Kaki Gajah 8 DSR
Kaki Gajah 8 DSR
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Filariasis
Filariasis limfatik atau elephantiasis atau yang dalam bahasa Indonesia
dikenal sebagai penyakit kaki gajah dan di beberapa daerah disebut untut adalah
penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria. Gejala penderita filariasis mulamula demam secara berulang dua sampai tiga kali dalam sebulan, kemudian timbul
gejala limfangitis, limfadenitis, limfadema dan kemudian terjadi elefantiasis.
Elefantiasis dapat terjadi di tungkai bawah, lengan bawah, mammae, atau skrotum,
tergantung dari jenis cacing filaria yang menginfeksi penderita. Penderita filariasis di
dunia diperkirakan sebanyak 120 juta orang yang tersebar di 80 negara baik di negara
tropis maupun sub-tropis (Michael, 1996).
2.1.1 Epidemiologi
Menurut Laurence (1967) dalam Soeyoko, 2002) penyakit kaki gajah telah
dikenal 600 tahun sebelum Masehi, sejak diketahui ada seorang pengikut agama
Budha menderita kakinya bengkak seperti kaki gajah sehingga orang tersebut diusir
dari lingkungannya. Filariasis limfatik mempengaruhi lebih dari 170 juta orang di
seluruh dunia dan ditemukan di tempat tropik dan subtropik (Thomas B et al., 2008).
genus menjadi Brugia tetapi nama spesies tetap. Pinhao dan David dan Edeson
(1961) dalam Sudomo, 2008) telah menemukan mikrofilaria yang mirip dengan
microfilaria B.malayi pada manusia di Timor Portugis.
Sementara itu mikrofilaria yang sama ditemukan di Timor Barat, Flores dan
Alor (Kurihara T et al., 1975 dalam Sudomo, 2008), pada periode tersebut penelitian
difokuskan pada penyebaran W. bancrofti dan B. malayi. Pada tahun 1980, spesies
baru dari Wuchereria pada lutung (Presbythis cristatus) di Kalimantan Selatan
ditemukan oleh Palmieri et al. Spesies baru tersebut diberi nama Wuchereria
kalimantani. Wuchereria bancrofti tipe perdesaan masih banyak ditemukan di Papua
dan beberapa daerah lain di Indonesia. Di Indonesia kurang lebih 10 juta orang telah
terinfeksi oleh filariasis sedangkan kurang lebih 150 juta orang hidup di daerah
endemik (population at risk).
Semua parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat pengisap darah, atau,
untuk Dracunculus, oleh kopepoda (Crustacea). Selain elefantiasis, bentuk serangan
yang muncul adalah kebutaan Onchocerciasis akibat infeksi oleh Onchocerca
volvulus dan migrasi microfilariae lewat kornea.
darah, aktivitas hospes, irama sirkadian, jenis hospes dan jenis parasit, tetapi secara
pasti mekanisme periodositas mikrofilaria tersebut belum diketahui.
Di
daerah
perkotaan,
parasit
ini
ditularkan
oleh
nyamuk
Culex
Gerakan larva stadium III sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke
rongga abdomen kemudiam ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk sedang
aktif mencari darah akan terbang berkeliling sampai adanya rangsangan hospes yang
cocok diterima oleh alat penerima rangsangannya. Rangsangan ini akan memberi
petunjuk pada nyamuk untuk mengetahui dimana adanya hospes , kemudian baru
menggigit (Depkes RI, 2001). Bila nyamuk yang mengandung larva stadium III
bersifat infektif dan mengigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk ke
dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes,
larva mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV lalu
stadium V dan cacing dewasa (Parasitologi Kedokteran, 2008). Siklus ini yang
berterusan sehingga semakin banyak menderita filariasis dan manusia merupakan
definitive host.
2.1.4 Vektor
Pada saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles,
Culex, Mansonia dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor filariasis
(Dep.Kes.RL, 1999).
yang
terdapat
di
daerah
perkotaan
ditularkan
oleh
Perjalanan
filariasis
dapat
dibagi
beberapa
stadium:
stadium
mikrofilaremia tanpa gejala klinis, stadium akut dan stadium menahun. Ketiga
stadium tumpang tindih, tanpa ada batasan yang nyata. Gejala klinis filariasis
bankrofti yang terdapat di suatu daerah mungkin berbeda dengan dengan yang
terdapat di daerah lain (Parasitologi Kedokteran, 2008).
Pada penderita mikrofilaremia tanpa gejala klinis, pemeriksaan dengan
limfosintigrafi menunjukkan adanya kerusakan limfe. Cacing dewasa hidup dapat
menyumbat saluran limfe dan terjadi dilatasi pada saluran limfe, disebut
lymphangiektasia. Jika jumlah cacing dewasa banyak dan lymphangietaksia terjadi
Stadium akut ditandai dengan peradangan pada saluran dan kelenjar limfe,
berupa limfaadenitis dan limfagitis retrograd yang disertai demam dan malaise.
Gejala peradangan tersebut hilang timbul beberapa kali setahun dan berlangsung
beberapa hari sampai satu atau dua minggu lamanya. Peradangan pada system
limfatik alat kelamin laki-laki seperti funikulitis, epididimitis dan orkitis sering
dijumpai. Saluran sperma meradang, membengkak menyerupai tali dan sangat nyeri
pada perabaan. Kadang-kadang saluran sperma yang meradang tersebut menyerupai
hernia inkarserata. Pada stadium menahun gejala klinis yang paling sering dijumpai
adalah hidrokel. Dapat pula dijumpai gejala limfedema dan elephantiasis yang
mengenai seluruh tungkai, seluruh lengan, testis, payudara dan vulva. Kadangkadanag terjadi kiluria, yaitu urin yang berwarna putih susu yang terjadi karena
dilatasi pembuluh limfe pada system ekskretori dan urinary. Umumnya penduduk
yang tinggal di daerah endemis tidak menunjukan peradangan yang berat walaupun
mereka mengandung mikrifilaria (Parasitologi Kedokteran, 2008).
2.1.6 Diagnosis
Cara diagnosis filariasis yang benar mutlak harus diketahui agar dapat
mengidentifikasi daerah-daerah yang menjadi sumber penularan dan perlu
mendapatkan prioritas pengobatan serta dapat menemukan daerah endemis baru. Cara
diagnosis tepat juga mempunyai peran penting untuk mengevaluasi keberhasilan
program pengendalian filariasis di suatu daerah. Ketajaman diagnosis sangat
diperlukan untuk keberhasilan Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2010.
Pemeriksaan klinis merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah tapi
gejala klinis filariasis sangat bervariasi, mempunyai spektrum sangat luas dan sangat
tergantung masing-masing individu dan spesies penyebabnya. Penderita tidak
menunjukkan gejala sama sekali (asimtomatik), atau menunjukkan gejala-gejala akut
dan ada yang berkembang menjadi kronik. Gejala-gejala klinis seperti demam,
limfadenitis, limfangitis desendens, abses, funikulitis, epididimitis dan orkitis sifatnya
sementara dan dapat sembuh spontan tanpa pengobatan serta dapat terjadi berulangulang.
Gejala akut (demam) biasanya muncul jika penderita bekerja berat (kelelahan)
dan segera hilang setelah istirahat penuh. Limfadenitis dan limfangitis dapat timbul
pada sistem limfe dimana saja, tetapi kebanyakan di daerah lipat paha kemudian
menjalar ke arah distal (desendens) terlihat sepert tali berwarna merah dan terasa
nyeri. Gejala kronik seperti sikatrik, hidrokel testis dan elephantiasis sifatnya
menetap. Pada filariasis bancrofti dapat terjadi elephantiasis pada seluruh kaki atau
lengan sedangkan pada filariasis malayi atau timori hanya terjadi elefantiasis di
bawah lutut. Di daerah endemik filariasis munculnya gejala-gejala klinis bervariasi,
ada yang cepat, ada yang lambat sampai beberapa tahun, tetapi ada yang tidak
menunjukkan gejala klinis sama sekali sepanjang hidupnya walaupun sudah terinfeksi
filaria.
Konfirmasi diagnosis filariasis yang paling tepat dan murah adalah dengan
cara pemeriksaan mikroskopis darah ujung jari untuk mengetahui adanya
mikrofilaria. Darah ujung jari yang diambil waktu malam hari dapat dipulas dengan
Giemsa atau dilihat secara langsung dengan mikroskop. Pemeriksaan darah segar
tanpa pewarnaan secara langsung sangat bermanfaat bagi daerah baru yang
masyarakatnya belum mengenal filariasis dan cara diagnosis ini sekaligus dapat
digunakan sebagai media penyuluhan.
2.1.7 Pemberantasan
Suatu kesepakatan global telah dicapai dengan adanya resolusi World Health
Assembly (WHA) yang telah dicanangkan pada tahun 1997 dengan bunyi yang jelas
antara lain : the elimination of lymphatic filariasis as a public health
problem......... Menindak lanjuti resolusi tersebut maka WHO dengan bekerja sama
dengan berbagai kalangan, antara lain Negara Donor, World Bank, the Arab Fund for
Economic and Social Development, dan the United States Centers for Disease
Control and Prevention mulai membangun kerja sama untuk memberantas filariasis
di seluruh dunia.
Tahun berikutnya kerja sama tersebut mendapatkan dorongan yang lebih besar
lagi pada saat Smith Klein Beecham (SB) menyatakan komitmennya untuk membantu
program global dalam eliminasi filariasis, yaitu dengan pengadaan Albendazol untuk
kepentingan eliminasi filariasis, yang diberikan kepada negara endemis secara gratis.
Kemudian terjadi kesepakatan antara Departemen Kesehatan negara-negara endemis
untuk secara bersama
Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) merupakan obat yang paling efektif untuk
membunuh microfilaria maupun makrofilaria. Berbagai metoda untuk memberantas
filariasis di Indonesia telah dilakukan, antara lain, pengobatan masal dengan dosis
standar di sekitar Bendungan Gumbasa di Sulawesi Tengah dan di Banjar,
Kalimantan Selatan (Putrali, Kaleb, 1974 dalam Sudomo, 2008). Pengobatan dengan
dosis rendah yang diikuti oleh dosis standar telah dilakukan di Kalimantan Selatan,
Flores Barat, Kabupaten Batanghari, Jambi dengan hasil yang sangat baik (Rush J et
al., 1980 dalam Sudomo, 2008). Dengan melihat pengalaman penelitian tersebut
maka program pemberantasan filariasis memutuskan melakukan pemberantasan
dengan menggunakan DEC dosis rendah seminggu sekali selama 40 minggu.
Pada saat ini masih banyak daerah endemik filariasis limfatik terutama di
daerah terpencil dan di perdesaan (Partono F et al., 1984 dalam Syachria, 2004). Di
beberapa daerah, filariaisis telah lenyap sama sekali karena perubahan ekosistem
yang mengkibatkan hilangnya habitat nyamuk vektor filariasis. Tetapi di beberapa
daerah lain, filariasis malahan meningkat atau muncul karena adanya migrasi
penduduk dari daerah non endemik ke daerah endemik. Ditambah dengan perubahan
hutan menjadi daerah persawahan atau perkebunan yang akan menyebabkan
munculnya habitat nyamuk vektor filariasis (Madsen et al., 2004).
Pada saat terjadi perubahan fisik, maka dengan sendirinya akan terjadi juga
perubahan sosio-kultural, yang mendukung pengurangan risiko penularan dengan
makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dirinya. Program
pemberantasan filariasis harus didukung oleh peranserta masyarakat karena tanpa
adanya peranserta masyarakat program tersebut tidak akan dapat mencapai sasaran.
Peran pemuka masyarakat baik formal maupun non formal sangat penting untuk
membantu pelaksanaan pemberantasan filariasis. Semua program tersebut di atas
pada saat ini telah diintegrasikan ke dalam program baru setelah Indonesia
menyatakan komitmennya untuk mengikuti program pemberantasan filariaisis yang
mencegah penyakit
filariasis,
nyamuk
penularnya diberantas
merupakan cara yang paling efektif. Cara tepat untuk memberantas nyamuk adalah
berantas jentik-jentiknya di tempat berkembang biaknya. Cara ini dinamakan dengan
pemberantas sarang nyamuk filariasis. oleh karena tempat-tempat berkembang
biaknya di rumah-rumah dan tempat-tempat umum maka setiap keluarga harus
berkerjasama dan berusaha melaksanakan pemberantas sarang nyamuk filariasis
(Depkes RI, 1995).
2.2 Prilaku
Prilaku adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisma yang
berkaitan. Maka, prilaku manusia merupakan sesuatu aktivitas dari manusia itu
sendiri. Terdapat 2 hal yang dapat mempengaruhi prilaku yaitu faktor genetik
(keturunan) dan faktor lingkungan. Faktor keturunan merupakan konsepsi dasar untuk
perkembangan prilaku mahluk hidup itu. Lingkungan adalah kondisi untuk
perkembangan prilaku tersebut.
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan makanan serta
lingkungan. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2003) mengajukan klasifikasi
seperti
berikut:
a) Prilaku kesehatan merupakan hal-hal yang berhubungan dengan tindakan atau
kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
b) Prilaku sakit ialah segala tindakan
Tahu (know)
Tahu adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat mengingat sesuatu yang telah
dipelajari sebelumnya.Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Paham (comprehension)
Paham diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang mampu menjelaskan
dengan benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar.
Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang talah
dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
Analisis (analysis)
Analisis dalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke dalam
komponen-komponen yang masih dalam satu struktur organisasi dan masih ada
kaitannya satu sama lain ,misalnya mengelompokkan dan membedakan.
Sintesis (synthesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagianbagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Evaluasi (evaluasion)
Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi
atau objek.
2.2.2. Sikap
Menurut Sarwono, sikap adalah kesiapan pada seseorang untuk bertindak
secara tertentu terhadap hal tertentu. Sikap ini dapat bersifat positif dan dapat pula
2.2.3. Tindakan
Sikap yang belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan ( overt behavior).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tindakan dibedakan atas
beberapa tingkatan :
a) Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil.
b) Respon terpimpin ( guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat 2.
c) Mekanisme ( mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis
atau sesuatu kegiatan itu sudah menjadi suatu kebiasaan, maka ia sudah mencapai
praktek tingkat 3.
d) Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik
(Notoatmodjo, 2003).