatan, dan pemasarannya. Masyarakat juga diberi
hak untuk mengelola kawasan hutan dengan batasan-batasan tertentu. Menurut versi
Departemen Kehutanan, Social Forestry meliputi 3 aspek, yaitu aspek kelola kawasan, kelola
kelembagaan dan kelola usaha/bisnis. Adanya aspek kelola kelembagaan menunjukkan
bahwa kelembagaan merupakan salah satu kunci penting keberhasilan pengelolaan hutan.
3
C.
C.1.
Proses Pemberdayaan
Paradigma pemberdayaan (empowerment) adalah pemberian kesempatan kerja
Penyadaran
Dalam banyak kasus di pedesaaan masyarakatnya sulit dan bahkan tidak mampu
mengenali potensi diri dan potensi SDA yang sebenarnya banyak mereka miliki. Akibatnya
banyak potensi yang tak termanfaatkan atau mubasir, sementara kehidupan masyarakatnya
memprihatinkan. Oleh karena itu sering kita jumpai ironi dalam masyarakat ibarat ayam
lapar di lumbung padi atau itik kehausan ditengah sungai. Oleh karena itu penyadaaran
ini penting agar masyarakat desa tahu potensi, peluang, ancaman dan tantangan di masa
depan.
2.
Pengorganisasian
5
Kaderisasi pendampingan
Setiap program pembangunan ada jangka waktu pelaksanaannya. Selama progrma
tersebut berjalam masyarakat berpartisipasi aktif karena ada tujuan yang didapat didalamnya,
misalnya gaji/upah, kesempatan kerja yang bersifat jangka pendek. Namun setelah
pembanguna itu berakhir maka partisipasi masyarakatnya menurun bahkan berangsur-angsur
hilang karena tujuan semula sudah tidak ada lagi.
Oleh sebab itu sebelum pembangunan tersebut berkahir seharusnya masyarakat
dipersiapkan untuk melanjutkan memelihara dan mengembangkan sendiri secara swadaya
karena selama pelaksanan pembangunan tersebut itu merupakan kegaitan investasi awal dari
pemerintah atau swasta. Jadi setiap pembangunan penting mempersiapkan kader-kader
pengembangan keswadayaan lokal yang akan mengambil alih tugas pendampingan setelah
program berakhir. Ukuran keberhasilan kaderisasi adalah kemampuan kader lokal untuk
memerankan diri sebagai pendamping bagi masyarakat. Disinilah peran strategis LSM lokal
untuk melakukan pendampingan agar partisipasi masyarakat terus tumbuh berkembang dalam
mendukung setiap pembangunan.
4.
Dukungan teknis
Pembaharuan dalam suatu masyarakat umumnya memerlukan bantuan teknis dari
suatu lembaga dari luar yang menguasai sumberdaya, informasi dan teknologi yang dapat
6
Pengelolaan Sistem
Keterpaduan antar lembaga terkait sangat penting baik dalam hal perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan maupun dalam hal pendanaannya. Disamping
itu pengelolaan sistem dimaksudkan untuk mensinergikan kepentingan antar lembaga yang
terkait untuk itu diperlukan korrdinasi yang baik agar tercipta sistem pengelolaan yang baik.
C.2.
UI dkk. di sekitar kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Gunung Betung Propinsi
Lampung, pada tahap awal yang terpenting dilakukan adalah membangun fondasi sosial
karena fondasi sosial merupakan kunci utama terhadap penumbuhan dan pembinaan
masyarakat terhadap aspek-aspek yang lain. Oleh karena itu pendampingan sosial sebaiknya
lebih dahulu dilakukan sebelum kegiatan pendampingan yang lain dalam rangka
pemberdayan kelompok yang mandiri dalam mengelolah sumberdaya hutan.
Dalam proses pemberdayaan juga terjadi proses belajar bersama dan berusaha
bersama memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Berikut ini adalah proses
pendampingan yang dapat dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang mandiri:
a.
Membangun kedekatan
Kedekatan antara pendamping dengan masyarakat sangat diperlukan dalam
melakukan pendampingan. Hal ini dapat dipelajari dari pengalaman kegagalan dalam
pembinaan masyarakat pedesaan yang pada umumnya gagal karena petugas hanya
berkunjung beberapa saat saja bilamana ada kepentingan kemudian meninggalkan desa dan
masyarakatnya. Oleh karena itu membangun kedekatan adalah sangat penting, dan berarti
para pendamping harus tinggal bersama-sama masyarakat.
b.
Membangun pertemanan
Dalam tahap ini terjadi proses keakraban antara masyarakat dengan pemdamping. Hal
Membangun kepercayaan
Kepercayaan tidak dapat dibangun hanya dengan janji-janji belaka. Akan tetapi
kepercayaan dapat dibangun dengan cara menunjukan kenyataan bahwa apa yang diucapkan
itulah yang kemudian dilakukan. Untuk itu dalam melakukan pendampingan hendaknya
menghindari ucapan janji-janji, dan mengutamakan upaya berbuat bersama antara
pendamping dan masyarakat. Membangun kepercayaan adalah sangat penting karena rasa
saling percaya merupakan pilar utama dari semua interaksi antar individu maupun kelompok
dalam masyarakat. Dengan rasa saling percaya kita dapat menciptakan kedekatan,
keterbukaan, kerjasama, kelompok dan kelembagaan.
d.
Membangun keterbukaan
Keterbukaan diperlukan dalam mengungkapkan masalah yang dihadapi, keinginan
yang diharapkan, potensi yang dimiliki dan kelemahan serta kekurangan yang ada.
Keterbukaan ini tidak akan dapat dilakukan apabila sebelumnya tidak ada kedekatan dan rasa
saling percaya.
Perlu disadari bahwa di dalam pendampingan terkandung kegiatan identifikasi
masalah dan potensi yang terdapat di dalam masyarakat. Melalui membangun keterbukaan
inilah sebenarnya proses identifikasi tersebut berjalan dan mengalir dengan sendirinya.
8
Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan potensi yang diungkapkan oleh masyarakat
dengan cara keterbukaan tadi, kemudian pendamping bersama-sama masyarakat dapat
menarik kesimpulan bahwa sebenarnya mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang
sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan
bersama tersebut.
e.
Membangun kerjasama
Masing-masing individu dalam masyarakat pada tahap ini sudah mengetahui bahwa
mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi
yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut. Akan tetapi potensi
yang mereka miliki tidak mungkin dapat diberdayakan untuk memecahkan masalah dan
mencapai keinginan apabila potensi tersebut masih terpecah-pecah pada masing-masing
individu.
Pada tahap inilah saatnya seluruh masyarakat bersama-sama pendamping memikirkan
perlunya membangun kerjasama. Dalam membangun kerjasama ini mereka secara lebih nyata
dituntut memahami dan melaksanakan prinsip-prinsip kesetaraan, demokrasi, keadilan, dan
pertemanan yang meliputi rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara sesama
teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi.
Setelah masyarakat memahami, mau dan mampu bekerjasama, maka kegiatankegiatan bermusyawarah mulai dapat dilakukan. Pertemuan-pertemuan untuk membahas
masalah dan keinginan dalam pengelolaan kebun garapan di kawasan hutan dapat
dijadwalkan secara berkala. Kemudian bagaimana melakukan kerjasama menggarap kebun
dan bagaimana melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan kepastian jaminan atas status
pengelolaan lahan garapannya tersebut.
f.
Membangun kelompok
Kerjasama dengan berbagai aktivitasnya merupakan proses yang dinamis, oleh karena
itu diperlukan wadah yang dapat menampung dinamika kerjasama tersebut. Pada status yang
demikian perlu dibentuk kelompok sebagai wujud atau wadah dari interaksi atau kerjasama
yang sudah dan sedang dibangun. Pembentukan kelompok-kelompok tersebut dimaksudkan
agar kerjasama diantara anggota kelompok akan menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam
pembentukan kelompok di samping mempertimbangkan prinsip-prinsip yang telah
disebutkan di atas, juga mempertimbangkan kesatuan lokasi garapan dan kesatuan lokasi
tempat tinggal.
9
g.
Membangun kelembagaan
Kelembagaan merupakan kelanjutan dari kelompok yang telah dilengkapi dengan
pranata-pranata atau aturan-aturan yang dibuat dan disepakati oleh anggota kelompok. Di
samping itu kelompok yang sudah melembaga juga memiliki struktur kepengurusan sesuai
dengan aturan-aturan yang telah disepakati para anggotanya. Dengan demikian mekanisme
kerja kelompok menjadi lebih sistematis dan terpimpin. Suatu hal yang perlu dipahami dan
ditekankan bahwa peran kepengurusan di dalam membangun kelembagaan adalah mewakili,
memfasilitasi dan melaksanakan kesepakatan atau kerjasama yang diputuskan oleh seluruh
anggota kelompok.
Kelembagaan masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pengelolaan lahan garapan
di dalam kawasan hutan di Sumber Agung, Gunung Betung, bukan hanya sekedar bertujuan
memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kepastian jaminan dari pemerintah. Akan tetapi
dalam membangun kelembagaan yang lebih penting adalah bagaimana mencapai
kemandirian masyarakat dalam upaya pengelolaan hutan secara lestari dan menjadikan
masyarakat lebih sejahtera.
Seluruh proses pemdampingan masyarakat seperti telah diuraikan di atas sebaiknya
dilakukan dengan konsep belajar bersama dan mengikuti arus perkembangan yang diinginkan
masyarakat. Belajar bersama artinya baik pendamping maupun masyarakat dalam kegiatan
ini tidak ada yang merasa lebih pintar, lebih tahu atau lebih mampu dari pada yang lain. Akan
tetapi mereka sama-sama menyadari bahwa pendamping harus belajar dari masyarakat karena
kenyataannya masyarakatlah yang lebih tahu tentang diri mereka sendiri, demikian juga
masyarakat belajar dari pendamping karena kenyataannya pendamping lebih banyak
mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah tentang ketentuan-ketentuan pengelolaan hutan
oleh masyarakat. Demikian juga tentang hal-hal yang lain menyangkut pemberdayaan
masyarakat di sekitar hutan, mereka saling belajar. Sedangkan mengikuti arus keinginan
masyarakat pengertiannya adalah bahwa proses pendampingan yang dilakukan tidak
membuat target-target tertentu yang dibatasi oleh waktu ataupun hasil yang harus dicapai
dengan cara setengah dipaksakan. Karena praktek pendampingan yang dibatasi oleh waktu
dan setengah dipaksakan banyak mengalami kegagalan, sebagaimana kebiasaan yang terjadi
pada berbagai proyek pada masa lalu.
C.3.
Strategi Pemberdayaan
10
strategi gotong royong melihat masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang terdiri atas
bagian-bagian yang terintegrasi secara normatif, yang mana tiap-tiap bagian memberikan
sumbangan fungsional masing-masing bagi pencapaian tujuan masyarakat sebagai
keseluruhan. Strategi ini menganjurkan perubahan/pengembangan dilakukan atas dasar
partisipasi luas seluruh lapisan masyarakat didalam proses pengambilan keputusan-keputusan
dan tindakan-tindakan masyarakat.
b.
Strategi teknikal-profesional
Pada dasarnya strategi ini tidak banyak berbeda dengan strategi gotong royong. Yang
membedakan pada pokoknya adalah strategi ini memberikan peranan yang lebih kritikal pada
agen-agen pembaharuan didalam menetukan program-program pembengunan, menyediakan
pelayanan-pelayanan yang diperlukan, dan menentukan tindakan-tindakan yang harus
dilakukan untuk merealisasikan program-program yang ditentukan. Strategi teknikalprofesional hanya memberikan kepada kelompok-keompok kerja dan organisasi yang terdiri
dari
atas
sejumlah
kecil
warga
masyarakat
terpilih
yang
dimobilisasi
untuk
Strategi konflik
Strategi konflik melihat masyarakat melalui suatu diskriminasi yang sangat tajam
tentang perbedaan antara dua macam citra tentang struktur sosial dan perubahan
kemasyarakat. Strategi konflik mengnggap bahwa paksaan atau kekuasaan adalah
merupakan landasan yang lebih realistik bagi tertib sosial setiap masyarakat. Strategi konflik
menyatakan bahwa sebagai suatu sistem kemasyarakat, masyarakat memelihara dan
menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan yang terus-menerus berubah melalaui alokasi dan
penggunaan kekuasaan. Dari beberapa strategi di atas, mana yang sesuai untuk diterapkan
dalam pengembangan kelembagaan masyarakat pedesaan yang kita hadapi, tentunya perlu
dikaji lebih lanjut sesuai dengan karakteristik masyarakat yang bersangkutan dan
11
perkembangan sosial masyarakat yang ada. Kombinasi dari beberapa strategi juga
memungkinkan untuk diadopsi aspek-aspek positipnya.
D.
Penutup
Keterlibatan masyarakat sebagai pelaku pembangunan dalam pengelolaan hutan
dalam setiap tahapan kegiatan merupakan suatu keharusan dan kebutuhan yang sudah saatnya
untuk dilembagakan dengan pendekatan partisipatif. Pemberdayaan masyarakat harus
dilakukan secara komprehensif tidak hanya berupa peningkatan pengetahuan, sikap dan
keterampilan namun juga disertai fasilitasi dan pengembangan peluang dan kebijakan agar
masyarakat lebih terakselerasi untuk berpartisipasi.
Partisipasi masyarakat perlu ditumbuhkembangkan sedemikian rupa sehingga yang
terbangun bukan lagi pola mobilisasi masyarakat berdasarkan insentif material tetapi
partisipasi interaktif yang menempatkan kehendak dan pertimbangan masyarakat sebagai
pendorong utama untuk mewujudkan pemberdayaan dan partisipasi tersebut maka perlu
ditempu dengan pendekatan pendayagunaan potensi masyarakat lokal. Dengan demikian
kegiatan apapun yang dikembangkan akan memiliki kesesuain (compatibility) yang tinggi
dengan kondisi masyarakat setempat sehingga memungkinkan berkembangnya partisipasi
masyarakat dengan kualifikasi objektif (reliable), didukung semua pihak (acceptable), bisa
dilaksanakan dengan sumberdaya yang tersedia (axecutable) terukur (measurable) dan
berkelanjutan (sustainable).
Upaya-upaya yang urgen dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong masyarakat
dalam rangka pelestarian hutan dan lahan adalah melakukan pembinaan dan bimbingan serta
penyediaan teknologi tepat guna yang dapat meningkatkan penggunaan hasil hutan.
Disamping itu menyediakan bibit yang memadai baik kualitas maupun kuantitasnya melalui
pembangunan persemaian sebagai sumber bibit bagi masyarakat pada setiap dusun di desadesa supaya petani bisa menjangkaunya. Selain itu bagi mereka secara perorangan atau pun
secara kelompok masyarakat adat yang mempunyai hutan rakyat atau hutan adat terbaik
diberi penghargaan pada forum lomba penilaian hutan rakyat/adat. Peranan penyuluhan,
sarana-prasarana dan lembaga kredit, juga lebih diberdayakan seoptimal mungkin untuk
mendukung pengembangan dan pengelolaan hutan lestari.
12
DAFTAR PUSTAKA
Donie. S, dkk., 2003. Perencanaan Pengelolaan DAS Dalam Otonomi Daerah. Makalah
Lokakarya Perencanaan Pengelolan DAS di Era Otonomi Daerah. BP2TPDASIBB.
Surakarta.
Gani. A, 1994. Pengembangan Sistem Pendidikan Pertanian Dalam Rangka Meningkatkan
kualiatas Sumberdaya Manusia Pertanian. Prosiding Lokakarya Nasional. PERHEPI.
Jakarta.
13
TUGAS
STRATEGI PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Disusun Oleh:
FARID ZAKY YOPIANNOR
D2A313006
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
MAGISTER SAINS ADMINISTRASI PEMBANGUNAN
BANJARBARU
2014
DAFTAR ISI
A.
B.
C.
D.
Pendahuluan ......................................................................................... 1
Sekilas Pemberdayaan Masyarakat di Masa Lalu ................................ 2
Strategi Pemberdayaan Masyarakat .................................................... 4
C.1 Proses Pemberdayaan .................................................................... 5
C.2 Teknik Pemberdayaan Masyarakat ................................................ 7
C.3 Strategi Pemberdayaan .................................................................. 11
Penutup ................................................................................................ 12
Daftar Pustaka
15