Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
oleh:
DANU KUSUMA WARDHANI
LISTYONO WAHID R.
MUHAMMAD FARLIZHAR YUSUF
HARRY HAMYASA
ENDANG YULIA ANGRAINI
CHRISTY ANGELIA ARUNG LABI
SAPTA RAHAYUNINGRATRI
FERDINAND YUSUF P.
Pembimbing
dr. Satria Sewu, Sp. An
disfungsi ginjal yang reversible, yang lain telah menunjukkan perubahan tanda biokimia pada
kerusakan tubular tanpa adanya bukti adanya gangguan ginjal.
Obat lain dengan potensi untuk merusak fungsi ginjal termasuk aminoglikosida dan NSAID
dengan adanya sepsis, bahan radiocontrast dan obat-obat kemoterapi.
OBAT OBAT VASOAKTIF YANG DIGUNAKAN PADA DISFUNGSI GINJAL
1. Dopamine
Dopamine merupakan suatu ketekolamin endogen yang penting, sebuaqh prrekursor dari
noradrenalin
(norefinefrin)
dan
adrenalin
(epinefrin),
dan
juga
merupakan
sebuah
neurotransmitter. Dopamine dapat diatur secara farmakologis dan memiliki efek farmakodinamik
yang rumit, termasuk inotrofi, kronotrofi, vasokontriksi, dan vasodilatasi ginjal serta Limpa.
Dopamine inaktife secara oral dan harus di berikan secara intravena, karena di metabolisme
dalam bebrapa menit oleh enzim dopamine beta hidroxsilase dan monoamine oksidase ( T ,< 2
menit). Dopamine harus diencerkan sebelum diberikan secara intravena.
Mekanisme kerja
Pada umumnya semua ketekolamine, dopamine bekerja pada reseptor yang berbeda dalam
variasi dosis tertentu. Reseptor dopamine ada didalam berbagai tempat di tubuh dan dibagi
menjadi 5 sub tipe, dua reseptor terpenting pada system perifer kardiovascular dan ginjal adalah
DA1 dan DA2.
Pemberian dopamine dengan konsentrasi yang relative rendah secara intravena
mengaktifkan postsinaps reseptor DA1 pada pembuluh darah dan tubulus ginjal. Stimulasi
memicu terjadinya vasodilatasidan meningkatkan beberapa fungsi ginjal, seperti cortical renal
blood flow, glomerular filtration rate (GFR), ekskresi Na, dan urin output. Ada juga peningkatan
pada aliran mesentrika. Aktifasi dari presinaps reseptor DA2 menurubkan pelepasan noradrenalin
intrarenal,dimana memicu terjadinya vasodilatasihal trersebut juga menyebabkan hambatan pada
sekresi aldosterone dari kelenjar adrenal dan menurunkan reabsorpsi Na. secara teori hal ini
menurunkan konsumsi O2 oleh ginjal dan meningkatkan suplai O2 keginjal.
Dopamine merangsang reseptornya sendiri pada ginjal dan Limpa pada pemberian tetes lambat
(0,1 - 2 mikrogram / kilogram/ menit) efek ini dibarengi denga perubahan kecil pada kardiac
output dan frekuensi nadi. Penurunan pada arterial kreser dapat muncul dikarenakan oleh
4
hambatan dari system saraf simpatis yang di stimulasi oleh reseptor DA2 dan oleh vasodilatasi
yang diinduksi oleh reseptor DA1. Peningkatan pemberian secara intravena (2-5 miukrogram /
kilogram / menit) merangsang reseptor beta 1 dan beta 2 adrenergik, dimana menyebabkan
peningkatan kontraksi otot jantung, volume sekuncup, dan kardiak output. Pada pemberian dosis
ini frekuensi nadi biasanya tetap.
Dosis yang lebih tinggi (> 10 mikrogram/kg/menit) merangsang reseptor alfa adrenergic,
menyebabkan fasokontriksi, dan meningkatkan tahanan vascular perifer dan menurunkan alirtan
darah ke ginjal dan Limpa. Dosis dopamine yang diberikan secara intravena seperti yang
dijelaskan diatas merupakan panduan da nada pertimbangan variasi dari tiap pasien. Dosis
maksimum dimana dopamine hanya mempengarfuhi reseptornya dapat didiskuysikan dan harus
diputuskan secara individual. Hal tersebut dikarenakan pengaturan reseptor yang berbeda pada
tiap pasien, sehingga dosis yang sesuai untuk memperoleh efek yang diharapkan dapat bervariasi
dari waktu ke waktu.
Penggunaan klinis
Dopamine sering digunakan untuk mempertahankan aliran darah regional tetapi keefetifannya
dirasa berdasarka besarnya laporan dan data penelitian. Peningkatan hemodinamik, vasodilatasi
ginjal dan peningkatan aliran darah ginjal memiliki efek diuretic dan natriuretic. Karena urine
output pada pasien yang kritis dianggap merupakan penanda yang baik untuk menilai perfusi
jaringan oleh banyak klinisi, sehingga sifat diuretic dari dofamine dinilai. Bagaimanapun studi
klinis tidak menunjukkan keuntungan dari dosis rendah dopamine untuk melindungi ginjal atau
untuk mencegah dan mengobati gagal ginjal akut pada pasien yang kritis. Kenyataannya, hal
tersebut memicu distribusi aliran darah regional pada ginjal dengan memotong aliran darah dari
medulla terluar kekorteks. Hal ini berpotensi merusak pada gagal ginjal akut khusunya pada
medulla terluar untuk terjadinya injuri iskemik.
Penggunaan dosis yang tinggi pada dopamine sebagai inotropi selama gagal jantung atau sebagai
vasopressor selama hipotensi dirasa lebih baik. Berdasarkan keadaan ini, hal tersebut memiliki
efek yang menguntungkan pada fungsi renal tetapi hal tersebut harus dipastikan dengan keadaan
adekuat nya volume darah pada sirkulasi.
Efek Samping
5
Efek samping dopamine termasuk Takiaritmia, vasokontriksi dengan hipertennsi akut, dan mual
muntah karena efek langsung reseptor dalam kemoreseptor trigerzone. Pemberian intravena dari
dopamine tidak menghasilkan efek pada sisitem saraf pusat karena dopamine tidak dapat
menembus sawar darah otak. Efek merusak pada dopamine efek rendah pada pasien kritis adalah:
Menurunkan konsumsi oksigen pada Limpa pada pasien sepsis walaupun terjadi
hiperkapnia
Penurunan hormone anterior pituitary termasuk prolaktine, grothormone, TSH, dan
hormone tyroid.
Seharusnya dopamine diberikan melalui kateter vena sentral karena ekstravasasi dapat
menyebabkan nekrosis pada jaringan sekitar.
2. Dopexamine
Dopexamine merupakab sintetis katekolamin dengan struktur dan farmakologi yang
serupa fdenga dopamine , dan diguynakan untuk meningkat kan kardiak output serta efek dilatasi
pada ginjal serta limpa. Dopexamine inaktif secara oral karena pendrek nya waktu nparu ( 6
menit0 sehingga diberikan secara intravena melalui infus. Frekuennsi infus dimulai dari 0,5
mikrogram/kg/menit dan ditingkatkan hingga dosis trapeutik (hingga 6 mikrogram/kg/menit.
Toleransi biasanya berhubungan dengan pengaturan reseptor. Dopeksamin di metabolisme sama
dengan semua jenis ketekolami.
Dopeksamin merupakabn suatu agonis pada vascular dan reseptor dopaminergic DA1 dan DA2
pada ginjal. Ia juga merangsang reseptor beta 2 pada jantung dan vascular, dan memiliki efek
tidak langsung pada beta 1 yang terbatas. Hal tersebut menggabungkan aktifitas vasodilator,
kronotrofik dan inotrofik ringan dan juga digunakan pada kondisi kardiak output yang rendah
dimana vasodilatasi spesifik pada ginjal, hati dan limpa lebih menguntungkan. Peningkatan
frekuensi nadi pada dosis tertentu dapat menghasilkan natriuresis dan diuresis. Efekj melindungi
dari dopeksamin pada ginjal hanya sebuah teori dan masih membutuhkan pembuktian.
Efek samping yang paling sering adalah takikardi dan irama ventrikel yang tridak teratur saat
dosis tinggi diberikan. Mual dan muntah paling setring di sebabkan oleh rangsangan reseptor
DA2 pada kemoreseptor trigerzone.
6
3. Fenoldopame
Fenoldopame merupakan selektife agonis DA1. Dapat diberikan secara oral
dan
intravena dan digunakan untuk mengobati gagal jantung kongstif dan hipertensi.
4. Adenosin
Adenosin adalah sebuah senyawa purin alami dan sebuah mediator penting dalam
mengontrol aliran daah ginjal dan filtrasi glomerulus. Hal tersebut menyebabkan vasodilatasi
perifer dan penurunan tekanan ateri saat diberikan secara intravena. Hipotensi arteri yang
diinduksi oleh adenosin menghambat pelepasan renin oleh sel-sel juksta glomerulus dan memiliki
efek pada vaskular ginjal hal itu menyebabkan vasokontroksi sementara pada arteriol aferen,
terkombinasi dengan vasodilatasi dari arteriol eferen. Hal ini menghasilkan penurunan aliran
darah ginjal dan tekanan filtrasi glomerulus hal tersebut mengakibatkan penurunan sementara
pada fungsi renal yang mungkin diperankan oleh efek proteksi melawan iskemia injury.
Penurunan pada GFR biasanya dihubungankan dengan penurunan dengan volume ultrafiltrasi
reabsorbsi dan kebutuhan oksigen. Bagaimanapun adenosin merubah hasil keluaran iskemik
injury dan cedera ginjal akut dalam penggunaan klinis belum dapat dibuktikan secara klinis.
Baru-baru ini sebuah novel tentang reseptor antagonis A1 adenosin, BG9719 telah menjelaskan
diuresis tanpa perburukan fungsi ginjal. Adenosin juga memperlambat denyut jantung dan
mengganggu konduksi atrium ventrikular dan digunakan untuk mengobatin supraventrikular
takikardi.
5. Kalsium Channel Bloker ( Antagonis kalsium)
Antagonis kalsium bekerja secara selektif pada kalsium channel di membran sel organ
jantung, dan sel otot polos vaskular. Kalsium bebas didalam sel otot polos vaskular akan
meningkatkan tonus vaskular dan membuat vasokonstriksi. Antagonis kalsium juga mengurangi
influx kalsium transmembran di sel dan dengan mekanisme ini akan terjadi respon relaksasi sel
otot polos vaskular dan mempengaruhi untuk vasodilatasi.
Selain mempengaruhi vasodilatasi, obat ini juga mempunyai efek langsung sebagai
7
vasodilator. Karena itu, ACE inhibitor tidak hanya membuat vasodilatasi tetapi, oleh karena
penurunan pada formasi aldosterone, dan natrium reuptake, juga secara tidak langsung sebagai
efek diuretik pemeliharaan kalium. Kombinasi dari ACE inhibitor dan penyimpanan diuretic
kalium harus ditolak karenarisiko hyperkalemia.
Angiotensin II lebih penting untuk mempertahankan kemampuan tekanan glomerular
filtration pada pasien dengan penurunan perfusi ginjal. Adanya stenosis arteri ginjal, penggunaan
ACE inhibitor bisa membuat sebuah kerusakan dari fungsi ginjal karena penurunan tekanan
perfusi ginjal, yang disebabkan oleh penurunan pada tekanan arteri bersamaan dengan dilatasi
arteriol eferen glomerulus. Intinya kerusakan ginjal harus sudah diketahui sebelumnya bahwa
pasien tidak menderita kerusakan ginjal, sebelum penggunaan ACE inhibitor, dan saat pasien
menerima zat ini harus dimonitoring dan perlu hati hati.
7. Noradrenaline (Norepinephrine)/ Adrenaline (Epinephrine)/ Phenylephrine
Walaupun noradrenalin ( norepinefrin) dan adrenalin (epinefrin) juga mempunyai efek
beta reseptor, tiga-tiganya dari obat ini sangat berpotensi sebagai vasokonstriktor pada vascular
alpha reseptor. Penggunaannya sering disertai oleh ketakutan terinduksinya penurunan aliran
darah ginjal, GFR dan fungsi ginjal.
Arteriol eferen adalah tempat utama dari resistensi aliran di ginjal dan menentukan aliran
darah ginjal, tekanan perfusi dan GFR. Pada kasus hipotensi atau syok septik, memulihkan
tekanan perfusi pada ginjal adalah hal yg paling penting atau paling utama. Pemasukan satu dari
vasokonstriktor ini akan meningkatkan tekanan perfusi ginjal asalkan resusitasi cairan bisa
adekuat.
8. Antidiuretik Hormon/ Vasopresin/Desmopresin/DDAVP
Antidiuretik hormone (ADH) secara natural berasal dari tubuh, dan di produksi di
hipotalamus, di transportasikan oleh saraf axon turun ke kelenjar posterior pituitary an dari sana,
akan disekresikan ke darah. Pengeluaran ADH diregulasi oleh osmolaritas dari cairan extraselular
tubuh, perubahan pada tekanan arteri dan volume intravascular, dan saraf simpatis system.
Peningkatan osmolaritas darah dan hipovolemia menstimulasi osmoreseptor hipotalamus dan
baroreseptor arteri sebagai bagian dari respon stress. ADH dikeluarkan dan bekerja secara prima
pada reseptor di distal tubulus yang berkelok-kelok dan duktus kolektikus pada nefron, untuk
meningkatkan reabsorpsi air bebas dan memulihkan volume plasma. Ada atau tidak adanya ADH
menentukan luasnya jangkauan apakah exkresi ginjal mencampuri atau terkonsentrasi di urin.
9
ADH juga disebut vasopressin, karena sangat potensial efek vasokonstriktornya, bahkan lebih
baik daripada angiotensin.
Vasopresin menurunkan aliran darah limpa dan ginjal dan terkadang biasanya untuk
mengobati perdarahan pada varises esophagus. Desmopressin (DDAVP, 1-desamino-8-Darginine vasopressine) adalah wujud sintetik dari vasopressin yang tidak menyebabkan
vasokonstriksi. Digunakan pada kasus diabetes insipidus (i.e. diuresis spontan dengan osmolaritas
urin dibawah 200 mosm L)
DDAVP juga mempunyai kemampuan pada system koagulasi dengan meningkatkan
faktor VIII von Willebrand (VIII:vWF), faktor VIII koagulan (VIII:C), dan factor VIII-related
antigen(VIIIr:Ag)
aktivitasnya
dengan
menstimulasi
pengeluarannya
dari
tempat
penyimpanannya. Dosis 0,3 g /kg sering digunakan pada pengobatan perdarahan hemophilia.
Disfungsi platelet sering terjadi pada penyakit ginjal ketika konsentrasi urea tinggi terjadi.
Peningkatan bleeding time (>15 menit), meskipun perhitungan platelet normal (>100x109 /L),
bisa dikoreksi sebelum dilakukan operasi besar. Pengobatan paling sesuai saat ini adalah DDAVP
dengan dosis yang sama dengan diatas.
untuk melindungi ginjal selama keadaan iskemia, seperti pada aortic cross clamping serta
cardiopulmonary bypass. Meskipun demikian, penelitian manusia tidak berhasil menunjukkan
keefektifan dari obat-obat diuretic dalam pencegahan kegagalan ginjal akut. Serta tidak ada buktibukti ilmiah yang jelas pada poliuric renal dysfunction memiliki keluaran urin yang baik daripada
kasus oliguric renal dysfunction, akan tetapi secara umum diterima bahwa manajemen perawatan
intensif pada pasien dengan sakit berat akan menjadi lebih mudah jika ada keluaran urin-nya.
Obat-obatan diuretic diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerja dan site of action nya pada
nefron, antara lain :
Pada glomerulus dan tubulus renalis proksimal, seperti diuretic osmotic dan inhibitor
karbonik anhidrase
digunakan untuk memulai proses diuresis alkali untuk mengeliminasi asam organik lemah.
Penggunaan paling sering pada Acetazolamide adalah untuk mengurangi tekanan intraokuler
pada pasien-pasien glaukoma. Proses penghambatan dari karbonik anhidrase menghasilkan
penurunan formasi dari cairan humor okuli serta cairan serebrospinal. Hal ini sangatlah penting
untuk pencegahan dan manajemen daripada mountain sickness yang akut. Ketika digunakan
dalam pasien dengan periodik paralisis turunan, asidosis metabolic yang terjadi dapat menaikkan
konsentrasi Kalium dalam otot-otot skeletal sehingga meningkatkan gejala.
2. Diuretik Osmotik
Manitol
Manitol kurang baik diabsorbsi melalui saluran cerna, sehingga harus diberikan melalui
suntikan intravena, dengan dosis 0,25-1 gram/ KgBB. Pada dasarnya manitol tetap berada
didalam ruang intravascular tetapi kemudian ter-re-distribusi ke kompartmen ekstravaskular.
Manitol tidak dimetabolisme dan eksresinya tidak berubah melalui ginjal.
Manitol mengembangkan volume intravascular dan menghasilkan filtrasi glomerulus bebas
dengan hampir tanpa reabsorbsi pada tubulus proksimalis. Hal ini juga menurunkan proses
pemakaian energi dari reabsorbsi ion natrium dan air pada tubulus proksimalis. Hal ini mengacu
kepada tekanan osmotik yang menahan air dan natrium dalam tubulus dan sebagai
konsekuensinya adalah diuresis yang osmotik, seperti pada contoh peningkatan ekskresi urin dari
natrium, air, ion bikarbonat, dan klorida. Manitol tidak mengubah pH (tingkat keasaman) urin.
Peningkatan aliran darah ginjal mengurangi sekresi dari renin, yang mana dapat mengurangi
konsentrasi urin di ginjal.
Manitol biasa digunakan sebagai profilaksis pelindung ginjal dari kerusakan iskemik
(seperti pada bypass kardiopulmonal, cross-clamping aorta, atau pun pada keadaan hipotensi)
serta kegagalan ginjal akut selanjutnya. Sebelumnya telah dianjurkan bahwa penurunan
permintaan oksigen di sel-sel tubulus proksimalis dapat melindungi keseimbangan kadar oksigen.
Dengan meningkatkan aliran darah tubulus, bisa juga menyediakan efek pembilasan untuk
membersihkan debris sel nekrotik dari tubulus-tubulus ginjal setelah cidera iskemik. Efek
hiperosmotik dan penangkap radikal oksigen dari obat ini dapat juga mengurangi pembengkakan
endothelial sel tubulus. Meskipun demikian, walaupun manitol telah terbukti efektif pada
percobaan hewan, penelitian telah gagal menunjukkan efek proteksi ginjal di praktek-praktek
klinik. Ada juga sedikit bukti bahwa konversi dari keadaan gagal ginjal oliguri ke non-oliguri
12
menurunkan angka kematian pada pasien-pasien dengan sakit berat. Namun, manitol digunakan
secara teratur selama transplantasi ginjal untuk membantu melindungi ginjal donor.
Anasthetis sering menggunakan manitol untuk mengurangi tekanan intraokuler dan intracranial.
Pada pasien-pasien dengan fungsi jantung yang buruk, manitol dapat mempercepat terjadinya
edema pulmonal. Terkadang, obat ini juga dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas. Apabila
sawar darah otak tidak intak setelah mengalami cidera kepala atau pun pembedahan neuro,
manitol bisa masuk ke otak, menarik air bersamanya, kemudian menyebabkan pembengkakan
otak.
3. Loop Diuretics
Furosemid, bumetanid dan asam etakrinat diklasifikasikan sebagai loop diuretik karena
tempat kerja utamanya. Furosemid yang paling umum digunakan untuk loop diurethics.
a. Furosemid
Furosemid biasanya diberikan secara intravena (0,1 1 mg/kg) atau oral (0,75 3 mg/kg).
Obat ini diabsorpsi dengan baik secara oral dan sekitar 60% dosis mencapai sirkulasi sentral
dengan periode yang pendek, dengan efek maksimum setelah 1 -1,5 jam. Furosemid intravena
biasanya dimulai dengan dosis rendah 20 40 mg injeksi pada dewasa, tetapi dosis lebih tinggi
atau bahkan infus diberikan pada kasus pasien dewasa dengan gagal ginjal atau gagal jantung
kongestif kronik. Sekitar 90% obat terikat pada protein plasma dan volum distribusinya relatif
rendah. Metabolisme dan sekresi ke traktus gastrointestinal berkontribusi sekitar 30 % dosis
furosemid yang dieliminasi. Sisa yang diekresikan tidak diubah melalui filtrasi glomerulus dan
sekresi tubulus. Fungsi ginjal yang terganggu mempengaruhi proses eliminasi, tetapi penyakit
hepar tidak mempengaruhi ini. Waktu paruh eliminasi furosemid yaitu 1-1,5 jam.
Loop diuretics terutama bekerja di bagian medula ginjal pada pars ascending di lengkung
Henle (Ansa Henle). Setelah berasal dari filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus proksimal,
furosemid menghambat reabsorpsi klorida di epitel tebal pars ascending. Hal ini menyebabkan
sisa ion klorida, natrium, kalium dan hidrogen di tubulus untuk mempertahankan kenetralan
listrik, dan meningkatkan eksresinya di urin. Perpanjangan diuretik berikutnya ditentukan oleh
kosentrasi furosemid yang bekerja di bagian tubulus. Karena pars ascending
menentukan
peranan penting pada reabsorpsi natrium klorida di ginjal, furosemid berakibat pada respon
13
penelitian manusia hal ini gagal untuk mendukungnya. Loop diuretics, jika diberikan dengan
cepat pada iskemik gagal ginjal akut, dapat merubah keadaan oliguria menjadi non- oliguria.
Walaupun, non-oliguria gagal ginjal akut umumnya dihubungkan dengan angka kematian yang
lebih rendah, ada fakta kecil bahwa perubahan yang diproduksi oleh furosemid merubah
outcome. Furosemid tidak akan pernah digunakan, walaupun untuk oliguria yang disebabkan oleh
penurunan volum cairan intravaskuler atau dehidrasi, karena diuresis berikut dapat memperparah
hipovolemi dan iskemik ginjal. Sehingga penting untuk memperbaiki status volume intravaskuler
terlebih dahulu sebelum diberikan banyak obat.
Peningkatan tekanan intrakranial sering diobati dengan furosemid. Obat ini untuk
mengurangi cairan edem, menurunkan produksi cairan serebrospinal dan menurunkan tekanan
intrakranial tanpa mengubah osmolaritas plasma. Hal ini berbeda dengan manitol, kekacauan
barrier darah otak tidak mempengaruhi efek furosemid pada tekanan intrakranial.
14
pengecualian bahwa bumetamid diabsorpsi secara lengkap setelah diberikan oral dan angka
eliminasinya kurang tergantung pada fungsi ginjal. Kehilangan kalium juga suatu masalah
dengan bumetamid. Otoksitas seringkali kurang terjadi dibanding furosemid, tetapi toksik ginjal
lebih banyak masalah. Pada prektek klinis, tidak ada keuntungan yang jelas furosemid yang
berlebihan, asalkan dosis sama dengan diberikan.
c. Asam Etakrinik
Walaupun struktur molekular asam etakrinik sangat berbeda dari furosemid, obat ini
mempunyai sifat farmakologi yang hampir sama. Setelah pemberian intravena, obat ini terikat
protein plasma secara kuat dan kebanyakan obat dieliminasi oleh sekresi aktif di dalam tubulus
renal. Hampir satu pertiga dieksresikan di empedu. Resiko toksik dan efek samping mungkin
hampir sama dengan furosemid.
15
b. Spironolakton
Aldosteron menyebabkan reabsorbsi natrium and kalium berkurang pada tubulus distal.
Spironolakton mempunyai sturktur molekular steroid, bekerja sebagai antagonis kompetitif pada
reseptor aldosteron dan menginhibisi reabsorbsi natrium dan kalium. Pada kondisi tidak ada
aldosteron, obat ini tidak memiliki efek.
Setelah absorbsi peroral, Spironolakton di metabolisme segera menjadi beberapa
metabolit. Beberapa diantaranya aktif dan bekerja selama 15 jam.
Spironolakton menjadi pilihan yang tepat untuk pasien sirosis hepatis, asitesis dan
hiperaldosteron sekunder. Gagal jantung atau hipertensi dengan kondisi mineralocorticoid yang
tinggi (Sindrom Conns atau terapi prednisolon) juga merupakan indikasi. Spironolakton sering
dikombinasikan dengan thiazid untuk memaksimalkan efek diuretik dan mencegah kehilangan
kalium.
Hiperkalemia mungkin terjadi jika spironolakton digunakan pada pasien dengan disfungsi
renal. Jika digunakan dalam dosis tinggi dapat menyebabkan ginecomastia dan impotensi.
Ketika diuretik diresepkan untuk pasien dengan retensi cairan dan edema, 3 hal yang
penting yang harus diperhatikan. Pertama, walaupun efek diuretik sangat diperlukan dalam terapi
edema paru dan gagal jantung akut, diuresis dalam jumlah yang kecil dan perlahan lebih tepat
digunakan pada pasien utama dengan kebutuhan diuretik. Cara ini akan menurunkan efek
samping diuretik. Kedua, konsentrasi kalium plasma dan status hidrasi harus selalu diawasi
ketika diuretik sedang digunakan. Terakhir, diuretik terapi hanya menhilangkan gejala tetapi tidak
dapat mengatasi penyebab utama atau mengubah outcome pasien dengan edema.
Erythropoietin
Erythropoietin merupakan hormon yang bersirkulasi yang disekresikan oleh ginjal, yang
menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Kemampuan ginjal untuk
mensekresikan erythropoietin menurun seiring dengan penurunan kemampuan fungsi ekskresinya. Pasien dengan gagal ginjal kronis yang berat tidak mampu memproduksi erythropoietin
dengan jumlah yang adekuat, yang juga akan menyebabkan penurunan produksi sel darah merah.
Adanya retensi substansi yang bersifat toksik juga berkontribusi terhadap depresi sumsum tulang.
Selain itu, usia sel darah merah juga berkurang 50% seiring adanya gagal ginjal. Oleh sebab itu
pada pasien-pasien gagal ginjal hampir selalu memberikan gejala klinis anemia.
Pemberian jangka panjang recombinant human erythropoietin (rHUEPO) pada pasien
gagal ginjal kronik menunjukkan adanya stimulasi pada sumsum tulang, meningkatkan
diferensiasi sel darah merah dan mempertahankan viabilitas sel, sehingga dapat memperbaiki
anemia. Selain itu juga menurunkan pendarahan dengan cara meningkatkan adhesi platelet pada
pasien haemodialisa. Efek samping dari rHUEPO adalah meningkatkan hipertensi beserta
eksaserbasinya pada pasien yang telah memiliki hipertensi sebelumnya.
Imunosupresi
1. Prednisolon dan azathioprine
Kortikosteroid merupakan obat-obatan pertama
imunosupresi. Sebelumnya dosis yang sangat tinggi sering digunakan, yang mengakibatkan efek
samping yang umum pada penggunaan steroid, seperti cushingoid appereane, hipertensi,
hiperglikemi, dan osteoporosis. Pengalaman dan penelitian pada akhirnya menunjukkan bahwa
penggunaan dosis tinggi tidaklah perlu dan memberikan hasil yang lebih baik serta
meminimalisir efek samping.
Era modern imunosupresi diawali oleh penemuan azathioprine. Untuk waktu yang lama,
kombinasi azathioprine dan kortikosteroid merupakan gold standard pada operasi transplantasi.
Azathioprine merupakan derivat 6-mercaptropurine dan dimetabolisme hingga menjadi bentuk
aktif di hati. Menyebabkan terjadinya sintesis DNA dan RNA, dan dihentikan oleh enzim
xanthine oxidase. Penggunaan allopurinol (xanthine oxidase inhibitor) merupakan kontraindikasi
karena dapat menyebabkan supresi sumsum tulang, agranulositosis, dan leukopenia. Pasien yang
20
menggunakan azathioprine lebih rentan untuk terkena infeksi virus, malignansi pada kulit dan
disfungsi hati.
2. Ciclosporin A dan ciclosporin (Neoral)
Kemajuan besar berikutnya pada operasi transplantasi adalah penemuan ciclosporin A.
Peptida dari jamur ini mencegah proliferasi dan ekspansi clonal dari limfosit T. Kemungkinan
terjadinya penolakan yang bersifat akut berkurang secara signifikan oleh obat ini. Disamping
efek-efek samping yang disebabkan oleg ciclosporin A, obat ini telah dijadikan standar baru
melebihi immunosupresan lain. Ciclopsporin A bersifat lipophilic
diabsorbsi pada small bowel. Efek samping yang berat dari obat ini, seperti hipertrofi ginggiva,
hepatotoksik dan nefrotoksik menyebabkan obat ini tidak sempurna. Untuk waktu yang lama, tiga
terapi klasik meliputi prednisolon, azathioprine dan ciclosporin A.
Kini, telah diciptakan ciclosporin dalam bentuk yang baru dengan nama dagang Neoral.
Bersifat microemulsion yang meningkatkan bioavaibilitas dar ciclopsorin yang meningkatkan
absorpsinya. Ciclosporin (Neoral) lebih poten daripada generasi sebelumnya dan kini kebanyakan
pasien tranplantasi mendapatkan terapi agen ini.
3. Rapamycin
Rapamycin merupakan makrolida dengan antifungal dan memiliki sifat imunosupresi
yang poten. Mencegah terjadinya proliferasi T cells dan antagonis dari interleukin-2 pada
reseptornya. Agen ini 100 kali lebih poten dari ciclosporin A. Tidak mempunyai yang berarti pda
hati dan ginjal, namun dapat meningkatkan sifat nefrotoksik dan hepatotoksik dari ciclosporin.
4. FK506 (Tacrolimus)
FK506 merupakan makrolida antibiotik yang memiliki struktur yang mirip dangan
rapamycin. Memiliki sifat imunosupresi yang poten dengan menghambat aktifasi T cells dan
generasi interleukin-2. Mempunyai efek samping utama berupa nefrotoksik dan neurotoksik.
5. Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) merupakan imunosupresi terbaru yang dilisensikan untuk
digunakan pada transplantasi ginjal. Mampu menginhibisi enzim kunci pada jalur sintesis purin
dan juga mempunyai efek yang spesifik dan limosit B dan T. Sintesis molekul yang ber-adhesi
juga dihambat oleh MMF. MMF dinyatakan efektif dalan mencegah penolakan yang bersifat
kronis pada pasien tranplantasi ginjal dan tidak bersifat nefrotoksik dan hepatoksik.
Beragam variasi substansi dengan kemampuan imunosupresinya yang poten yang kini
21
sering saling dikombinasikan. Hal ini membuat individual terapi yang dapat disesuaikan dengan
komorbiditas pasien dan resiko immunologisnya. Regimen preoperatif yang sering digunakan
ditampilkan pada tabel.
Walau masing-masing agen mempunyai sifat imunosupresi yang baik, jarang sekali obatobatan baru ataupun yang telah ada digunakan sebagai terapi tunggal. Kombinasi fungsi inhibisi
presentasi antigen dan kegunaannya pada monoclonal antibodi masih dipertahankan.
Tabel. Regimen perioperatif pada tranplantasi ginjal yang umum digunakan
Preoperatif
Induksi imunosupresi (Ciclosporin (Neoral), FK506, Rapamycin)
Heparin 5000 unit subkutan
Ranitidin 150 mg diberikan secara oral (profilaksis pada stress ulcer)
Nifedipin 20 mg diberikan secara oral (vasodilator, free radical scavenger)
Induksi
Antibiotik profilaksis : Co-amoxyclav (Augmentin) 1,2 mg
Metilpredisolon 0,5 mg diberikan secara intravena
Pada saat anastomosis vascular
Mannitol 0,5 g/kg-1 dopamin 3-5 g kg-1 min-1
Postoperatif
Antibiotik profilaksis
Heparin 5000 unit diberikan subkutan, dua kali sehari
Co-trimoxazole 480 mg per oral, diberikan tiap hari (proteksi terhadap Pneumocytsis carinii)
Imunosupresi triple therapy
22