Anda di halaman 1dari 3

Persoalan Klasik Pendidik di

Republik (+1)
13Sep
Penulis: Nurdin Aceh Timur
Kategori: Aktivitas
5

Google+1

Menjalani profesi sebagai pengawas dipandang enak oleh sebagian besar stakeholder
pendidikan di daerah saya, Kabupaten Aceh Timur. Kerja pengawas santai, gak wajib masuk
dari apel pagi, bisa libur kapan saja, tinggal bilang saja sedang di lapangan atau DL (Dinas
Luar). Selesai!
Kalau kita melihat kondisi pengawas sebelum KTSP berlaku mungkin ada benarnya. Tetapi
sejak berlakunya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pada tahun 2003 lalu, tugas
pengawas amat berat untuk diemban. Bayangkan, dari sekian banyaknya persoalan di dunia
pendidikan, pengawaslah yang menjadi penjamin mutu pendidikan di sebuah satuan
pendidikan. Dengan kata lain, apabila ada sekolah yang rendah kualitasnya, maka yang
pertama sekali harus dimintai pertanggungan jawab adalah pengawas sekolah sebagai
pembinanya. Apakah sudah benar pembinaan yang dilakukan.
Sebagai pembina satuan pendidikan (sekolah), pengawas sekolah mempunyai dua tugas
utama, pembinaan bidang akademik untuk guru, dan pembinaan bidang manajerial untuk
kepala sekolah. Namun, sebagai pengawas muda, tugas utama saya adalah pembinaan
guru.
Sehari setelah dilantik menjadi pengawas sekolah, saya langsung melakukan blusukan
(istilah yang tenar sejak pak Jokowi jadi gubernur DKI). Semua sekolah binaan saya datangi.
Mulai dari sekolah binaan yang ada di pinggir jalan lintas sumatera (Jalinsum) sampai ke
sekolah yang ada di daerah 3 T (terpencil, tertinggal, dan terdepan). Ada satu hal yang ingin
saya ketahui, apa persoalan utama yang dihadapi para guru di sekolah binaan. Kalau ada
guru yang saya amati lemah dalam PBM, langsung didiskusikan, tak jarang saya juga
menjadi model untuk menerapkan model pembelajaran tertentu, atau menjadi model dalam
penerapan media belajar tertentu untuk menjawab persoalan guru di kelas. Pokoknya semua
saya lakukan sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang saya peroleh selama 9
tahun menjadi guru, di SMA Negeri 1 Peureulak dan SMA Negeri Unggul Aceh Timur.
Dua tahun blusukan dan memberikan pelayanan dalam bentuk bantuan profesional kepada
guru, ternyata saya kurang berhasil membuat guru semangat dalam melaksanakan tugas
profesinya sebagai pendidik dan pengajar. Kesannya kok lebih banyak yang mengikuti
kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan hanya untuk dapat uang transport, uang
saku, dan sertifikat. Kegiatan MGMP sering miskin aplikasi atau tindak lanjut di sekolah.
Pulang pelatihan atau MGMP, kinerja guru kembali seperti semula, aku masih seperti yang
dulu, katanya.

Saya tetap kesulitan untuk melakukan pertemuan dengan guru apabila dilaksanakan setelah
jam pembelajaran terakhir. Ada saja guru yang minta ijin tidak bisa menghadiri pertemuan
dimaksud dan memilih untuk langsung pulang ke rumah masing-masing. Tetapi kalau
pertemuan dilakukan pada jam PBM aktif, misalnya jam 11 siang (setelah istirahat), semua
sumringah mengikuti pertemuan, kenapa? karena boleh tidak mengajar di saat pertemuan
berlangsung. Duduk manis di kantor, mendengarkan ceramah pengawas, syukur-syukur
sampe jam terakhir. Tetapi itu mungkin kasus dua tahun yang lalu, saya harap kondisi
sekarang sudah berubah jadi lebih baik. Maklum saja, dua tahun sudah saya tinggalkan
tugas kepengawasan karena ada tugas belajar peningkatan kualifikasi pengawas sekolah.
Persoalan lain adalah lesunya guru kalau kegiatan kepengawasan berhubungan dengan
akademik, yaitu peningkatan kompetensi guru. Lebih lesu lagi kalau kegiatannya
berhubungan dengan pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Mungkin karena memang budaya bacatulis di negeri ini belum sehebat negeri tetangga. Sehingga kegiatan yang berhubungan
dengan KTI sepi pengunjung. Berbeda halnya bila kegiatan yang dilakukan bisa menambah
pendapatan di luar gaji, rasanya setiap hari boleh dilakukan kegiatan yang seperti itu.
Persoalan paling klasik adalah pendapatan guru yang pas-pasan mendekati kurang. Gaji
guru tidak cukup untuk membeli tanah lalu membangun rumah, beli mobil, dan keperluan
lainnya. Khususnya bagi yang sudah berkeluarga. Untuk mengatasi kekurangan biaya agar
tertutupi kebutuhan akan perumahan misalnya, maka guru banyak yang mengajukan kredit
konsumsi ke Bank. Lah kalau sudah kenal dengan Bank, maka guru akan bahagia, tetapi
bahagia jangka pendek, kira-kira 3 bulan setelah pencairan pinjaman. Lewat 3 bulan,
persoalan dan penderitaan jangka panjang harus dijalani oleh guru, kalau dulu hanya paspasan, setelah kenal dengan Bank menjadi empis-empisan. Sampai habis masa pensiun pun
hutang di Bank ada yang belum lunas. Luar biasa!
Sangat sulit kita dapatkan guru yang memiliki persoalan ekonomi bisa konsentrasi pada
kegiatan PBM. Dari diskusi dengan beberapa orang guru, kalau sudah lewat tanggal 15
setiap bulan, yang ada dalam pemikiran adalah usaha sampingan apa yang bisa dilakukan
untuk menutupi defisit APBRT. Jadi akan sulit sekali guru bisa membuat penelitian tindakan
kelas, lah wong yang dipikirkan adalah tindakan sampingan.
Melarang guru agar tidak mengambil kredit di Bank juga dilematis. Hal itu akan dianggap
menghambat guru untuk memiliki rumah, membeli mobil, atau membuka uasha lain biar
lebih sejahtera. Mesti ada aturan agar kredit para guru tidak kelewat batas. Ada beberapa
kasus gaji guru minus setiap bulan karena mengambil kredit dimana-mana, kredit di Bank,
kredit sepeda motor, kredit laptop, kredit alat-alat elektronik lainnya, kredit pakaian, dan
lain-lain. Akibatnya gajinya minus. Kalau sudah minus, jangankan untuk beli buku referensi,
untuk beli bensin atau uang transport saja sudah tidak ada. Kalaupun guru tersebut sampai
di sekolah, lalu disupervisi, hasilnya otomatis jelek, terus dikasih pelatihan atau dilakukan
supervisi klinis, yah sama saja bohong. Gak ngaruh.
Melihat kondisi ini, pemerintah memberikan tambahan penghasilan melalui pemberian
tunjangan profesi bagi guru yang telah selesai mengikuti program sertifikasi. Tunjangan
profesi ini sangat besar, 1 kali gaji pokok setiap bulannya. Tetapi apa yang terjadi, setelah
mendapatkan tunjangan tersebut, kredit guru juga menjadi tambah besar, gaya hidupnya

berubah dari sederhana menjadi mendekati gaya hidup mewah. Kalau dulu naik honda roda
dua, setelah sertifikasi naik honda yang rodanya empat, Honda Jazz.
Mungkin akan lain halnya kalau yang diberikan itu bukanlah tunjangan profesi. Guru butuh
rumah, maka sediakan saja rumah, rumah untuk guru yang bisa dicicil tanpa bunga, tanpa
DP. Guru butuh kendaraan, cukup buatkan saja program mobil nasional yang bisa
menghasilkan mobil bagus tapi murah dan terjangkau, berikan mobil tersebut untuk guru
dengan mekanisme pembayaran yang pasti dapat dijangkau oleh guru. Berikan beasiswa,
atau asuransi pendidikan bagi anak-anak para guru agar bisa kuliah sampai S.3, sehingga
guru tidak harus menggadaikan SK untuk menutupi kekurangan biaya pendidikan anakanaknya. Dan kebijakan lain yang ternyata bisa dilakukan di negara tetangga serta
membuat guru mereka sejahtera dan maju pendidikannya.
Kalau semua fasilitas itu sudah diberikan, tapi masih ada guru yang tidak cakap
melaksanakan tugas profesinya, silahkan dipecat saja

Anda mungkin juga menyukai