Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Setiap orang, apalagi lansia (lanjut usia), tentu pernah merasakan nyeri selama
perjalanan hidupnya. Perasaan nyeri ini kualitas dan kuantitasnya berbeda dari satu orang
ke orang lain, tergantung dari tempat nyeri, waktu, penyebab dan lain-lain. Pada lansia
rasa nyeri ini sudah menurun, sehingga keluhan akan berkurang, karena kepekaan
sarafnya sudah mulai berkurang bahkan bisa sampai hilang sama sekali. Karena
berkurangnya rasa nyeri inilah maka diagnosis nyeri pada lansia seringkali sulit atau
bahkan kabur untuk dapat menentukan tempat/daerah asal nyeri (Warfields, 1991; Park
and Fulton, 1991).
Riwayat pengobatan nyeri sudah dapat ditemukan di zaman Babilonia, papyrus
Mesir dan dokumen-dokumen zaman Persia dan Troy. Untuk mengobati rasa nyeri, di
zaman primitif dilakukan dengan cara sangat sederhana tetapi cukup efektif, misalnya
dengan penekanan atau direndam di air dingin dari sungai. Pada zaman dahulu nyeri
dianggap sebagai hukuman dari Tuhan. Oleh karena itu istilah pain berasal dari kata
Latin poena yang berarti hukuman.
Pada tahun 2006 sebelum Kristus, didaerah Cina dikenal istilah Yin dan Yang
yaitu dua kekuatan yang saling bertentangan, yang dipersatukan oleh kekuatan yang
membentuk energi vital (chi) untuk sirkulasi. Keadaan yang tidak seimbang dari kedua
kekuatan tersebut akan menyebabkan rasa nyeri. Akupuntur akan memperbaiki
ketidakseimbangan itu dan menyembuhkan rasa nyeri. Pada zaman Mesir kuno dipercaya
bahwa nyeri disebabkan oleh spirit (roh) dari kematian, yang masuk kebadan melalui
hidung atau telinga dalam suasana gelap. Karena itu untuk mengeluarkan nyeri/spirit
tersebut dilakukan dengan jalan mengusahakan muntah-muntah, kencing, bersin, atau
keringat.
Pada 5000 tahun sebelum Kristus dipercaya bahwa nyeri merupakan akibat rasa
frustasi dari keinginan yang tak tersampaikan. Agama Hindu mengatakan bahwa jantung
adalah tempat dari segala rasa nyeri. Agak berbeda, filosof Yunani kuno memikirkan
bahwa yang jadi pusat dari perasaan nyeri adalah otak bukan jantung. Hippocrates
berpendapat bahwa fungsi badan kita dikontrol oleh empat cairan yaitu darah, phlegm,
empedu kuning dan empedu hitam. Nyeri merupakan manifestasi ketidakseimbangan

keempat cairan tersebut. Plato berfikir bahwa jantung dan hati merupakan pusat nyeri.
Aristotle mempercayai bahwa nyeri berpusat dijantung. Konsep Aristotle ini diteruskan
oleh William Harvey pada tahun 1623, Celcus mengemukakan teori yang saat ini menjadi
sangat terkenal, yaitu hubungan antara dolor (pain), tumor, rubor, dan calor. Pada 2000
sebelum Kristus, Galen berpendapat adanya suatu sistem syaraf yang terdiri dari cranial,
spinal, dan syaraf simpatis, dengan otak sebagai pusatnya.
Pertengahan antara pendapat yang menyatakan jantung atau otak sebagai pusat
nyeri, berlanjut sampai abad ke-19, yang akhirnya menyatakan bahwa pusat nyeri adalah
di otak. Begitu pula tentang bermacam-macam obat mulai dari poium, ramu-ramuan dan
lain sebagainya sampai ditemukannya morfin (dari opium).
Cara psikologis juga dicoba untuk menghilangkan nyeri mulai dari cara magis
sampai daya hipnotis. Sampai saat ini obat-obat penghilang rasa nyeri terus diteliti
dengan hasil berbagai macam obat yang efek sampingnya makin berkurang.
Nyeri adalah masalah bagi pasien dalam semua kelompok usia. Studi secara
konsisten menunjukkan nyeri yang tidak ditangani dengan baik. Studi klasik oleh Marks
dan Sachar melaporkan bahwa 73% pasien medis yang dirawat di rumah sakit mengalami
nyeri sedang sampai berat walaupun telah mendapatkan analgesik narkotik parenteral.
Danovan, Dillon, dan McGuire menemukan bahwa 353 pasien rawat inap medis
mengalami nyeri, dan 58% mengatakan bahwa rasa nyerinya luar biasa. Studi ini
menemukan bahwa nyeri ditanyakan atau dicatat pada kurang dari setengah pasien-pasien
tersebut.
Kurang dari 1% dari 4000 makalah tentang nyeri yang diterbitkan setiap tahunnya
memfokuskan pada lansia. Studi yang ada secara konsisten menunjukkan bahwa
penanganan nyeri adalah suatu masalah. Penggunaan analgesik menurun seiring
bertambahnya usia, dan lansia menambah sejumlah kecil nyeri pada saat masuk ke klinik.
Suatu studi pada penghuni rumah perawatan lansia melaporkan bahwa 83% mengalami
nyeri, banyak yang berada pada tingkat berat.
Terdapat beberapa alasan mengapa nyeri dan kurangnya masalah penanganan
nyeri dapat menjadi masalah bagi lansia. Pertama, prevalensi kondisi yang menyakitkan
dan penyakit sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 50% kanker di Amerika Serikat
terjadi pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun, dan 60 sampai 80% pasien dengan
kanker mengalami nyeri sedang sampai berat. Nyeri artritis terjadi pada lebih dari
setengah jumlah seluruh lansia dengan osteoartritis yang menyebabkan lebih banyak

nyeri kronis daripada kondisi yang lain. Jenis nyeri lain yang sering terjadi pada lansia
adalah sakit kepala, nyeri punggung bagian bawah, dan nyeri tajam dan menusuk, nyeri
neuropatik terbakar (misalnya fantom ekstremitas, neuropati diabetes, neuralgia
pascaherpetik, neuralgia trigeminal, dan kausalgia).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa penyebab nyeri pada lansia ?
2. Bagaimana tindakan keperawatan pada lansia yang mengeluh nyeri?
3. Bagaimana penatalaksanaan dari nyeri pada lansia
1.3 Tujuan Umum
Sebagai bahan referensi tambahan tentang penatalaksanaan pasien epiktasis bagi
mahasiswa
1.3.1 Tujuan Khusus
Sebagai bahan diskusi bersama diruang kuliah, dan ilmu pengetahuan baru bagi
mahasiswa S1 keperawatan

BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian
Nyeri adalah suatu sensasi yang disebabkan karena rusaknya jaringan, bisa dikulit sampai
jaringan yang paling dalam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa, nyeri sering dijumpai
pada penderita lansia biasanya sering diterapi secara paliatif, bahkan dengan manajemen
yang sering tidak adekuat (Monti DA,1998). Nyeri yang kronis biasanya berpengaruh pada
fungsi fisiologis berupa bertambahnya penderitaan dan menurunnya kualitas hidup lansia.

Definisi yang diungkapkan Mc Caffery dan Beebe (1989) berfokus pada pengalaman
individu nyeri individual , nyeri adalah apapun yang dikatakan seseorang , muncul saat
kapan pun seseorang mengatakannya (Meridean L Maas,2011).
2.2 Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat dibagi menurut berbagai cara, diantaranya berdasar pada sifat, kronologik,
atau atas dasar patofisiologinya.
2.2.1 Atas dasar sifat nyeri
Terdapat dua macam nyeri, yaitu : (Dwarakanath GK, 1991).
a. Nyeri tajam (Sharp pain), nyeri ini berupa perasaan yang menyengat, lokasinya jelas
dan rangsangan sangat cepat dijalarkan ke pusat. Nyeri jenis ini biasanya terdapat di
kulit dan rangsangan bersifat tidak terus-menerus.
b. Nyeri tumpul (Dull pain), biasanya didahului oleh Sharp pain. Nyeri ini dirasakan di
kulit sampai jaringan yang lebih dalam, terasa menyebar dan lambat dijalarkan
2.2.2

sedangkan rangsangat bersifat terus-menerus.


Atas dasar kronologi
Nyeri dapat dibagi ke dalam 2 golongan yaitu nyeri akut dan nyeri kronik.
a. Nyeri Akut, biasanya disebabkan karena penyakit dan merupakan reaksi biologis yang
merupakan suatu peringatan bagi pasien untuk segera mencari pertolongan. Nyeri
jenis ini merupakan suatu rangsangan yang sering mengakibatkan gerakan tak
terkendali (refleks) segera serta respons dari korteks serebri. Refleks yang dihasilkan
merupakan usaha untuk mempertahankan homeostasis yang menyebabkan kontraksi
otot-otot badan. Respon korteks serebi termasuk perasaan emosional, kecemasan,
ketakutan dan reaksi menyeringai, atau berteriak. Meskipun tidak diobati, dengan
tidak menggerakkan atau memfiksasi daerah nyeri, nyeri sering dapat sembuh sendiri,
tetapi bila nyeri adalah karena luka, misalnya luka bakar atau luka pasca bedah, upaya
tersebut tidak akan mempercepat penyembuhan. Bahkan bila luka ini tidak
mendapatkan pengobatan yang memadai, akan menimbulkan keadaan abnormal yang
sangat serius, baik secara fisiologis maupun psikologis, yang pada akhirnya akan
menimbulkan komplikasi yang akan memperlama penyembuhan.
b. Nyeri Kronis
Bila nyeri dirasakan lebih lama dari perjalanan penyakit atau lukanya, artinya rasa
nyeri masih menetap sesudah penyembuhan penyakit atau disertai dengan kelainan
kronis, maka disebut nyeri kronis. Kelainan ini dapat somatik atau psikologik atau
keduanya (Dwarakanath 1991, Portency 1997). Definisi tersebut seringkali diberi

batasan parameter waktu, yang beberapa ahli menyatakan 3 bulan, sedangkan ahli
lain memberi batasan 6 bulan atau lebih. Secara patofisiologik nyeri dibedakan
menjadi: nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik, nyeri psikologik dan nyeri campuran atau
2.2.3

yang sebabnya tak bisa ditentukan (undetermined).


Nyeri karena Patofosiologisnya
Meliputi nyeri :
1.
Nosi-septif misalnya, somatik (artritis, muskuloskeletal, kulit dan lain-lain)
viseral (organ-organ dalam)
2. Neuropatik misalnya, neuralgia post-herpetika
3. Nyeri campuran atau patofisiologi tak dapat ditentukan misalnya, nyeri kepala,
vaskulitis
4. Nyeri psikologik/psikogenik misalnya, gangguan somatisasi
Nyeri nosiseptif berasal dari rangsangan reseptor nyeri dan bisa timbul akibat
peradangan, deformasi mekanik atau perlukaan progresif. Jenis nyeri ini biasanya
bereaksi baik dengan obat analgesik dan upaya non-farmakologik (Workman, 1998).
Nyeri neuropatik diakibatkan oleh kerusakan dari sistem saraf pusat atau s.s. perifer.
Jenis nyeri ini biasanya bereaksi buruk terhadap analgesik konvensional akan tetapi baik
terhadap pengobatan antikonvulsan, anti depresan dan anti aritmik, juga terhadap strategi
non farmokologik.

2.3 Prevalensi
Prevalensi nyeri kronis meningkat pada lansia. Pada sebagian besar lansia, nyeri
merupakan masalah yang akan mempengaruhi aktivitas kegiatan sehari-hari dan kualitas
hidupnya. Nyeri juga merupakan keadaan yang sangat mengganggu dan menyebabkan
penyakit lain menjadi lebih parah (Warfields 1991; Park and Fulton 1991).
Pada lansia assesment dan pengobatan yang diteliti pada penderita nyeri kronis dapat
memberi hasil yang memuaskan (Park B and Fulton 1991). Pada penelitian didapatkan 66%
lansia yang dirawat di nursing home (panti rawat wredha) menderita nyeri kronis dan dari
66% ini 34% tidak terdeteksi sebelumnya. Para lansia sering tidak melaporkan rasa nyeri dan
tanda-tanda lain yang berkaitan dengan nyeri. Keengganan ini mugkin dikarenakan adanya
anggapan bahwa rasa nyeri itu umum didapatkan pada umur-umur lansia atau ada rasa
khawatir bahwa dokter mungkin akan menganggap remeh rasa nyeri tersebut bila
dibandingkan dengan keluhan-keluhan lainnya.

Sering pula terdapat lansia yang menganggap nyeri merupakan tanda-tanda mendekatnya
ajal, atau merupakan gejala yang lebih serius, sehingga justru membuat lansia merasa takut
untuk melaporkan kepada dokter.
2.4 Etiologi
Etiologi nyeri dapat digolongkan dalam 4 agen utama yaitu, biologis, kimiawi, fisik dan
psikologis (psikogenik).
1. Agen Biologis
Sejumlah etiologi yang berhubungan dengan nyeri dapat diklasifikasikan sebagai agen
bilogis, seperti kondisi inflamasi, neurologik, iskemia, dan muskuloskeletal.
a. Kondisi inflamasi.Nyeri inflamasi berkaitan dengan kombinasi beberapa faktor yaitu
sensitisasi, tekanan, perubahan suhu, dan zat kimiawi yang dilepaskan dari sel yang
mengalami cidera. Sebagai contoh, nyeri berkaitan ddengan artritis reumatoid berasal
dari proses inflamasi sendi yang terkena. Destruksi jaringan dikaitkan dengan proses
berbagai mediator seperti prostaglandin dan sejumlah sitokinin yang dilepaskan oleh
cairan sinovial dan sel yang berinfiltrasi
b. Kondisi neurologis. Nyeri yang berasal dari neurologis dapat ditemukan pada
sejumlah kondisi patologis yang umum terjadi pada lansia, termasuk herpes zooster,
neuralgia trigeminal, dan neuropati perifer seperti neuropatik diabetik.
c. Kondisi iskemik. Iskemia jaringan diakibatkan dari ketidakseimbanagan suplai dan
kebutuhan oksigen. Nyeri iskemik disebabkan oleh pembentukan asam laktat dalam
jaringan iskemik atau karena pelepasan zat kimiaseperti bradikinin dan histamin dari
sel yang rusak karena iskemik. Gangguan yang sering dikaitkan dengan nyeri iskemik
adalah iskemik miokardium yang menyebabkan angina dan penyakit vaskuler perifer.
d. Kondisi muskuloskeletal. Kondisi muskuloskeletal merupakan etiologi nyeri yang
signifikan pada lansia. Kondisi muskuloskeletal yang dikaitkan dengan nyeri yang b
iasa terjadi pada lansia adalah osteoartitis dan nyeri punggung bawah.
2. Agen Kimiawi
Pada beberapa kondisi patologik yang menyebabkan trauma jaringan dan kerusakan
seluler, bermacam bahan kimiawi mengahantarkan nyeri dilepaskan dengan cara
memengaruhi sensitivitas sarafakhir atau reseptor nyeri. Bahan bahan kimiawi yang
meningkatkan transmisi atau presepsi nyeri adalah histamin, bradikinin, serotinin,
kaluim, norepineprin. Serupa dengan hal itu, prostaglandin, leukotrin, (Bonica,1990
dalam Meridean L.Maas,2011).
3. Agen fisik

Berkurangnya presepsi sensoris dan kerusakan mobilitas membuat beberapa lansia lebih
rentan mengalami cidera, hasilnya adalah peningkatan insiden cidera yang berhubungan
dengan taruma fisik. Misalnya menurunnya daya penglihatan dan ganggua pergerakan
dapat menyebabkan lansia jatuh dan memicu terjadinya fraktur (Meridean L.Maas,2011).
4. Agen Psikologis
Walaupun semua nyeri yang dialami adalah nyata, biasanya fisiologis dan psikologis
turut berperan dalam menimbulkan nyeri tanpa memperhatikan penyebabnya. Nyeri yang
berasal dari psikologis atau psikogenik dapat didefinisikan sebgai nyeri terlokalisasi yang
hanaya disebabkan oleh situasi mental, tanpa adanya keluhan fisik yang memicu atau
menyebabkan nyeri
2.5 Penghambat Kesembuhan
Beberapa keadaan yang menyebabkan penanganan nyeri tidak adekuat dan tidak efektif
adalah (Park and Fulton, 1991) :
1. Kekurangan pengetahuan atau perhatian pada kontrol nyeri meliputi :
a. Kurang pengetahuan tentang patofisiologi nyeri
b. Ketidaktahuan tentang obat-obat analgesik atau cara-cara alternatif lain yang
meningkatkan efektifitas obat-obat yang ada
c. Kurangnya ketrampilan dalam cara pemberian obat analgetik secara regional
2. Kekeliruan asesmen nyeri dan penyembuhannya
3. Kekeliruan dalam komunikasi. Oleh karena rasa nyeri yang tak tertahankan,
penderita sering menekankan perlunya analgesik kepada para medis yang
bertanggung jawab merawatnya.
4. Ketakutan akan adiksi. Ketakutan adiksi ini membuat para staf medis memberikan
pengobatan yang kurang adekuat, antara lain tidak berani memberikan obat golongan
opioid.
5. Ketakutan efek samping obat. Ketakutan ini menjadikan para staf tidak berani
menaikkan dosis yang kurang pada pasien.
6. Takut akan menjadi masking effect
7. Pendapat bahwa penderitaan adalah suatu yang berharga. Hal ini membuat staf
medis mempunyai pendapat bahwa sakit tersebut sangat bermanfaat bagi
penyembuhan pasien.

2.6 Penatalaksanaan
Dalam penatalaksanaan rasa nyeri, diagnosis spesifik untuk menentukan tipe nyeri akan
sangat membantu pemilihan analgesik atau terapi lain. Diagnosis yang spesifik tersebut juga
mengarahkan pengertian atas penyebab rasa nyeri. Bila nyeri disebabkan oleh penyakit
vaskuler perifer, misalnya, obat-obat untuk memperbaiki sirkulasi, kompres hangat,
perlindungan pada daerah ekstrimitas, dan pemberian perhatian yang lebih pada daerah kulit
dan kuku, sedangkan obat yang mengganggu sirkulasi harus dihentikan.
Kadang diagnosis spesifik tidak bisa ditegakkan, sehingga terapi farmakologik diberikan
atas dasar karakteristik nyeri. Pemilihan obat dan rejimen pengobatan ditentukan oleh jenis
dan asal nyeri, periodisitasnya, saat-saat dimana nyeri paling dirasakan, keperluan
memberikan obat antiinflamasi, obat-obat lain yang didapat dan kemungkinan interaksinya,
riwayat pernah menggunakan analgesik, catatan tentang alergi obat, dan kemampuaan
penderita untuk mematuhi jadwal pengobatan. Riwayat atau pengetahuan mengenai jenis
analgesik yang pernah atau masih dipakai, efektivitas dan efek samping yang dirasakan,
dapat membantu pemilihan analgesik.
Dalam anamnesis nyeri, aktivitas rutin sehari-hari serta derajat nyeri dari waktu ke waktu
serta hubungannya dengan aktivitas akan bisa membantu menentukan rejimen dosis bagi
penderita tersebut yang disesuaikan dengan kegiatan sehari-hari dan tingkat rasa nyerinya.
Efek samping harus sudah diperkirakan dan sebaiknya diadakan tindakan pencegahan.
Konstipasi merupakan efek samping yang sering (terutama dengan opiat), sedasi dan
konfusio (dengan opiat, trisiklik, anti konvulsan), dispepsia (obat AINS). Penderita biasanya
sangat menghargai pemberitahuan tentang efek samping dari masing-masing obat dan apa
yang harus dikerjakan bila efek samping obat tersebut timbul.
Berbagai obat dan tatacara pengobatan yang sering digunakan pada penatalaksanaan
nyeri adalah sebagai berikut:
1. Analgesik sederhana
Parasetamol dan aspirin merupakan analgesik sederhana, dimana aspirin juga mempunyai
efek anti-inflamasi. Dalam penatalaksanaan nyeri, aspirin tidak lebih baik dari obat AINS
lain dan penggunaannya tidak direkomendasikan untuk pemakaian rutin yang teratur.

2. Obat AINS
Obat AINS merupakan analgesik efektif dengan daya anti-inflamasi. Obat ini
sering digunakan pada artritis dan nyeri muskuloskeletal serta keluhan nyeri lain yang
berdasar atas peradangan. Dikatakan bahwa golongan obat ini merupakan golongan obat
terbanyak ke-4 yang diresepkan pada usia lanjut.
Untuk pemakaian pada usia lanjut, harus diperhatikan bahwa ekskresi ginjal
sudah menurun, oleh karena itu obat AINS yang diekskresikan lewat ginjal (diflunisal,
indometasin, naproksen dan ketoprofen) harus diberikan dengan hati-hati.
Berbagai obat AINS mengadakan interaksi dengan obat-obat lain yang sering
banyak digunakan pada usia lanjut, diantaranya: digoksin, warfarin, fenitoin, valproat
dan litium. Untuk mengantisipasi hal ini, lakukan monitor kadar obat dalam plasma.
Efek samping lain yang dapat terjadi antara lain konfusio, tinnitus, agitasi dan
retensi cairan (hati-hati pada penderita hipertensi, gagal ginjal dan penyakit jantung
kongestif). Seperti juga pengobatan pada usia lanjut umumnya, harus diperhatikan bahwa
terapi dengan obat AINS tidak harus diberikan selamanya, dan secara periodik harus
diadakan reviu. Apabila inflamasi sudah terkontrol, fisioterapi mungkin dapat
mempertahankan fungsi tubuh dan pemberian analgesik sederhana mungkin sudah cukup
untuk mengobati nyeri ringan yang timbul.
III. Analgesik opioid
Terdapat pengertian yang keliru mengenai efek analgesik opioid pada usia lanjut dan
golongan usia lainnya. Ketakutan akan terjadinya adiksi dan efek samping (terutama pada usia
lanjut) seperti sedasi, konfusio, gangguan keseimbangan, konstipasi, konsentrasi berkurang dan
nausea. Akan tetapi perlu diketahui bahwa efek analgesik biasanya sudah tercapai dengan dosis
dibawah dosis yang menyebabkan adiksi, dan pemberian dengan titrasi serta pengawasan yang
baik, efek penyembuhan nyeri dapat dicapai tanpa efek samping berarti. Asosiasi Internasional
untuk studi tentang nyeri telah memberikan panduan untuk pemakaian golongan obat ini
(Workman BS, 1998).
Kodein, sendiri atau dalam kombinasi dengan parasetamol cukup efektif untuk mengontrol
nyeri sedang sampai berat. Penggunaannnya dibatasi oleh efek analgesik atap (ceiling effect) dan
efek samping konstipasi. Apabila nyeri belum terkontrol dengan dosis 60 mg fosfat kodein tiap
4-6 jam, dianjurkan untuk menggantinya dengan analgesik yang lebih kuat.

Oksi-kodon, merupakan obat analgesik opioid yang lebih kuat dibanding kodein.
Ditoleransi dengan lebih baik, dengan efek samping konstipasi yang lebih sedikit dan jangka
kerja yang lebih panjang. Terdapat bentuk oral maupun supositoria. Bila dengan pemberian oral
4x10 mg belum dapat mengontrol nyeri, perlu penggantian dengan morfin.
Morfin, merupakan obat yang sangat baik untuk mengontrol nyeri kronik berat dan
tersedia dalam berbagai bentuk sediaan.
IV. Anti-konvulsan
Karbamasepin, valproat sodium dan fenitoin seringkai digunakan pada nyeri neuropatik.
Pada usia lanjut, nyeri pasca-herpetika, nyeri pasca stroke dan nyeri neuropati perifer sering
terdapat dan obat anti-konvulsan ini seringkali lebih efektif dibanding analgesik untuk
mengontrolnya. Kesemua obat tersebut di eliminasi secara lambat pada lansia, dengan efek
samping sentral berupa sedasi, konfusio dan penurunan konsentrasi.
V. Antidepresan
Nyeri kronik seringkali didapatkan dalam bentuk campuran dengan depresi klinik, yang
mungkin timbul sekunder akibat nyeri yang menetap yang sering kali mengakibatkan imobilisasi
dan ketergantungan. Depresi dapat diterapi dengan obat anti-depresan dan/atau psikoterapi.
Antidepresan jenis trisiklik walaupun bukan terapi pilihan untuk depresi pada lansia karena efek
samping antikolinergiknya, sering digunakan untuk nyeri neuropatik.
VI. Obat-obat lain
Kapsaisin (zat aktif dari cabe/lombok) merupakan obat topikal yang digunakan untuk nyeri
neuropatik. Obat ini berdaya menurunkan substansi P di terminal saraf, suatu neuro-transmiter
yang bertanggung jawab atas transmisi nyeri. Kapsaisin mungkin berefek baik pada nyeri
neuropatik neuralgia pasca herpetika, nyeri neuropatik perifer dan pada beberapa luka saraf.
Meksiletin
Obat ini menunjukkan hasil baik pada beberapa penderita nyeri neuropatik, akan tetapi
penggunaannya pada usia lanjut dibatasi oleh efek sampingnya pada jantung.
Klonidin
Obat ini kadang-kadang digunakan untuk nyeri neuropatik, akan tetapi efektivitasnya rendah.
Efek samping membatasi penggunaannya, dan pada usia lanjut jarang sekali digunakan.
VII. Terapi fisik dan rehabilitasi lain

Lanjut usia dengan nyeri kronik biasanya mengalami perubahan fungsi sendi-sendi,
kekuatan otot, gerak langka, postur, mobilitas, tingkat kebugaran dan ketergantungan sebagai
akibat dari nyeri yang diderita. Fisioterapi dan terapi okupasi seringkali menguntungkan dan
memberi alternatif lain untuk mengembalikan fungsi penderita. Sebagai hasilnya, rasa nyeri
sering berkurang disertai peningkatan ketidaktergantungan. Alat bantu gerak dan alat untuk
membantu meningkatkan ketidaktergantungan dalam aktivitas personal maupun domestik
membantu meningkatkan kualitas hidup. Upaya penyederhanaan tugas dan ergonomik sering
mencegah kekambuhan nyeri pada saat melakukan aktivitas harian.
Teknik fisioterapi spesifik, antara lain olah raga ringan, pelatihan kembali pada gerak
langka, hidroterapi, interferential dan terapi panas atau dingin sangat berharga dalam
pengurangan rasa nyeri. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation) dapat digunakan
secara terus menerus untuk mengurangi nyeri kronik. Alat ini cukup aman dan cocok untuk
berbagai jenis nyeri kronik dan dapat digunakan terus menerus atau secara intermiten sesuai
keinginan penderita. Dapat digunakan sendiri oleh penderita lansia asalkan dapat melakukan
pemasangan elektrode dengan benar, atau ada keluarga yang membantu pemasangannya.
Terapi psikologik
Lansia seringkali memerlukan intervensi psikologik untuk penatalaksanaan nyeri kroniknya.
Edukasi tentang apa itu nyeri dan akibatnya, konseling, relaksasi, imagery, bio-feedback, teknik
pengalihan/distraction), hipnotis atau meditasi bisa bermanfaat. Beberapa lansia mungkin
mengalami kesulitan untuk merubah pola pikir dan perilaku, akan tetapi banyak diantaranya
yang mendapat manfaat dari strategi non farmakologik ini.
Konseling anggota keluarga dan mereka yang merawat penderita mungkin bermanfaat bila
penderitaan nyeri kronik dari salah seorang anggota keluarga menimbulkan stres pada keluarga
dan perubahan dalam dinamika keluarga tersebut.
VIII. Berbagai prosedur tindakan lain
Nyeri kronik pada lansia seringkali bisa dikontrol dengan berbagai tindakan, misalnya blok
saraf, penggantian sendi, laminektomi, atau revisi dari tindakan bedah yang lalu. Usia lanjut
bukan merupakan kontraindikasi prosedur tersebut, apabila jelas-jelas terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan akan memberi manfaat yang baik. Sebaliknya
tindakan bedah eksploratif tanpa kejelasan atas hasil yang akan dicapai, biasanya memberikan
hasil yang tidak baik dan oleh karenanya tidak dianjurkan.

Pada beberapa keadaan penggantian sendi mungkin akan memberi hasil yang baik, akan
tetapi karena kondisi medis multipel yang diderita, tindakan tersebut tidak mungkin untuk
dilaksanakan. Pada keadaan ini tindakan pengobatan konservatif harus terus dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai