Anda di halaman 1dari 15

BAB 10.

TEBU
PENGENALAN TANAMAN
Tebu diduga pertama kali ditemukan di New Guinea pada 6000 SM. Namun,
budidaya tanaman ini baru dilakukan pada 1400-1000 SM di India. Dalam bahasa
latin, tebu dikenal dengan sebutan 'saccharum', yang berasal dari kata 'karkara'
dalam bahasa Sanskrit atau 'sakkara' dalam bahasa Prakrit.
Setelah mengalami persilangan dengan spesies-spesies liar dari India dan
Cina, sejak 1000 SM tanaman ini menyebar secara berangsur-angsur ke berbagai
belahan dunia, khususnya wilayah tropis, seperti : Hawaii, Mediterania, Karibia,
Amerika, akhirnya sampai ke kepulauan Melayu. Saat ini, budidaya tebu telah
dilakukan di lebih dari 70 negara di dunia, antara lain : India, Cuba, Brasil,
Mexico, Pakistan, Cina, Filipina, Thailand, Indonesia, Malaysia dan Papua Nugini
(www.ikisan.com, 2000; Kuntohartono dan Thijsse, 2007).
Morfologi tanaman tebu dapat dilihat pada Gambar 2. Tebu merupakan
sejenis rumput-rumputan yang memiliki ketinggian sekitar 2-4 meter. Secara garis
besar, tanaman tebu dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu :
-

Akar : berbentuk serabut, tebal dan berwarna putih

Batang : berbentuk ruas-ruas yang dibatasi oleh buku-buku, penampang


melintang agak pipih, berwarna hijau kekuningan

Daun : berbentuk pelepah, panjang 1-2 m, lebar 4-8 cm, permukaan kasar
dan berbulu, berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua

Bunga : berbentuk bunga majemuk, panjang sekitar 30 cm.

Gambar 1 : Tanaman Tebu


Sumber Foto : Website Direktorat Budidaya Tanaman Semusim-Deptan

Gambar 2 : Morfologi Tanaman Tebu


Budidaya tebu merupakan upaya manusia untuk mengoptimalkan kondisi
tanaman tebu agar memperoleh sumberdaya alam yang dibutuhkannya, sehingga
diperoleh hasil panen yang maksimal, baik dilihat dari sisi produktivitas maupun

dari sisi kualitas. Tanaman tebu yang banyak dibudidayakan di Indonesia


umumnya berasal dari spesies saccharum officinarum (www.ikisan.com, 2000),
dengan berbagai varietas, antara lain POY 3016, PS 30, PS 41, PS 38, PS 36, PS
8, BZ 132, BZ 62.
Secara umum, keberhasilan budidaya tebu sangat ditentukan oleh kondisi
agroklimat (iklim, topografi dan kesuburan tanah). Tanaman tebu akan tumbuh
optimal di wilayah tropis yang lembab, yaitu : berada di antara 350 LS - 390 LS,
ketinggian tanah 0 - 1.500 mdpl, suhu udara 28 - 34 0C, kelembaban minimal 70%,
sinar matahari 7 - 9 jam/hari, dan curah hujan 200 mm/bulan.
Pertumbuhan tebu juga didukung oleh sifat-sifat fisik dan kimia dari tanah,
seperti : drainase/permeabilitas, tingkat kemasaman, tekstur, serta kandungan
organik dan hara tanah. Meskipun tanaman tebu dapat tumbuh pada hampir semua
jenis tanah, namun pertumbuhannya akan optimal apabila ditanam pada tanah
yang subur, memiliki drainase yang baik (cukup air tetapi tidak tergenang) dan
tingkat kemasaman (pH) sekitar 6-7. Sementara tekstur tanah yang sesuai bagi
pertumbuhan tebu adalah sedang sampai berat atau menurut klasifikasi tekstur
tanah (Buckman and Brady, 1960) adalah lempung, lempung berpasir, lempung
berdebu, liat berpasir, liat berlempung, liat berdebu dan liat atau yang tergolong
bertekstur agak kasar sampai halus. Ketersediaan unsur hara minimal yang
dibutuhkan oleh tanaman tebu, antara lain adalah : kadar N total 1,5 ppm; kadar
P2O5 75 ppm; dan kadar K2O 150 ppm (data P3GI).sumber bukunya atau laporan
Pertumbuhan tanaman tebu umumnya berlangsung selama kurang lebih 12
bulan, terhitung mulai ditanam hingga dipanen. Tanaman tebu mengalami 4
(empat) fase pertumbuhan, yaitu :
1. Fase perkecambahan (germination phase), yaitu dimulai sejak penanaman
hingga pembentukan kecambah pada bud (mata), berlangsung selama 30-45
hari, dengan faktor-faktor berpengaruh antara lain : kadar air, suhu dan aereasi
tanah, kadar air, kadar gula tereduksi, status nutrien akar.
2. Fase pertunasan (tillering phase), yaitu fase pembentukan tunas yang akan
menentukan populasi tanaman, berlangsung kurang lebih 75 hari, dengan
faktor-faktor berpengaruh : sinar matahari, varietas, suhu, kadar air, pupuk.

3. Fase pemanjangan batang (grand growth phase), yaitu fase perpanjangan


batang tebu, berlangsung sekitar 120-150 hari. Dalam kondisi yang optimal,
dimana kebutuhan air, pupuk, suhu udara dan sinar matahari terpenuhi,
kecepatan perpanjangan batang dapat mencapai 4-5 ruas per bulan.
4. Fase pematangan (maturity and ripening phase), yaitu fase pembentukan dan
penyimpanan gula, berlangsung sekitar 90 hari. Air dan makanan yang diserap
oleh akar diangkut menuju daun. Dengan bantuan sinar matahari, bahan-bahan
tersebut akan bereaksi dengan karbondioksida di udara untuk membentuk gula
(sukrosa). Gula yang terbentuk disimpan di dalam batang, dimulai dari bagian
bawah dan berangsur-angsur naik ke bagian atas batang.
Pada pola monokultur, penanaman tebu umumnya dilakukan : (1) pada bulan
Juni - Agustus untuk tanah berpengairan, atau (2) pada akhir musim hujan untuk
tanah tegalan atau sawah tadah hujan. Penanaman tebu meliputi berbagai
kegiatan, yaitu : Persiapan bibit, berupa bibit pucuk, bibit batang muda, bibit
rayungan atau bibit siwilan, dengan kebutuhan sekitar 20.000 bibit per hektar,
Persiapan tanah, meliputi kegiatan pembuatan parit dan lubang tanam,
Penanaman, dilakukan dengan 2 cara, yaitu: (1) bibit diletakkan di sepanjang
aluran, ditutup tanah setebal 2-3 cm, dan disiram; (2) bibit diletakkan melintang di
sepanjang selokan, dengan jarak tanam 30-40 cm.
Pemeliharaan tanaman tebu dilakukan secara bertahap, yaitu :
1.

Penyulaman tanaman yang tidak tumbuh dengan baik

2.

Penyiangan gulma di sekitar tanaman

3.

Pembubunan tanah, meliputi pembersihan rumput-rumputan, pembalikan


guludan, penghancuran dan penambahan tanah

4.

Perempalan atau pengeletekan, untuk melepaskan daun-daun kering pada


ruas-ruas tebu, umumnya dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu : sebelum gulud
akhir, umur 7 bulan dan 4 minggu sebelum tebang

5.

Pemupukan, umumnya dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu : Pada saat tanam


hingga 7 hari setelah tanam, dengan dosis anjuran: 7 gram urea, 8 gram TSP
dan 35 gram KCl per tanaman (120 kg urea, 160 kg TSP dan 300 kg KCl per
hektar) dan 30 hari setelah pemupukan pertama, dengan dosis anjuran: 10
gram urea per tanaman (200 kg urea per hektar)

6.

Pengairan dan penyiraman, minimal dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu : pada


saat penanaman, fase pertumbuhan vegetatif dan fase pematangan

7.

Pengendalian hama (penggerek, tikus) dan penyakit (fusarium pokkahbung,


dongkelan, noda kuning, penyakit nanas, noda cincin, busuk bibit, blendok,
virus mozaik) secara rutin.
Kegiatan pemanenan dilakukan pada saat tebu mencapai masak, yaitu

kondisi dimana kandungan gula di sepanjang batang seragam, kecuali pada


beberapa ruas di bagian pucuk dan pangkal batang. Pada umumnya, kemasakan
tebu akan terjadi pada usia tanaman sekitar 12 bulan, dan kriteria yang umumnya
digunakan untuk menilai kematangan tebu adalah kandungan sukrosa. Analisa
kemasakan tebu pada saat menjelang panen sangat diperlukan untuk mengetahui
waktu panen yang paling tepat agar diperoleh rendemen yang optimal.
POLA PENYEBARAN TANAMAN TEBU DI INDONESIA DAN POTENSI
Budidaya tanaman tebu dapat dijumpai di berbagai wilayah Indonesia,
khususnya Jawa dan Sumatera, dengan pola penyebaran sebagai berikut (Gambar
3.)

Gambar 3 : Peta Penyebaran Tanaman Tebu di Indonesia

Secara keseluruhan, lahan perkebunan tebu di Indonesia saat ini mencapai


kurang lebih 400.000 hektar (Tabel 1.), dimana sebagian besar (lebih dari 95%) di
antaranya berada di Jawa dan Sumatera, dan sisanya berada di Sulawesi.
Tabel 1. Lahan Perkebunan Tebu
Nama Provinsi
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Lampung
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yoyakarta
Jawa Timur
Sulawesi Selatan
Gorontalo
TOTAL

Luas Kebun (ha)


13.140
12.479
105.915
21.956
50.958
3.282
171.915
9.398
9.217
398.260

Persentase (%)
3,30
3,13
26,59
5,51
12,80
0,82
43,17
2,36
2,31
100,00

Sumber : BKPM, 2008.

Secara rinci di bawah ini diuraikan potensi tanaman tebu masing-masing


daerah,yaitu :
a.

Jawa Timur
Dengan total lahan tebu seluas 171.915 hektar, saat ini wilayah Jawa Timur

merupakan sentra gula terbesar di Indonesia. Departemen Perindustrian


melaporkan bahwa pada tahun 2008 Indonesia memiliki 58 pabrik gula (PG),
dimana 31 PG tersebut beroperasi di wilayah Jawa Timur dengan kapasitas giling
total mencapai 86.278 TCD (ton cannes per day). Di wilayah ini, perkebunan tebu
sangat didominasi oleh perkebunan rakyat, sementara pengelolaan pabrik gula
dilakukan oleh BUMN, yaitu PTPN X mengelola 11 PG berkapasitas 34.300
TCD, PTPN XI mengelola 16 PG berkapasitas 36.278 TCD, dan PT.RNI I
mengelola 4 PG berkapasitas 15.700 TCD.
b.

Lampung
Sentra gula terbesar kedua di Indonesia adalah Lampung. Di wilayah ini,

terdapat PG Bungamayang yang dikelola PTPN VII dengan kapasitas giling 6.250
TCD, dan 4 buah PG berskala besar yang dikelola perusahaan swasta, yaitu PT

Gula Putih Mataram, PT Sweet Indo Lampung, PT Indo Lampung Perkasa, dan
PT Gunung Madu Plantation, dengan kapasitas produksi total sebesar 650.000
ton/tahun. Saat ini, telah beroperasi sebuah pabrik etanol berskala besar yaitu PT
Indo Lampung Distillery, dengan kapasitas produksi sebesar 50 juta liter/tahun.
c.

Jawa Barat
Budidaya tebu terkonsentrasi di wilayah Pantura (Cirebon, Majalengka,

Subang dan Kuningan), dan didominasi oleh lahan tegalan tanpa irigasi. Saat ini,
wilayah Jawa Barat memiliki 5 PG dengan kapasitas giling total 13.400 TCD.
d.

Jawa Tengah
Perkebunan tebu di wilayah Jawa Tengah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :

(1) wilayah Pantura Barat (Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes), pengelolaan


kebun oleh PG pada tanaman pertama, kemudian keprasannya dilanjutkan oleh
petani, serta (2) wilayah Pantura Selatan dan Timur (Sragen, Tasikmadu, Klaten,
Rembang, Pati, Kudus), pengelolaan kebun oleh rakyat. Saat ini, wilayah Jawa
Tengah memiliki 8 PG dengan kapasitas giling total 18.985 TCD.
e.

Wilayah Lainnya
Wilayah lain yang telah melakukan budidaya tebu adalah Sumatera Utara,

Sumatera Selatan, Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Gorontalo, namun dalam


jumlah yang masih sangat terbatas. Pabrik gula yang beroperasi di wilayah
tersebut berjumlah 8 PG, dengan rincian : 2 PG di Sumatera Utara (8.000 TCD), 1
PG di Sumatera Selatan (5.000 TCD), 1 PG di Yogyakarta (3.250 TCD), 3 PG di
Sulawesi Selatan (8.000 TCD) dan 1 PG di Gorontalo.
Secara ringkas, kinerja perkebunan tebu dan pabrik gula Indonesia selama 5
tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 : Data Statistik Tebu dan Gula Indonesia (2004 2008)

Tahun

Luas Lahan Produksi Tebu


(hektar)
(ton)

Produksi Gula
(ton)

Produktivitas
(ton tebu/ha)

Rendemen
(%)

2004

344.800

26.754.000

2.052.000

77,59

7,67

2005

381.800

31.139.000

2.242.000

81,56

7,20

2006

384.000

29.101.000

2.267.000

75,78

7,79

2007

400.500

33.292.000

2.660.000

83,13

7,99

2008*

405.600

34.707.000

2.780.000

85,57

8,01

Sumber : Ditjenbun 2009 dan P3GI 2008 (diolah)

Pada periode 2004-2009, perkebunan tebu Indonesia telah mengalami


perluasan lahan dari 344.800 hektar menjadi 405.600 hektar, atau rata-rata per
tahun sebesar 15.200 hektar; serta peningkatan produksi tebu dari 26.754.000 ton
menjadi 34.707.000 ton, atau rata-rata per tahun sebesar 2.000 ton. Di sisi lain,
pada periode yang sama produksi gula nasional meningkat dari 2.052.000 ton
menjadi 2.780.000 ton, atau rata-rata per tahun sebesar 182.000 ton.
Kinerja kebun dapat dilihat dari produktivitas lahan yaitu berat tebu yang
dihasilkan per hektar, sementara kinerja pabrik dapat dilihat dari rendemen yaitu
persentase berat gula terhadap berat tebu. Pada tahun 2008, produktivitas lahan
yang dicapai oleh perkebunan tebu di Indonesia rata-rata adalah 85,57 ton per
hektar, dan rendemen yang dicapai oleh pabrik gula rata-rata adalah 8,01%.
PEMANFAATAN SAAT INI
Tebu dapat diolah menjadi berbagai macam produk, baik untuk keperluan
pangan maupun untuk keperluan non pangan, secara umum pohon industri tebu
dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 : Pohon Industri Tebu (Sumber : Departemen Perindustrian, 2009)


Pengolahan tebu menjadi gula melibatkan serangkaian proses/perlakuan
kimia dan fisika yang saling berkaitan satu sama lain, yang secara skematik dapat
dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 : Proses Pengolahan Tebu Menjadi Gula


Proses pembuatan gula berbahan baku tebu akan menghasilkan produk
utama berupa gula, serta produk samping berupa tetes (molasse), blotong (mud),
ampas tebu (bagasse).
a.

Gula (sucrose)
Sebagai produk utama dari pengolahan tebu, pemanfaatan gula di Indonesia

masih difokuskan untuk keperluan pangan, baik dikonsumsi secara langsung


maupun diolah lebih lanjut menjadi gula rafinasi. Saat ini, nilai rendemen yang
dicapai oleh pabrik gula sangat bervariasi, yaitu sekitar 7-9% untuk pabrik gula
yang dikelola BUMN, dan sekitar 9-11% untuk pabrik gula yang dikelola swasta.
b.

Tetes (molasses)
Tetes merupakan produk samping dari proses pemisahan sirup low grade

dan massecuite (masakan). Tetes tidak layak untuk dikonsumsi langsung karena di
dalam tetes terdapat banyak kotoran-kotoran non gula yang dapat membahayakan
kesehatan.

10

Produksi tetes Indonesia sebesar 1,4 juta ton pada tahun 2007, dengan
rincian : 0,6 juta ton untuk bahan baku etanol, 0,6 juta ton untuk bahan baku MSG
dan pakan ternak, dan sisanya 0,2 juta ton diekspor (Aprobi, 2008).
c.

Ampas (bagasse)
Ampas merupakan hasil samping dari proses ekstraksi tebu, dengan

komposisi : 46-52% air, 43-52% sabut dan 2-6% padatan terlarut. Departemen
Pertanian melaporkan bahwa produksi tebu nasional saat ini adalah 33 juta
ton/tahun (Dirjenbun, 2008). Dengan asumsi bahwa persentase ampas dalam tebu
sekitar 30-34%, maka pabrik gula yang ada di Indonesia berpotensi menghasilkan
ampas tebu rata-rata sekitar 9,90-11,22 juta ton/tahun.
Saat ini, pemanfaatan ampas yang paling utama adalah bahan bakar boiler di
pabrik gula, di samping sebagai bahan baku partikel board, pulp, dan bahan-bahan
kimia seperti furfural, xylitol, dan plastik.
d.

Blotong (filter mud)


Blotong merupakan hasil samping dari proses pemurnian nira, berupa

padatan yang mengandung sekitar 2-3% gula. Sampai saat ini, pemanfaatan
blotong masih terbatas sebagai pupuk.
e.

Pucuk Tebu (top cane)


Pucuk tebu merupakan sisa hasil panen banyak digunakan sebagai pakan

ternak baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk awetan (silase).

11

PROSPEK PEMANFAATAN SEBAGAI BAHAN BAKU BIOENERGI


Bioetanol merupakan jenis bahan bakar nabati yang digunakan sebagai
substitusi bensin. Senyawa bioetanol terbuat dari tumbuh-tumbuhan, baik berupa
bahan bergula, bahan berpati atau bahan berselulosa. Sebagai substitusi bensin,
senyawa etanol dipersyaratkan berupa fuel grade ethanol (FGE) dengan kadar
etanol minimal 99,5%-volume.
Pada umumnya, campuran bahan bakar bensin dan bioetanol dinyatakan
dengan E-X, dimana X menunjukkan persentase bioetanol dalam bahan bakar.
Sebagai contoh, E-10 menunjukkan bahwa bahan bakar tersebut terdiri dari 10%
FGE dan 90% bensin.
Ketersediaan Bahan Baku
Produk samping dari proses pengolahan gula yang sangat potensial untuk
dijadikan bahan baku etanol adalah tetes (molasse), dikarenakan kandungan gula
yang masih sangat tinggi, yaitu sekitar 30-35%. Di samping tetes, produk
samping lain yang dapat dikonversi menjadi etanol adalah ampas (bagasse),
dikarenakan mengandung 37,65% selulosa dan 27,97% hemiselulosa. Namun,
saat ini produksi ampas umumnya terserap habis untuk keperluan bahan bakar
boiler, sehingga ketersediaan ampas untuk keperluan lainnya sangat terbatas.
Sebagaimana telah disampaikan bahwa pada tahun 2008 produksi tebu
nasional sebesar 34,707 juta ton, luas lahan tebu nasional sebesar 405.600 hektar
dan produktivitas lahan rata-rata sebesar 85,57 ton tebu per hektar. Dengan
asumsi bahwa kandungan tetes dalam tebu sebesar 4,5%, maka setiap hektar
kebun tebu berpotensi menghasilkan tetes sekitar 3,85 ton, atau secara nasional
produksi tetes diperkirakan mencapai sekitar 1,56 juta ton pada tahun 2008.
Dengan asumsi bahwa faktor konversi tetes menjadi etanol adalah 1 : 4,
yaitu untuk menghasilkan 1 liter etanol diperlukan bahan baku sebanyak 4 kg
tetes (Aprobi, 2008), maka produksi tetes nasional sebanyak 1,56 juta ton tetes
dapat dikonversi menjadi 0,39 juta kliter etanol (FGE). Berdasarkan perhitunganperhitungan di atas, diperoleh bahwa setiap hektar kebun tebu dapat
menghasilkan sekitar 0,96 kliter etanol (FGE). Namun, sekitar 0,6 juta ton tetes
dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri MSG dan pakan ternak (Aprobi,

12

2008), sehingga tetes yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar hanya sekitar
0,96 juta ton tetes, atau setara dengan 0,24 juta kliter etanol (FGE).
Saat ini, terdapat sebanyak 10 pabrik etanol berbahan baku tebu yang
beroperasi di Indonesia, dengan produksi total sebesar 183,2 juta liter per tahun,
dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 3 : Produksi Bioetanol Indonesia (2004 2008)
N
o
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Nama
Perusahaan

Kapasitas
(juta
liter/tahun)

Molindo Raya
Ind
PTPN XI
Indo
Acidatama
Madu Baru
PSA
Palimanan
Nabati Saran
Indo Lampung
Dist
Permata Sakti
Molasindo
Basis Indah
Total

50
7
45
7
7
3,6
50
5
3,6
5
183,2

Lokasi
Lawang, Jawa
Tengah
Jatiroto, Jawa
Tengah
Solo, Jawa Tengah
Yogyakarta
Cirebon, Jawa
Barat
Cirebon, Jawa
Barat
Lampung
Medan, Sumut
Medan, Sumut
Makassar

Sumber : SBRC-IPB. 2009


Di sisi lain, kebutuhan bensin dalam negeri saat ini sekitar 20,44 juta kliter
(BPH Migas, 2009). Dalam kondisi saat ini, dimana secara nasional produksi
etanol maksimal hanya sebesar 0,24 juta kliter, maka pencapaian target substitusi
E-5 memerlukan tambahan produksi etanol sebesar 0,76 juta kliter. Penambahan
produksi etanol dapat diperoleh melalui perluasan lahan perkebunan tebu kurang
lebih 800.000 hektar.
Negara lain yang menggunakan bahan baku tebu sebagai bioetanol adalah
Brazil. Negara tersebut merupakan produsen bioetanol terbesar di dunia, dengan
pangsa produksi melampaui 70% dari produksi etanol dunia. Brazil menggunakan
bahan baku berupa tebu (campuran nira dan tetes). Dengan lahan perkebunan tebu
seluas 3,6 juta hektar pada tahun 2006, Brazil telah memproduksi etanol sebanyak

13

16,3 milyar liter, sehingga produktivitas yang dicapai oleh Brazil pada tahun 2006
sekitar 4.500 liter etanol per hektar, sementara produktivitas yang dicapai oleh
USA sekitar 3.000 liter etanol per hektar.

14

Daftar Pustakabanyak daftar pustaka tidak ada dalam test

Anonymous. 2007. Flora Kita. Yayasan KEHATI dan Perhimpunan Prosea. Diakses
tanggal 5 Mei 2009. http://www.kehati.or.id/florakita/browser.php
_________. 2008. Informasi Spesies Tebu. Plantamor Situs Dunia Tumbuhan. Diakses
tanggal 5 Mei 2009. http://www.plantamor.com/index.php?plant=1100
_________. 2009. Pohon Industri Tebu. Diakses tanggal 13 Maret 2009.
www.google.com/search/pohon_industri.pdf
BKPM. 2008. Komoditi Investasi. Diakses tanggal 9 April 2009.
http://regionalinvestment.com/sipid/id/commodity.php?ic=5 .
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2009. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh
Indonesia menurut Pengusahaan. Diakses tanggal 9 April 2009.
www.google.com/search/tebu.xls
Kuntohartono, T. dan Thijsse, JP. 2007. Keanekaragaman Hayati Tumbuhan Indonesia.
Diakses tanggal 5 Mei 2009. http://www.kehati.or.id/florakita/browser.php?
docsid=698
Kurniawan, Y, Susmiadi, A. dan Toharisman, A. 2005. Potensi Pengembangan Industri
Gula sebagai Penghasil Energi di Indonesia. Pengembangan Bioetanol. Pusat
Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Diakses tanggal 5 Mei 2009.
http://sugarresearch.org/wp-content/uploads/2008/12/bioenergi.pdf
Kuswurj, R. 2009. Pemanfaatan Produk Hasil Samping Pabrik Gula. Sugar Technology
and Resarch. Diakses tanggal 5 Mei 2009. http://www.risvank.com/pemanfaatanproduk-hasil-samping-pabrik-gula.html
Sugiyarta, E. 2008. Perkembangan Penataan Terkini Varietas Tebu di Indonesia.
Direktorat Pembenihan dan Sarana Produksi. Forum Komunikasi PBT. Diakses
tanggal 5 Mei 2009.
http://pengawasbenihtanaman.blogspot.com/2008/12/perkembangan-terkinipenataan-varietas.html

P3GI, Aprobi, DPH Migas, Buckman ????

15

Anda mungkin juga menyukai