Anda di halaman 1dari 22

Bagian Ilmu Anastesi dan Reanimasi

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

OBAT OBAT YANG DIGUNAKAN PADA PENYAKIT GINJAL

oleh:
DANU KUSUMA WARDHANI
LISTYONO WAHID R.
MUHAMMAD FARLIZHAR YUSUF
HARRY HAMYASA
ENDANG YULIA ANGRAINI
CHRISTY ANGELIA ARUNG LABI
SAPTA RAHAYUNINGRATRI
FERDINAND YUSUF P.

Pembimbing
dr. Satria Sewu, Sp. An

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Ilmu Anastesi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2012
PERTIMBANGAN OBAT PADA PASIEN GANGGUAN FUNGSI GINJAL
Pengaruh Penyakit Ginjal pada Farmakokinetik
Penyakit ginjal dapat mempengaruhi farmakokinetik obat melalui beberapa mekanisme.
Obat bersifat asam biasanya akan terikat dengan albumin. Pada gagal ginjal terjadi penurunan
konsentrasi serum albumin, peningkatan konsentrasi serum urea, dan kompetisi antara substrat
endogen dan metabolisme obat yang terikat dengan protein plasma biasanya akan menurunkan
daya ikat plasma protein terhadap obat. Obat-obatan yang ikatan proteinnya tinggi dapat terjadi
peninggkatan pelepasan ikatan aktif serta fraksi bebas. Berdasarkan hal tersebut memungkinkan
terjadinya peningkatan volume distribusi. Obat-obatan yang dimetabolisme di hati untuk menjadi
lebih larut air, sehingga menjadi metabolit yang inaktif. Walaupun uremia mempunyai efek pada
metabolisme intermedit di hati, pada manusia biasanya obat tidak dapat mempengaruhi
metabolisme di hati.
Durasi aksi sebagian besar obat diatur oleh cara pemberian secara bolus atau pemberian infus
dalam waktu singkat tergantung pada redistribusi dan tidak terjadinya eliminasi. Biasanya
menurunkan dosis awal loading dose tidak diperlukan pada pasien dengan kelainan ginjal, tapi
selanjutnya pada dosis maintenance yang dicurigai akan terjadi akumulasi obat, dosis harus
dikurangi secara tepat. Metabolisme yang tidak larut dalam air adalah eliminasi pasif yang terjadi
filtrasi di glomerulus. Penurunan filtrasi glomerular pada penyakit ginjal dapat menyebabkan
akumulasi metabolit.
Pengaruh Obat pada Fungsi Ginjal
Semua bahan anastesi dapat menyebabkan depresi menyeluruh dari fungsi ginjal namun
bersifat sementara dan secara klinis tidak signifikan. Tetapi, pada obat yang bersifat nephorotoxic
dapat merusak fungsi ginjal secara permanen (Tabel 10.1) Sebagai contoh antara lain dapat
menyebabkan penurunan drastis pada natrium dan air , penurunan suplai darah di ginjal,
2

kerusakan ginjal secara langsung atau obstruksi ginjal.

Tabel 10.1 Mekanisme obat yang menyebabkan kerusakan ginjal


Penurunan Sodium dan air
Peurunan perfusi ginjal
Toksisitas ginjal secara langsung
Obstruksi pada saluran kemih
Beberapa zat inhalasi fluorinated sangat dikenal karena efek nefrotoksiknya, karena
mengakibatkan peningkatkan serum anorganik konsentrasi fluoride . Kontak yang terlalu lama
pada tubulus ginjal oleh ion fluorida menyebabkan gangguan fungsi pada ginjal yaitu poliuri,
menyebabkan dehidrasi, hipernatremia dan meningkatnya osmolaritas plasma. Pengalaman
dengan Methoxyfluran (tidak lagi digunakan secara klinis) menunjukan bahwa plasma fluoride
konsentrasi dari 50mol L1 berpotensi ,menjadi nefrotoksik. Walaupun halotan dan isofluran
nampaknya tidak memiliki pengaruh yang signifikan, pemberian berkepanjangan pada enfluran
dapat menyebabkan konsentrasi ion fluoride menjadi nefrotoksik.
Sevofluran mengalami sekitar 5% metabolisme dan salah satu metabolit utama adalah
fluoride. Perlu diperhatikan bahwa sevofluran mungkin hampir sama dengan metoksifluran dan
merusak kemampuan ginjal pada konsentrat urin. Namun, setelah pemberian sevofluran
dihentikan, terjadi penurunan cepat pada konsentrasi plasma fluoride karena tidak larut dan
terjadi eliminasi yang cepat pada paru. Produksi flouride di metabolisme intrarenal lebih sedikit
dengan sevofluaren dibandingkan metoksifluran. Meskipun telah digunakan secara luas tampak
bahwa toksisitas ginjal pada sevofluran tidak terlihat adanya masalah dalam klinis, penggunaan
jangka panjang tidak dianjurkan pada pasien dengan fungsi ginjal terganggu secara signifikan.
Aprotinin adalah inhibitor protease-serin, zat antifibrinolytic diberikan sesekali selama
operasi besar untuk meningkatkan hemostasis. Mengalami reabsorpsi aktif oleh tubulus
proksimal dan dimetabolisme oleh enzim di ginjal. Ada beberapa kontroversi tentang efeknya
pada fungsi ginjal. Meskipun beberapa studi telah menunjukan ada sedikitnya insiden terjadi
3

disfungsi ginjal yang reversible, yang lain telah menunjukkan perubahan tanda biokimia pada
kerusakan tubular tanpa adanya bukti adanya gangguan ginjal.
Obat lain dengan potensi untuk merusak fungsi ginjal termasuk aminoglikosida dan NSAID
dengan adanya sepsis, bahan radiocontrast dan obat-obat kemoterapi.
OBAT OBAT VASOAKTIF YANG DIGUNAKAN PADA DISFUNGSI GINJAL
1. Dopamine
Dopamine merupakan suatu ketekolamin endogen yang penting, sebuaqh prrekursor dari
noradrenalin

(norefinefrin)

dan

adrenalin

(epinefrin),

dan

juga

merupakan

sebuah

neurotransmitter. Dopamine dapat diatur secara farmakologis dan memiliki efek farmakodinamik
yang rumit, termasuk inotrofi, kronotrofi, vasokontriksi, dan vasodilatasi ginjal serta Limpa.
Dopamine inaktife secara oral dan harus di berikan secara intravena, karena di metabolisme
dalam bebrapa menit oleh enzim dopamine beta hidroxsilase dan monoamine oksidase ( T ,< 2
menit). Dopamine harus diencerkan sebelum diberikan secara intravena.
Mekanisme kerja
Pada umumnya semua ketekolamine, dopamine bekerja pada reseptor yang berbeda dalam
variasi dosis tertentu. Reseptor dopamine ada didalam berbagai tempat di tubuh dan dibagi
menjadi 5 sub tipe, dua reseptor terpenting pada system perifer kardiovascular dan ginjal adalah
DA1 dan DA2.
Pemberian dopamine dengan konsentrasi yang relative rendah secara intravena
mengaktifkan postsinaps reseptor DA1 pada pembuluh darah dan tubulus ginjal. Stimulasi
memicu terjadinya vasodilatasidan meningkatkan beberapa fungsi ginjal, seperti cortical renal
blood flow, glomerular filtration rate (GFR), ekskresi Na, dan urin output. Ada juga peningkatan
pada aliran mesentrika. Aktifasi dari presinaps reseptor DA2 menurubkan pelepasan noradrenalin
intrarenal,dimana memicu terjadinya vasodilatasihal trersebut juga menyebabkan hambatan pada
sekresi aldosterone dari kelenjar adrenal dan menurunkan reabsorpsi Na. secara teori hal ini
menurunkan konsumsi O2 oleh ginjal dan meningkatkan suplai O2 keginjal.
Dopamine merangsang reseptornya sendiri pada ginjal dan Limpa pada pemberian tetes lambat
(0,1 - 2 mikrogram / kilogram/ menit) efek ini dibarengi denga perubahan kecil pada kardiac
output dan frekuensi nadi. Penurunan pada arterial kreser dapat muncul dikarenakan oleh
4

hambatan dari system saraf simpatis yang di stimulasi oleh reseptor DA2 dan oleh vasodilatasi
yang diinduksi oleh reseptor DA1. Peningkatan pemberian secara intravena (2-5 miukrogram /
kilogram / menit) merangsang reseptor beta 1 dan beta 2 adrenergik, dimana menyebabkan
peningkatan kontraksi otot jantung, volume sekuncup, dan kardiak output. Pada pemberian dosis
ini frekuensi nadi biasanya tetap.
Dosis yang lebih tinggi (> 10 mikrogram/kg/menit) merangsang reseptor alfa adrenergic,
menyebabkan fasokontriksi, dan meningkatkan tahanan vascular perifer dan menurunkan alirtan
darah ke ginjal dan Limpa. Dosis dopamine yang diberikan secara intravena seperti yang
dijelaskan diatas merupakan panduan da nada pertimbangan variasi dari tiap pasien. Dosis
maksimum dimana dopamine hanya mempengarfuhi reseptornya dapat didiskuysikan dan harus
diputuskan secara individual. Hal tersebut dikarenakan pengaturan reseptor yang berbeda pada
tiap pasien, sehingga dosis yang sesuai untuk memperoleh efek yang diharapkan dapat bervariasi
dari waktu ke waktu.
Penggunaan klinis
Dopamine sering digunakan untuk mempertahankan aliran darah regional tetapi keefetifannya
dirasa berdasarka besarnya laporan dan data penelitian. Peningkatan hemodinamik, vasodilatasi
ginjal dan peningkatan aliran darah ginjal memiliki efek diuretic dan natriuretic. Karena urine
output pada pasien yang kritis dianggap merupakan penanda yang baik untuk menilai perfusi
jaringan oleh banyak klinisi, sehingga sifat diuretic dari dofamine dinilai. Bagaimanapun studi
klinis tidak menunjukkan keuntungan dari dosis rendah dopamine untuk melindungi ginjal atau
untuk mencegah dan mengobati gagal ginjal akut pada pasien yang kritis. Kenyataannya, hal
tersebut memicu distribusi aliran darah regional pada ginjal dengan memotong aliran darah dari
medulla terluar kekorteks. Hal ini berpotensi merusak pada gagal ginjal akut khusunya pada
medulla terluar untuk terjadinya injuri iskemik.
Penggunaan dosis yang tinggi pada dopamine sebagai inotropi selama gagal jantung atau sebagai
vasopressor selama hipotensi dirasa lebih baik. Berdasarkan keadaan ini, hal tersebut memiliki
efek yang menguntungkan pada fungsi renal tetapi hal tersebut harus dipastikan dengan keadaan
adekuat nya volume darah pada sirkulasi.
Efek Samping
5

Efek samping dopamine termasuk Takiaritmia, vasokontriksi dengan hipertennsi akut, dan mual
muntah karena efek langsung reseptor dalam kemoreseptor trigerzone. Pemberian intravena dari
dopamine tidak menghasilkan efek pada sisitem saraf pusat karena dopamine tidak dapat
menembus sawar darah otak. Efek merusak pada dopamine efek rendah pada pasien kritis adalah:

Menurunkan konsumsi oksigen pada Limpa pada pasien sepsis walaupun terjadi

peningkatan aliran darah limpa


Kemungkinan penurunan motilitas lambung dan penyerapan pada usus
Kerusakan pada ventilasi dan perfusi pada paru dan kontrol ventilasi pada hipoksemia dan

hiperkapnia
Penurunan hormone anterior pituitary termasuk prolaktine, grothormone, TSH, dan
hormone tyroid.

Seharusnya dopamine diberikan melalui kateter vena sentral karena ekstravasasi dapat
menyebabkan nekrosis pada jaringan sekitar.
2. Dopexamine
Dopexamine merupakab sintetis katekolamin dengan struktur dan farmakologi yang
serupa fdenga dopamine , dan diguynakan untuk meningkat kan kardiak output serta efek dilatasi
pada ginjal serta limpa. Dopexamine inaktif secara oral karena pendrek nya waktu nparu ( 6
menit0 sehingga diberikan secara intravena melalui infus. Frekuennsi infus dimulai dari 0,5
mikrogram/kg/menit dan ditingkatkan hingga dosis trapeutik (hingga 6 mikrogram/kg/menit.
Toleransi biasanya berhubungan dengan pengaturan reseptor. Dopeksamin di metabolisme sama
dengan semua jenis ketekolami.
Dopeksamin merupakabn suatu agonis pada vascular dan reseptor dopaminergic DA1 dan DA2
pada ginjal. Ia juga merangsang reseptor beta 2 pada jantung dan vascular, dan memiliki efek
tidak langsung pada beta 1 yang terbatas. Hal tersebut menggabungkan aktifitas vasodilator,
kronotrofik dan inotrofik ringan dan juga digunakan pada kondisi kardiak output yang rendah
dimana vasodilatasi spesifik pada ginjal, hati dan limpa lebih menguntungkan. Peningkatan
frekuensi nadi pada dosis tertentu dapat menghasilkan natriuresis dan diuresis. Efekj melindungi
dari dopeksamin pada ginjal hanya sebuah teori dan masih membutuhkan pembuktian.
Efek samping yang paling sering adalah takikardi dan irama ventrikel yang tridak teratur saat
dosis tinggi diberikan. Mual dan muntah paling setring di sebabkan oleh rangsangan reseptor
DA2 pada kemoreseptor trigerzone.
6

3. Fenoldopame
Fenoldopame merupakan selektife agonis DA1. Dapat diberikan secara oral

dan

intravena dan digunakan untuk mengobati gagal jantung kongstif dan hipertensi.
4. Adenosin
Adenosin adalah sebuah senyawa purin alami dan sebuah mediator penting dalam
mengontrol aliran daah ginjal dan filtrasi glomerulus. Hal tersebut menyebabkan vasodilatasi
perifer dan penurunan tekanan ateri saat diberikan secara intravena. Hipotensi arteri yang
diinduksi oleh adenosin menghambat pelepasan renin oleh sel-sel juksta glomerulus dan memiliki
efek pada vaskular ginjal hal itu menyebabkan vasokontroksi sementara pada arteriol aferen,
terkombinasi dengan vasodilatasi dari arteriol eferen. Hal ini menghasilkan penurunan aliran
darah ginjal dan tekanan filtrasi glomerulus hal tersebut mengakibatkan penurunan sementara
pada fungsi renal yang mungkin diperankan oleh efek proteksi melawan iskemia injury.
Penurunan pada GFR biasanya dihubungankan dengan penurunan dengan volume ultrafiltrasi
reabsorbsi dan kebutuhan oksigen. Bagaimanapun adenosin merubah hasil keluaran iskemik
injury dan cedera ginjal akut dalam penggunaan klinis belum dapat dibuktikan secara klinis.
Baru-baru ini sebuah novel tentang reseptor antagonis A1 adenosin, BG9719 telah menjelaskan
diuresis tanpa perburukan fungsi ginjal. Adenosin juga memperlambat denyut jantung dan
mengganggu konduksi atrium ventrikular dan digunakan untuk mengobatin supraventrikular
takikardi.
5. Kalsium Channel Bloker ( Antagonis kalsium)
Antagonis kalsium bekerja secara selektif pada kalsium channel di membran sel organ
jantung, dan sel otot polos vaskular. Kalsium bebas didalam sel otot polos vaskular akan
meningkatkan tonus vaskular dan membuat vasokonstriksi. Antagonis kalsium juga mengurangi
influx kalsium transmembran di sel dan dengan mekanisme ini akan terjadi respon relaksasi sel
otot polos vaskular dan mempengaruhi untuk vasodilatasi.
Selain mempengaruhi vasodilatasi, obat ini juga mempunyai efek langsung sebagai
7

diuretik, sehingga akan berhubungan dengan mekanisme jangka panjang antihipertensi.


Nifedipine meningkatkan volume urin dan ekskresi natrium, dan bisa menghambat pengeluaran
aldosteron. Aksi diuretik ini berkerja secara independen pada beberapa perubahan pada aliran
darah ginjal atau glomerulus filtration rate (GFR).
Karena efek vasodilatasi pada vaskular, obat ini baik digunakan dalam manajemen
kondisi pada keadaan vasokonstriksi patologik terjadi, seperti hipertensi, Raynauds disease,
migrain, dan prinzmental angina.
Antagonis kalsium sering digunakan sebagai sebagai vasodilator renovaskular dalam
situasi tertentu, contohnya kasus transplantasi ginjal. Dalam zat yang diterima ginjal, diltiazem
terlihat sebagai zat yang membuat vasodilatasi pada ginjal dan akan meningkatkan sirkulasi
intrarenal. Antagonis kalsium juga menurunkan influx kalsium dan produksi dari radikal bebas
oksigen pada reperfusi setelah terjadinya iskemia. Pada pasien ini, antagonis kalsium secara
signifikan meningkatkan fungsi ginjal dan menurunkan insidensi dari tubular nekrosis akut posttransplantasi. Selain itu, dapat juga mengurangi aksi vasokonstriktor dari ciclosporin. Walaupun
semua efek terlihat nyata dan bermanfaat, antagonis kalsium gagal dalam meningkatkan
ketahanan hidup transplantasi.
Antagonis kalsium bisa menyebabkan hipotensi dan dengan demikian akan menurunkan
perfusi ginjal. Karena itu penggunaannya tidak selalu dibenarkan dalam banyak kasus pada
postiskemik gagal ginjal akut. Efek dari depolarisasi dan non-depolarisasi agen inhibisi
neuromuscular blocking bisa meningkat karena antagonis kalsium. Peringatan harus selalu
dilakukan ketika kombinasi ini digunakan pada pasien dengan disfungsi ginjal.
6. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitors
Banyak pasien dengan hipertensi atau gagal jantung mempunyai peningkatan aktivitas
sistem renin-angiotensin-aldosteron. Kejadian ini akan meningkatkan sistemik vascular resisten,
lebih lanjutnya penurunan cardiac output dan perfusi ginjal, dan lebih banyak retensi natrium dan
cairan. Pasien ini lebih sering menerima pengobatan diuretic, yang mana dengan sendirinya akan
merangsang aktivitas renin. ACE inhibitor (e.g. captopril, enalapril, lisinopril) penggunaannya
meningkat pada scenario ini, sebagai obat pengganti, atau kombinasi dengan diuretic.
ACE inhibitor mempunyai afinitas yang sangat besar untuk tempat aktif ACE daripada
substrat naturalnya, angiotensin I. alhasil, konversi angiotensin I menjadi angiotensin II akan
terhambat. ACE juga berespon pada terhambatnya bradykinin, yang mana akan ampuh untuk
8

vasodilator. Karena itu, ACE inhibitor tidak hanya membuat vasodilatasi tetapi, oleh karena
penurunan pada formasi aldosterone, dan natrium reuptake, juga secara tidak langsung sebagai
efek diuretik pemeliharaan kalium. Kombinasi dari ACE inhibitor dan penyimpanan diuretic
kalium harus ditolak karenarisiko hyperkalemia.
Angiotensin II lebih penting untuk mempertahankan kemampuan tekanan glomerular
filtration pada pasien dengan penurunan perfusi ginjal. Adanya stenosis arteri ginjal, penggunaan
ACE inhibitor bisa membuat sebuah kerusakan dari fungsi ginjal karena penurunan tekanan
perfusi ginjal, yang disebabkan oleh penurunan pada tekanan arteri bersamaan dengan dilatasi
arteriol eferen glomerulus. Intinya kerusakan ginjal harus sudah diketahui sebelumnya bahwa
pasien tidak menderita kerusakan ginjal, sebelum penggunaan ACE inhibitor, dan saat pasien
menerima zat ini harus dimonitoring dan perlu hati hati.
7. Noradrenaline (Norepinephrine)/ Adrenaline (Epinephrine)/ Phenylephrine
Walaupun noradrenalin ( norepinefrin) dan adrenalin (epinefrin) juga mempunyai efek
beta reseptor, tiga-tiganya dari obat ini sangat berpotensi sebagai vasokonstriktor pada vascular
alpha reseptor. Penggunaannya sering disertai oleh ketakutan terinduksinya penurunan aliran
darah ginjal, GFR dan fungsi ginjal.
Arteriol eferen adalah tempat utama dari resistensi aliran di ginjal dan menentukan aliran
darah ginjal, tekanan perfusi dan GFR. Pada kasus hipotensi atau syok septik, memulihkan
tekanan perfusi pada ginjal adalah hal yg paling penting atau paling utama. Pemasukan satu dari
vasokonstriktor ini akan meningkatkan tekanan perfusi ginjal asalkan resusitasi cairan bisa
adekuat.
8. Antidiuretik Hormon/ Vasopresin/Desmopresin/DDAVP
Antidiuretik hormone (ADH) secara natural berasal dari tubuh, dan di produksi di
hipotalamus, di transportasikan oleh saraf axon turun ke kelenjar posterior pituitary an dari sana,
akan disekresikan ke darah. Pengeluaran ADH diregulasi oleh osmolaritas dari cairan extraselular
tubuh, perubahan pada tekanan arteri dan volume intravascular, dan saraf simpatis system.
Peningkatan osmolaritas darah dan hipovolemia menstimulasi osmoreseptor hipotalamus dan
baroreseptor arteri sebagai bagian dari respon stress. ADH dikeluarkan dan bekerja secara prima
pada reseptor di distal tubulus yang berkelok-kelok dan duktus kolektikus pada nefron, untuk
meningkatkan reabsorpsi air bebas dan memulihkan volume plasma. Ada atau tidak adanya ADH
menentukan luasnya jangkauan apakah exkresi ginjal mencampuri atau terkonsentrasi di urin.
9

ADH juga disebut vasopressin, karena sangat potensial efek vasokonstriktornya, bahkan lebih
baik daripada angiotensin.
Vasopresin menurunkan aliran darah limpa dan ginjal dan terkadang biasanya untuk
mengobati perdarahan pada varises esophagus. Desmopressin (DDAVP, 1-desamino-8-Darginine vasopressine) adalah wujud sintetik dari vasopressin yang tidak menyebabkan
vasokonstriksi. Digunakan pada kasus diabetes insipidus (i.e. diuresis spontan dengan osmolaritas
urin dibawah 200 mosm L)
DDAVP juga mempunyai kemampuan pada system koagulasi dengan meningkatkan
faktor VIII von Willebrand (VIII:vWF), faktor VIII koagulan (VIII:C), dan factor VIII-related
antigen(VIIIr:Ag)

aktivitasnya

dengan

menstimulasi

pengeluarannya

dari

tempat

penyimpanannya. Dosis 0,3 g /kg sering digunakan pada pengobatan perdarahan hemophilia.
Disfungsi platelet sering terjadi pada penyakit ginjal ketika konsentrasi urea tinggi terjadi.
Peningkatan bleeding time (>15 menit), meskipun perhitungan platelet normal (>100x109 /L),
bisa dikoreksi sebelum dilakukan operasi besar. Pengobatan paling sesuai saat ini adalah DDAVP
dengan dosis yang sama dengan diatas.

Itu juga bisa digunakan sebagai prfilaksis untuk

mengurangi perdarahan setelah pembedahan jantung.


DDAVP tidak bisa digunakan secara berulang karena tempat penyimpanan endothelial
faktor VIII:C menjadi habis, menghasilkan takifilaksis. Karena itu juga terlihat pengeluaran
activator plasminogen jaringan, DDAVP meningkatkan fibrinolysis dan penggunaan simultan dari
antifibrinolitik agen harus betul-betul dipertimbangkan. Walaupun vasopressin adalah
vasokonstriktor, injeksi secara cepat dari DDAVP bisa menyebabkan akut hipotensi sebagai hasil
dari vasodilatasi.
DIURETIK
Diuretik bisa menjadi salah satu obat yang paling sering diresepkan dalam praktek klinis.
Sesuai dengan definisinya, diuretik adalah penyebab diuresis dari air dan natrium. Ketika
digunakan dalam jangka panjang sebagai antihipertensi, atau untuk kegagalan ginjal kronik,
diuretik tidak hanya mengubah keseimbangan volum tubuh dan natrium melainkan juga berperan
sebagai vasodilator lemah. Pada lebih banyak dari peri-operatif dan kasus penanganan kegawatan
diuretik dibutuhkan dalam dosis yang besar. Pada gagal jantung akut, obat-obatan jenis diuretic
sangatlah bernilai dikarenakan tingginya rasio risk-benefit nya. Diuretic juga sering digunakan
10

untuk melindungi ginjal selama keadaan iskemia, seperti pada aortic cross clamping serta
cardiopulmonary bypass. Meskipun demikian, penelitian manusia tidak berhasil menunjukkan
keefektifan dari obat-obat diuretic dalam pencegahan kegagalan ginjal akut. Serta tidak ada buktibukti ilmiah yang jelas pada poliuric renal dysfunction memiliki keluaran urin yang baik daripada
kasus oliguric renal dysfunction, akan tetapi secara umum diterima bahwa manajemen perawatan
intensif pada pasien dengan sakit berat akan menjadi lebih mudah jika ada keluaran urin-nya.
Obat-obatan diuretic diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerja dan site of action nya pada
nefron, antara lain :

Pada glomerulus dan tubulus renalis proksimal, seperti diuretic osmotic dan inhibitor
karbonik anhidrase

Pars ascendens dari lengkung Henle seperti jenis loop diuretic

Tubulus distal seperti solongan thiazid, dan diuretic penyerap Kalium

Pada Collecting Duct Seperti golongan antagonis aldosteron

1. Inhibitor Karbonik Anhidrase


Acetazolamide
Acetazolamide sangat baik diabsorbsi tubuh, tidak dimetabolisme tetapi eksresinya oleh
ginjal hampir tidak berubah selama kurang lebih 24 jam. Toksisitasnya pun sangat jarang.
Acetazolamide merupakan inhibitor karbonik anhidrase serta beraksi pada tubulus kontortus
proksimal dari nefron. Pada kondisi fisiologis yang dibawah normal, enzim ini bertanggung
jawab untuk reabsorbsi Natrium dan pengeluaran ion-ion hydrogen. Sehingga inhibisi dari
karbonik anhidrase enzim mengurangi pengeluaran ion-ion hydrogen sehingga Natrium dan ion
bikarbonat tetap tinggal dalam tubulus renalis. Proses ini meghasilkan urin yang bersifat alkali
dengan kandungan ion-ion natrium bikarbonat yang tinggi. Hal ini meningkatkan eksresi natrium
menyebabkan dieresis sedang. Ion klorida dipertahankan untuk mempertahankan kestabilan ionic.
Seluruh perubahan ini dihasilkan pada keadaan asidosis metabolic hipercholremik.
Inhibitor karbonik anhidrase jarang digunakan sebagai diuretik utama oleh karena efek
diuretiknya yang lemah. Pada manajemen penanganan overdosis salisilat, jenis obat ini mungkin
11

digunakan untuk memulai proses diuresis alkali untuk mengeliminasi asam organik lemah.
Penggunaan paling sering pada Acetazolamide adalah untuk mengurangi tekanan intraokuler
pada pasien-pasien glaukoma. Proses penghambatan dari karbonik anhidrase menghasilkan
penurunan formasi dari cairan humor okuli serta cairan serebrospinal. Hal ini sangatlah penting
untuk pencegahan dan manajemen daripada mountain sickness yang akut. Ketika digunakan
dalam pasien dengan periodik paralisis turunan, asidosis metabolic yang terjadi dapat menaikkan
konsentrasi Kalium dalam otot-otot skeletal sehingga meningkatkan gejala.
2. Diuretik Osmotik
Manitol
Manitol kurang baik diabsorbsi melalui saluran cerna, sehingga harus diberikan melalui
suntikan intravena, dengan dosis 0,25-1 gram/ KgBB. Pada dasarnya manitol tetap berada
didalam ruang intravascular tetapi kemudian ter-re-distribusi ke kompartmen ekstravaskular.
Manitol tidak dimetabolisme dan eksresinya tidak berubah melalui ginjal.
Manitol mengembangkan volume intravascular dan menghasilkan filtrasi glomerulus bebas
dengan hampir tanpa reabsorbsi pada tubulus proksimalis. Hal ini juga menurunkan proses
pemakaian energi dari reabsorbsi ion natrium dan air pada tubulus proksimalis. Hal ini mengacu
kepada tekanan osmotik yang menahan air dan natrium dalam tubulus dan sebagai
konsekuensinya adalah diuresis yang osmotik, seperti pada contoh peningkatan ekskresi urin dari
natrium, air, ion bikarbonat, dan klorida. Manitol tidak mengubah pH (tingkat keasaman) urin.
Peningkatan aliran darah ginjal mengurangi sekresi dari renin, yang mana dapat mengurangi
konsentrasi urin di ginjal.
Manitol biasa digunakan sebagai profilaksis pelindung ginjal dari kerusakan iskemik
(seperti pada bypass kardiopulmonal, cross-clamping aorta, atau pun pada keadaan hipotensi)
serta kegagalan ginjal akut selanjutnya. Sebelumnya telah dianjurkan bahwa penurunan
permintaan oksigen di sel-sel tubulus proksimalis dapat melindungi keseimbangan kadar oksigen.
Dengan meningkatkan aliran darah tubulus, bisa juga menyediakan efek pembilasan untuk
membersihkan debris sel nekrotik dari tubulus-tubulus ginjal setelah cidera iskemik. Efek
hiperosmotik dan penangkap radikal oksigen dari obat ini dapat juga mengurangi pembengkakan
endothelial sel tubulus. Meskipun demikian, walaupun manitol telah terbukti efektif pada
percobaan hewan, penelitian telah gagal menunjukkan efek proteksi ginjal di praktek-praktek
klinik. Ada juga sedikit bukti bahwa konversi dari keadaan gagal ginjal oliguri ke non-oliguri
12

menurunkan angka kematian pada pasien-pasien dengan sakit berat. Namun, manitol digunakan
secara teratur selama transplantasi ginjal untuk membantu melindungi ginjal donor.
Anasthetis sering menggunakan manitol untuk mengurangi tekanan intraokuler dan intracranial.
Pada pasien-pasien dengan fungsi jantung yang buruk, manitol dapat mempercepat terjadinya
edema pulmonal. Terkadang, obat ini juga dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas. Apabila
sawar darah otak tidak intak setelah mengalami cidera kepala atau pun pembedahan neuro,
manitol bisa masuk ke otak, menarik air bersamanya, kemudian menyebabkan pembengkakan
otak.
3. Loop Diuretics
Furosemid, bumetanid dan asam etakrinat diklasifikasikan sebagai loop diuretik karena
tempat kerja utamanya. Furosemid yang paling umum digunakan untuk loop diurethics.
a. Furosemid
Furosemid biasanya diberikan secara intravena (0,1 1 mg/kg) atau oral (0,75 3 mg/kg).
Obat ini diabsorpsi dengan baik secara oral dan sekitar 60% dosis mencapai sirkulasi sentral
dengan periode yang pendek, dengan efek maksimum setelah 1 -1,5 jam. Furosemid intravena
biasanya dimulai dengan dosis rendah 20 40 mg injeksi pada dewasa, tetapi dosis lebih tinggi
atau bahkan infus diberikan pada kasus pasien dewasa dengan gagal ginjal atau gagal jantung
kongestif kronik. Sekitar 90% obat terikat pada protein plasma dan volum distribusinya relatif
rendah. Metabolisme dan sekresi ke traktus gastrointestinal berkontribusi sekitar 30 % dosis
furosemid yang dieliminasi. Sisa yang diekresikan tidak diubah melalui filtrasi glomerulus dan
sekresi tubulus. Fungsi ginjal yang terganggu mempengaruhi proses eliminasi, tetapi penyakit
hepar tidak mempengaruhi ini. Waktu paruh eliminasi furosemid yaitu 1-1,5 jam.
Loop diuretics terutama bekerja di bagian medula ginjal pada pars ascending di lengkung
Henle (Ansa Henle). Setelah berasal dari filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus proksimal,
furosemid menghambat reabsorpsi klorida di epitel tebal pars ascending. Hal ini menyebabkan
sisa ion klorida, natrium, kalium dan hidrogen di tubulus untuk mempertahankan kenetralan
listrik, dan meningkatkan eksresinya di urin. Perpanjangan diuretik berikutnya ditentukan oleh
kosentrasi furosemid yang bekerja di bagian tubulus. Karena pars ascending

menentukan

peranan penting pada reabsorpsi natrium klorida di ginjal, furosemid berakibat pada respon
13

bertanda diuretik. Penurunan pada reabsorpsi natrium klorida menyebabkan pengurangan


kemampuan kosentrasi urin pada interstitium medula hipertonik secara normal.
Furosemid meningkatkan aliran darah a.renalis jika volum cairan intravaskuler
dipertahankan. Hal ini menyebabkan pembagian kembali sehingga aliran ke bagian luar pada
korteks yang tersisa tidak berubah sementara aliran ke bagian dalam korteks dan medula ginjal
ditingkatkan. Ini menyebabkan peningkatan oksigen pada jaringan ginjal. Efek ini, bersama
dengan peningkatan pelepasan renin dan pengaktifan angiotensin aldosteron , diinduksi melalui
prostaglandin. Keuntungan khusus loop diuretics yaitu batas efek tinggi (peningkatan dosis
menyebabkan peningkatan diuretik).
Furosemid menjadi pilihan diuretik untuk edema pulmonary akut atau edema lainnya
dengan keadaan berlebihan cairan akibat gagal jantung, gagal ginjal dan gagal hepar. Obat ini
mengurangi volum cairan intravaskuler dengan meningkatkan aliran, kekuatan diuretik
dipengaruhi oleh GFR yang rendah. Dasar vaskuler pulmonary dan kapasitas pembuluh darah
didilatasi oleh furosemid, dan sering membantu dispnue dan pengurangan tekanan pulmonary
terjadi sebelum efek diuretik terjadi. Pada pasien hipertensi, vasodilatasi dan pengurangan
preload menyebabkan penurunan pada tekanan arterial.
Penggunaan furosemid sebagai propilaksis pelindung dari iskemik ginjal dan pengobatan
untuk gagal ginjal akut masih kontroversi. Pada umumnya dengan manitol, furosemid telah
terlihat pada penelitian hewan untuk membantu melindungi

iskemik ginjal. Namun, pada

penelitian manusia hal ini gagal untuk mendukungnya. Loop diuretics, jika diberikan dengan
cepat pada iskemik gagal ginjal akut, dapat merubah keadaan oliguria menjadi non- oliguria.
Walaupun, non-oliguria gagal ginjal akut umumnya dihubungkan dengan angka kematian yang
lebih rendah, ada fakta kecil bahwa perubahan yang diproduksi oleh furosemid merubah
outcome. Furosemid tidak akan pernah digunakan, walaupun untuk oliguria yang disebabkan oleh
penurunan volum cairan intravaskuler atau dehidrasi, karena diuresis berikut dapat memperparah
hipovolemi dan iskemik ginjal. Sehingga penting untuk memperbaiki status volume intravaskuler
terlebih dahulu sebelum diberikan banyak obat.
Peningkatan tekanan intrakranial sering diobati dengan furosemid. Obat ini untuk
mengurangi cairan edem, menurunkan produksi cairan serebrospinal dan menurunkan tekanan
intrakranial tanpa mengubah osmolaritas plasma. Hal ini berbeda dengan manitol, kekacauan
barrier darah otak tidak mempengaruhi efek furosemid pada tekanan intrakranial.
14

Kelebihan dosis furosemid sering menyebabkan abnormalitas cairan atau elektrolit.


Hipokalemi kronik dapat mempercepat aritmia jantung yang berbahaya. Khususnya pada
kosentrasi tinggi digitalis. Ini juga mempertinggi efek relaxan otot non depolarisasi. Hipovolemi,
dehidrasi dan haemokonsentrasi berikut dapat menyebabkan perubahan pada viskositas darah.
Hiperurisemia dan uremia prerenal dapat menghasilkan dan mempercepat serangan gout akut
pada pasien yang sebelumnya tidak memiliki gout.
Furosemid dapat menyebabkan konsentrasi tinggi pada aminoglikosida dan sefalosporin
di ginjal dan obat ini dapat mempertinggi efek nefrotoksisnya. Perpanjangan konsentrasi
furosemid yang tinggi di darah dapat mempunyai sebuah efek yang merusak pada fungsi ginjal
melalui hasil kerja toksis langsung di nefritis interstitial. Obat ini juga dapat menyebabkan
transient atau permanen ketulian karena perubahan komposisi elektrolit endolimpe. Pasien alergi
dengan obat sulpfonamide lainnya dapat mempunyai reaktivitas silang, walaupun reaksi
idiosinkratik jarang.
b. Bumetanid
Mekanisme kerja bumetanid dan efeknya sama dengan furosemid. Perbedaan antara dua
obat ini yaitu potensi dan bioavaibilitas bumetamid lebih besar, sehingga diperlukan dosis lebih
kecil. Dosis dewasa adalah 0,5 3 mg i.v dalam 1-2 menit. Onset diuresis sampai 30 menit dan
biasanya berakhir setelah 4 jam.

Farmakokinetik obat ini sama dengan furosemid, dengan

pengecualian bahwa bumetamid diabsorpsi secara lengkap setelah diberikan oral dan angka
eliminasinya kurang tergantung pada fungsi ginjal. Kehilangan kalium juga suatu masalah
dengan bumetamid. Otoksitas seringkali kurang terjadi dibanding furosemid, tetapi toksik ginjal
lebih banyak masalah. Pada prektek klinis, tidak ada keuntungan yang jelas furosemid yang
berlebihan, asalkan dosis sama dengan diberikan.
c. Asam Etakrinik
Walaupun struktur molekular asam etakrinik sangat berbeda dari furosemid, obat ini
mempunyai sifat farmakologi yang hampir sama. Setelah pemberian intravena, obat ini terikat
protein plasma secara kuat dan kebanyakan obat dieliminasi oleh sekresi aktif di dalam tubulus
renal. Hampir satu pertiga dieksresikan di empedu. Resiko toksik dan efek samping mungkin
hampir sama dengan furosemid.
15

4. Diuretik Golongan Thiazid


Meskipun diuretik golongan thiazid jarang digunakan dalam prosedur anestesi, pada
operasi untuk pasien-pasien yang mendapatkan obat-obat hipertensi kronik dan gagal jantung,
diberikan obat golongan thiazid dengan dosis dan efek yang sama dengan penggunakan sebagai
diuretik. Bendroflumethiazid, cholorothiazid, hydrocholorothiazid dan chlortalidone adalah
beberapa contoh diuretik golongan thiazid. Pada umumnya memiliki masa kerja antara 6 12
jam. Dibandingkan dengan loop diuretik, thiazid memiliki waktu kerja yang lebih lama, bekerja
pada tempat yang berbeda, memiliki efek langit-langit yang rendah dan kurang efektif pada
gagal ginjal.
Penggunaan diuretik golongan thiazid umumnya peroral, di absorbsi dengan cepat oleh
saluran pencernaan dan menginisisiasi diuresis dalam 1-2 jam. Perbedaan utama antara thiazid
yang tersedia adalah adalah kecepatan eliminasinya. Thiazid di distribusikan ke ekstraseluler dan
di eliminasi di tubulus proksimal dengan metode sekresi aktif.
Thiazid menghambat pompa aktif reabsorbsi natrium dan klorida pada kortikal ascending
lengkung henle dan tubulus kontortus distal. Karena itu, kemampuan mempengaruhi konsentrasi
elektrolit urine oleh ginjal tidak terganggu, normalnya area ini bertanggungjawab untuk
reabsorbsi natrium sebesar kurang dari 5%. Dalam kemampuan diuresis, golongan thiazid kurang
efektif dibandingkan dengan loop diuretik, Kontras dengan loop diuretik, Thiazid dapat
menurunkan eksresi kalsium menurun dan hiperkalemia menjadi masalah pada thiazid. Pada
aktivitas aldosteron, peningkatan pengiriman ke tubulus distal berhubungan dengan peningkatan
kehilangan kalium, seperti pada loop diuretik. Penurunan eksresi asam urea karena thiazid
menyebabkan hiperurisemia.
Thiazid biasanya digunakan dalam dosis rendah dan sering dikombinasikan dengan diet
rendah sodium, pada manajemen hipertensi esensial. Penurunan volume cairan ekstraseluler dan
vasodilatasi perifer adalah respon dari efek antihipertensi yang terus menerus. Efek antihipertensi
penuh mungkin bertahan selama 12 minggu dan menjadi stabil. Dosis thiazid yang lebih besar
dapat digunakan pada gagal jantung kongestif dan kondisi edematous lainnya seperti sindrom
nefrotik dan sirosis hepatis.
Efek samping yang sering dijumpai pada penggunaan thiazid adalah dehidrasi dan
hipovolemi. Dapat juga terjadi hipotensi ortostatik. Pada kondisi kronis, obat ini menyebabkan
16

hipokalemia, hipokloremik, metabolik alkalosis. Kombinasi dengan obat deplesi magnesium,


hipokalemia mungkin dapat memicu aritmia jantung yang serius. Selanjutnya keracunan digitalis,
kelemahan otot dan potensi relaksan otot nondepolarisasi.
Thiazid menurunkan sekresi ureum di tubulus, yang mungkin menyebabkan hiperurisemia
dan gout. Contohnya derivat sulfonamid dan mungkin pada kasus ini menginhibisi produksi
insulin dari pankreas dan memblokade penggunaan glukosa di perifer. Hal ini menyebabkan
hiperglikemia atau peningkatan kebutuhan insulin pada pasien diabetes mellitus. Thiazid juga
meningkatkan konsentrasi total kolesterol darah.
5. Diuretik Hemat Kalium
Hanya sebagian kecil natrium yang di reabsorbsi kembali di tubulus distal. Diuretik yang
mempertahankan kalium berkerja di tubulus kontortus distal dan dustus koledokus sehingga
hanya mengakibatkan diuresis yang terbatas. Terdapat dua macam diuretik hemat kalium yaitu
obat-obatan yang berkerja secara langsung pada mekanisme kerja aldosteron (misalnya
triamteren dan amilorid) dan antagonis aldosteron (misalna Spironolakton).
Diuretik hemat kalium dapat meningkatkan eksresi natrium, klorida dan bikarbonat dan
menyebabkan peningkatan Ph urin. Obat ini mencegah eksresi kalium yang berlebihan seperti
pada loop diuretik dan thiazid diuretik melalui reduksi pertukaran ion natrium-kalium. Diuretik
golongan hemat kalium dapat digunakan sebagai terapi tunggal, namun apabila dikombinasikan
dengan diuretik golongan lain maka respon diuresisnya akan meningkat.
a. Amiloride dan Triamteren
Amiloride bekerja pada tubulus distal dan duktus koledokus secara langsung. Obat ini
menyebabkan retensi kalium dan meningkatkan eksresi natrium. Setelah pemberian peroral,
hampir 25% diabsorbsi, onset hingga efek puncak kira-kira dalam 6 jam dan eksresinya tidak
menyebabkan perubahan pada urine. Amiloride sering digunakan sebagi terapi kombinasi dengan
loop diuretik dan thiazid. Kerjanya sinergis dalam proses diuresis, namun sedikit berbeda karena
golongan ini menekan eksresi kalium. Amiloride memiliki efek samping minimal, hiperkalemia
dan asidosis mungkin saja terjadi dan menjadi kontraindikasi pada pasien dengan gagal ginjal.
Triamleren mempunyai karakteristik yang sama dengan amilorid.
17

b. Spironolakton
Aldosteron menyebabkan reabsorbsi natrium and kalium berkurang pada tubulus distal.
Spironolakton mempunyai sturktur molekular steroid, bekerja sebagai antagonis kompetitif pada
reseptor aldosteron dan menginhibisi reabsorbsi natrium dan kalium. Pada kondisi tidak ada
aldosteron, obat ini tidak memiliki efek.
Setelah absorbsi peroral, Spironolakton di metabolisme segera menjadi beberapa
metabolit. Beberapa diantaranya aktif dan bekerja selama 15 jam.
Spironolakton menjadi pilihan yang tepat untuk pasien sirosis hepatis, asitesis dan
hiperaldosteron sekunder. Gagal jantung atau hipertensi dengan kondisi mineralocorticoid yang
tinggi (Sindrom Conns atau terapi prednisolon) juga merupakan indikasi. Spironolakton sering
dikombinasikan dengan thiazid untuk memaksimalkan efek diuretik dan mencegah kehilangan
kalium.
Hiperkalemia mungkin terjadi jika spironolakton digunakan pada pasien dengan disfungsi
renal. Jika digunakan dalam dosis tinggi dapat menyebabkan ginecomastia dan impotensi.
Ketika diuretik diresepkan untuk pasien dengan retensi cairan dan edema, 3 hal yang
penting yang harus diperhatikan. Pertama, walaupun efek diuretik sangat diperlukan dalam terapi
edema paru dan gagal jantung akut, diuresis dalam jumlah yang kecil dan perlahan lebih tepat
digunakan pada pasien utama dengan kebutuhan diuretik. Cara ini akan menurunkan efek
samping diuretik. Kedua, konsentrasi kalium plasma dan status hidrasi harus selalu diawasi
ketika diuretik sedang digunakan. Terakhir, diuretik terapi hanya menhilangkan gejala tetapi tidak
dapat mengatasi penyebab utama atau mengubah outcome pasien dengan edema.

GAGAL GINJAL AKUT, SEPSIS DAN UNIT PERAWATAN INTENSIF


Gagal ginjal akut merupakan komplikasi umum dari sepsis dan syok septik, sedangkan
vasodilatasi arteri yang menyertai sepsis dimediasi sebagian oleh sitokin yang diinduksi nitrat
oksida upregulate. efek vasodilatasi ampuh oksida nitrat adalah sebagian bertanggung jawab
atas resistensi vaskular dengan respon tekanan untuk noradrealine (norepinefrin) dan
angiotensin II. Pada awal sepsis-terkait gagal ginjal akut, sitokin seperti, tumor faktor tumor
nekrosis alpha (TNF-a) penyebab vasokontriksi dari pembuluh darah di ginjal. Namun,
penggunaan antibodi monoklonal terhadap resiko TNF-a tidak menghasilkan perbaikan dalam
kelangsungan hidup pasien. meskipun tahap awal vasokonstriktor berpotensi untuk reversible,
18

penelitian penelitian klinis untuk mengoptimalkan hemodinamik dengan tujuan terapi


langsung tidak menunjukkan manfaat apapun, dan dalam beberapa kasus menunjukkan
kematian meningkat. ada bukti bahwa administrasi jika vasopressin (lihat sebelumnya) pada
pasien dengan syok septik dapat membantu memperbaiki tekanan arteri meskipun cenderung
relative tidak efektif pada vasopresor lainnya. seperti noradrealine (norepinefrin) dan
angiotensin II. vasopressin menngkontriksi arteriole eferen pada glomerulus oleh karena itu
dapat meningkatkan tekanan filtrasi dan tingkat filtrasi glomerulus.

GAGAL GINJAL AKUT SETELAH OPERASI JANTUNG


Kejadian gagal ginjal akut setelah operasi jantung adalah sekitar 10% dan berkaitan
dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. bukti klinis menunjukkan bahwa insufisiensi ginjal
preoperatif, diabetes mellitus, waktu pintas berkepanjangan cardiopulmonary dan hipotensi
pascaoperasi merupakan faktor-faktor risiko independen untuk gagal ginjal akut pada pasien
bedah jantung. pencegahan kerusakan ginjal dengan hidrasi yang memadai dan tekanan perfusi
selama cardiopulmonary bypass (CPB), dan pemeliharaan dari cardiac output pada periode pasca
operasi, adalah cara yang paling efektif untuk menangani masalah ini. hipotermia selama CPB,
aliran berdenyut atau menghindari sama sekali CPB melalui off-pompa teknik bedah jantung,
belum konsisten dikaitkan dengan kejadian penurunan gagal ginjal akut.
Banyak obat yang telah dipelajari untuk perlindungan ginjal selama CPB tetapi tidak ada
yang secara meyakinkan terbukti efektif. seperti yang dijelaskan sebelumnya, dosis rendah
dopamin tidak menawarkan perlindungan ginjal dan bahkan mungkin berbahaya. meskipun
manitol digunakan dalam pompa utama CPB rutin pada banyak unit jantung dan furosemid secara
potensial mengurangi konsumsi oksigen dari kapiler ginjal, keduanya tampak tidak efektif dalam
mencegah gagal ginjal akut dalam proses ini. baru-baru ini tidak ada strategi farmakologis yang
diketahui dapat mengurangi angka kejadiannya secara bermakna.
OBAT DAN TRANSPLANTASI GINJAL
Penanganan optimal pada gagal ginjal stadium akhir adalah transplantasi ginjal.
Disamping mengoptimalkan keadaan umum pasien (seperti mengkoreksi anemia, dialisis
preoperatif, dll), imunosupresi mempunyai peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
pasien
19

Erythropoietin
Erythropoietin merupakan hormon yang bersirkulasi yang disekresikan oleh ginjal, yang
menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Kemampuan ginjal untuk
mensekresikan erythropoietin menurun seiring dengan penurunan kemampuan fungsi ekskresinya. Pasien dengan gagal ginjal kronis yang berat tidak mampu memproduksi erythropoietin
dengan jumlah yang adekuat, yang juga akan menyebabkan penurunan produksi sel darah merah.
Adanya retensi substansi yang bersifat toksik juga berkontribusi terhadap depresi sumsum tulang.
Selain itu, usia sel darah merah juga berkurang 50% seiring adanya gagal ginjal. Oleh sebab itu
pada pasien-pasien gagal ginjal hampir selalu memberikan gejala klinis anemia.
Pemberian jangka panjang recombinant human erythropoietin (rHUEPO) pada pasien
gagal ginjal kronik menunjukkan adanya stimulasi pada sumsum tulang, meningkatkan
diferensiasi sel darah merah dan mempertahankan viabilitas sel, sehingga dapat memperbaiki
anemia. Selain itu juga menurunkan pendarahan dengan cara meningkatkan adhesi platelet pada
pasien haemodialisa. Efek samping dari rHUEPO adalah meningkatkan hipertensi beserta
eksaserbasinya pada pasien yang telah memiliki hipertensi sebelumnya.
Imunosupresi
1. Prednisolon dan azathioprine
Kortikosteroid merupakan obat-obatan pertama

yang digunakan sebagai agen

imunosupresi. Sebelumnya dosis yang sangat tinggi sering digunakan, yang mengakibatkan efek
samping yang umum pada penggunaan steroid, seperti cushingoid appereane, hipertensi,
hiperglikemi, dan osteoporosis. Pengalaman dan penelitian pada akhirnya menunjukkan bahwa
penggunaan dosis tinggi tidaklah perlu dan memberikan hasil yang lebih baik serta
meminimalisir efek samping.
Era modern imunosupresi diawali oleh penemuan azathioprine. Untuk waktu yang lama,
kombinasi azathioprine dan kortikosteroid merupakan gold standard pada operasi transplantasi.
Azathioprine merupakan derivat 6-mercaptropurine dan dimetabolisme hingga menjadi bentuk
aktif di hati. Menyebabkan terjadinya sintesis DNA dan RNA, dan dihentikan oleh enzim
xanthine oxidase. Penggunaan allopurinol (xanthine oxidase inhibitor) merupakan kontraindikasi
karena dapat menyebabkan supresi sumsum tulang, agranulositosis, dan leukopenia. Pasien yang
20

menggunakan azathioprine lebih rentan untuk terkena infeksi virus, malignansi pada kulit dan
disfungsi hati.
2. Ciclosporin A dan ciclosporin (Neoral)
Kemajuan besar berikutnya pada operasi transplantasi adalah penemuan ciclosporin A.
Peptida dari jamur ini mencegah proliferasi dan ekspansi clonal dari limfosit T. Kemungkinan
terjadinya penolakan yang bersifat akut berkurang secara signifikan oleh obat ini. Disamping
efek-efek samping yang disebabkan oleg ciclosporin A, obat ini telah dijadikan standar baru
melebihi immunosupresan lain. Ciclopsporin A bersifat lipophilic

dan tidak seluruhnya

diabsorbsi pada small bowel. Efek samping yang berat dari obat ini, seperti hipertrofi ginggiva,
hepatotoksik dan nefrotoksik menyebabkan obat ini tidak sempurna. Untuk waktu yang lama, tiga
terapi klasik meliputi prednisolon, azathioprine dan ciclosporin A.
Kini, telah diciptakan ciclosporin dalam bentuk yang baru dengan nama dagang Neoral.
Bersifat microemulsion yang meningkatkan bioavaibilitas dar ciclopsorin yang meningkatkan
absorpsinya. Ciclosporin (Neoral) lebih poten daripada generasi sebelumnya dan kini kebanyakan
pasien tranplantasi mendapatkan terapi agen ini.
3. Rapamycin
Rapamycin merupakan makrolida dengan antifungal dan memiliki sifat imunosupresi
yang poten. Mencegah terjadinya proliferasi T cells dan antagonis dari interleukin-2 pada
reseptornya. Agen ini 100 kali lebih poten dari ciclosporin A. Tidak mempunyai yang berarti pda
hati dan ginjal, namun dapat meningkatkan sifat nefrotoksik dan hepatotoksik dari ciclosporin.
4. FK506 (Tacrolimus)
FK506 merupakan makrolida antibiotik yang memiliki struktur yang mirip dangan
rapamycin. Memiliki sifat imunosupresi yang poten dengan menghambat aktifasi T cells dan
generasi interleukin-2. Mempunyai efek samping utama berupa nefrotoksik dan neurotoksik.
5. Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) merupakan imunosupresi terbaru yang dilisensikan untuk
digunakan pada transplantasi ginjal. Mampu menginhibisi enzim kunci pada jalur sintesis purin
dan juga mempunyai efek yang spesifik dan limosit B dan T. Sintesis molekul yang ber-adhesi
juga dihambat oleh MMF. MMF dinyatakan efektif dalan mencegah penolakan yang bersifat
kronis pada pasien tranplantasi ginjal dan tidak bersifat nefrotoksik dan hepatoksik.
Beragam variasi substansi dengan kemampuan imunosupresinya yang poten yang kini
21

sering saling dikombinasikan. Hal ini membuat individual terapi yang dapat disesuaikan dengan
komorbiditas pasien dan resiko immunologisnya. Regimen preoperatif yang sering digunakan
ditampilkan pada tabel.
Walau masing-masing agen mempunyai sifat imunosupresi yang baik, jarang sekali obatobatan baru ataupun yang telah ada digunakan sebagai terapi tunggal. Kombinasi fungsi inhibisi
presentasi antigen dan kegunaannya pada monoclonal antibodi masih dipertahankan.
Tabel. Regimen perioperatif pada tranplantasi ginjal yang umum digunakan
Preoperatif
Induksi imunosupresi (Ciclosporin (Neoral), FK506, Rapamycin)
Heparin 5000 unit subkutan
Ranitidin 150 mg diberikan secara oral (profilaksis pada stress ulcer)
Nifedipin 20 mg diberikan secara oral (vasodilator, free radical scavenger)
Induksi
Antibiotik profilaksis : Co-amoxyclav (Augmentin) 1,2 mg
Metilpredisolon 0,5 mg diberikan secara intravena
Pada saat anastomosis vascular
Mannitol 0,5 g/kg-1 dopamin 3-5 g kg-1 min-1
Postoperatif
Antibiotik profilaksis
Heparin 5000 unit diberikan subkutan, dua kali sehari
Co-trimoxazole 480 mg per oral, diberikan tiap hari (proteksi terhadap Pneumocytsis carinii)
Imunosupresi triple therapy

22

Anda mungkin juga menyukai