Anda di halaman 1dari 17

UJI KUANTITATIF DAN KUANTITATIF ANTIBIOTIK

PADA DAGING AYAM

Disusun Oleh :
Maria

(12.0304)

Dhini P

(12.0265)

Putri Indah

(12.0309)

Kartika Herriyati

(12.0280)

Ratna Yunita W

(12.0273)

Supartiningrum

(12.0255)

Yuniar Fajarwati

(11.0183)

AKADEMI FARMASI THERESIANA


SEMARANG
2014

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memperhatikan tentang produk
peternakan yang dikonsumsi sudah terbebas dari residu kimia (antibiotik,
alfatoxin, dioxin) dan mikrobiologi berbahaya seperti salmonella. Peran
pemerintah seharusnya lebih dominan dalam melindungi konsumen. Hal ini
dapat dilakukan dengan pengontrolan produk-produk peternakan melalui
system HACCP (Hazard Analyis and Critical Control Points) sesuai dengan
tahapan-tahapan yang telah tersusun secara sistematis dan disepakati bersama
agar masyarakat aman mengkonsumsi produk-produk peternakan
Pangan asal ternak sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein.
Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino
yang dibutuhkan manusia sehingga akan lebih mudah dicerna dan lebih efisien
pemanfaatannya. Namun demikian, pangan asal ternak tidak aman dapat
membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu keamanan pangan asal
ternak merupakan persyaratan mutlak (Winarno, 1996).
Dampak residu ada tiga macam yaitu dampak toxisitas, mikrobiologi,
imonotologi. Residu bisa menjadi toxik atau racun bagi organ-organ yang
biasa digunakan untuk mengeliminasi antibiotik, ginjal, hati, dan organ-organ
peredaran darah. Dampak mikrobiologi bagi tubuh terjadi apabila kita
mengkonsumsi produk peternakan secara terus-menerus sehingga residu
terakumulasi di dalam tubuh yang bisa menyebabakan resistensi bakteri
tertentu dalam jangka waktu yang panjang, misalnya penisilin yang
terakumlasi sehingga tubuh sudah resisten terhadap obat penisilin.

Akfar Theresiana

Page 1

Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik,


yang mempunyai efek menekan atau menghentikan proses biokimia di dalam
organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri.cHampir semua
pabrik pembuat makanan ternak menambahkan obat hewan berupa
antibiotika ke dalam pakan ternak sehingga sebagian besar pakan ternak
komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotika (Bahri,2000)
Pemakaian antibiotika yang terus menerus dan tidak memperhatikan
waktu henti pemberian antibiotika (with drawal time) dalam bidang
peternakan akan menyebabkan terdapatnya residu antibiotika dalam produk
hewani, yang mana hal ini dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas,
resistensi dan kemungkinan keracunan (Yuningsih, 2005).
Antibiotika tetrasiklin memang cukup luas digunakan di peternakan
karena antibiotika ini memiliki spektrum luas yang mampu membunuh kuman
gram positif dan gram negatif serta mampu membunuh kuman patogen yang
tidak efektif dengan antibiotika lain sehingga sering menjadi pilihan dalam
pengobatan penyakit di samping harganya juga lebih terjangkau (Hamide et al,
2000). Selain itu antibiotika golongan penisilin adalah antibiotika yang sering
ditambahkan dalam pakan dan efektif dalam menstimulasi laju pertumbuhan
pada ternak muda (Maynard dan Loosli, 1969)
Masalah residu antibiotik pada pangan asal hewan berkaitan dengan
praktik yang kurang baik dalam penggunaan antibiotik di peternakan.
Antibiotik saat ini banyak digunakan untuk pengobatan (terapi) dan pemacu
pertumbuhan

(growth

promotor).

Penggunaan

antibiotik

yang

tidak

memperhatikan masa henti obat (withdrawal time), akan menimbulkan residu


antibiotik pada produk hewan (Donkor et al. 2011).

Akfar Theresiana

Page 2

1.2 Tujuan Penelitian.


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotika
tetrasiklin pada daging ayam yang dijual dipasar tradisional wilayah Semarang
Selatan.
1.3 Manfaat Penelitian.
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang cirri ciri daging
ayam yang mengandung residu antibiotika.
Menambah wawasan dengan mengetahui dampak yang diakibatkan dari
penggunaan antibiotika untuk pangan ternak.
Meningkatkan kewaspadaan dalam mengonsumsi daging ayam yang
mengandung residu Antibiotika.
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kandungan residu
Antibiotik tetrasiklin yang terdapat pada daging ayam.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antibiotika
Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai
jasad renik bakteri, jamur dan aktinomises, yang dapat berkhasiat
menghentikan pertumbuhan atau membunuh jasad renik lainnya (Subronto
dan Tjahajati, 2001). Antibiotika yang diperoleh secara alami dari
mikroorganisme disebut antibiotika alami, antibiotika yang disintesis di
laboratorium disebut antibiotika sintetis. Antibiotika yang dihasilkan oleh
mikroorganisme dan dimodifikasi dilaboratorium dengan menambahkan
Akfar Theresiana

Page 3

senyawa kimia disebut antibiotika semisintetis (Subronto dan Tjahajati,


2011).
Penggolongan Antibiotika berdasarkan spectrum aktivitasnya :
1. Antibiotika dengan spectrum luas, efektif baik terhadap Gram Positif
maupun Gram negatif, contoh : turunan tetrasiklin, turunan amfenicol,
turunan aminoglikosida, turunan makrolida, turunan rifampisin,
beberapa

Turunan

penisiilin,

seperti

ampisilin

amoxicillin,

bakampicilin, karbenisipillin, hetasillin, , pivampisillin, sulbenisillin,


dan tikarsillin, dan sebagian besar turunan sefalosporin.
2. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadapa bakteri gram
positif, contohnya : basitrasin, eritromisin, sebagian besar turunan
penicillin, seperti benzilpenisilin, penicillin G prokain, penicillin V,
fenitisillin K, metisilin Na, nafsillin Na, oksasilin Na, kloksasillin Na,
dikloksasilin Na dan flosasilin Na, turunan linkosamida, asam fusidat
dan beberapa turunan sefalosporin.
3. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap mycrobacteriae
(antituberkoluse) , contohnya : rifampisin, streptomycine, kanamisine,
sikloserin, viomisin dan kapreomisin.
4. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap gram negatif,
contohnya : kolistin, polimiksin B sulfat dan sulfomisin.
5. Antibiotika yang aktif terhadap jamur (anti jamur), contohnya :
griseofulvin dan antibiotika polien, seperti nistatin, amfoterisin B dan
kandistatin.
6. Antibiotika yang aktif terhadap neoplasma (antikanker), contohnya :
antinomisin, bleomisin, daunorubisin, doksorubisin, mitomisin, dan
mitramisin. ( Siswandono, 1995)
2.1.1 Tetrasiklin

Akfar Theresiana

Page 4

Rumus Struktur

Tetrasiklin memiliki rumus molekul C22H24N2O8.HCl dengan berat


molekul 480,6. Tetrasiklin merupakan serbuk hablur, kuning, tidak berbau,
agak higroskopis. Stabil di udara tetapi pada pemaparan terhadap cahaya
matahari yang kuat dalam udara lembab menjadi gelap. Larut dalam air,
dalam alkali hidroksida dan dalam larutan karbonat, sukar larut dalam
etanol, praktis tidak larut dalam kloroform dan eter. Tetrasiklin mudah
membentuk garam dengan ion Na+ dan Cl- sehingga kelarutannya menjadi
lebih baik ( Depkes RI, 1995)
Tetrasiklin merupakan kelompok antibiotika yang dihasilkan oleh
jamur Streptomyces aureofasiens atau S. rimosus. Tetrasiklin bersifat
bakteriostatik dengan daya jangkauan (spektrum) luas, dengan jalan
menghambat sintesis protein dengan cara mengikat sub unit 30 S dari pada
ribosom sel bakteri. Pada unggas tetrasiklin digunakan untuk mengatasi
infeksi CRD (Chronic Respiratory Diseasis), erisipclas dan sinusitis
(Subronto dan Tjahjati, 2001).
2.2 Penggunaan Antibiotika dalam Perternakan
Pemberian antibiotika pada hewan dalam peternakan skala besar
umumnya diberikan melalui air minum dan dapat diikuti dengan
pemberian antibiotika melalui pakan (Martaleni, 2007). Umumnya

Akfar Theresiana

Page 5

pemberian antibiotika yang diberikan pada ayam lebih banyak diberikan


secara massal dibandingkan pemberian secara individual (Doyle, 2006).
Hal ini dilakukan untuk membuat hewan tetap produktif meskipun
mereka hidup dalam kondisi berdesakan dan tidak higienis (Bahri dkk,
2000) Pada usaha peternakan modern, imbuhan pakan (food suplement)
sudah umum digunakan oleh peternak. Suplement ini dimaksudkan untuk
memacu pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi pakan dengan
mengurangi mikroorganisme pengganggu (patogen) atau meningkatkan
populasi mikroba yang menguntungkan yang ada di dalam saluran
pencernaan (Rahayu, 2009).
Apabila peternak yang menggunakan pakan tersebut tidak
memperhatikan aturan pemakaiannya, diduga kuat produk ternak
mengandung residu antibiotika yang dapat mengganggu kesehatan
manusia, antara lain berupa resistensi terhadap antibiotika tertentu, reaksi
alergi dan kemungkinan keracunan (Yuningsih., dkk, 2005).
Beberapa negara mengizinkan pemberian berbagai

jenis

antibiotika, termasuk golongan tetrasiklin, neomisin, basitrasin, dan


preparat sulfa untuk diberikan secara berkala pada peternakan ayam tetapi
golongan ini tidak diizinkan diberikan melalui pakan ternak di Indonesia
(Martaleni, 2007).
2.3 Residu Antibiotika.
Residu obat adalah sisa dari atau metabolitnya dalam jaringan atau
organ hewan/ ternak setelah pemakaian obat hewan (Rahayu, 2009)
Pemberian antibiotika sebagai pakan ternak yang diberikan dalam
waktu yang cukup lama dengan tidak memperhatikan aturan pemberiannya

Akfar Theresiana

Page 6

akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh ternak sehingga menyebabkan


terdapatnya residu pada jaringan tubuh ternak ( Oramahi,2004)
Residu Antibiotika yang terakumulasi memiliki konsentrasi yang
berbeda beda antara jaringan dari tubuh ternak satu dengan yang lainnya
( Bahri dkk, 2005)
2.4 Batas Toleransi Residu Antibiotik.
Keamanan pangan asal ternak berkaitan erat dengan pengawasan
pemakaian antibiotika dan obat hewan yang tergolong obat keras perlu
memperhatikan waktu henti sehingga diharapkan residu tidak ditemukan
lagi atau berada di bawah Batas Maksimum Residu (BMR). Berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI No. 01-6366-2000), batas maksimum
residu antibiotika dalam makanan yang masih boleh dikonsumsi untuk
residu antibiotika tetrasiklin adalah 0,1 ug/g.
2.5 Penentuan Residu Antibiotik Dalam Sample Makanan
Metode penentuan multi-residu yang semakin penting, untuk
control residu dalam produk makanan. Metode ini menguntungkan
dibandingkan dengan metode residu untuk senyawa tunggal karena metode
ini lebih mudah dilakukan dan lebih murah dalam hal penggunaan
pereaksi.
Metode analisa untuk melakukan uji kualitatif terhadap residu
dalam sampel makanan memiliki kriteria seperti metode memberikan hasil
yang akurat, memiliki sensitifitas yang baik ,reprodusibel, biaya
pengerjaannya murah, kemampuan untuk mendeteksi analit yang akan
dianalisis (Shankar et al, 2010)
Prosedur penyiapan sampel sangat menentukan dalam analisa
secara kromatografi (Rohman, 2009). Penyiapan sampel dari bahan yang

Akfar Theresiana

Page 7

memiliki matriks yang komplek seperti daging, ginjal atau hati sangat
diperlukan supaya hasil uji kualitatif memiliki sensitifitas yang baik
(Shankar, 2010). Ekstraksi pada sampel bertujuan mengurangi atau
menghilangkan adanya partikulat dari matriks sampel sehingga akan
mengganggu proses analisa terutama menggunakan analisa secara
kromatografi (Rohman, 2009)
Penyiapan sampel dari daging biasanya dimulai dengan tahap
pemotongan, menghaluskan sampel, menghomogenisasi, dan ekstraksi
dengan larutan organik (Shankar, 2010).
2.6 Teori Kromatografi
Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani
Rusia Mecheal Tsweet pasa tahun 1903 untuk memisahkan pigmen
berwarna dalam tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter
dalam kolom gelas yang berisi kalsium karbonat. Kromatografi merupakan
suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam (stationary phase)
dan fase gerak (mobile phase) (Rohman, 2007).
Teknik kromatografi telah berkembang dan telah digunakan untuk
memisahkan dan mengkuantifikasi berbagai macam komponen yang
kompleks, baik komponen organik maupun komponen anorganik.
Pemisahan senyawa biasanya menggunakan beberapa teknik kromatografi.
Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar bergantung pada sifat
kelarutan senyawa yang akan dipisahkan (Anonim (b), 2009).
Semua kromatografi memiliki fase diam (dapat berupa padatan,
atau kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas).
Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-

Akfar Theresiana

Page 8

komponen yang terdapat dalam campuran. Komponen komponen yang


berbeda bergerak pada laju yang berbeda (Anonim (b), 2009).
2.6.1 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan sistem
pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung
oleh kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan
detektor yang sangat sensitive dan beragam sehingga mampu menganalisis
berbagai cuplikan secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam
komponen tunggal maupun campuran (Ditjen POM, 1995).
KCKT merupakan metode yang sering digunakan untuk
menganalisis senyawa obat. KCKT dapat digunakan untuk pemeriksaan
kemurnian bahan obat, pengawasan proses sintesis dan pengawasan mutu
(quality control) (Ahuja and Dong, 2005).
2.7 Proses pemisahan Kromatrografi Cair Kinerja Tinggi :
Pemisahan analit dalam kolom kromatografi berdasarkan pada
aliran fase gerak yang membawa campuran analit melalui fase diam dan
perbedaan interaksi analit dengan permukaan fase diam sehingga terjadi
perbedaan waktu perpindahan setiap komponen dalam campuran
(Kazakevich and Lobrutto, 2007)
Menurut Meyer (2004) seperti yang ditunjukkan proses pemisahan
yang terjadi di dalam kolom dapat dilihat pada gambar 1 yaitu contohnya,
campuran dua komponen dimasukkan ke dalam sistem kromatografi
(partikel dan ). Di mana komponen cenderung menetap di fase
diam dan komponen lebih cenderung di dalam fase gerak.
Masuknya eluen (fase gerak) yang baru ke dalam kolom akan
menimbulkan kesetimbangan baru, molekul sampel dalam fase gerak
diadsorpsi sebagian oleh permukaan fase diam berdasarkan pada koefisien

Akfar Theresiana

Page 9

distribusinya, sedangkan molekul yang sebelumnya diadsorpsi akan


muncul kembali di fase gerak. Setelah proses ini terjadi berulang kali,
kedua komponen akan terpisah. Komponen yang lebih suka dengan fase
gerak akan berpindah lebih cepat daripada komponen yang cenderung
menetap di fase diam, sehingga komponen akan muncul terlebih dahulu
dalam kromatogram, kemudian diikuti oleh komponen (Meyer, 2004).
2.8 Titrasi Bebas Air ( TBA )
Titrasi bebas air adalah suatu titrasi yang tidak mengunakan air
sebagai pelarut,tetapi di gunakan pelarut organik.titrasi ini dilakukan pada
zat asam atau basa lemah seperti halnya asam-asam organik atau alkoloida.
Alkoloida sukar larut dalam air juga kurang reaktif dalam air, seperti
misalnya garam-garam amina dimana garam-garam dirombak dulu
menjadi basa bebas yang larut dalam air. Pelarut yang biasa digunakan
dibagi atas dua golongan yaitu pelarut protolitis dan pelarut amfiprotolitis.
Indikator yang digunakan adalah berupa senyawa organic yang
bersifat asam atau basa lemah, dimana warna molekulnya berbeda dengan
warna bentuk ionnya
Kurang lebih 250 mg tetrasiklin hidroklorid yang ditimbang
seksama, larutkan dalam 30 ml asam asetat glasial. Tambahkan 10 ml
raksa (II) asetat 5% b/v dalam asam asetat glacial dan 20 ml dioksan.
Titrasi dengan asam perklorat 0,1 N dengan 3 tetes Kristal violet sampai
warna hijau.
HIPOTESIS

Akfar Theresiana

Page 10

Berdasarkan Rumusan masalah diatas, maka hipotesis penelitian adalah


sebagai berikut :
a. daging ayam yang beredar dipasar tradisional wilayah Semarang
Selatan mengandung residu Antibiotika.
b. Pemanasan daging ayam mempengaruhi kandungan residu Antibiotika.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Rumus Struktur

3.2 Hubungan Struktur dan Aktivitas Tetrasiklin

Akfar Theresiana

Page 11

1. Gugus farmakofor dengan aktivitas biologis penuh adalah


senyawa semisintetik sansiklin. Sansiklin mengandung struktur
yang dibutuhkan untuk pembentukan kelat dan dipandang
mempunyai peran penting pada pengangkutan turunan tetrasiklin
ke dalam sel bakteri dan penghambatan biosintesis protein di
dalam sel.
2. Pengaturan linier dari empat cincin adalah prasyarat untuk dapat
menimbulkan aktivitas biologis. Konfigurasi pusat kiral pada C-4,
C-4a dan C-12a sangat penting untuk aktivitas sedang konfigurasi
pada C-5a dan C-6 kemungkinan dapat berubah-ubah.
3. Adanya dua sistem elektron yang berbeda (gugus kromofor
fenoldiketon dan trikarbonilmetan) cukup penting untuk aktivitas
antibakteri. Perluasan atau pengurangan gugus kromofor
menyebabkan penurunan atau hilangnya aktivitas. Substituen
yang dapat meningkatkan kemampuan donor elektron dari gugus
fenol diketon akan meningkatkan aktivitas.
4. Adanya gugus 4-dimetilamino penting untuk pembentukan ion
Zwitter, untuk distribusi optimum dalam tubuh dan untuk
aktivitas in-vivo. Hilangnya gugus tersebut menyebabkan
senyawa kehilangan aktivitas.
5. Pada gugus 2-karbonamid, hanya gugus karbonil yang penting
untuk aktivitas. Satu atom H pada gugus amida dapat diganti
dengan gugus lain tanpa kehilangan aktivitas.
6. Daerah hidrofob dari C-5 sampai C-9 dapat dirubah dengan cara
yang bervariasi. Asal tidak mempengaruhi bentuk konformasi
esensialnya. Modifikasi pada C-6 dan C-7 menghasilkan turunan

Akfar Theresiana

Page 12

yang mempunyai stabilitas kimia yang lebih besar, memperbaiki


sifat farmakokinetik dan meningkatkan aktivitas antibakteri.
3.3 Metode Uji Kualitatif ( TBA)
Sampel paha, hati dan telur dihomogenisasi menggunakan
homogeniser. Kertas cakram dilembabkan dengan cara
disisipkan pada homogenat, selanjutnya kertas cakram
diletakkan di atas media agar yang telah dicampur dengan
biakan bakteri uji. Media diinkubasi pada suhu 37 oC selama
16 18 jam. Sampel dinyatakan positif mengandung residu
antibiotik, bila zona hambat yang terbentuk lebih besar atau
sama dengan 1 cm (dengan paper disc) yang diukur dengan
caliper. Jika sampel dinyatakan positif, maka dilanjutkan
dengan pemeriksaan secara kuantitatif untuk menghitung
kandungan residu menggunakan KCKT.
3.4 Metode Uji Kuantitatif ( KCKT )

Sampel yang dinyatakan positif secara kualitatif ditimbang


sebanyak 5 g, ditambah dengan 30 mL dapar MC-Ilvaine
EDTA dimasukkan ke dalam tabung sentrifus 50 mL dan
dihomogenkan kemudian disentrifus pada 4000 rpm selama 15
menit. Supernatan dipisahkan,tahapan ini diulangi sebanyak 2
kali, masing-masing dengan 20 mL dan 10 mL larutan dapar
MC-Ilvaine EDTA terhadap sedimen. Supernatan disatukan
dan dialirkan ke dalam catridge SepPak C-18 yang
sebelumnya telah diaktifkan terlebih dahulu dengan 20 mL
metanol dan 20 mL air suling. Kemudian catridge SepPak C-

Akfar Theresiana

Page 13

18 dicuci dengan 20 mL air suling, selanjutnya dielusi dengan


10 mL larutan asam oksalat 0,01 M dalam metanol. Sebanyak
50L larutan ini disuntikkan ke dalam HPLC menggunakan
kolom C-18 dengan detector UV-350 nm, laju alir 1 mL/menit
dan fase gerak berupa campuran metanol, asetonitril dan asam
oksalat dihidrat 0,01 M (1:1:8).

3.5 Hasil Pengujian.


Hasil pemeriksaan secara kualitatif dengan metode titrasi bebas air
menunjukkan bahwa terdapat 3 sampel paha (SFP-047, SFP-048
dan SFP-049) dari 73 sampel (4,1%) dan 2 sampel hati (SFH-020
dan SFH-022) dari 72 sampel (2,7%) adalah positif mengandung
residu antibiotik golongan tetrasiklin. Hasil pemeriksaan secara
kualitatif pada telur ayam adalah negatif, hal ini menunjukkan
bahwa telur ayam tidak mengandung residu antibiotik golongan
tetrasiklin
Hasil uji konfirmasi secara kuantitatif dengan HPLC terhadap
sampel daging dan hati ayam yang positif mengandung residu
antibiotik golongan tetrasiklin ternyata tidak terdeteksi adanya residu
tersebut atau di bawah batas deteksi (0,01 mg/kg).
Hal ini menunjukkan bahwa sampel paha dan hati ayam yang
positif secara uji kualitatif tersebut tidak mengandung residu
antibiotik golongan

tetrasiklin namun kemungkinan mengandung

residu antibiotik golongan lain.

Akfar Theresiana

Page 14

Oleh

karena

itu

perlu

dilakukan

uji

lanjutan

terhadap

antibiotik golongan lain baik secara kualitatif maupun kuantitatif


(dengan HPLC).
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI No. 01-6366
200), batas maksimum residu antibiotik golongan tetrasiklin dalam
daging yang masih boleh dikonsumsi adalah 0,1 mg/kg (ppm) dan
dalam telur adalah 0,05 mg/kg (ppm).
3.6 KESIMPULAN
Hasil uji analisa residu tetrasiklin dalam daging ayam yang beredar
di pasar tradisional wilayah Semarang Selatan pada uji Kualitatif
menggunakan metode TBA, hasil positif ditunjukan dengan adanya
perubahan warna dari sample dan uji kuantitatif sample menggunakan
metode KCKT dimana hasil positif didapat dari jumlah data yang
keluar

Akfar Theresiana

Page 15

DAFTAR PUSTAKA.
Ahuja, S., and M.W. Dong. (2005). Handbook of Pharmaceutical
Analysis by HPLC. Volume 7. New York : Elsevier
Academic Press : 35
Doyle , M. E, 2006. Veteriany Drug Residues In Processed Meat
Potensial Health Risk Reviews Of The Scientific Literatur.
Food Research Institute.
Maynard,L.A dan J.K. Loosli.1969. Animal Nutrition. Fifth Ed.
McGraw Hill Book Co. Inc.,New York. P. 240-245
Subronto dan Tjahajati.I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak, II A.
Universitas Gajah Mada, Jogjakarta
Subronto dan Tjahajati, 2001. Pedoman Pengobatan pada Hewan
Ternak. Universitas Gajah Mada, Jogjakarta
Siswandono dan Soekardjo, B. 1995. Kimia Medisinal edisi ke 2.
Universitas Airlangga, Surabaya

Akfar Theresiana

Page 16

Anda mungkin juga menyukai