Anda di halaman 1dari 16

LANDASAN TEORI

PENDAHULUAN
Setiap orang, apalagi lansia (lanjut usia), tentu pernah merasakan nyeri selama perjalanan
hidupnya. Perasaan nyeri ini kualitas dan kuantitasnya berbeda dari satu orang ke orang lain,
tergantung dari tempat nyeri, waktu, penyebab dan lain-lain. Pada lansia rasa nyeri ini sudah
menurun, sehingga keluhan akan berkurang, karena kepekaan sarafnya sudah mulai berkurang
bahkan bisa sampai hilang sama sekali. Karena berkurangnya rasa nyeri inilah maka diagnosis
nyeri pada lansia seringkali sulit atau bahkan kabur untuk dapat menentukan tempat/daerah asal
nyeri (Warfields, 1991; Park and Fulton, 1991).
Riwayat pengobatan nyeri sudah dapat ditemukan di zaman Babilonia, papyrus Mesir dan
dokumen-dokumen zaman Persia dan Troy. Untuk mengobati rasa nyeri, di zaman primitif
dilakukan dengan cara sangat sederhana tetapi cukup efektif, misalnya dengan penekanan atau
direndam di air dingin dari sungai. Pada zaman dahulu nyeri dianggap sebagai hukuman dari
Tuhan. Oleh karena itu istilah pain berasal dari kata Latin poena yang berarti hukuman.
Pada tahun 2006 sebelum Kristus, didaerah Cina dikenal istilah Yin dan Yang yaitu dua
kekuatan yang saling bertentangan, yang dipersatukan oleh kekuatan yang membentuk energi
vital (chi) untuk sirkulasi. Keadaan yang tidak seimbang dari kedua kekuatan tersebut akan
menyebabkan rasa nyeri. Akupuntur akan memperbaiki ketidakseimbangan itu dan
menyembuhkan rasa nyeri. Pada zaman Mesir kuno dipercaya bahwa nyeri disebabkan oleh
spirit (roh) dari kematian, yang masuk kebadan melalui hidung atau telinga dalam suasana gelap.
Karena itu untuk mengeluarkan nyeri/spirit tersebut dilakukan dengan jalan mengusahakan
muntah-muntah, kencing, bersin, atau keringat.
Pada 5000 tahun sebelum Kristus dipercaya bahwa nyeri merupakan akibat rasa frustasi
dari keinginan yang tak tersampaikan. Agama Hindu mengatakan bahwa jantung adalah tempat
dari segala rasa nyeri. Agak berbeda, filosof Yunani kuno memikirkan bahwa yang jadi pusat dari
perasaan nyeri adalah otak bukan jantung. Hippocrates berpendapat bahwa fungsi badan kita
dikontrol oleh empat cairan yaitu darah, phlegm, empedu kuning dan empedu hitam. Nyeri
merupakan manifestasi ketidakseimbangan keempat cairan tersebut. Plato berfikir bahwa jantung
dan hati merupakan pusat nyeri. Aristotle mempercayai bahwa nyeri berpusat dijantung. Konsep
Aristotle ini diteruskan oleh William Harvey pada tahun 1623, Celcus mengemukakan teori yang
saat ini menjadi sangat terkenal, yaitu hubungan antara dolor (pain), tumor, rubor, dan calor.
Pada 2000 sebelum Kristus, Galen berpendapat adanya suatu sistem syaraf yang terdiri dari
cranial, spinal, dan syaraf simpatis, dengan otak sebagai pusatnya.
Pertengahan antara pendapat yang menyatakan jantung atau otak sebagai pusat nyeri,
berlanjut sampai abad ke-19, yang akhirnya menyatakan bahwa pusat nyeri adalah di otak.
Begitu pula tentang bermacam-macam obat mulai dari poium, ramu-ramuan dan lain sebagainya
sampai ditemukannya morfin (dari opium).
Cara psikologis juga dicoba untuk menghilangkan nyeri mulai dari cara magis sampai daya
hipnotis. Sampai saat ini obat-obat penghilang rasa nyeri terus diteliti dengan hasil berbagai
macam obat yang efek sampingnya makin berkurang.
Nyeri adalah masalah bagi pasien dalam semua kelompok usia. Studi secara konsisten
menunjukkan nyeri yang tidak ditangani dengan baik. Studi klasik oleh Marks dan Sachar
melaporkan bahwa 73% pasien medis yang dirawat di rumah sakit mengalami nyeri sedang
sampai berat walaupun telah mendapatkan analgesik narkotik parenteral. Danovan, Dillon, dan

McGuire menemukan bahwa 353 pasien rawat inap medis mengalami nyeri, dan 58%
mengatakan bahwa rasa nyerinya luar biasa. Studi ini menemukan bahwa nyeri ditanyakan atau
dicatat pada kurang dari setengah pasien-pasien tersebut.
Kurang dari 1% dari 4000 makalah tentang nyeri yang diterbitkan setiap tahunnya
memfokuskan pada lansia. Studi yang ada secara konsisten menunjukkan bahwa penanganan
nyeri adalah suatu masalah. Penggunaan analgesik menurun seiring bertambahnya usia, dan
lansia menambah sejumlah kecil nyeri pada saat masuk ke klinik. Suatu studi pada penghuni
rumah perawatan lansia melaporkan bahwa 83% mengalami nyeri, banyak yang berada pada
tingkat berat.
Terdapat beberapa alasan mengapa nyeri dan kurangnya masalah penanganan nyeri dapat
menjadi masalah bagi lansia. Pertama, prevalensi kondisi yang menyakitkan dan penyakit sering
terjadi pada usia tua. Lebih dari 50% kanker di Amerika Serikat terjadi pada orang yang berusia
lebih dari 65 tahun, dan 60 sampai 80% pasien dengan kanker mengalami nyeri sedang sampai
berat. Nyeri artritis terjadi pada lebih dari setengah jumlah seluruh lansia dengan osteoartritis
yang menyebabkan lebih banyak nyeri kronis daripada kondisi yang lain. Jenis nyeri lain yang
sering terjadi pada lansia adalah sakit kepala, nyeri punggung bagian bawah, dan nyeri tajam dan
menusuk, nyeri neuropatik terbakar (misalnya fantom ekstremitas, neuropati diabetes, neuralgia
pascaherpetik, neuralgia trigeminal, dan kausalgia).
LANDASAN TEORI
PATOFISIOLOGI NYERI
Nyeri adalah suatu sensasi yang disebabkan karena rusaknya jaringan, bisa dikulit sampai
jaringan yang paling dalam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa, nyeri sering dijumpai
pada penderita lansia biasanya sering diterapi secara paliatif, bahkan dengan manajemen yang
sering tidak adekuat (Monti DA,1998). Nyeri yang kronis biasanya berpengaruh pada fungsi
fisiologis berupa bertambahnya penderitaan dan menurunnya kualitas hidup.
KLASIFIKASI NYERI
Nyeri dapat dibagi menurut berbagai cara, diantaranya berdasar pada sifat, kronologik, atau atas
dasar patofisiologinya.
Atas dasar sifat nyeri, terdapat dua macam nyeri, yaitu : (Dwarakanath GK, 1991).
1. Nyeri tajam (Sharp pain), nyeri ini berupa perasaan yang menyengat, lokasinya jelas
dan rangsangan sangat cepat dijalarkan ke pusat. Nyeri jenis ini biasanya terdapat di kulit
dan rangsangan bersifat tidak terus-menerus.
2. Nyeri tumpul (Dull pain), biasanya didahului oleh Sharp pain. Nyeri ini dirasakan di
kulit sampai jaringan yang lebih dalam, terasa menyebar dan lambat dijalarkan sedangkan
rangsangat bersifat terus-menerus.
Atas dasar kronologi, nyeri dapat dibagi ke dalam 2 golongan yaitu nyeri akut dan nyeri kronik.
Nyeri Akut

Biasanya disebabkan karena penyakit dan merupakan reaksi biologis yang merupakan
suatu peringatan bagi pasien untuk segera mencari pertolongan. Nyeri jenis ini merupakan suatu
rangsangan yang sering mengakibatkan gerakan tak terkendali (refleks) segera serta respons dari
korteks serebri. Refleks yang dihasilkan merupakan usaha untuk mempertahankan homeostasis
yang menyebabkan kontraksi otot-otot badan.
Respon korteks serebi termasuk perasaan emosional, kecemasan, ketakutan dan reaksi
menyeringai, atau berteriak. Meskipun tidak diobati, dengan tidak menggerakkan atau
memfiksasi daerah nyeri, nyeri sering dapat sembuh sendiri, tetapi bila nyeri adalah karena luka,
misalnya luka bakar atau luka pasca bedah, upaya tersebut tidak akan mempercepat
penyembuhan. Bahkan bila luka ini tidak mendapatkan pengobatan yang memadai, akan
menimbulkan keadaan abnormal yang sangat serius, baik secara fisiologis maupun psikologis,
yang pada akhirnya akan menimbulkan komplikasi yang akan memperlama penyembuhan.
Nyeri Kronis
Bila nyeri dirasakan lebih lama dari perjalanan penyakit atau lukanya, artinya rasa nyeri
masih menetap sesudah penyembuhan penyakit atau disertai dengan kelainan kronis, maka
disebut nyeri kronis. Kelainan ini dapat somatik atau psikologik atau keduanya (Dwarakanath
1991, Portency 1997). Definisi tersebut seringkali diberi batasan parameter waktu, yang
beberapa ahli menyatakan 3 bulan, sedangkan ahli lain memberi batasan 6 bulan atau lebih.
Secara patofisiologik nyeri dibedakan menjadi: nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik, nyeri
psikologik dan nyeri campuran atau yang sebabnya tak bisa ditentukan (undetermined).
PEMBAGIAN NYERI SECARA PATOFISIOLOGIK
Nyeri nosi-septif:
Somatik (artritis, muskuloskeletal, kulit dan lain-lain)
Viseral (organ-organ dalam)
Nyeri neuropatik:
Neuralgia post-herpetika
Nyeri campuran atau patofisiologi tak dapat ditentukan:
Misalnya: nyeri kepala, vaskulitis
Nyeri psikologik/psikogenik:
Gangguan somatisasi
Nyeri nosiseptif berasal dari rangsangan reseptor nyeri dan bisa timbul akibat peradangan,
deformasi mekanik atau perlukaan progresif. Jenis nyeri ini biasanya bereaksi baik dengan obat
analgesik dan upaya non-farmakologik (Workman, 1998).
Nyeri neuropatik diakibatkan oleh kerusakan dari sistem saraf pusat atau s.s. perifer. Jenis nyeri
ini biasanya bereaksi buruk terhadap analgesik konvensional akan tetapi baik terhadap
pengobatan antikonvulsan, anti depresan dan anti aritmik, juga terhadap strategi non
farmokologik.
Prevalensi nyeri kronis meningkat pada lansia. Pada sebagian besar lansia, nyeri merupakan
masalah yang akan mempengaruhi aktivitas kegiatan sehari-hari dan kualitas hidupnya. Nyeri
juga merupakan keadaan yang sangat mengganggu dan menyebabkan penyakit lain menjadi
lebih parah (Warfields 1991; Park and Fulton 1991).
Pada lansia assesment dan pengobatan yang diteliti pada penderita nyeri kronis dapat memberi
hasil yang memuaskan (Park B and Fulton 1991). Pada penelitian didapatkan 66% lansia yang

dirawat di nursing home (panti rawat wredha) menderita nyeri kronis dan dari 66% ini 34% tidak
terdeteksi sebelumnya. Para lansia sering tidak melaporkan rasa nyeri dan tanda-tanda lain yang
berkaitan dengan nyeri. Keengganan ini mugkin dikarenakan adanya anggapan bahwa rasa nyeri
itu umum didapatkan pada umur-umur lansia atau ada rasa khawatir bahwa dokter mungkin akan
menganggap remeh rasa nyeri tersebut bila dibandingkan dengan keluhan-keluhan lainnya.
Sering pula terdapat lansia yang menganggap nyeri merupakan tanda-tanda mendekatnya ajal,
atau merupakan gejala yang lebih serius, sehingga justru membuat lansia merasa takut untuk
melaporkan kepada dokter.
Beberapa keadaan yang menyebabkan penanganan nyeri tidak adekuat dan tidak efektif adalah
(Park and Fulton, 1991) :
1. Kekurangan pengetahuan atau perhatian pada kontrol nyeri
a. Kurang pengetahuan tentang patofisiologi nyeri
b. Ketidaktahuan tentang obat-obat analgesik atau cara-cara alternatif lain yang meningkatkan
efektifitas obat-obat yang ada
c. Kurangnya ketrampilan dalam cara pemberian obat analgetik secara regional
2. Kekeliruan asesmen nyeri dan penyembuhannya
3. Kekeliruan dalam komunikasi
Oleh karena rasa nyeri yang tak tertahankan, penderita sering menekankan perlunya analgesik
kepada para medis yang bertanggung jawab merawatnya.
4. Ketakutan akan adiksi
Ketakutan adiksi ini membuat para staf medis memberikan pengobatan yang kurang adekuat,
antara lain tidak berani memberikan obat golongan opioid.
5. Ketakutan efek samping obat
Ketakutan ini menjadikan para staf tidak berani menaikkan dosis yang kurang pada pasien.
6. Takut akan menjadi masking effect
7. Pendapat bahwa penderitaan adalah suatu yang berharga. Hal ini membuat staf medis
mempunyai pendapat bahwa sakit tersebut sangat bermanfaat bagi penyembuhan pasien.
8. Aspek Hukum
Terutama penggunaan obat-obat dari golongan opium atau psikotropika.
PENATALAKSANAAN
Dalam penatalaksanaan rasa nyeri, diagnosis spesifik untuk menentukan tipe nyeri akan
sangat membantu pemilihan analgesik atau terapi lain. Diagnosis yang spesifik tersebut juga
mengarahkan pengertian atas penyebab rasa nyeri. Bila nyeri disebabkan oleh penyakit vaskuler
perifer, misalnya, obat-obat untuk memperbaiki sirkulasi, kompres hangat, perlindungan pada
daerah ekstrimitas, dan pemberian perhatian yang lebih pada daerah kulit dan kuku, sedangkan
obat yang mengganggu sirkulasi harus dihentikan.
Kadang diagnosis spesifik tidak bisa ditegakkan, sehingga terapi farmakologik diberikan
atas dasar karakteristik nyeri. Pemilihan obat dan rejimen pengobatan ditentukan oleh jenis dan
asal nyeri, periodisitasnya, saat-saat dimana nyeri paling dirasakan, keperluan memberikan obat
antiinflamasi, obat-obat lain yang didapat dan kemungkinan interaksinya, riwayat pernah
menggunakan analgesik, catatan tentang alergi obat, dan kemampuaan penderita untuk mematuhi
jadwal pengobatan. Riwayat atau pengetahuan mengenai jenis analgesik yang pernah atau masih
dipakai, efektivitas dan efek samping yang dirasakan, dapat membantu pemilihan analgesik.

Dalam anamnesis nyeri, aktivitas rutin sehari-hari serta derajat nyeri dari waktu ke waktu
serta hubungannya dengan aktivitas akan bisa membantu menentukan rejimen dosis bagi
penderita tersebut yang disesuaikan dengan kegiatan sehari-hari dan tingkat rasa nyerinya.
Efek samping harus sudah diperkirakan dan sebaiknya diadakan tindakan pencegahan.
Konstipasi merupakan efek samping yang sering (terutama dengan opiat), sedasi dan konfusio
(dengan opiat, trisiklik, anti konvulsan), dispepsia (obat AINS). Penderita biasanya sangat
menghargai pemberitahuan tentang efek samping dari masing-masing obat dan apa yang harus
dikerjakan bila efek samping obat tersebut timbul.
Berbagai obat dan tatacara pengobatan yang sering digunakan pada penatalaksanaan nyeri adalah
sebagai berikut:
I. Analgesik sederhana
Parasetamol dan aspirin merupakan analgesik sederhana, dimana aspirin juga mempunyai
efek anti-inflamasi. Dalam penatalaksanaan nyeri, aspirin tidak lebih baik dari obat AINS lain
dan penggunaannya tidak direkomendasikan untuk pemakaian rutin yang teratur.
II. Obat AINS
Obat AINS merupakan analgesik efektif dengan daya anti-inflamasi. Obat ini sering
digunakan pada artritis dan nyeri muskuloskeletal serta keluhan nyeri lain yang berdasar atas
peradangan. Dikatakan bahwa golongan obat ini merupakan golongan obat terbanyak ke-4 yang
diresepkan pada usia lanjut.
Untuk pemakaian pada usia lanjut, harus diperhatikan bahwa ekskresi ginjal sudah
menurun, oleh karena itu obat AINS yang diekskresikan lewat ginjal (diflunisal, indometasin,
naproksen dan ketoprofen) harus diberikan dengan hati-hati.
Berbagai obat AINS mengadakan interaksi dengan obat-obat lain yang sering banyak
digunakan pada usia lanjut, diantaranya: digoksin, warfarin, fenitoin, valproat dan litium. Untuk
mengantisipasi hal ini, lakukan monitor kadar obat dalam plasma.
Efek samping lain yang dapat terjadi antara lain konfusio, tinnitus, agitasi dan retensi
cairan (hati-hati pada penderita hipertensi, gagal ginjal dan penyakit jantung kongestif). Seperti
juga pengobatan pada usia lanjut umumnya, harus diperhatikan bahwa terapi dengan obat AINS
tidak harus diberikan selamanya, dan secara periodik harus diadakan reviu. Apabila inflamasi
sudah terkontrol, fisioterapi mungkin dapat mempertahankan fungsi tubuh dan pemberian
analgesik sederhana mungkin sudah cukup untuk mengobati nyeri ringan yang timbul.
III. Analgesik opioid
Terdapat pengertian yang keliru mengenai efek analgesik opioid pada usia lanjut dan
golongan usia lainnya. Ketakutan akan terjadinya adiksi dan efek samping (terutama pada usia
lanjut) seperti sedasi, konfusio, gangguan keseimbangan, konstipasi, konsentrasi berkurang dan
nausea. Akan tetapi perlu diketahui bahwa efek analgesik biasanya sudah tercapai dengan dosis
dibawah dosis yang menyebabkan adiksi, dan pemberian dengan titrasi serta pengawasan yang
baik, efek penyembuhan nyeri dapat dicapai tanpa efek samping berarti. Asosiasi Internasional
untuk studi tentang nyeri telah memberikan panduan untuk pemakaian golongan obat ini
(Workman BS, 1998).
Kodein, sendiri atau dalam kombinasi dengan parasetamol cukup efektif untuk mengontrol
nyeri sedang sampai berat. Penggunaannnya dibatasi oleh efek analgesik atap (ceiling effect) dan
efek samping konstipasi. Apabila nyeri belum terkontrol dengan dosis 60 mg fosfat kodein tiap
4-6 jam, dianjurkan untuk menggantinya dengan analgesik yang lebih kuat.

Oksi-kodon, merupakan obat analgesik opioid yang lebih kuat dibanding kodein.
Ditoleransi dengan lebih baik, dengan efek samping konstipasi yang lebih sedikit dan jangka
kerja yang lebih panjang. Terdapat bentuk oral maupun supositoria. Bila dengan pemberian oral
4x10 mg belum dapat mengontrol nyeri, perlu penggantian dengan morfin.
Morfin, merupakan obat yang sangat baik untuk mengontrol nyeri kronik berat dan
tersedia dalam berbagai bentuk sediaan.
IV. Anti-konvulsan
Karbamasepin, valproat sodium dan fenitoin seringkai digunakan pada nyeri neuropatik.
Pada usia lanjut, nyeri pasca-herpetika, nyeri pasca stroke dan nyeri neuropati perifer sering
terdapat dan obat anti-konvulsan ini seringkali lebih efektif dibanding analgesik untuk
mengontrolnya. Kesemua obat tersebut di eliminasi secara lambat pada lansia, dengan efek
samping sentral berupa sedasi, konfusio dan penurunan konsentrasi.
V. Antidepresan
Nyeri kronik seringkali didapatkan dalam bentuk campuran dengan depresi klinik, yang
mungkin timbul sekunder akibat nyeri yang menetap yang sering kali mengakibatkan imobilisasi
dan ketergantungan. Depresi dapat diterapi dengan obat anti-depresan dan/atau psikoterapi.
Antidepresan jenis trisiklik walaupun bukan terapi pilihan untuk depresi pada lansia karena efek
samping antikolinergiknya, sering digunakan untuk nyeri neuropatik.
VI. Obat-obat lain
Kapsaisin (zat aktif dari cabe/lombok) merupakan obat topikal yang digunakan untuk nyeri
neuropatik. Obat ini berdaya menurunkan substansi P di terminal saraf, suatu neuro-transmiter
yang bertanggung jawab atas transmisi nyeri. Kapsaisin mungkin berefek baik pada nyeri
neuropatik neuralgia pasca herpetika, nyeri neuropatik perifer dan pada beberapa luka saraf.
Meksiletin
Obat ini menunjukkan hasil baik pada beberapa penderita nyeri neuropatik, akan tetapi
penggunaannya pada usia lanjut dibatasi oleh efek sampingnya pada jantung.
Klonidin
Obat ini kadang-kadang digunakan untuk nyeri neuropatik, akan tetapi efektivitasnya rendah.
Efek samping membatasi penggunaannya, dan pada usia lanjut jarang sekali digunakan.
VII. Terapi fisik dan rehabilitasi lain
Lanjut usia dengan nyeri kronik biasanya mengalami perubahan fungsi sendi-sendi,
kekuatan otot, gerak langka, postur, mobilitas, tingkat kebugaran dan ketergantungan sebagai
akibat dari nyeri yang diderita. Fisioterapi dan terapi okupasi seringkali menguntungkan dan
memberi alternatif lain untuk mengembalikan fungsi penderita. Sebagai hasilnya, rasa nyeri
sering berkurang disertai peningkatan ketidaktergantungan. Alat bantu gerak dan alat untuk
membantu meningkatkan ketidaktergantungan dalam aktivitas personal maupun domestik
membantu meningkatkan kualitas hidup. Upaya penyederhanaan tugas dan ergonomik sering
mencegah kekambuhan nyeri pada saat melakukan aktivitas harian.
Teknik fisioterapi spesifik, antara lain olah raga ringan, pelatihan kembali pada gerak
langka, hidroterapi, interferential dan terapi panas atau dingin sangat berharga dalam
pengurangan rasa nyeri. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation) dapat digunakan
secara terus menerus untuk mengurangi nyeri kronik. Alat ini cukup aman dan cocok untuk
berbagai jenis nyeri kronik dan dapat digunakan terus menerus atau secara intermiten sesuai
keinginan penderita. Dapat digunakan sendiri oleh penderita lansia asalkan dapat melakukan
pemasangan elektrode dengan benar, atau ada keluarga yang membantu pemasangannya.
Terapi psikologik

Lansia seringkali memerlukan intervensi psikologik untuk penatalaksanaan nyeri kroniknya.


Edukasi tentang apa itu nyeri dan akibatnya, konseling, relaksasi, imagery, bio-feedback, teknik
pengalihan/distraction), hipnotis atau meditasi bisa bermanfaat. Beberapa lansia mungkin
mengalami kesulitan untuk merubah pola pikir dan perilaku, akan tetapi banyak diantaranya
yang mendapat manfaat dari strategi non farmakologik ini.
Konseling anggota keluarga dan mereka yang merawat penderita mungkin bermanfaat bila
penderitaan nyeri kronik dari salah seorang anggota keluarga menimbulkan stres pada keluarga
dan perubahan dalam dinamika keluarga tersebut.
VIII. Berbagai prosedur tindakan lain
Nyeri kronik pada lansia seringkali bisa dikontrol dengan berbagai tindakan, misalnya blok
saraf, penggantian sendi, laminektomi, atau revisi dari tindakan bedah yang lalu. Usia lanjut
bukan merupakan kontraindikasi prosedur tersebut, apabila jelas-jelas terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan akan memberi manfaat yang baik. Sebaliknya
tindakan bedah eksploratif tanpa kejelasan atas hasil yang akan dicapai, biasanya memberikan
hasil yang tidak baik dan oleh karenanya tidak dianjurkan.
Pada beberapa keadaan penggantian sendi mungkin akan memberi hasil yang baik, akan
tetapi karena kondisi medis multipel yang diderita, tindakan tersebut tidak mungkin untuk
dilaksanakan. Pada keadaan ini tindakan pengobatan konservatif harus terus dilaksanakan.

ASUHAN KEPERAWATAN
PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. Pencegahan Primer
Lansia adalah subjek terhadap nyeri akut dari infeksi, pembedahan, dan trauma. Masalahmasalah keseimbangan, vertigo, ketidakstabilan sendi, kelemahan otot, dan penurunan ketajaman
penglihatan merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami kecelakaan. Hal yang penting
untuk mencegah dan mengatasi rasa nyeri adalah mempertahankan kesehatan yang optimal.
Nutrisi, hidrasi, tidur, dan aktivitas perlu ditingkatkan.
2. Pencegahan Sekunder
PENGKAJIAN
Sebagian besar profesional kesehatan hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang
prevalensi nyeri pada lansia karena kurangnya pengkajian dan dokumentasi. Untuk dapat
ditangani, nyeri terlebih dahulu harus diidentifikasi dan didokumentasikan. Banyak orang
percaya bahwa nyeri tidak dapat dihindarkan seiring dengan penuaan. Lansia dapat menyangkal
rasa nyeri yang dirasakan karena takut menderita kanker, pengobatan medis, biaya, menjadi
beban keluarga, atau kemungkinan diinstitusionalisasi.
Tersedia beberapa alat yang sangat membantu untuk mengkaji nyeri. Salah satu alat yang
paling nyaman digunakan adalah skala intensitas nyeri 0 sampai 10.
Skala memberikan suatu pemahaman yang lebih objektif tentang nyeri seseorang. Skala
tersebut biasanya dengan mudah dapat digunakan dalam berbagai situasi. Grafik wajah-wajah
nyeri dan gambar grafik tubuh juga merupakan alat yang sangat berguna. Lansia harus diminta
untuk menggambarkan kualitas nyeri dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Perawat dapat
meminta pasien untuk menentukan apa yang membuat nyeri terasa lebih baik atau yang

membuatnya lebih buruk. Anjurkan pasien untuk menunjuk ke daerah nyeri atau menandai
lokasinya pada grafik tubuh.
Jika lansia mengalami nyeri akut, hanya pertanyaan esensial yang harus ditanyakan.
Seringnya memposisikan pasien atau imobilisasi dapat memperberat nyeri. Pertanyaan yang
tepat adalah sebagai berikut:

Kapan nyeri dimulai?

Bagaimana kualitasnya, termasuk intensitas?

Apa yang telah dilakukan untuk mengatasinya?

Kapan hal itu terjadi?

Apakah anda mengalami nyeri kronis?

Di mana itu?

Bagaimana kualitasnya?

Untuk melakukan pengkajian nyeri yang lengkap, perawat harus menanyakan kepada klien
tentang riwayat medisnya. Sering kali, ketika pasien berada dalam keadaan nyeri, ia mungkin
pergi ke beberapa dokter dan menerima berbagai jenis resep. Perawat harus menemukan
pengobatan yang digunakan oleh pasien, baik yang diresepkan maupun yang dibeli bebas. Jika
terdapat penyakit penyerta, ada resiko terjadi toksisitas dan reaksi sensitivitas karena asupan
obat-obat yang tidak sesuai. Apakah pasien menggunakan obat-obat tradisional untuk nyeri?
Bagaimana nyeri mempengaruhi kualitas kehidupan klien? Aktivitas? Fungsi sosial? Apakah
pasien mengalami depresi karena rasa nyerinya?
Perawat harus membangun rasa percaya dengan cara pada awalnya membiarkan pasien
mengetahui bahwa perawat percaya. Perawat harus tampak tidak tergesa-gesa dalam pengkajian,
memberikan waktu pada pasien untuk berespon. Perawat harus menghadap kepada orang
tersebut, berbicara perlahan-lahan dan jelas. Pasien mungkin memiliki masalah kognitif ringan
atau berat, dan mungkin menunjukkan masalah penglihatan atau pendengaran. Perawat harus
siap untuk membaca atau menunjukkan pertanyaan atau menggambarkan skala nomor kepada
pasien.
Evaluasi pengurangan rasa nyeri yang telah dicapai sangat penting untuk mencegah nyeri
memuncak melebihi tingkat yang dapat ditoleransi. Perawat tidak dapat bergantung pada pasien
dalam melaporkan pengurangan nyeri yang tidak adekuat karena ia percaya bahwa pengurangan
nyeri yang telah dicapai adalah yang terbaik atau permintaan bantuan yang lain mungkin ditolak.
Pasien harus dianjurkan untuk mengatakan rasa nyerinya dan membiarkan pemberi perawatan,
anggota keluarga, atau dokter mengetahui jika nyeri tidak terkendali. Namun, perawat tidak
boleh menjanjikan kepada pasien bahwa nyeri dapat dihilangkan sepenuhnya. Tujuannya adalah
untuk menurunkan nyeri sampai pada tingkat yang dapat ditoleransi dan tingkat fungsional.
Kesulitan dalam pengkajian nyeri dapat terjadi pada lansia yang tidak dapat
mengungkapkan sesuatu secara verbal, koma, atau konfusi. Perilaku-perilaku tertentu dapat

mengekspresikan nyeri seperti mengerang, kegelisahan, atau penarikan diri. Juga, perawat harus
waspada bahwa setiap kondisi atau penanganan yang oleh pasien yang dapat berbicara dikatakan
sebagai penyebab nyeri mungkin juga menjadi penyebab nyeri pada lansia yang tidak dapat
berbicara dalam situasi yang hampir sama. Reaksi terhadap penanganan nyeri mungkin sama
tidak bergantung pada apakah dia bisa atau tidak bisa mengungkapkan nyeri secara verbal.
Contoh kondisi ini adalah mengatur posisi pasien dengan fraktur atau kontraktur, mengganti
balutan, dan pemberian makanan melalui slang. Pasien tersebut harus diobati walaupun mereka
tidak dapat mengungkapkan nyerinya.
INTERVENSI KEPERAWATAN DENGAN FARMAKOLOGIS
Analgesik secara kontinu merupakan terapi utama dalam penatalaksanaan nyeri.
Sayangnya, salah satu alasan terbesar penanganan nyeri yang tidak tepat di negara maju adalah
akibat kurangnya pengetahuan tentang farmakologi analgesik. Untuk mencapai pengendalian
nyeri yang optimal melalui penggunaan analgesik, seseorang harus memahami prinsip-prinsip
dasar dari pemberian analgesik. Walaupun prinsip-prinsip ini diterapkan untuk semua pasien
yang merasa nyeri, ada beberapa hal khusus yang harus diperhatikan tentang penggunaan
analgesik untuk lansia.
Tiga jenis pengobatan yang biasa digunakan untuk mengendalikan nyeri: analgesik
nonopioid (mis: asetaminofen/tylenol dan aspirin), opioid (mis: NSAID), dan adjuvan. Adjuvan
bukan merupakan analgesik yang sebenarnya, tetapi zat tersebut dapat membantu jenis-jenis
nyeri tertentu, terutama nyeri kronis.

PEDOMAN PENGAJARAN : INSTRUKSI UNTUK LANSIA YANG MENGGUNAKAN NSAID

Pastikan untuk memberikan NSAID dalam masa percobaan yang adekuat (2-3 minggu)
sebelum memutuskan apakah obat itu efektif atau tidak

Jangan pernah menggunakan lebih dari satu NSAID pada satu waktu (termasuk aspirin)

Ikuti dengan uji feses rutin untuk mengetahui darah samar dan tes fungsi ginjal dan hati

Jangan menggunakan NSAID dengan steroid

Minum NSAID dengan makanan atau susu untuk mencegah gangguan pada GI

Informasikan dokter Anda jika terjadi efek yang tidak diinginkan

ANJURAN UNTUK PENATALAKSANAAAN FARMAKOLOGIS TERHADAP TIPE-TIPE NYERI


YANG SERING TERJADI PADA LANSIA
Tipe Nyeri
Nyeri inflamasi

Nonopioid
Salah satu dari

Opioid

Adjuvan
Antidepresan

(arthritis
rematoid,
osteoarthritis)

NSAID berikut
ini:
Clinoril
Trilisate
Disalcid
Dolobid
Ecotrin
Rimadyl
(Untuk semua
tipe nyeri yang
terdaftar,
hindari Feldene
dan Indocin)

Nyeri Kanker

Salah satu dari


NSAID di atas,
terutama jika
terdapat
metastasis
tulang

Nyeri
punggung
bagian bawah

Salah satu dari


NSAID di atas

Nyeri
neuropati
(pascastroke,
neuropati
diabetic,
neuralgia
pascaherpetik,
nyeri fantom
ekstemitas,
causalgia,
neuralgia
trigeminal)

Morfin oral
atau dilaudid
oral
(Untuk semua
tipe nyeri
yang
terdaftar,
hindari
Demerol,
metadon,
Talwin,
Nubain,
Stadol)
Oksikodon
oral, kodein
oral
Kodein oral,
oksikodon
oral, morfin
oral, Dilaudid
oral

trisiklik seperti
Pamelor atau
Sinequan
(Untuk semua
tipe nyeri yang
terdapat dalam
daftar, gunakan
Endep dan
Elavil secara
hati-hati,
karena lebih
banyak efek
antikolinergik
yang terlihat)
Antidepresan
trisiklik seperti
Pamelor atau
Sinequan

Antidepresan
trisiklik seperti
Pamelor atau
Sinequan
Antikonvulsan
seperti Tegretol
dan
antidepresan
trisiklik seperti
Pamelor atau
Sinequan.
Anestesi topical
(krim EMLA,
capsaicin,
Lidocaine)
Clonidine
Baclofen

PEDOMAN PENGAJARAN : PENATALAKSANAAN NYERI SECARA


FARMAKOLOGIS PADA LANSIA
Buat catatan harian tentang nyeri Anda dan apa yang membuatnya
terasa lebih baik atau lebih buruk
Gunakan obat yang diresepkan untuk nyeri sesuai dengan
waktunya pada jadwal yang telah ditetapkan
Giunakan aspirin atau obat anti-inflamasi non-narkotik lainnya
bersama makanan atau susu untuk menurunkan perubahanperubahan akibat gangguan lambung
Informasikan kepada perawat atau dokter tentang semua obat yang
Anda gunakan (baik yang diresepkan maupun yang dibeli bebas)
Cegah efek samping konstipasi yang umum terjadi, jika
menggunakan narkotik, dengan cara meningkatkan cairan dan serat
dalam diet Anda
Jangan khawatir akan adiksi jika Anda menggunakan narkotuk
untuk mengurangi nyeri
Laporkan adanya efek yang tidak diinginkan dari pengobatan
kepada perawat atau dokter
Beritahu perawat atau dokter jika nyeri terjadi di antara jadwal
penggunaan obat untuk nyeri
Tetaplah seaktif mungkin
Ingat, Anda berkuasa atas nyeri Anda, hanya Anda yang
mengetahui bagaimana rasanya

INTERVENSI NONINVASIF
Walaupun nyeri terutama ditangani melalui penggunaan obat-obatan, beberapa teknik
noninvasive dapat juga membantu mengendalikan nyeri: masase, relaksasi dan imajinasi,
stimulasi saraf dengan listrik transkutan (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation [TENS]),
penggunaan kompres panas atau dingin, sentuhan terapeutik, meditasi, hipnotis, dan akupresur.
Teknik-teknik ini pada umumnya aman, tersedia dengan mudah, dan dapat dilakukan di rumah
atau dalam lingkungan fasilitas perawatan akut.
Terdapat beberapa hal yang penting untuk diingat ketika menggunakan terapi panas atau
dingin atau TENS untuk lansia yang mengalami nyeri. Kewaspadaan diperlukan ketika
menggunakan terapi panas atau dingin pada pasien dengan riwayat penyakit vaskuler atau
diabetes. Luka bakar atau kerusakan jaringan akibat es dapat terjadi dengan mudah pada
seseorang dengan penurunan sensasi atau penurunan tingkat kesadaran. TENS
dikontraindikasikan pada lansia yang menggunakan pacu jantung karena stimulasi listrik dapat
mengganggu kerja alat pacu jantung jenis-jenis tertentu.
STRATEGI RELAKSASI
Latihan-latihan ini dirancang untuk membuat seseorang yang cemas, stress menjadi relaks.
Latihan ini dapat mengurangi nyeri secara efektif dengan cara melawan komponen stress.

Strategi relaksasi termasuk imajinasi terbimbing, relaksasi otot progresif, dan pengobatan.
Perawat dapat dengan mudah mengajarkan pasien untuk melakukan bentuk latihan relaksasi
yang sederhana seperti napas dalam dan memfokuskan pada suatu objek. Bentuk latihan
relaksasi singkat ini dapat efektif untuk mengontrol nyeri jangka pendek, dan nyeri tipe
procedural.
Karena lansia kaya dengan pengalaman hidup, teknik distraksi yang sederhana dapat
dilakukan dengan cara meminta pasien untuk mengingat masa-masa bahagia di masa lalu,
dengan melihat album foto, dan dengan menceritakan cerita-cerita dalam kaset rekaman. Teknik
apapun yang aman dan mudah untuk dilakukan sendiri oleh pasien sangat bermanfaat untuk
penatalaksanaan nyeri.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosis Keperawatan : Nyeri akut yang berhubungan dengan
fraktur femur dengan pen intratrokanter
Hasil yang diharapkan
Tindakan Keperawatan
Pasien akan mengatakan
Kaji laporan nyeri pasien,
adanya pengurangan nyeri
ketahui lokasi, intensitas dengan
secara jelas.
menggunakan skala nyeri 0-10,
setiap 2 jam
Ajarkan pasien untuk meminta
obat nyeri kapanpun ia
memerlukannya sebelum nyeri
menjadi berat
Berikan pengobatan analgesic
setiap 3-4 jam sesuai waktunya
untuk 48 jam
Pantau keefektifan analgesik dan
status kesadaran. Beri tahu
dokter jika analgesik tidak efektif
Sangga tungkai yang dioperasi
dengan kesejajaran yang tepat
menggunakan gulungan
trokanter dan bantal
Hindari fleksi pada tubuh
Pantau bukti-bukti komplikasi
Pasien menggunakan cara
Bantu pasien untuk
alternative untuk mengurangi
menggunakan strategi relaksasi,
stress yang berhubungan.
meliputi imajinasi terbimbing
dan relaksasi otot progresif
Pertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit yang
adekuat
Bantu pasien untuk istirahat

dengan menutup tirai dan pintu.


Berikan catatan pada pintu
pasien yang menyatakan Pasien
sedang beristirahat sampai ___
Diagnosis Keperawatan : Nyeri kronis yang berhubungan
dengan arthritis rheumatoid
Hasil yang diharapkan
Tindakan Keperawatan
Pasien menyatakan bahwa
Kaji nyeri dalam skala 0-10
nyeri dapat ditolerir dalam
setiap 3-4 jam
skala 0-10.
Minta pasien atau keluarga atau
keduanya untuk membuat
catatan atau laporan tertulis
tentang intensitas nyeri
Anjurkan pasien untuk
menggunakan obat sebelum
nyeri bertambah berat
Bantu pasien atau keluarga atau
keduanya untuk memasang bidai
dan mengobservasi atau untuk
mencegah daerah yang tertekan
Bantu dengan mandi air hangat
atau shower
Tinjau ulang gaya hidup dalam
hubungannya dengan sumbersumber stress yang dapat
dihindari dan hal-hal yang dapat
memperberat nyeri
Pastikan istirahat, nutrisi, dan
hidrasi yang adekuat
Dukung orang tersebut untuk
menggunakan tindakan-tindakan
mekanisme koping yang positif
seperti berdoa, meditasi,
relaksasi, atau distraksi
Pasien mempertahankan fungsi Bantu pasien menggunakan
sendi sebanyak mungkin.
NSAID dengan makanan dalam
dosis dan interval yang
ditentukan
Kaji rasa mual dan efek samping
lain
Pastikan bahwa latihan yang
diperintahkan dilakukan secara

benar
Minta pasien atau keluarga atau
keduanya untuk
mendemonstrasikan latihanlatihan yang harus dilakukan
setelah keluar dari rumah sakit
DOKUMENTASI YANG ESENSIAL
NYERI AKUT
Nyeri akut harus dikaji dan digambarkan pada interval yang teratur dan bila terdapat
perubahan dalam lokasi atau kualitasnya, hal-hal berikut harus dicatat :

Lokasi dan pergerakan

Penampilan lokasi

Intensitas pada skala 0-10, dengan 0=tidak ada nyeri dan 10=nyeri terburuk

Pengurangan nyeri atau kenyamanan pada skala 0-10, dengan 0=nyeri hilang dan
10=tidak ada pengurangan nyeri

Alat-alat bantu yang digunakan pasien

Tindakan-tindakan pengurangan nyeri yang dilakukan

Keefektifan intervensi pada skala 0-10

NYERI KRONIS
Nyeri kronis harus dikaji dan digambarkan satu kali sehari dan bila terdapat perubahan
kejadian atau kualitasnya.

Lokasi dan pergerakan

Intensitas pada skala 0-10, dengan 0=tidak ada nyeri dan 10=nyeri terburuk

Pengurangan nyeri atau kenyamanan pada skala 0-10, dengan 0=nyeri hilang dan
10=tidak ada pengurangan nyeri

Alat-alat bantu yang digunakan pasien

Apa yang memperberat nyeri

Apa yang membuat nyeri lebih baik

Efeknya pada tidur, nafsu makan dan mobilitas

Tindakan-tindakan pereda nyeri yang dilakukan

Keefektifan intervensi pada skala 0-10

3. Pencegahan Tersier
Perawat Sebagai Advokat dan Edukator Pasien
Posisi perawat dalam merawat lansia yang mengalami nyeri meliputi menjadi model peran
untuk orang lain untuk memeriksa sikap dan prasangka pasien pada nyeri. Perawat menjadi
advokat dengan mengajarkan kepada lansia dan keluarganya untuk mengharapkan pengurangan
nyeri yang adekuat. Pemerintah telah mengembangkan pedoman praktik klinis untuk nyeri akut,
nyeri punggung bagian bawah, dan nyeri kanker melalui lembaga Health Care and Policy and
Research. Standar-standar ini, jika secara konsisten digunakan, akan memiliki dampak yang
signifikan pada masalah nyeri. Perawat harus mengetahui sumber-sumber yang tersedia untuk
nyeri dan penatalaksanaannya untuk membantu lansia yang mengalami nyeri.
Nyeri bukan dan tidak boleh menjadi bagian normal dari penuaan. Melalui advokasi dan
pengajaran, upaya perawat dan upaya berbagai pihak untuk mengurangi nyeri adalah langka
pertama dalam melawan masalah nyeri pada lansia.

PENUTUP
Nyeri pada lansia dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, fisik dan psikologis.
Penanganan nyeri pada lansia, tergantung dari lokasi, lamanya nyeri tersebut berlangsung dan
berbagai faktor lain yang mempengaruhi. Penanganan rasa nyeri ini harus dilakukan secara
adekuat. Nyeri akut harus diselesaikan segera, dan penanganan nyeri kronis harus dilakukan
secara hati-hati. Penanganan nyeri tersebut harus dilakukan dengan assesmen yang sering
melibatkan disiplin lain: psikiater, occupational therapist dan dibawah pimpinan seorang
geriatrist dari penyakit dalam. Terapi nyeri dapat dengan cara pemberian obat secara oral, injeksi,
perilaku, operasi dan lain-lain yang melibatkan disiplin ilmu lain.

DAFTAR PUSTAKA
1. Brunner & suddath. (2001). Buku Ajar Bedah Medikal Bedah. Vol 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran. EGC.
2. Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol.2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran. EGC.

3. Jaimel Stockslager, Lisschaeffer. (2008). Askep Geriatrik Edisi 2. Jakarta: EGC


4. Martono, Hadi dan Krispranarka. (2010). Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri, Ilmu
Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
5. Mickey Stanley, Patricia Gauntlett Beare. (2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi
2. Jakarta: EGC
6. Price, Sylvia Anderson. Patologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Penerbit
Buku Kedokteran. Jakarta. EGC. 1990
7. R.Siti Maryam, Mia Fatma Ekasari, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan
Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika
8. Soejono. H.C.H. (2001). Gejala dan Tanda Penyakit pada Lanjut Usia, Subbag, Geriatri
Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI-RSUPN Ciptomangunkusumo
9. S.Thamher, Noorkasiani. (2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
10. Utama, Hendra, GERIATRI ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), edisi ke-2, Jakarta, 2000

Anda mungkin juga menyukai