Anda di halaman 1dari 39

PRESENTASI KASUS

TUMOR INTRAKRANIAL

DISEDIAKAN OLEH:
MOHD KAMAL BIN MOHAMED
11-2010-222

DOKTER PEMBIMBING:
DR. AL RASYID, SP.S

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN NEUROLOGI


RUMAH SAKIT UMUM BHAKTI YUDHA
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 9 APRIL 2012 12 MARET 2012

STATUS ILMU PENYAKIT SARAF


KEPANITERAAN KILNIK FK UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RS BHAKTI YUDHA

BAB I
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. K
Umur : 72 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Status perkahwinan : kawin
Pendidikan : tamat SMA
Pekerjaan : pesara PNS
Alamat : JL. Nuri III no. 133 Depok Jaya Panmas
No CM : 00276625
Tanggal masuk RS : 7 April 2012
Pasien datang ke rumah sakit
Sendiri/ bisa jalan/ dipapah/ dengan alat bantu
Dibawa oleh keluarga : ya/ tidak
II.

SUBJEKTIF

Alloanamnesis : 12 April 2011 jam 14.30 WIB dengan isteri Os


Keluhan utama : kejang tiba-tiba
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien seorang laki-laki berusia 72 tahun dibawa ke UGD RS Bhakti Yudha oleh
keluarga dalam keadaan kejang dan tidak sedarkan diri sejak kurang lebih 20 menit sebelum
masuk rumah sakit. Os ditemui oleh isterinya dalam keadaan tiba-tiba kejang-kejang pada
2

jam 700 wib. Os kejang terutama pada tubuh sebelah kiri, dengan gerakan kelojotan pada
bagian kiri tubuh. Pasien tidak sedar, matanya melotot, terdengar bunyi ngorok dan mulutnya
menjadi mencong. Sebelumnya, sehabis subuh Os sempat mengadu sakit kepala dan Os
sering memegang kepalanya bagian depan dan memicit-micit kepalanya. Isterinya
mengatakan Os tidak muntah-muntah sebelum dan selama kejang. Isterinya juga mengatakan
Os tidak demam. Sebelumnya nafsu makan Os baik, buang air kecil dan besar juga normal.
Cuma sejak dari serangan yang pertama kali, isterinya mengatakan, Os sukar untuk berjalan
karena anggota geraknya yang melemah. Jadi Os biasanya tiduran sahaja. Untuk aktivitas
sehari-hari seperti makan, mandi dan buang air dibantu oleh isterinya. Os juga berbicara tidak
lancar sejak serangan pertama kali itu.
4 bulan sebelum masuk rumah sakit (bulan Desember) , Os mengeluh sakit kepala
berat. Os dibawa ke Rumah Sakit Pasar Rebo untuk mendapatkan pengobatan. Dari RS pasar
Rebo, Os dirujuk ke RSCM. Di RSCM, dilakukan pemeriksaan skening kepala pada beliau
dan diketahui adanya tumor di otak. Namun Os tidak dirawat di RSCM.
Pada bulan yang sama, Os jatuh pengsan tidak sedarkan diri namun tidak kejangkejang. Os juga tidak bisa bicara. Isterinya mengatakan Os tidak muntah-muntah. Setelah itu
os dibawa berobat di klinik Citra Insani di Sukabumi dan dirawat di sana. Di sana Os
diberikan pengobatan herbal. Setelah itu, Os sadar kembali. Sejak itu, bicaranya sudah mulai
susah dan Os terpaksa dibantu untuk berjalan. Setelah 12 hari dirawat Os dibenarkan pulang.
3 bulan sebelum masuk rumah sakit, Os drop sekali lagi, dimana Os tidak sedarkan
diri dan dibawa ke RS Pasar Rebo dan dirawat selama 4 hari. Sewaktu tidak sedarkan diri
untuk kedua kali juga Os tidak kejang-kejang. Di RS Pasar Rebo, Os disarankan untuk
dioperasi namun Os menolak.
1 hari sebelum masuk rumah sakit, Os keliatan seperti biasa. Os tidak mengeluh sakit.
Setelah 2 kali serangan tidak sedarkan diri, bicara dan aktivitas fisiknya terbatas dimana os
harus disuapin untuk makan dan harus dimandiin. Ingatannya juga mulai terganggu, tetapi Os
masih mengingati isteri dan keluarganya yang terdekat. Bicaranya kadang-kadang tidak
lancar.
Kurang lebih jam 700 wib, Os kejang dan dibawa ke RS Bhakti Yudha. Di RSBY, Os
dirawat di ICU. Pada hari ke 6 perawatan, kondisi Os sudah stabil, bernafas spontan tanpa
bantuan mesin. Os masih dalam keadaan tidak sadarkan diri sepenuhnya. Namun Os sudah
memberikan reaksi yaitu membuka mata apabila dipanggil.
Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat hipertensi (+)


Riwayat diabetes mellitus (+)
Riwayat operasi pengangkatan ginjal kiri (+) pada tahun 2010

Riwayat penyakit keluarga :


Tidak ada ahli keluarga yang sakit seperti ini.
III.

OBJEKTIF

Status presens
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Kesedaran
: somnolen
Glasgow Coma Scale : E4 M5 V2
Tekanan darah
: 170/90 mmHg
Nadi
: 76x/ menit
Pernafasan
: 24x/menit
Suhu
: 37,2 oC
Kepala
: normocephali
Leher
: Tak teraba pembesaran kelenjar tiroid, tidak teraba
pembesaran
KGB leher
i. Paru
: SN Vesikuler, rhonki - / -, wheezing - / j. Jantung
:BJ I II regular, murmur (-), gallop (-)
k. Perut
: Supel, BU (+) normal, NT abdomen (-), tidak teraba
pembesaran hepar dan lien

l.
a.
b.
c.
d.
e.

Status psikikus
Cara berpikir : Tidak dapat dinilai
Perasaan hati : Tidak dapat dinilai
Tingkah laku : Tidak dapat dinilai
Ingatan
: Tidak dapat dinilai
Kecerdasan
: Tidak dapat dinilai

Status neurologis
a. Kepala
a. Bentuk
b. Nyeri tekan
c. Simetris
d. Pulsasi

: normosefali
: tidak ada
: tampak simetris
: tidak ada

b. Leher
a. Sikap
b. Pergerakan
c. Kaku kuduk

: simetris
: Bebas
: negatif

c. Pemeriksaan saraf kranial


N. I : Tidak dilakukan
4

N. II

Kanan
Tajam penglihatan
Pengenalan warna
Lapang pandang
Fundus okuli

N. III
Sela mata
Gerak bulbus
Strabismus
Nystagmus
Exophtalmus
Pupil Besar
Bentuk
Refleks cahaya
Refleks konversi
Refleks konsensual
Diplopia

N. IV

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Kanan
+

3 mm
Bulat
Positif

N. V

N. VI
Pergerakan mata
ke lateral
Melihat kembar

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

N. VII

Kiri
Tidak dilakukan

Kanan
+

Kiri
+

Kanan
-

Kiri
+
Tidak dilakukan

Kanan
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Memperlihatkan gigi
Bersiul

3 mm
Bulat
Positif

Kanan

Refleks kornea

Kiri
+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Pergerakan mata
Melihat kembar

Kiri

N. VIII

Kiri
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Kanan
Suara berbisik
Tes Weber
Tes Rinne

Kiri
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

N. IX : Tersedak saat disuction positif

N. X

N. XI

: Tersedak saat disuction positif


Kanan
Mengangkat bahu

Kiri
Tidak dilakukan
5

Memalingkan kepala

N. XII

Tidak dilakukan
Kanan

Pergerakan lidah
Tremor lidah
Artikulasi

Kiri
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

d. Badan dan anggota gerak


Badan
a. Motorik
i. Respirasi
: normal
ii. Duduk
: tidak dapat dinilai
iii. Bentuk kolumna vertebralis
: tidak dapat dinilai
iv. Pergerakan columna vertebralis : tidak dapat dinilai
b.
Sensibilitas
Taktil
Nyeri
Thermi
Diskriminasi

Kanan
Tidak dilakukan
Positif
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Kiri
Tidak dilakukan
Positif
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

c. Reflex
Reflex kulit perut atas : Tidak dilakukan
Reflex kulit perut bawah : Tidak dilakukan
Reflex kulit perut tengah : Tidak dilakukan
Reflex kremaster
: Tidak dilakukan
Anggota gerak
Motorik
Pergerakan
Kekuatan
Tonus
Atrofi
kesan : hemiparese kanan

Kanan

Kiri

Sensibilitas
Taktil
Nyeri
Thermi
Diskriminasi

Kanan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Kiri
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Reflex
Biceps
Triceps
Hoffman Trommer

Kanan
+++
+++
Negatif

Kiri
++
++
Negatif
6

Anggota gerak bawah


Motorik
Kanan
Pergerakan
Kekuatan
Tonus
Atrofi
Kesan : hemiparese kanan

Kiri

Sensibilitas
Taktil
Nyeri
Thermi
Diskriminasi

Kanan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Kiri
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Reflex
Patella
Achilles
Babinski
Chaddock
Schaefer
Gordon
Oppenheim
Klonus kaki

Kanan
+++
+++
+
negatif

Kiri
++
++
negatif

Koordinasi, gait dan keseimbangan

Cara berjalan : tidak dilakukan


Tes Romberg : tidak dilakukan
Dismetria
: tidak dilakukan
Nystagmus test : tidak dilakukan

d. Gerakan-gerakan abnormal
i. Tremor : tidak ada
ii. Miokloni : tidak ada
iii. Khorea : tidak ada
e. Alat vegetatif
i. Miksi : terpasang kateter kencing
ii. Defekasi : normal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
7

a. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 7 April 2012


Darah lengkap
Hb: 12,4 g/dl
Leukosit
Trombosit
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
LED
Diff. count
GDS
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
Uric acid

: 14,44 ribu/mm3
: 629 ribu/mm3
: 37%
:74,5 Fl
: 25,3 pg
: 33,5 g/dl
: 15 mm/jam
: 0 / 1/ 1/ 76/ 15/ 8
: 120 mg/dL
: 32 u/L
: 18 u/L
: 22 mg/dl
: 0,7 mg/dl
: 5,5 mg/dl

AGD + Elektrolit
Natrium
: 139
Kalium
: 4,03
Klorida
: 94
pH
: 7,502
PCO2
: 24.3
PO2
: 159,1
tCO2
: 19,5
HCO3
: 18.7
SO2 (c)
: 98.8%

b. Hasil pemeriksaan radiologi


Hasil pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras pada tanggal 23/11/2011

Curiga adanya massa berbatas tidak tegas di lobus temporo-parietal kiri dengan
perifokal odem yang menekan ventrikel lateral kiri. Ventrikel lateral kanan dan kiri
tampak dilatasi. Ventrikel III dan IV dan sisterna baik.
Tidak tampak deviasi midline. Tidak tampak lesi di pons, CPA maupun di serebellum.
Sulci gyri baik.
Tampak destruksi tulang temporal kiri. Pneumatisasi mastoid, bulbus occuli dan
nervus opticus baik, sinus ethmoidalis, sinus frontalis dan sphenoidalis baik.

Kesan : sugestif massa di temporoparietal kiri dengan perifocal odem dan ventriculomegali
dan destruksi os temporal kiri.
(riwayat operasi ec??)

10

IV.

RESUME

Subjektif
Seorang laki-laki datang ke UGD dengan kejang-kejang dan penurunan kesedaran
sejak kurang lebih 20 menit sebelum masuk rumah sakit. Os ditemui oleh isterinya dalam
keadaaan kejang terutama pada bagian tubuh sebelah kiri. Mata Os melotot, mulut mencong
dan mengeluarkan suara seperti ngorok sewaktu kejang. Os tetap kejang berterusan sehingga
dibawa ke RSBY. Os sempat mengeluh sakit kepala bagian depan. Muntah-muntal dan
demam disangkal oleh isterinya. Os memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan
operasi nefrektomi sinistra pada tahun 2010. Os juga pernah di sken kepala pada tahun 2011
dan diketahui adanya massa intrakranial.
Objektif
Pasien tampak sakit berat. Kesedarannya somnolen dengan GCS E4 M5 V2. Tekanan
darah : 170/80 mmHg, nadi : 76x/menit, frekuensi nafas : 24x/menit, dan suhu : 37,2 0C. Pada
pemeriksaan neurologi ditemukan tanda rangsang meningeal (-), rangsang nyeri positif,
refleks pada ekstremitas kanan meningkat dan refleks patologis Babinski (+)
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukosit 15,44 ribu/mm3. Pada CT scan
kepala didapatkan hasil dengan kesan sugestif massa di temporoparietal kiri dengan perifocal
odem dan ventriculomegali dan destruksi os temporal kiri.

V.

VI.

DIAGNOSIS
1. Klinis
i. Kejang
ii. Penurunan kesedaran
iii. Hemiparese dekstra
2. Topis
i. massa di temporoparietal kiri dengan perifocal odem
3. Patologi
4. Etiologi
PENATALAKSANAAN

Medika mentosa

IVFD asering 20 tpm


NaCl 0.9% 100cc + fenitoin / 8 jam
Mannitol 4 x 125 cc drip laju dihabiskan dalam 35 menit tiap kali pemberian
Injeksi ceftriaxone 2x1 gram
11

Medixon 125 mg 4x1

Non medika mentosa

VII.

Pemasangan kateter urin


Kulit. Perawatan posisi diganti ganti untuk mencegah dekubitus.
Anggota gerak. Dilakukan fisioterapi secara pasif, latihan dan pergerakan sendi untuk
mengelakkan terjadinya kontraktur. Anggota dalam posisi netral.

PROGNOSIS
Ad vitam
Ad fungsionam

: Malam
: Malam

12

BAB II
PEMBAHASAN

Latar Belakang
Tumor otak merupakan salah satu bagian dari tumor pada sistem saraf, di samping
tumor spinal dan tumor saraf perifer. Tumor ini dapat bersifat primer atau metastase dari
tumor dari organ lainnya. Tumor otak memberikan permasalahan klinis yang berbeda dengan
tumor lain karena efek yang ditimbulkannya dan keterbatasan terapi yang dapat dilakukan.
Tumor otak yang menyebabkan kerusakan jaringan otak secara langsung akan menimbulkan
gangguan fungsional dari sistem saraf pusat berupa gangguan motorik, gangguan sensorik,
panca indera, bahkan kemampuan kognitif. Selain itu, efek massa yang ditimbulkan oleh
tumor otak juga akan memberikan masalah serius mengingat tumor berada dalam rongga
tengkorak yang pada orang dewasa merupakan suatu ruang tertutup dengan ukuran tetap.
Tumor intrakranial atau tumor otak merupakan salah satu penyakit yang paling ditakuti
karena otak merupakan organ sentral yang sangat penting (1).
Keganasan primer susunan saraf pusat merupakan 2% dari seluruh kanker tetapi
jumlah yang tidak proporsional untuk tingkat morbiditas dan mortalitas. Diperkirakan 43.800
kasus baru dari tumor jinak dan ganas didiagnosis setiap tahun di Amerika, termasuk 3410
kasus pada anak dan remaja. Dari kasus ini, sekitar 12.760 akan mati. Insiden dari tumor otak
adalah 14,8 per 100.000 orang per tahun, dengan sekitar setengah adalah jinak secara
histologi. Bahkan tumor jinak, jika tidak dapat diangkat atau radioterapi, dapat menjadi fatal
dan menyebabkan pertumbuhan yang progresif dalam ruang tengkorak yang tertutup. Wanita
mempunyai insiden yang sedikit lebih tinggi (15,1/100.000 orang per tahun) dari pria
(14,3/100.000 orang per tahun), kemungkinan karena tingginya insiden meningioma pada
wanita. Keganasan dari tumor sistem saraf pusat menyebabkan kematian dari tumor solid
13

pada anak penyebab ketiga kematian karena kanker pada remaja dan dewasa usia 15-34
tahun. Meningioma adalah tumor jinak otak yang paling banyak, dan astrositoma, termasuk
glioblastoma multiforme (GBM), adalah tumor otak ganas yang paling banyak (2).
Sekitar 10% dari semua proses neoplasma di seluruh tubuh ditemukan pada susunan
saraf dan selaputnya, 8% berlokasi di ruang intrakranial dan 2% di ruang kanalis spinalis.
Proses neoplasma di susunan saraf mencakup dua tipe, yaitu (3):
a. Tumor primer, yaitu tumor yang berasal dari jaringan otak sendiri yang cenderung
berkembang ditempat-tempat tertentu. Seperti ependimoma yang berlokasi di dekat
dinding ventrikel atau kanalis sentralis medulla spinalis, glioblastoma multiforme
kebanyakan ditemukan dilobus parietal, oligodendroma di lobus frontalis dan
spongioblastoma di korpus kalosum atau pons.
b. Tumor sekunder, yaitu tumor yang berasal dari metastasis karsinoma yang berasal dari
bagian tubuh lain. Yang paling sering ditemukan adalah metastasis karsinoma bronkus
dan prostat pada pria serta karsinoma mammae pada wanita.
Diagnosis tumor intrakranial ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi. Dengan
pemeriksaan klinis sulit menegakkan diagnosis tumor intrakranial dan membedakan benigna
atau maligna, karena gejala klinis yang ditemukan tergantung dari lokasi tumor, kecepatan
pertumbuhan masa tumor, dan cepatnya timbul gejala tekanan tinggi intrakranial serta efek
dari masa tumor ke jaringan otak yang dapat menyebabkan kompresi, dan destruksi dari
jaringan otak. Walaupun demikian ada beberapa jenis tumor yang mempunyai predileksi
lokasi sehingga memberikan gejala yang spesifik dari tumor intrakranial. Dengan
pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi dapat dibedakan tumor benigna dan maligna (3).

14

Etiologi
Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, walaupun telah
banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor risiko yang perlu ditinjau, yaitu
Genetik dan Familial
Predisposisi genetik pada tumor SSP muncul relatif jarang, walaupun glioma dapat
diturunkan sebagai bagian dari penyakit keluarga. Secara khusus, mutasi dari germline yang
disebut gen tumor supresor menggambarkan beberapa sindrom genetik yang menyebabkan
peningkatan insiden dari perkembangan tumor otak : type 1 neurofibromatosis (mutasi dari
NF1), Turcot syndrome (mutasi dari APC), basal cell nevus syndrome (mutasi dari PTCH),
dan Li-Fraumeni syndrome (mutasi dari TP53 atau CKEK2) berhubungan dengan
peningkatan resiko tumor otak (2).
Beberapa laporan kasus telah menghubungkan antara tumor SSP dengan malformasi,
termasuk meduloblastoma dengan abnormalitas sistem gastrointestinal dan genitourinaria,
ependymoma dengan malformasi arteriovenus dari meningen, dan glioblastoma multiforme
dengan malformasi arteriovenus angiomatus yang berdekatan dan fistula arterivenus
pulomonal. Tumor SSP dapat berhubungan dengan sindrom Down, kelainan yang melibatkan
kromosom 21. Studi epidemiologi menemukan bahwa kasus tumor otak bisa 2-3 kali
mempunyai hubungan dengan retardasi mental, walaupun hasilnya hanya signifikan pada satu
studi (4).
Karena hanya sedikit dari proporsi tumor otak yang murni diturunkan, hal ini lebih
berhubungan dengan interaksi gen dengan lingkungan. Bukti tambahan etiologi familial
berasal dari studi epidemiologi yang membandingkan keluarga dengan riwayat tumor otak
dan dengan kontrol. Secara signifikan adanya riwayat keluarga meningkatkan kejadian tumor
dan kanker jenis lainnya (4).

15

Riwayat Penyakit Individu


a. Infeksi
Beberapa tipe virus (termasuk retrovirus, papovirus, dan adenovirus) telah menunjukkan
sebagai penyebab tumor otak secara eksperimental pada studi pada hewan. Agen infeksius
lainnya yang sudah diteliti berhubungan dengan tumor adalah Toxoplasma gondii, yang telah
dilaporkan dapat menyebabkan glioma pada hewan percobaan (4).
b. Trauma
Enam dari tujuh penelitian tentang meningioma dan trauma kepala dijelaskan oleh
Preston_martin dan Mack yang melaporkan adanya hubungan resiko positif, dan rata-rata dari
7 penelitian 90% meningkatkan terjadinya meningioma pada orang dengan trauma kepala (4).
c. Kejang
Riwayat kejang telah dihubungkan secara konsisten terhadap tumor otak pada beberapa
penelitian kohort dari epilepsi dan dalam 2 penelitian kasus-kontrol pada glioma dewasa.
Untuk meningioma, satu penelitian menemukan kasus menjadi 5 kali pada orang yang pernah
kejang dan hingga 10 tahun atau lebih sebelum diagnosis (4).
d. Diet, vitamin, alkohol, rokok, dan zat kimia
Senyawa N-nitroso telah diidentifikasi sebagai neurokarsinogen pada penelitian
eksperimental hewan. Senyawa ini dapat menginisiasi neurokarsinogenesis baik paparan
prenatal maupun postnatal. Sekitar setengah dari paparan senyawa ini pada manusia berasal
dari sumber endogen, yang muncul dari sistem pencernaan ketika senyawa amino (seperti
dari ikan, makanan lain, obat, dan lain-lain) bertemu dengan agen nitrostating (seperti nitrit
dari daging yang diawetkan). Setengah lainnya berasal dari sumber eksogen, terutama asap
rokok, kosmetik, interior mobil, dan daging yang diawetkan. Kompleksitas lainnya dalam
menentukan sumber endogen adalah beberapa sumber, seperti sayuran, yang mungkin

16

mengandung nitrat, juga tinggi vitamin yang dapat memblok pembentukan senyawa Nnitroso (4).
e. Industri dan Pekerjaan
Banyak penelitian industri dan pekerjaan tentang tumor otak disebabkan karena
pengetahuan bahwa beberapa pekerja terpapar karsinogenik atau substansi neurotoksik atau
keduanya, seperti pelarut organik, hidrokarbon polisiklik aromatik, formaldehid, minyak
pelumas, akrilonitril, dan senyawa phenol dan phenolik. Beberapa bahan kimia yang
menginduksi tumor otak pada percobaan hewan adalah bagian dari paparan tempat kerja.
Beberapa senyawa seperti hidrokarbon polisiklik aromatik secara umum menginduksi tumor
otak melalui implantasi langsung atau secara transplasental tapi tidak melalui inhalasi atau
paparan pada kulit yang merupakan hal paling berhubungan dengan populasi pekerja (4).
Telah ada beberapa penelitian dari pekerja produksi dan proses karet sintetik, secara
kolektif, penelitian ini menunjukkan peningkatan resiko kejadian tumor otak sekitar 90%.
Vinyl klorida menginduksi tumor otak pada tikus, dan 9 dari 11 penelitian dari pekerja
produksi polivinyl klorida menunjukkan peningkatan resiko meninggal karena tumor otak
sebanyak dua kali (4). Paparan oleh viny klorida telah dihubungkan dengan peningkatan
insiden glioma stadium tinggi (2).
f. Radiasi Ionik
Radiasi ionik adalah faktor resiko paling tegas yang telah ditemukan pada neoplasma glial
dan meningeal. Iradiasi pada kranium, bahkan pada dosis rendah, dapat meningkatkan insiden
meningioma oleh satu faktor dari sepuluh dan insiden tumor glial oleh satu faktor dari 3
sampai 7, dengan masa laten 10 tahun atau lebih dari 20 tahun setelah paparan (5).
Terdapat kesepakatan yang wajar dari resiko kuat peningkatan tumor intrakranial yang
terjadi setelah terapi radiasi ionik. Bahkan dengan dosis yang realtif rendah yang digunakan

17

untuk terapi ringworm pada scalp (tinea kapitis) yang rata-rata 1,5 Gy, relatif beresiko 18,
10,dan 3 telah diobservasi untuk tumor selubung saraf, meningioma, dan glioma (4).
Klasifikasi
Secara umum Jenis-jenis tumor otak pada orang dewasa cukup beragam, antara lain (2):
1. Glioblastoma multiforme
Glioblastoma multiforme adalah tumor primer yang paling sering dijumpai. Disebut
juga sebagai glioma maligna dan astrositoma tingkat 3 dan 4. Lebih sering timbul di lobus
frontalis dan temporalis. Pertumbuhannya sangat cepat dan prognosisnya selalu fatal.
2. Astrositoma dan oligodendroglioma
Astrositoma tingkat 1 dan 2, dan oligodendroglioma ini didapati tidak sesering
glioblastoma multiforme. Pertumbuhannya biasanya lambat sehingga beberapa penderita
bertahun-tahun hanya didiagnosa sebagai epilepsi, yang kemudian ternyata penderita tumor.
Tumor ini secara histologik adalah benigna tetapi setelah bertahun-tahun bisa menjadi
maligna.
3. Meningioma
Meningioma adalah tumor benigna yang timbul dari sel arakhnoid. Pada orang
dewasa menempati urutan kedua terbanyak. Dijumpai 50% pada konveksitas dan 40% pada
basis kranii. Selebihnya pada foramen magnum, fosa posterior, dan sistem ventrikulus.
4. Tumor metastasis
Metastasis pada otak dan meningen adalah komplikasi yang sering terjadi dari
neoplasma sistemik. Sekitar 15 20% penderita yang mati oleh karena karsinoma, pada
autopsi dijumpai metastasis pada otak. Setiap neoplasma maligna dapat memberi metastasis
pada otak, tetapi yang paling sering adalah karsinoma bronkus, karsinoma payudara, dan
melanoma maligna.
5. Adenoma hipofisis
Berdasarkan riwayat perjalanan penyakit yang terjadi, diketahui bahwa progresi
perjalanan penyakit berlangsung kronis. Berdasarkan klasifikasi yang telah diuraikan di atas,
maka jenis tumor serebri yang diduga bersesuaian adalah tumor serebri jenis astrositoma.
18

Berdasarkan lokasi tumor pada jaringan otak, maka dapat dibagi menjadi kelompok tumor
intra aksial, ekstra aksial dan intra ventrikuler. Tumor intra aksial disebut juga sebagai tumor
intraserebral, yaitu tumor yang terdapat dalam jaringan otak. Sedangkan tumor ekstra-aksial
adalah tumor yang terdapar diluar jaringan otak, dan kerap disebut pula ekstraserebral. Tumor
intra-ventrikular adalah tumor yang terdapat dalam ventrikel otak (1):
1. Tumor intra-aksial
a. Tumor supratentorial
Glial, Astrositik

Astrositoma derajat rendah

Astrositoma anaplastik

Glioblastoma multiforme
Glial Non Astrositik

Oligodendroglioma
-

ganglioglioma

tumor di sembrioblastik neuroepitelial

Non-Glial

Limfoma serebri primer

Tumor metastasis

b. Tumor infratentorial
Glial, Astrositik

Astrositoma pilositik juvenilis

Astrositoma (derajat rendah, anaplastik, glioblastoma)


Non-Glial
-

Meduloblastoma

Hemangioblastoma
19

Tumor metastasis

2. Tumor ekstra aksial


a. Supratentorial

Dural
-

meningioma

hemangioperisitoma

tumor metastasis

Hipofisis
-

adenoma hipofisis

Pineal
-

pineositoma

tumor germ cell

pineoblastoma

Suprasellar
-

kraniofaringioma

tumor germ cell

limfoma

tumor metastases

astrositoma pilositik juvenilis

Basis kranii
-

kordoma

plasmasitoma

tumor metastase

tumor kondroid

b. Infratentorial
20

Dural
-

meningioma

hemangioperisitoma

tumor metastase

Sudut serebelo-pontin
-

meningioma

schwannoma

epidermoid

3. tumor intra ventrikel


a. Supratentorial
-

tumor pleksus khoroideus

neurositoma

meningioma

tumor metastase

b. Infratentorial
-

ependimoma/subependimoma

tumor pleksus khoroideus

Patofisiologi
Tumor intrakranial jinak memiliki efek yang membahayakan karena berkembang di
dalam rongga tengkorak yang berdinding kaku. Tumor intrakranial ganas berarti
pertumbuhan yang cepat, diferensiasi yang buruk, selularitas yang bertambah, mitosis,
21

nekrosis, dan proliferasi vaskular. Namun, metastasis ke daerah ekstrakranial jarang terjadi
(1).
Gangguan neurologik pada tumor intrakranial biasanya disebabkan oleh dua faktor
yaitu gangguan fokal akibat tumor dan gangguan akibat peningkatan tekanan intrakranial.
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau
invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai
darah akibat tekanan tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan
suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan
kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak (6).
Peningkatan tekanan intrakranial disebabkan oleh bertambahnya massa dalam
tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal.
Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya massa karena tumor akan mendesak
ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku. Tumor ganas menimbulkan
edema dalam jaringan otak sekitarnya. Mekanisme belum begitu dipahami, tetapi diduga
disebabkan oleh selisih osmotik yang menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan edema
akibat kerusakan sawar darah otak, semua menimbulkan peningkatan volume intrakranial dan
tekanan intrakranial. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel lateralis ke ruang
subarachnoid menimbulkan hidrosefalus (6).
Peningkatan tekanan intrakranial akan membahayakan jiwa bila terjadi cepat.
Mekanisme kompensasi memerlukan waktu berhari-hari atau berbulan-bulan untuk menjadi
efektif sehingga tidak berguna bila tekanan intrakranial timbul cepat. Mekanisme kompensasi
ini bekerja menurunkan volume darah intrakranial, volume cairan serebrospinal, kandungan
cairan intrasel, dan mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan tekanan yang tidak diobati
mengakibatkan terjadinya herniasi unkus atau serebelum. Herniasi unkus timbul bila girus

22

medialis lobus temporalis tergeser ke inferior melalui incisura tentorial oleh massa dalam
hemisfer otak. Herniasi menekan mesencephalon menyebabkan hilangnya kesadaran dan
menekan saraf otak. Kompresi medulla oblongata dan henti napas terjadi dengan cepat.
Perubahan fisiologi lain yang terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial yang cepat
adalah bradikardi progesif, hipertensi sistemik, dan gagal napas (6).

Gejala Klinis
Gejala klinis tumor intrakranial dibagi atas 3 kategori, yaitu gejala umum, gejala lokal
dan gejala lokal yang tidak sesuai dengan lokasi tumor.
a. Gejala Umum
Gejala umum timbul akibat peningkatan tekanan intrakranial atau proses difus dari tumor
tersebut. Tumor ganas menyebabkan gejala yang lebih progresif daripada tumor jinak. Tumor
pada lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang
sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis dan pada mulanya hanya memberikan
gejala-gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan oksipital
lebih sering memberikan gejala fokal dahulu baru kemudian memberikan gejala umum.
Terdapat 4 gejala klinis umum yang berkaitan dengan tumor otak, yaitu perubahan status
mental, nyeri kepala, muntah, dan kejang (3).

Perubahan status mental


Gejala dini dapat samar. Ketidakmampuan pelaksanaan tugas sehari-hari, lekas marah,
emosi yang labil, inersia mental, gangguan konsentrasi, bahkan psikosis. 3 Fungsi
kognitif merupakan keluhan yang sering disampaikan oleh pasien kanker dengan

23

berbagai bentuk, mulai dari disfungsi memori ringan dan kesulitan berkonsentrasi
hinggga disorientasi, halusinasi, atau letargi (7).

Nyeri kepala
Nyeri kepala merupakan gejala dini tumor intrakranial pada kira-kira 20%
penderita. Sifat nyeri kepalanya berdenyut-denyut atau rasa penuh di kepala seolaholah mau meledak (3). Awalnya nyeri dapat ringan, tumpul dan episodik, kemudian
bertambah berat, tumpul atau tajam dan juga intermiten. Nyeri juga dapat disebabkan
efek samping dari obat kemoterapi. Nyeri ini lebih hebat pada pagi hari dan dapat
diperberat oleh batuk, mengejan, memiringkan kepala atau aktifitas fisik (7). Lokasi
nyeri yang unilateral dapat sesuai dengan lokasi tumornya sendri. Tumor di fossa
kranii posterior biasanya menyebabkan nyeri kepala retroaurikuler ipsilateral. Tumor
di supratentorial menyebabkan nyeri kepala pada sisi tumor, di frontal orbita,
temporal atau parietal (3).

Muntah
Muntah ini juga sering timbul pada pagi hari dan tidak berhubungan dengan
makanan. Dimana muntah ini khas yaitu proyektil dan tidak didahului oleh mual.
Keadaan ini lebih sering dijumpai pada tumor di fossa posterior (3).

Kejang
Kejang fokal merupakan manifestasi lain yang biasa ditemukan pada 14-15%
penderita tumor otak (7). 20-50% pasien tumor otak menunjukan gejala kejang.
Kejang yang timbul pertama kali pada usia dewasa mengindikasikan adanya tumor di
otak. Kejang berkaitan tumor otak ini awalnya berupa kejang fokal (menandakan
adanya kerusakan fokal serebri) seperti pada meningioma, kemudian dapat menjadi
kejang umum yang terutama merupakan manifestasi dari glioblastoma multiforme (3).
24

Kejang biasanya paroxysmal, akibat defek neurologis pada korteks serebri. Kejang
parsial akibat penekanan area fokal pada otak dan menifestasi pada lokal ekstrimitas
tersebut, sedangkan kejang umum terjadi jika tumor luas pada kedua hemisfer serebri
(7).
b. Gejala lokal (localizing signs)

Lobus frontalis
Lobus frontal memiliki berbagai fungsi penting, termasuk fungsi motorik, bahasa,
atensi, fungsi eksekutif, judgment, perencanaan (planning) dan pemecahan masalah
(problem solving). Gejala lokal yang sering timbul akibat tumor di lobus frontalis
adalah sakit kepala yang merupakan gejala dini dan muntah timbul pada tahap lanjut
(1). Tumor di lobus frontalis daerah prefrontal bisa memberikan gejala gangguan
mental sebelum munculnya gejala lainnya, berupa perubahan perasaan, kepribadian
dan tingkah laku serta penderita merasakan perasaan selalu senang (euforia); jadi
menyerupai gejala psikiatris. Makin besar tumornya, gejala gangguan mental ini
semakin nyata dan kompleks. Afasia motorik (gangguan bicara bahasa berupa
hilangnya kemampuan mengutarakan maksud) bisa terjadi bila tumor mengenai
daerah area Broca yang terletak di belahan kiri belakang. Reflek memegang (grasp
reflex) juga khas untuk tumor di lobus frontalis ini. Pada stadium yang lebih lanjut
bisa terjadi gangguan pembauan (anosmia), gangguan visual, gangguan keseimbangan
dalam berjalan, gangguan bola mata karena kelumpuhan sarafnya serta edema papil.
Tumor di daerah presentral bisa menimbulkan gejala kejang fokal pada sisi
kontralateral. Kelumpuhan motorik timbul bila terjadi destruksi atau penekanan oleh
tumor terhadap jalur kortikospinal (8)

Lobus temporalis

25

Tumor lobus temporalis bila berada di daerah unkus akan menimbulkan gejala
halusinasi pembauan dan pengecapan (uncinate fits) disertai gerakan gerakan bibir
dan lidah (mengecap). Bila lesinya destruktif akan menimbulkan gangguan pembauan
dan pengecapan walau tidak sampai total. Tumor di lobus temporal bagian media bisa
menimbulkan gejala "seperti pernah mengalami kejadian semacam ini sebelumnya"
(deja vu). Bisa juga terjadi gangguan kesadaran sesaat (misalnya selagi penderita
berjalan kaki) tapi tidak sampai terjatuh. Gangguan emosi berupa rasa takut/panik bisa
juga muncul. Berkurangnya pendengaran bisa terjadi pada tumor yang mengenai
korteks di bagian belakang lobus temporal. Tumor di hemisfer dominan bagian
belakang (area Wcrnicke) menimbulkan gejala afasia sensoris, yaitu kehilangan
kemampuan memahami maksud pembicaraan orang lain. Tumor yang berkembang
lebih lanjut akan melibatkan jalur kortikospinal sehingga menyebabkan kelumpuhan
anggota badan sisi kontralateral. Bisa juga terjadi herniasi dan menekan batang otak
sehingga menyebabkan gangguan pada beberapa saraf kranial, misalnya terjadi
dilatasi pupil sesisi yang menetap atau menghilangkan reflek kornea (8).

Lobus parietalis
Tumor di lobus parietalis pada umumnya akan memberikan gejala gangguan
sensoris. Lesi iritatif bisa menimbulkan gejala parestesi (rasa tebal, kesemutan atau
seperti terkena aliran listrik) di satu lokasi, yang kemudian bisa menyebar ke lokasi
lainnya. Lesi destruktif akan menyebabkan hilangnya berbagai bentuk sensasi, tapi
jarang anestesi total. Gangguan diskriminasi terhadap rangsang taktil, astereognosis
(tak bisa mengenali bentuk benda yang ditaruh di tangan) merupakan bentuk-bentuk
gejala yang sering timbul. Tumor yang tumbuh ke arah lebih dalam bisa menimbulkan
gejala hiperestesi, seperti merasakan rangsang yang berlebih padahal rangsang yang
26

sebenarnya terjadi hanya ringan. Atau bisa juga mengenai jalur optik (radiatio optica)
sehingga timbul gangguan penglihatan sebagian. Tumor pada girus angularis kiri bisa
menimbulkan gejala yang disebut aleksia (kehilangan kemampuan memahami kata
kata tertulis). Sedang pada yang kanan menyebabkan gejala berupa gangguan dalam
menyadari adanya sisi sebelah dari tubuh. Setengah kasus pasien dengan tumor
parietal mengalami kejang, yang umumnya berupa tipe motorik atau sensorik
sederhana (8).

Lobus oksipital
Tumor di lobus oksipitalis memberikan gejala awal terutama nyeri kepala
Tumor lobus oksipital memberikan gejala gangguan visual. Defek lapangan pandang
yang paling sering adalah hemianopsia homonim kongruen yang melibatkan makula.
Kejang oksipital fokal umumnya ditandai oleh adanya episode penglihatan kilatan
cahaya, warna-warni, atau bentuk-bentuk pola geometris secara kontralateral. Adanya
gangguan visuospatial terhadap benda bergerak menuju hemiperimeter yang
berlawanan menunjukan adanya keterlibatan pada pusat penatapan oksipital (occipital
gaze center). Kadang kadang dapat pula terjadi metamorphosia (distorsi pada bentuk
gambaran visual). Lesi di hemisfer dominan bisa menimbulkan gejala tidak mengenal
benda yang dilihat (visual object agnosia) dan kadang-kadang tidak mengenal warna
(agnosia warna), juga tidak mengenal wajah orang lain (prosopagnosia) (1,8).

27

AIN

TUMO

28

Gambar 1. Tampak lateral, defisit neurologis akibat tumor di berbagai tempat

c. Gejala lokal yang tidak sesuai dengan lokasi tumor (False localizing signs)
Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifestasi yang tidak sesuai dengan
fungsi tempat yang didudukinya. Keadaan ini sering sebagai akibat dari peningkatan tekanan
intrakranial. Saat tekanan meningkat pada beberapa kompartemen di otak, tumor mulai
memencarkan jaringan, namun pemencaran ini juga terjadi di tempat yang jauh dari tumor,
keadaan inilah yang memberikan gambaran false localizing signs, yaitu (1):

Kelumpuhan nervus kranialis, yang sering terkena adalah nervus VI, sebab nervus ini
merupakan nervus yang paling panjang di intrakranial. Hal ini juga terjadi akibat
penekanan ligamentum petrosal akibat peningkatan TIK.

Invasi tumor difus pada lobus frontal atau korpus kalosum menyebabkan ataksia pada
pola jalan (frontal ataxia) yang sukar dibedakan dengan gejala ataxia serebelar. Dismetria
pada anggota gerak yang mengalami kelemahan dan disartria kortikal dapat pula salah
didiagnosis sebagai penyakit serebelar. Nistagmus jarang ditemukan pada tumor frontal
atau kalosal, dan tidak adanya nistagmus pada lesi supratentorial dapat merupakan titik
yang penting untuk membedakannya.

Kompresi pada pedunkulus serebri oleh tepi bebas tentorium serebeli yang sifatnya
kontralateral terhadap hemisfer serebri yang mengalami herniasi (sindroma Kernohans
notch) dapat menyebabkan hemiparesis terlokalisir palsu yang bersifat ipsilateral lesi.

Kompresi atau invasi dan status hiperkoagulabilitas yang berhubungan dengan sifat
keganasan atau terapinya dapat menyebabkan infark atau perdarahan yang jauh dari
lokasi tumor. Sebagai contohnya, infark korteks oksipital yang dapat terjadi akibat
kompresi arteri serebral posterior selama herniasi transtentorial.

29

2.1

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yang dicurigai menderita tumor serebri

yaitu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologik yang teliti. Dari anamnesis kita
dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita, misalnya ada tidaknya nyeri
kepala, muntah, dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik neurologik mungkin
ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan defisit lapangan pandang (3).

Pemeriksaan Penunjang
Setelah diagnosis klinik ditentukan, harus dilakukan pemeriksaan yang spesifik untuk
memperkuat diagnosis dan mengetahui letak tumor. Bagi seorang ahli bedah saraf dalam
menegakkan diagnosis tumor intrakranial adalah dengan mengetahui informasi jenis tumor,
karakteristik, lokasi, batas, hubungannya dengan sistem ventrikel, dan hubungannya dengan
struktur vital otak, misalnya sirkulus willisi dan hipotalamus. Selain itu juga diperlukan
pemeriksaan radiologi canggih yang invasif maupun non invasif. Pemeriksaan non invasif
mencakup CT scan dan MRI, bila perlu diberikan kontras agar dapat mengetahui batas-batas
tumor. CT scan dan MRI memperlihatkan semua tumor intrakranial dan menjadi prosedur
investigasi awal ketika penderita menunjukkan gejala yang progresif atau tanda-tanda
penyakit otak yang difus atau fokal, atau salah satu tanda spesifik dari sindrom atau gejalagejala tumor. Kadang sulit membedakan tumor dari abses ataupun proses lainnya (3,4,10).
Pemeriksaan invasif seperti angiografi serebral dapat memberikan gambaran sistem
peredaran darah tumor dan hubungannya dengan sistem pembuluh darah sirkulus willisi.
Selain itu, dapat mengetahui hubungan massa tumor dengan vena otak dan sinus duramater.
Foto polos dada dan pemeriksaan lainnya juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah

30

tumor berasal dari suatu metastasis yang akan memberikan gambaran nodul tunggal ataupun
multiple pada otak (3,4,10).
CT-scan dan MRI
CT scan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi pasien yang diduga
menderita tumor serebri. Sensitifitas CT Scan untuk mendeteksi tumor yang berpenampang
kurang dari 1 cm dan terletak pada basis kranii. Gambaran CT Scan pada tumor intrakranial
umumnya tampak sebagai lesi abnormal berupa massa yang mendorong struktur otak
disekitarnya. Penekanan dan perubahan bentuk ventrikel. Biasanya tumor otak dikelilingi
jaringan udem yang terlihat jelas karena densitasnya lebih rendah. Adanya kalsifikasi,
perdarahan atau invasi mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya yang
hiperdens. Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih nyata bila pada waktu pemeriksaan CT
scan disertai dengan pemberian zat kontras. Efek terhadap tulang berdekatan misalnya
hiperostosis akibat meningioma. Lesi yang multiple kemungkinan adanya metastasis (10).
MRI lebih unggul dibanding CT scan dengan kontras karena MRI lebih baik dalam
memperlihatkan jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif dalam mendeteksi tumor kecil,
memberikan visualisasi yang lebih detil, terutama untuk daerah dasar otak, batang otak, dan
daerah fossa posterior (3,4).
Angiografi
Angiografi bisa menampilkan blush tumor atau pergeseran pembuluh yang diperlukan
untuk melengkapi hasil CT scan. Pada beberapa kasus diperlukan untuk informasi prabedah
seperti mengetahui pembuluh darah yang terkena atau konstriksi pembuluh darah utama oleh
tumor (11).
Pemeriksaan Cairan Serebrospinal

31

Pemeriksaan sitologi pada cairan serebrospinal sangat membantu menegakkan


diagnosis bila berhasil mendapatkan sel tumor secara definitif. Hal ini terutama bila lokasi
tumor pada jaringan otak tidak mudah dicapai, misalnya pada tumor di daerah pineal.
Pemeriksaan cairan serebrospinal juga dapat dilakukan untuk melihat adanya tumor marker.
Meskipun tidak spesifik, beberapa tumor marker dapat mengarahkan pada adanya tumor
metastasis (3,4).
Punksi lumbal dilakukan harus benar-benar diyakini terlebih dahulu bahwa tidak ada
peningkatan tekanan intrakranial. Bila didapatkan adanya tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial, maka punksi lumbal tidak boleh dilakukan karena akan memberikan resiko besar
terjadinya herniasi otak (4).
Pemeriksaan cairan serebrospinal tidak rutin dilakukan, terutama pada pasien dengan
massa di otak yang besar. Umumnya diagnosis histologik ditegakkan melalui pemeriksaan
patologi anatomi, sebagai cara yang tepat untuk membedakan tumor dengan proses-proses
infeksi seperti abses serebri (10).
Tumor Marker
Usaha untuk mencari substansi yang menunjukkan pertumbuhan tumor spesifik dari
darah atau cairan serebrospinal terbatas pada hubungan antara peningkatan alfa feto protein
dan gonadotrofin khorionik manusia dengan germinoma ventrikel ketiga yang membantu
diagnosis. Perkembangan antibodi monoklonal, dengan perbaikan pada sensitivitasnya
mungkin memberikan pendekatan yang bermanfaat untuk lokasi tumor serta identifikasinya
dimasa yang akan datang (11).
Terapi
Penatalaksanaan pasien dengan tumor serebri meliputi (3,7,9,11):
a. Simptomatik

32

Antikonvulsi
Mengontrol epilepsi merupakan bagian penting dari tatalaksana pasien dengan tumor
otak.

Edema serebri
Jika pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial dan gambaran radiologi
memperlihatkan adanya edema serebri, maka dexametason dapat digunakan dengan
keuntungan yang signifikan. Rasa tidak menyenangkan pada pasien akan dikurangi
dan kadang-kadang juga berbahaya, gejala dan tanda status intrakranial ini akan lebih
aman bila intervensi bedah saraf akan diambil. Steroid secara langsung dapat
mengurangi edema sekeliling tumor intrakranial, namun tidak berefek langsung
terhadap tumor. Dosis deksametason 12 mg intravena diikuti 4 mg. q.i.d. sering
mengurangi perburukan klinis yang progresif dalam beberapa jam. Setelah beberapa
hari pengobatan, dosis dikurangi bertahap untuk menekan risiko efek samping yang
tidak diharapkan.

b. Etiologik (pembedahan)

Complete removal
Meningioma dan tumor-tumor kelenjar tidak mempan dengan terapi medis, neuroma
akustik dan beberapa metastase padat di berbagai regio otak dapat diangkat total.
Terkadang, operasi berlangsung lama dan sulit jika tumor jinak tersebut relatif sulit
dijangkau.

Partial removal
Glioma di lobus frontal, oksipital dan temporal dapat diangkat dengan operasi radical
debulking. Terkadang tumor jinak tidak dapat diangkat secara keseluruhan karena
posisi tumor atau psikis pasien.
33

c.

Radioterapi
Tumor diterapi melalui radioterapi konvensional dengan radiasi total sebesar 5000-

6000 rad tiap fraksi dalam beberapa arah. Kegunaan dari radioterapi hiperfraksi ini
didasarkan pada alasan bahwa sel-sel normal lebih mampu memperbaiki kerusakan subletal
dibandingkan sel-sel tumor dengan dosis tersebut. Radioterapi akan lebih efisien jika
dikombinasikan dengan kemoterapi intensif (12).
d. Kemoterapi
Jika tumor tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pembedahan, kemoterapi tetap
diperlukan sebagai terapi tambahan dengan metode yang beragam. Pada tumor-tumor tertentu
seperti meduloblastoma dan astrositoma stadium tinggi yang meluas ke batang otak, terapi
tambahan berupa kemoterapi dan regimen radioterapi dapat membantu sebagai terapi paliatif
(4).
Obat kemoterapeutik ideal adalah membunuh sel tumor secara selektif, namun respon
sel tumor berkaitan langsung dengan dosis. Tidak dapat dihindarkan bahwa dosis tinggi
menyebabkan toksisitas pada sumsum tulang. Dalam praktek, dosis yang tidak adekuat dapat
menimbulkan depresi sum-sum tulang seperti leucopenia (11).
e. Imunoterapi
Imunoterapi dengan menggunakan teknik produksi antibodi monoklonal memberi
harapan yang lebih baik dalam mengatasi tumor ganas, walau pengangkutan dan lokasinya
masih merupakan masalah. Antibodi monoklonal berperan sebagai karier, yang membawa
obat sitotoksik, toksin atau radionuklida langsung ke daerah tumor. Antibodi monoklonal
dapat mengidentifikasi antigen yang terdapat pada sel tumor (12)
Prognosis
Tumor serebri tergantung pada jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di negaranegara maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui pembedahan

34

dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun berkisar 50-60 % dan angka
ketahanan hidup 10 tahun berkisar 30-40 %. Terapi tumor serebri di Indonesia secara umum
prognosisnya masih buruk, berdasarkan tindakan operatif yang dilakukan pada beberapa
rumah sakit di Jakarta (12).
Tumor

otak

umumnya

memberikan

prognosis

yang

jelek.

Tabel

berikut

memperlihatkan kesimpulan akhir untuk pasien dengan beberapa keganasan pada otak yang
sering dijumpai (9).

ANALISA KASUS
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien datang dengan kejang

dan penurunan

kesadaran terutama pada bagian tubuh sebelah kiri. Os sempat mengeluh sakit kepala bagian
depan. Muntah-muntal dan demam disangkal oleh isterinya. Os juga dikatakan sudah mulai
lupa-lupa.
Terdapat 4 gejala klinis umum yang berkaitan dengan tumor otak, yaitu perubahan status
mental, nyeri kepala, muntah, dan kejang.
35

Pada pasien ini, os datang dengan kejang fokal yaitu kejang terutama pada bagian kanan
tubuh. Kejang parsial akibat penekanan area fokal pada otak dan menifestasi pada lokal
ekstrimitas tersebut, sedangkan kejang umum terjadi jika tumor luas pada kedua hemisfer
serebri Kejangnya terjadi secara paroxysmal akibat deficit neurologis pada korteks serebri.
Os juga sering mengeluh nyeri kepala dan sering memegang kepalanya bagian depan.
Pada penderita tumor intracranial nyeri kepala biasanya merupakan gejala dini tumor
intracranial. Sifat nyeri kepalanya berdenyut-denyut atau rasa penuh di kepala seolah-olah
mau meledak. Awalnya nyeri dapat ringan, tumpul dan episodik, kemudian bertambah berat,
tumpul atau tajam dan juga intermiten. Lokasi nyeri yang unilateral dapat sesuai dengan
lokasi tumornya sendiri.
Pada pasien dengan tumor intrakranial, biasanya akan sering muntah-muntah yang terjadi
bersamaan dengan nyeri kepala dimana muntah ini khas yaitu proyektil dan tidak didahului
oleh mual dan tidak berhubungan dengan makanan. Namun pada pasien ini, keluhan muntah
disangkal oleh keluarga pasien.
Os juga sudah mulai lupa dan hanya mengingat ahli keluarga terdekat sahaja
menunjukkan adanya deficit pada memori pasien. Fungsi kognitif merupakan keluhan yang
sering disampaikan oleh pasien tumor intrakranial dengan berbagai bentuk, mulai dari
disfungsi memori ringan dan kesulitan berkonsentrasi hinggga disorientasi, halusinasi, atau
letargi. Bahkan pasien tidak mampu lagi melakukan tugas sehari-hari, lekas marah, emosi
yang labil, inersia mental, gangguan konsentrasi, bahkan psikosis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan ektremitas kanan atas dan bawah lebih lemah
berbanding kiri. Hal ini mungkin dikarenakan adanya massa tumor di hemisphere kanan otak
yang menekan pada jaras motorik.

36

Berdasarkan hasil pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras ditemukan adanya massa di
temporoparietal kiri dengan perifocal odem dan ventriculomegali sesuai dengan karekteristik
tumor intracranial yaitu gambaran CT Scan pada tumor intrakranial umumnya akan tampak
sebagai lesi abnormal berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya. Penekanan
dan perubahan bentuk ventrikel dan biasanya tumor otak dikelilingi jaringan udem yang
terlihat jelas karena densitasnya lebih rendah.
Pada tatalaksana, tujuan dari tatalaksana pada pasien ini adalah untuk memperbaiki
keadaan umum pasien yaitu mengatasi kejang dan penurunan kesadaran. Mengontrol kejang
merupakan bagian penting dari tatalaksana pasien dengan tumor otak. Pada waktu masuk ke
UGD, os diberikan fenitoin dalam 100 NaCl di drip per 8 jam untuk mengatasi kejangnya.
Jika pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial dan gambaran radiologi
memperlihatkan adanya edema serebri, maka dexametason dapat digunakan dengan
keuntungan yang signifikan. Steroid secara langsung dapat mengurangi edema sekeliling
tumor intrakranial, namun tidak berefek langsung terhadap tumor. Dosis deksametason 12 mg
intravena diikuti 4 mg. q.i.d. sering mengurangi perburukan klinis yang progresif dalam
beberapa jam. Setelah beberapa hari pengobatan, dosis dikurangi bertahap untuk menekan
risiko efek samping yang tidak diharapkan.
Pada pasien ini karena keterbatasan dana dan juga keluarga yang menolak untuk
dilakukan operasi, maka tindakan reseksi tumor dan biopsi jaringan untuk pemeriksaan
patologi anatomi tidak dilakukan. Jadi, secara definitif, jenis tumor pada pasien belum bisa
ditentukan, namun berdasarkan lokasi tumor yaitu di temporoparietal dan juga sifatnya yang
primer di otak, maka kemungkinan besar adalah Glioblastoma multiforme. Glioblastoma
multiforme adalah tumor primer yang paling sering dijumpai, disebut juga sebagai glioma
maligna atau astrositoma tingkat 3 dan 4.

37

DAFTAR PUSTAKA
1. Soemarmo, M. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Madah University Press. Edisi Kedua.
2003. Hal.155-162.

2. Tunkel AR et al. The management of encephalitis: Clinical practice guidelines by the


Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2008 Aug 1; 47:303.

3. Mansjoer, AS. Wardhani,WI. Setiowulan,W. Kapita Selekta Kedokteran. Media


Aesculapius. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid 2. Edisi Ketiga. 2000
4. Mardjono, M dan Sidarta,P. Neurologi Klinis Dasar. PT Dian Rakyat. 2003.
5.

Jawetz, Melnick, & Adelbergs. Microbiologi Kedokteran. Salemba Media: 2001.

6. Anonymous. Ensefalitis; Available from:URL: www.scribd.com. Diakses pada tanggal


4 Maret 2012.
7. Gonzalez, Scarano. Central Nervous System Diseases Due to Slow Viruses and Prions.
.
Department of Neurology, University of Pennsylvania School of Medicine. Chapter
XVII. June 2005. ACP Medicine, 2007 Edition

8. Soedarmo, Poerwo S. Sumarno. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.I nfeksi


dan penyakit tropis. Edisi pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2000.

9. Esiri MM. Herpes simplex encephalitis. An immunohistological study of the


distribution of viral antigen within the brain. J Neurol Sci. May 1982;54(2):209-26.

38

10. Mardjono,M. Sidarta ,P. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Dian Rakyat. 1999.
Hal. 36-40.

11. Nath A., Berger JR. Acute Viral Encephalitis. Goldman: Cecil Medicine, 23 rd ed.
Copyright 2007 Sauders, an imprint of Elsevier. Chapter 439.

39

Anda mungkin juga menyukai