Definisi
Sepsis merupakan respons sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. American
College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992
mendefinisikan sepsis sebagai berikut:
- Sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS: systemic inflammatory response
syndrome)
Respons tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih keadaan berikut:
Suhu >38oC atau <36oC
Frekuensi jantung >90 kali/menit
Frekuensi nafas >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg
Leukosit darah >12.000/mm3, <4.000/mm3 atau batang >10%
- Sepsis
Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS
- Sepsis berat
Sepsis yang disertai degan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi termasuk
asidosis laktak, oliguria dan penurunan kesadaran
- Sepsis dengan hipotensi
Sepsis dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik
>40 mmHg dan tidak ditemukan penyebab hipotensi lainnya
- Syok/ renjatan sepsis
Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau
memerlukan vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ
(Chen & Pohan, 2009)
Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting terhadap
sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari bakteri gram
negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung mengaktifkan sistem imun
seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak toksik, namun
merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri
gram positif, jamur, dan virus, dapat juga menyebabkan sepsis dengan presentase yang lebih
sedikit. Peptidoglikan yang merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, dapat
menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun
secara langsung. (Hermawan, 2009)
Patogenesis Sepsis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin
proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-) yang membantu sel menghancurkan
mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1
reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja sitokin
proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh. (Hermawan,
2009)
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk LPSab
(Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan perantara
reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag mengekspresikan
imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi adalah bakteri gram negatif
yang mempunyai LPS pada dindingnya. (Hermawan, 2009)
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian
ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal
dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida MHC
kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T cell
receptor). (Hermawan, 2009)
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai
immunomodulator yaitu: IFN-, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating factor).
Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN- merangsang makrofag
mengeluarkan IL-1 dan TNF-. IFN-, IL-1 dan TNF- merupakan sitokin proinflamasi,
pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1 dan TNF- dalam serum penderita. Sitokin IL-2
dan TNF- selain merupakan reaksi sepsis, dapat merusakkan endotel pembuluh darah, yang
mekanismenya sampai saat ini belum jelas. IL-1 sebagai imunoregulator utama juga
mempunyai efek pada sel endotel, termasuk pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan
merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1
menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan
endotel terdiri dari 3 langkah, yaitu:
1. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-selektin
neutrofil dalam mengikat ligan respektif
2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang mengikat
intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel dengan molekul
adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel
3. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
(Hermawan, 2009)
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozim yang melisiskan
dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal bebas yang
mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga akibatnya endotel
menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan vascular leak, sehingga
menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat lain yang memperkuat pendapat tersebut
bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh
darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian. (Hermawan, 2009)
Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-10
sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-, TNF- dan fungsi APC.
IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10 meningkat
lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah. (Hermawan,
2009)
Diagnosis
Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah pasien
immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
1. Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
2. Hipotensi, oliguria, atau anuria
3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
4. Perdarahan
(Hermawan, 2009)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan inflamasi
yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis, dan
genital. (Hermawan, 2009)
Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, urea
darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,
elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang
terinfeksi harus dilakukan. (Hermawan, 2009)
Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia,
dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya hiperventilasi menimbulkan alkalosis
respiratorik. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
(Hermawan, 2009)
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin,
penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan
hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot pernapasan lelah,
terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi setelah alkalosis respiratorik.
Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.
(Hermawan, 2009)
Penatalaksanaan Sepsis
Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:
1. Stabilisasi pasien langsung
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien harus
dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat.
Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri
pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan
norepinefrin. (Hermawan, 2009)
2. Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme
Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dini
dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel
didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas
luas. Bila telah ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan
agen penyebab sepsis tersebut. (Hermawan, 2009)
Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat,
misalnya antara golongan penisilin/penicillinaseresistant penicillin dengan
gentamisin.
A. Golongan penicillin
- Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua dosis
- Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari
B. Golongan penicillinaseresistant penicillin
- Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 41 gram/hari iv selama 7-10 hari sering
dikombinasikan dengan ampisilin), dalam hal ini masing-masing dosis obat
diturunkan setengahnya, atau menggunakan preparat kombinasi yang sudah ada
(Ampiclox 4 x 1 gram/hari iv).
- Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari.
C. Gentamycin
Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari, hati-hati terhadap
efek nefrotoksiknya.
(Hermawan, 2009)
Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan.
Beberapa bakteri gram negatif yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik yang
dianjurkan:
Bakteri Antibiotik Dosis
Pseudomonas Gentamisin
Bacteroides Kloramfenikol/klin
damisin
SYOK ANAFILAKTIK
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik dari anafilaksis yang
ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah. Merupakan
kegawatdaruratan dan anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana
obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya. (Chen, 2009)
Dilaporlan lebih dari 500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotic beta laktam,
khususnya penisilin. Penyebab lain yang tersering adalah pemakaian media kontras untuk
pemeriksaan radiologi. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1%
dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedur intravena. Kasus
kematian berkurang setelah dipakainya media kontras yang hipoosmolar. Kematian karena uji
kulit dan imunoterapi juga pernah dilaporkan. (Chen, 2009)
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis (melalui mekanisme IgE)
Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
Anafilaksis
Antibiotik Penisilin, Sefalosforin
Ekstrak allergen Bisa tawon, Polen
Obat Glukokortikoid, Thiopental, Suksinilkolin
Enzim Kemopapain, Tripsin
Serum heterolog Antitoksin tetanus, Globulin antilimfosit
Protein manusia Insulin, Vasopresin, Serum
Tentu saja selain obat ada juga penyebab anafilaksis yang lain seperti makanan,
kegiatan jasmani, sengatan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang digin pada
kolam renang dan bahkan sebagian anafilaksi penyebabnya tidak diketahui.
Anafilaksis merupakan bentuk terberat dari reaksi alergi obat. Meskipun terdapat
berbagai definisi menganai anafilaksis, tetapi umumnya para pakar sepakat bahwa anafilaksis
merupakan keadaan darurat yang potensial dapat mengancam nyawa. Gejala anafilaksis timbul
segera setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetus lainnya. Gejala yang timbul
melalui reaksi alergen dan antibodi disebut sebagai reaksi anafilaktik.
Ciri khas yang pertama dari anafilaksis adalah gejala yang timbul beberapa detik
sampai beberapa menit setelah pasien terpajan oleh allergen atau faktor pencetus non-alergen
seperti zat kimia, obat atau kegiatan jasmani. Ciri kedua yaitu anafilaksis merupakan reaksi
sistemik, sehingga melibatkan banyak organ yang gejalanya timbul serentak atau hampir
serentak.
Gejala-gejala diatas dapat timbul pada satu organ saja, tetapi dapat pula muncul gejala
pada beberapa organ secara serentak atau hampir serentak. Kombinasi gejala yang
sering dijumpai adalah urtikaria atau angioedema yang diserrtai gangguan pernapasan
baik karena edema laring atau spasme bronkus. Kadang-kadang didapatkan kombinasi
urtikaria dengan gangguan kardivaskular seperti syok yang berat sampai terjadi
penurunan kesadaran. Setiap manifestasi sistem kardiovaskular, pernapasan atau kulit
juga bisa disertai gejala mual, muntah, kolik, usus, diare yang berdarah, kejang uterus
atau perdarahan vagina. (Hermawan, 2009)
Diagnosis
Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik
yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh allergen atau faktor
pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai
kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Karena itu mengenai tanda-
tanda dini sangat diperlukan agar pengobatan dapat segera dilakukan. Tetapi kadang-
kadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok anafilaktik atau gagal napas dapat
langsung muncul tanpa tanda-tanda awal. Kumpulan gejala tersebut dapat dilihat pada
tabel di pembahasan sebelumnya mengenai manifestasi klinis dari syok anafilaktik.
(Chen, 2009)
Penatalaksanaan
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah
ditegakkan, maka pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena
cepatnya mula penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan
kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1 : 1000 yang diberikan
adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml SC dan dapat diberikan setiap
15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari
awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara IM dan
bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikkan sampai 0,5 ml sepanjang pasien
tidak mengidap kelainan jantung.
Bila pencetusnya adalah allergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin,
atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan infiltrasi epinefrin 1 : 1000 0,1-0,3
ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorpsi allergen tadi. Bila mungkin
dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit.
Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali.
Selanjutnya dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan
terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan:
a. Sistem pernafasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan baik
1. Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian
pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema
laring atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin
sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring
kadang-kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea
pada pasien dengan edema laring tidak saja sulit tetapi juga sering
menambah beratnya obstruksi. Karena pipa endotrakeal akan mengiritasi
dinding laring. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedoa waktu
3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter
ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yang dapat dilakukan dengan
segera adalah melakukan punksi membrane krikotiroud dengan jarum besar.
Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah sakit.
2. Pemberian oksigen 4-6 L/menit sangat penting baik pada gangguan
pernapasan maupun kardiovaskular
3. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah
seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal ini dapat
diberikan larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc 0,5 cc
dalam 2 4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5
6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 cc dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% dan
diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
b. Sistem kardiovaskular juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan
memadai
1. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dnegan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravascular. Pasien ini
membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dnegan cairan kristaloid
(NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan
cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan
koloid ini tidak saja mengganti cairan intravascular yang merember keluar
pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga
dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravascular.
2. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sistem
kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis
metabolic.
3. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressur). Pemasangan
CVP ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari
kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang
bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
4. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli
sependapat untuk memberikan vasopressor melalui cairan infus intravena.
Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1 : 1000 dalam 250 ml dekstrosa
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrop/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat
dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.
SYOK NEUROGENIK
Definisi
Syok neurogenik disebut juga syok spinal merupakan bentuk dari syok distributif, Syok
neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena hilangnya tonus pembuluh darah
secara mendadak di seluruh tubuh.sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada
pembuluh tampung (capacitance vessels). Hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah
sistemik ini diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf (seperti: trauma kepala, cidera spinal,
atau anestesi umum yang dalam). (Chen, 2009)
Syok neurogenik juga disebut sinkop. Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal
berlebihan yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus
sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu
lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri hebat. Pasien merasa pusing dan biasanya
jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan, umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali
secara spontan. (Hermawan, 2009)
Trauma kepala yang terisolasi tidak akan menyebabkan syok. Adanya syok pada trauma
kepala harus dicari penyebab yang lain. Trauma pada medula spinalis akan menyebabkan
hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik adalah
hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer.
Etiologi
1. Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal).
2. Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur
tulang.
3. Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal/lumbal.
4. Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).
5. Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut.
Manifestasi Klinis
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik terdapat tanda
tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi)
kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau paraplegia .
Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah
cepat. Karena terjadinya pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit
terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan.
Penatalaksanaan
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti
fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter
prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat
tersebut.
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan
masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan
endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk
menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang
berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan
menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan.
Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus
secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah,
akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif
(adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :
Dopamin
Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa
dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor
terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal dalam
menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak
sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik
karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung
(palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali.
Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi
otot-otot uterus.
Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme cepat
dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap
jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak
mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi
perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik
Dobutamin
Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya cardiac output.
Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.
Pasien-pasien yang diketahui/diduga mengalami syok neurogenik harus diterapi sebagai
hipovolemia. Pemasangan kateter untuk mengukur tekanan vena sentral akan sangat membantu
pada kasus-kasus syok yang meragukan. (Chen, 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Chen, K., dan Pohan, H. T. (2009). Penatalaksanaan Syok Septik dalam Sudoyo, Aru W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
Hermawan, A.G. (2009). Sepsis dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus.
Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi
IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.