Anda di halaman 1dari 45

CLINICAL SCIENCE SESSION

TONSIL
Disusun oleh :
Natasha A. Hadi

1301-1209-3039

Resvi Livia

1301-1209-0005
Pembimbing :

Ongka Muhammad Saifuddin, dr., SpTHT-KL(K)

BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN BEDAH


KEPALA DAN LEHER
RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN
BANDUNG
2010
1

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi masih merupakan gangguan kesehatan yang paling banyak terjadi


di Indonesia. Infeksi dapat menyebabkan reaksi radang yang disebabkan oleh
bakteri maupun virus.
Tonsil merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh. Akan tetapi ada
kalanya tonsil tidak cukup kuat untuk melawan infeksi, dengan akibat tonsil ikut
terinfeksi sehingga menakibatkan infeksi yang berulang-ulang. Infeksi pada tonsil
merupakan proses peradangan tonsil yang dapat menimbulkan komplikasi dari
ringan sampai yang berat.
Apabila pengobatan medikamentosa tidak berhasil maka terapi operasi
perlu dipikirkan. Untuk itu perlu dipahami mengenai anatomi, histologi, fisiologi
dari tonsil serta beberapa teknik operasi tonsil dan komplikasi yang mungkin
terjadi akibat tindakan tersebut.

BAB II
ISI

I. ANATOMI
1.1 Faring
Untuk kepentingan klinis, faring dibagi menjadi 3 bagian utama :
nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Satu pertiga bagian atas atau nasofaring
adalah bagian pernafasan dari faring dan tidak dapat bergerak kecuali palatum
molle bagian bawah. Bagian tengah faring disebut orofaring, meluas dari batas
bawah palatum molle sampai permukaan lingual epiglotis. Pada bagian ini,
termasuk tonsila palatina dengan arcusnya dan tonsila lingualis yang terletak pada
dasar lidah. Bagian bawah faring dikenal dengan nama hipofaring atau
laringofaring, menunjukkan daerah jalan nafas bagian atas yang terpisah dari
saluran pencernaan bagian atas.
1.2 Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring termasuk cincin jaringan limfoid yang
melingkar (Cincin Waldeyer). Cincin Waldeyer terdiri dari Adenoid (tonsila
pharingeal), Tonsila palatina, Tonsila lingual dan folikel limfoid pada dinding
posterior faring. Orofaring dibatasi oleh palatum mole pada bagian atas, tepi atas
epiglotis pada bagian bawah, rongga mulut pada bagian depan, dan vertebra
servikalis pada bagian belakang. Struktur yang terdapat pada rongga orofaring
adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsil serta arkus faring
anterior dan posterios, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.

1. Pharyngeal tonsil
2. Palatine tonsil
3. Lingual tonsil
4. Epiglottis
Tonsila Faringeal (adenoid)
Terletak pada nasofaring yaitu pada dinding atas nasofaring bagian
belakang. Pada masa pubertas adenoid ini akan menghilang atau mengecil
sehingga jarang seklai dijumpai pada orang dewasa. Apabila adenoid membesar
maka akan tampak sebagai sebuah massa yang terdiri dari 4-5 lipatan longitudinal
anteroposterior serta mengisi sebagian besar atas nasofaring. Berlainan dengan
tonsil, adenoid mengandung sedikit sekali kripta dan letak kripta tersebut dangkal.
Tidak ada jaringan khusus yang memisahkan adenoid ini dengan m. konstriktor
superior sehingga pada waktu adeoidektomi sukar mengangkat jaringan ini secara
keseluruhan. Adenoid mendapat darah dari cabang-cabang faringeal A. Karotis
interna dan sebagian kecil dari cabang-cabang palatina A. Maksilaris. Darah vena
dialirkan sepanjang pleksus faringeus ke dalam V. Jugularis interna. Sedangkan
persarafan sensoris melelui N. Nasofaringeal yaitu cabang dari saraf otak ke IX
dan juga melalui N. Vagus.

Tonsila Lingualis
Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat
pada basis lidah diantara kedua tonsil palatina dan meluas ke arah anteroposterior
dari papilla sirkumvalata ke epiglottis. Jaringan limfoid ini menyebar ke arah
lateral dan ukurannya mengecil. Dipisahkan dari otot-otot lidah oleh suatu lapisan
jaringan fibrosa. Jumlahnya bervariasi, antara 30-100 buah. Pada permukaannya
terdapat kripta yang dangkal dengan jumlah yang sedikit. Sel-sel limfoid ini
sering mengalami degenerasi disertai deskuamasi sel-sel epitel dan bakteri, yang
akhirnya membentuk detritus.
Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A. Lingualis yang merupakan
cabang dari A. Karotis eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V. Lingualis ke
V. Jugularis interna. Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda.
Persarafannya melalui cabang lingual N. IX.
Tonsila Palatina
Tonsil terletak di bagian samping belakang orofaring, dalam fossa
tonsilaris, berbentuk oval dengan ukuran dewasa panjang 20-25 mm, lebar 15-20
mm, tebal 15 mm, dan berat sekitar 1,5 gram. Berat tonsil pada laki-laki
berkurang dengan bertambahnya umur, sedangkan pada wanita berat bertambah
pada masa pubertas dan kemudian menyusut kembali. Fossa tonsilaris di bagian
depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus plalatina anterior), sedangkan di bagian
belakang dibatasi oleh pilar posterior (arkus palatina posterior), yang kemudian
bersatu di pole atas dan selanjutnya bersama-sama dengan m. Palatina membentuk
palatum molle. Bagian atas fossa tonsilaris kosong dinamakan fossa supratonsiler
yang merupakan jaringan ikat longgar.
Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan
berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi m. Konstriktor
faringeus. Kapsul tonsil tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil, membentuk
septa yang mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil.
Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai lekukan
yang merupakan muara dari kripta tonsil. Kripta tonsil berjumlah sekitar 10-20
buah, berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Kripta yang
5

paling besar terletak di pole atas, sering menjadi tempat pertumbuhan kuman
karena kelembaban dan suhunya sesuai untuk pertumbuhan kuman, juga karena
tersedianya substansi makanan di daerah tersebut.
Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plika
triangularis, dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang-kadang
membesar. Plika ini penting karena sikatrik yang terbantuk setelah proses
tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris, sehingga
dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil.
Pole atas tonsil terletak pada cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut
sebagai plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak, letaknya
dekat dengan ruang supratonsil dan disebut glandula salivaris mukosa dari Weber,
yang penting peranannya dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat
tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak antara tonsil dengan fosa tonsilaris
mudah dipisahkan.

Di sekitar tonsil terdapat 3 ruang potensial yang secara klinik sering


menjadi tempat penyebaran infeksi dari tonsil. Ke-3 ruang potensial tersebut
adalah :
1. Ruang peritonsil (ruang supratonsil)
Berbentuk hampir segitiga dengan batas-batas :
- Anterior

: m. Palatoglosus

- Lateral & posterior : m. Palatofaringeus


- Dasar segitiga

: pole atas tonsil

Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivary Weber, yang bila terinfeksi dapat
menyebar ke ruang peritonsil, menjadi abses peritonsil.
2. Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar 3, berbentuk oval, merupakan sudut
yang dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial terdapat m.
Buccinator, sementara pada bagian postero-medialnya terdapat m. Pterygoideus
internus dan bagian atas terdapat fasikulus longus m. Temporalis. Bila terjadi
abses hebat pada daerah ini akan menimbulkan gejala utama trismus disertai sakit
yang amat sangat, sehingga sulit dibedakan dengan abses peritonsil.
3. Ruang parafaring (ruang faringomaksila ; ruang pterygomandibula)
Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat pembuluh
darah besar, sehingga bila terjadi abses, berbahaya sekali. Adapun batas-batas
ruang ini adalah
- Superior

: Basis kranii dekat foramen jugulare

- Inferior

: Os hyoid

- Medial

: M. Konstriktor faringeus superior

- Lateral

: Ramus ascendens mandibula, tempat m. Pterygoideus interna dan


bagian posterior kelenjar parotis

- Posterior

: Otot-otot prevertebra

Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh prosesus styloideus dan
otot-otot yang melekat pada prosesus styloideus tersebut :
-

Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena : radng tonsil,
mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan operatif.
7

Ruang post-styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat : A. karotis interna, V.


Jugularis, N. Vagus dan saraf-saraf simpatis.

Ruang parafaring ini hanya dibatasi oleh fascia yang tipis dengan ruang retro
faring.
Ruang retrofaring
Batas-batasnya adalah sebagai berikut :
- Anterior

: fascia m. Konstriktor superior

- Posterior

: fascia prevertebralis

- Superior

: basis cranii

- Inferior

: mediastinum setinggi bifurkasio trakea

- Lateral

: parafaringeal space

1.3 Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terdapat di
dalam faring, diliputi epitel skuamosa dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan
kriptus didalamnya. (UI). Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsila faringeal
(adenoid), tonsila palatina (tonsil faucium), dan tonsila lingualis yang ketigatiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.
Dalam pengertian sehari-hari yang dimaksud dengan tonsil adalah tonsila
palatina, sedang tonsila faringeal lebih dikenal sebagai adenoid.
Tonsil terletak pada fossa tonsilaris dari sisi orofaring dan hanya sebagian
terlihat. Tonsil berbentuk oval dengan ukuran dewasa panjang 20-25 mm, lebar
15-20 mm, tebal 15 mm dan berat sekitar 1,5 gram. Terdiri dari kutub atas, tengah
atau media dan kutub bawah. Kutub atas tersembunyi pada palatum molle dan
kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Fosssa tonsilaris, dibagian
depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus palatina anterior), sedangkan dibagian
belakang dibatasi oleh pilar posterior (arkus palatina posterior), yang kemudian
bersatu di pole atas dan selanjunya bersama-sama dengan M. palatina membentuk
palatum molle.
Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan
berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi M. Konstriktor
faringeus. Kapsul tonsil tersebut masuk kedalam jaringan tonsil, membentuk
8

trabekula tonsil yang mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil. Trabekula
tonsil merupakan kerangka tonsil tempat masuknya saraf dan pembuluh darah
tonsil serta tempat keluarnya pembuluh limfe. Kapsul meliputi 2/3 tonsil, dan
sisanya diliputi oleh mukosa dengan epitel berlapis skuamosa yang melanjutkan
kedalam kripta.
Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai lekukan
yang merupakan muara dari kripta tonsil. Jumlah kripta tonsil berkisar antara 2030 buah, berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Beberapa
kripta ada yang berjalan kearah dalam substansia tonsil dan berakhir dibawah
permukaan kapsul. Kripta tonsil mungkin bercabang-cabang dan biasanya
mempunyai bentuk yang sangat tidak teratur. Kripta dengan ukuran terbesar
terletak pada pole atas tonsil dan disebut kripta superior. Dalam keadaan normal
kripta-kripta ini mengandung sel-sel epitel, leukosit, limfosit, bakteri, dan sisa
makanan.Pada kripta superior sering menjadi tempat pertumbuhan kuman karena
kelembaban dan suhunya sesuai untuk pertumbuhan kuman, juga karena
tersedianya substansi makanan di daerah tersebut.
Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plika
triangularis, dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang-kadang
membesar. Plika ini penting, karena sikatrik yang terbentuk setelah proses
tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fosa tosilaris, sehingga dapat
dikelirukan sebagai sisa tonsil.
Pole atas tonsil terdapat pada cekungan yang berbentuk bulan sabit,
disebut sebagai plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak,
letaknya dekat dengan ruang supratonsil dan disebut glandula salivaris mukosa
dari Weber, yang penting peranannya dalam pembentukan abses peritonsil. Pada
saat tonsilektomi, jaringan areolar yamg lunak antara tonsil dengan fosa tonsilaris
mudah dipisahkan.
Aliran Limfe Tonsil
Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim
tonsil ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula,
yang kemudian membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan
9

menembus M. Konstriktor faringeus superior, selanjutnya menembus fascia


bukofaringeus dan akhirnya menuju kelenjar servikalis profunda yang terletak
sepanjang pembuluh darah besar leher, di belakang dan di bawah arkus
mendibula. Kemudian aliran limfe ini dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerah
dada, untuk selanjutnya bermuara ke dalam duktus torasikus.
Vaskularisasi Tonsil
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :
- A. Palatina Ascenden, cabang A. Fasialis, memperdarahi bagian postero
inferior
- A. Tonsilaris, cabang A. Fasialis, memperdarahi daerah antero-inferior
- A. Lingualis Dorsalis, cabang A. Maksilaris Interna, memperdarahi daerah
antero-media
- A. Faringeal Ascenden, cabang A. Karotis Eksterna, memperdarahi daerah
postero-superior
- A. Palatida Descenden dan cabangnya, A. Palatina Mayor dan A. Palatina
Minor, memperdarahi daerah antero-superior
Daerah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V.
Lingualis dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke V. Jugularis
Interna. Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral
kapsula dan selanjutnya menembus dinding faring.
Persarafan Tonsil
Persarafan sensoris tonsil melalui saraf otak ke V (N. Trigeminus) dan
saraf otak ke IX (N. Glossofaringeus). N. Trigeminus mempersarafi bagian atas
tonsil dan palatum molle melalui percabangannya, yaitu N. Palatina minor yang
membawa serabut aferent menuju ganglion sphenopalatina (Meckels ganglion).N.
Glossofsringeus mempersarafi bagian bawah tonsil dan basis melalui pleksus
faringeus. Nyeri pada tonsilitis sering menjalar ke telinga, hal ini terjadi karena N.
IX juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga tengah melalui
Jacobsons Nerve.

10

Fisiologi
Fungsi jaringan limfoid faring adalah memproduksi sel-sel limfosit tetapi
peranannya sendiri dalam mekanisme pertahanan tubuh masih diragukan.
Penelitian menunjukkan bahwa tonsil memegang peranan penting dalam fase-fase
permulaan kehidupan terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan
sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah.
Hasil penelitian mengenai kadar antibodi pada tonsil menunjukkan bahwa
perenkim tonsil mempunyai kemampuan untuk memproduksi antibodi. Penelitian
terakhir menyatakan bahwa tonsil memegang peranan dalam memproduksi Ig-A,
yang menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen.
Sewaktu baru lahir tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum
germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah
mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yamg pada permulaan kehidupan
masa kanak-kanak dianggap normal dan dipakai sebagai indeks aktifitas sistem
imun. Pada waktu pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran
fungsi tonsil yang disertai proses involusi.
Kuman-kuman patogen yang terdapat dalam flora normal tonsil dan faring
tidak menimbulkan peradangan, karena pada daerah ini terdapat mekanisme
pertahanan dan hubungan timbal balik antara berbagai jenis kuman.
Terdapat 2 bentuk mekanisme pertahanan tubuh, yaitu :
1.

Mekanisme pertahanan non spesifik


Berupa

lapisan

mukosa

tonsil

dan

kemampuan

limfoid

untuk

menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa ini tipis


sekali sehingga bagian ini menjadi tempat yang lemah terhadap pertahanan dari
masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Dengan masuknya kuman ke dalam
lapisan mukosa, maka kuman ini akan ditangkap oleh sel fagosit, dalam hal ini
adalah elemen tonsil. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi. Peranan
opsonin (antibodi) adalah mengadakan reaksi dengan bakteri, sehingga
menimbulkan kepekaan bakteri terhadap sel fagosit.
Setelah proses opsonisasi, maka sel fagosit akan bergerak mengelilingi
bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya ke dalam suatu kantung
11

yang disebut fagososm. Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan bakteri.
Mekanisme yang jelas belum pasti, namun diduga terjadi peningkatan konsumsi
oksigen yang diperlukan untuk pembentukan superoksidase yang akan
membentuk H2O2 (bersifat bakterisidal), yang kemudian akan masuk ke dalam
fagosom atau berdifusi di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses
oksidasi.
Di dalam sel fagosit terdaapt granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan
bakteri maka membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya
mengalir dalam fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan
menghancurkan bakteri dengan proses digesti.
2.

Mekanisme pertahanan spesifik


Merupakan ekanisme pertahana yang penting dalam mekanisme pertahanan

tubuh terhadap udaran pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah.
Tonsil dapat memproduksi IgA yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal
terhadap organisme patogen. Disamping itu, tonsil dan adenoid juga dapat
menghasilkan IgE yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit,
dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu
histamin. Sel basofil yang terutama adalah sel basofil dalam sirkulasi (sel basofil
mononuklear) dan sel basofil dalam jaringan (sel mastosit).
Bila ada alergen, maka alergen tersebut akan bereaksi dengan IgE sehingga
permukaan sel membrannya terangsang dan terjadilah proses degranulasi. Proses
ini akan menyebabkan keluarnya histamin sehingga timbul reaksi hipersensitivitas
tipe 1, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema.
Dengan teknik immunoperoksida, dapat diketahui bahwa IgE dihasilkan
dari plasma sel terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan
kripta tonsil. Sedangkan mekanisme kerja IgA, bukanlah menghancurkan antigen
akan tetapi mencegah substansi tersebut masuk ke dalam proses imunologi,
sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, IgA mencegah trjadinya
penyakit autoimun. Oleh karena itu, IgA merupakan barier untuk mencegah reaksi
imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.

12

II. TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan umum dan pembengkakan dari jaringan tonsil
yang biasanya disertai dengan pengumpulan leukosit, sel-sel epitel mati, dan
bakteri patogen dalan kripta

2.1. Tonsilitis akut


Etiologi
Streptokokus -hemolitikus grup A diketahui sebagai bakteri yang paling
sering ditemukan pada tonsillitis akut. Meskipun pneumokokus, stafilokokus dan
Haemophilus influenzae, juga virus patogen dapat dilibatkan. Kadang-kadang
streptokokus non hemolitikus atau streptokokus viridans, dapat ditemukan pada
biakan, biasanya pada kasus-kasus berat.
Virus lebih sering ditemukan pada penyakit akut daripada kronis, dimana
virus merupakan inisiator inflamasi mukosa, obstruksi kripta, dan ulserasi yang
kemudian disertai invasi dan infeksi bakteri.

Virus yang sering menjangkiti

adalah adenovirus dan virus influenza. Virus Epstien-Barr (EBV) juga dapat
ditemukan pada faringotonsilitis akut yang berat bahkan saat adanya obstruksi
jalan nafas. EBV juga dihubungkan dengan hyperplasia adenotonsilar persisiten.
Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya lekosit polimorfonuklear sehingga terbentuk
detritus. Detritus ini merupakan kumpulan lekosit, bakteri yang mati, dan epitel
yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kripta tonsil dan tampak sebagai
bercak kuning.

13

Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis


folikularis, bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur
maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga
terbentuk membran semu (Pseudomembran) yang menutupi tonsil. Pada keadaan
ini didiagnosa banding dengan Angina Plaut Vincent, tonsilitis difteri, dan angina
agranulositosis.
Histopatologis
Secara histopatologis, terdapat 2 bentuk :
a. Tonsilitis akut parenchymatosa
Merupakan infeksi tonsil akut dimana seluruh tonsil mengalami
peradangan, tanpa hiperemis dan edema. Kripta melebar tetapi tidak mengandung
pus.
b. Tonsilitis akut folikularis
Pada infeksi akuta tonsil jenis ini, muara kripta berisi fibrin dan pus
sehingga memberi gambaran bercak yang khas. Bila eksudat folikuler ini bersatu,
tampak sebagai membran putih kekuningan disebut tonsillitis akuta lakunaris.
Gejala lebih berat dan tiba-tiba, biasanya terjadi pada usia dewasa muda.
Gejala dan tanda
Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorokan, nyeri
waktu menelan (pada kasus yang berat, penderita dapat menolak untuk minum
atau makan melalui mulut), demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lemah,
rasa nyeri pada sendi-sendi, tidak nafsu makan dan nyeri pada telinga. Rasa nyeri
di telinga ini karena nyeri alih melalui n Glosofaringeus. Seringkali disertai
adenopati servikalis disertai nyeri tekan.

Pada pemeriksaan tampak tonsil

membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna, atau


tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri
tekan. Otitis media dapat terjadi sebagai komplikasi.

14

Diagnosis
Diagnosis dapat langsung ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dimana
didapatkan lidah kotor, nafas berbau, tonsil hiperemis dan biasanya terdapat
detritus kadang ulserasi, leukositosis 12.000 20.000/mm3, dan pembesaran
kelenjar limfe servikal.
Diagnosis Banding
Angina Plaunt Vincent, tonsillitis difteri, scarlet fever, dan angina granulositosis.
Terapi
Pada umumnya penderita dengan tonsillitis akut serta demam sebaiknya
tirah baring, pemberian cairan adekuat serta diet ringan makanan lunak. Analgetik
oral efektif untuk mengurangi nyeri. Terapi antibiotik dikaitkan dengan biakan
dan sensitivitas yang tepat. Penisilin masih merupakan obat pilihan, kecuali jika
terdapat resistensi atau penderita sensitive terhadap penisilin. Pada kasus tersebut
eritromisin atau antibiotic spesifik yang efektif melawan organisme sebaiknya
digunakan. Pengobatan sebaiknya diberikan selama lima sampai sepuluh hari. Jika
hasil biakan didapatkan streptokokus beta hemolitikus, terapi yang adekuat
dipertahankan selama sepuluh hari untuk menurunkan kemungkinan komplikasi
non supurativa seperti nefritis dan jantung rematik. Untuk penggunaan obat
kumur, pemberiannya masih dipertanyakan maknanya.
Prognosis
Prognosis tonsilitis streptokokus baik. Bila tidak diobati dapat sembuh
sendiri dan biasanya lama dalam beberapa minggu. Apabila diobati dengan
antibiotik yang tepat biasanya sembuh dalam 2 3 hari.
2.2. Tonsillitis Akut Rekuren
Terdapat beberapa definisi mengenai tonsillitis akut rekuren, yaitu

Empat sampai tujuh kali tonsilitis akut dalam satu tahun

Lima kali tonsilitis akut selama dua tahun berturut-turut

Tiga kali tonsilitis akut dalam satu tahun selama tiga tahun berturut-turut
15

2.3 Tonsilitis membranasea


2.3.1

Tonsilitis difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada

bayi dan anak. Penyebab tonsillitis difteri adalah Coryne bacterium diphteriae,
kuman yang termasuk gram positif dan hidup di saluran nafas bagian atas, yaitu
hidung faring dan laring.
Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun
dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini.
Gejala dan tanda
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal,
dan gejala akibat eksotoksin.
Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya: kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat,
serta keluhan nyeri menelan.
Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu.
Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, dan
bronkus yang dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat
pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak
sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau
disebut juga Burgemeesters hals.
Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan

kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi

miokarditis samapi decompensasio kordis, mengenai saraf kranial menyebabkan


kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.

16

Diagnosa
Diagnosa tonsillitis difteri ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan

bawah

membran semu dan didapatkan kuman Coryne bacterium diphteriae.


Terapi
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultuir,
dengan dosis 20.000 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.
Antibiotika penisilin atau eritromisin 25 50 mg per kg berat badan dibagi
dalam 3 dosis selama 14 hari.
Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan perhari.
Antipiretik untuk simtomatis.
Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus
istirahat di tempat tidur selama 2 3 minggu.
Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke
laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien, makin cepat
timbul komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan penyakit jantung atau dekomposasio
kordis.
Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring
serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan.
Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal.
2.3.2 Tonsilitis septik
Penyebab dari tonsillitis

septik ialah Streptokokus hemolitikus yang

terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemik.

17

2.3.3. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulsero membranosa)


Penyebab penyakit ini adalah kurangnya higiene mulut, defisiensi vitamin
C, serta kuman spirilum dan basil fusi form.
Gejala
Demam sampai 39C, nyeri kepala, badan lemah, dan kadang-kadang
terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi
mudah berdarah.
Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membran putih keabuan
diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau
(foeter ex ore), dan kelenjar submandibula membesar
Terapi
Memperbaiki hygiene mulut.
Antibiotika spektrum lebar selama 1 minggu.
Vitamin C dan vitamin B komplek.
2.3.4

Penyakit kelainan darah


Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, angina agranulositosis dan

infeksi mononucleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu.
Kadang-kadang terdapat perdarahan di selaput lendir mulut dan faring dan
pembesaran kelenjar submandibula.
Leukemia akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi
dan dibawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. Tonsil membengkak
ditutupi membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri hebat di
tenggorokan.

18

Angina agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa
dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring dan
disekitar ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia
dan saluran cerna.
Infeksi Mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilateral.
Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan.
Terdapat pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak, dan regio inguinal. Gambaran
darah khas yaitu terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas
yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah
merah domba (reaksi Paul Bunnel).
2.4 Tonsilitis Kronis
Penyakit ini terjadi karena adanya peradangan pada akut subakut yang
berulang atau rekuren. Hal ini dapat menyebabkan pembesaran tonsil karena
terjadi hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrotik dengan obstruksi kripta
tonsil.
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis adalah rangsangan yng
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak
adekuat. Kuman prnyebabnya sama dengan tonsillitis akut, tetapi terkadang
kumannya berubah menjadi kuman golongan gram negatif.
Beberapa konsep terbaru mulai dipercaya dalam pemahaman penyakit
tonsilar kronik, seperti
Adanya infeksi polimikrobial
Peningkatan mikroorganisme penghasil laktamase
Adanya peranan mikroorganisme anaerob
Adanya peranan konsentrasi antigen bakteri
Adanya Hemophilus influenza

19

Pentingnya obstruksi kripta sehingga terjadi akumulasi bakteri dan timbulnya


infeksi kronis
Terganggunya keseimbangan bakteri normal dimana terjadi pergeseran dari
komensal menjadi pathogen
Patogenesis
Pada umumnya tonsilitis kronis memiliki dua gambaran, yaitu terjadi
pembesaran tonsil dan pembentukan jaringan parut. Terlihat gambaran
pembesaran kripta pada beberapa kasus tonsilitis kronis. Karena proses radang
berulang yang timbul, maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan, sehingga kripta melebar.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil dalam waktu lama akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya sel limfosit dan basofil sehingga
timbul detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan
epitel yang terlepas. Secara klinis, detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak
sebagai bercak kuning. Bercak detritus ini, dapat melebar sehingga terbentuk
membran semu (pseudomembran) yang menutupi tonsil. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan
jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini diserai pembesaran
kelenjar limfe submandibula. Dari hasil biakan tonsil, pada tonsilitis kronis
didapatkan bakteri dengan virulensi rendah dan jarang ditemukan Streptococcus
beta hemolitikus.
Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, rasa
mengganjal pada tenggorokan, tenggorokan terasa kering, nyeri pada waktu
menelan, bau mulut , demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri
di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di
telinga ini dikarenakan nyeri alih (referred pain) melalui n. Glossopharingeus
(n.IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat

20

detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar
submandibula membengkak dan nyeri tekan.
Terapi
Antibotika spektrum luas, antipiretik dan obat kumur yang mengandung
desinfektan. Pada keadaan dimana tonsilitis sangat sering timbul dan pasien
merasa sangat terganggu, maka terapi pilihan adalah pengangkatan tonsil
(tonsilektomi).
Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa

abses peritonsiler, rhinitis kronis, sinusitis atau otitis media secara

perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan


dapat timbul endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis,
dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.
Histopatologis
Secara histopatologis, terdapat dua bentuk tonsillitis kronis :
a. Tonsilitis Kronis Hipertropikans
Biasanya terjadi pada anak dan berlanjut sampai dewasa muda, kemudian
perkembangannya berhenti dan terjadi atrofi, dapat juga disebabkan oleh serangan
berulang dari tonsillitis akut atau peradangan yang lama.
Gejala Klinis

Gangguan bernafas, terutama pada anak-anak.

Nyeri menelan, nyeri tenggorokan, pilek dan demam berulang.

Halitosis

Sering disertai bertambahnya insidensi radang saluran nafas bagian atas,


telinga luar, sinus dan infeksi sistemik.

21

Pemeriksaan Fisik
Pembesaran tonsil dengan kripta melebar detritus atau pus yang menutupi
kripta.

Pilar

tonsil

menunjukkan

inflamasi

atau

menunjukkan

adanya

pembentukan jaringan parut.


Terapi

Suportif yaitu mengatasi peradangan akut dengan pemberian antibiotik,


antipiretik dan istirahat.

Definitif dengan tonsilektomi.

b. Tonsilitis Kronis firbotik (atrofikans)


Biasanya terjadi pada orang dewasa, khas terdapat pus di dalam kripta dan
sering disebut massa kaseosa yang terdiri dari deskuamasi epitel yang merupakan
kristal kolesterol, lemak, leukosit dan deposit kalsium. Kripta yang sering terkena
adalah kripta yang bermuara pada fosa supratonsiler yang tertutup plika
semilunaris.
Gejala Klinis
Nyeri menelan, rasa tertusuk pada tonsil.
Batuk dengan pus yang berbau.
Sering eksaserbasi akut atau tonsil terlihat hiperemis disertai demam.
Pemeriksaan Fisik
Tonsil atrofi.
Detritus.
Terapi

Antibiotika.

Simtomatik.

Tonsilektomi.

Komplikasi

Radang tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya secara


infeksi perkontinuitas atau ke organ yang jauh secara hematogen atau
limfogen.
22

Komplikasi di sekitar tonsil lainnya adalah otitis dan sinusitis

Komplikasi ke organ yang jauh dari tonsil sepertiendokarditis, arthritis,


miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritis, urtikaria dan
furunkulosis.

III. KOMPLIKASI TONSILITIS


3.1 Abses Peritonsil (Quinsy)
Abses peritonsil adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
peritonsil diantara kapsul fibrous tonsil dan umumnya terletak pada kutub atau
tonsil dan pada otot konstriktor faring superior, berasal dari infeksi tonsil yang
berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah tonsila meluas sampai ke palatum
molle. Kelanjutan proses ini menyebabkan abses peritonsilaris. Kelainan ini dapat
terjadi cepat, dengan awitan awal dari tonsilitis, atau akhir dari perjalanan
penyakit tonsilitis akut. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang
lebih tua dan dewasa muda.
Etiologi
Sama dengan penyebab tonsillitis.
Gejala Klinik
Terdapat gejala dan tanda tonsilitis akut, demam tinggi, otalgia, nyeri
menelan, nyeri tenggorok, muntah, mulut berbau, hipersalivasi, suara sengau,
kadang-kadang sulit membuka mulut (trismus), serta pembengkakan dan nyeri
tekan pada kelenjar submandibula. Trismus terjadi pada proses yang lanjut akibat
iritasi pada otot pterigoid interna.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan tampak palatum molle membengkak dan menonjol ke
depan, dapat teraba fluktuasi, hiperemis pada stadium awal dan bila berlanjut akan
menjadi lebih lunak dan kekuning-kuningan. Tonsil bengkak, hiperemis dan

23

mungkin banyak detritus, terdorong ke tengah, depan dan bawah. Uvula bengkak
dan terdorong ke sisi kontralateral.
Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik dosis tinggi, dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin
pada leher.
Bila abses telah terbentuk, dilakukan pungsi kemudian insisi untuk
mngeluarkan nanah dengan anestesi lokal. Insisi dilakukan pada daerah paling
menonjol dan lunak, atau pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula
dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Setelah selesai pasien diminta
berkumur dengan antiseptik.
Bila terdapat trismus, diberikan analgesia local untuk nyeri dengan
menyuntikan silokain atau novokain 1 % di ganglion sfenopalatinum (bagian
belakang atas lateral konka media).
Kemudian dianjurkan untuk tonsilektomi. Bila tonsilektomi dilakukan
bersama sama tindakan drainase abses, disebut tonsilektomi a chaud. Bila
dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi atiede, dan bila
tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi afroid.
Pada umumnya tonsilektomi dilakukan setelah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu
sesudah drainase abses. Pada anak kecil dianjurkan untuk anestesi umum.
Komplikasi
Dehidrasi,

perdarahan,

aspirasi

paru,

piemia,

abses

parafaring,

mediastinitis, thrombus sinus kavernosus, meningitis, abses otak.


3.2 Abses Parafaring
Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
parafaring, berasal dari ruang retrofaring, ruang peritonsiler dan ruang
submandibula. Pada umumnya penyebab abses parafaring adalah tonsillitis, abses
peritoniler, infeksi dental, mastoiditis, benda asing di faring.

24

Patofisiologi
Ruang parafaring ini dapat mengalami infeksi dengan cara:
1. Langsung. Yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi
dengan analgesi. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah
terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring
superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fossa tonsilaris.
2. proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,
sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikaldapat merupakan sumber infeksi
untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3. penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.
Gejala Klinik :
Hampir sama dengan abses peritonsiler. Demam, leukositosis, nyeri
tengorok, nyeri menelan, trismus, indurasi atau pembengkakan, di daerah sekitar
angulus mandibula, dan pembengkakan dinding lateral faring hingga menonjol
kearah medial. Pada pemeriksaan penunjang diagnosis dapat ditegakkan dengan
foto jaringan lunak AP menunjukkan penebalan jaringan lunak parafaring dan
pendorongan trakea kearah depan. Dengan tomografi computer terlihat jelas abses
dan penjalarannya.
Terapi
a.

Antibiotika
Antibiotika diberikan sampai 10 hari dan seharusnya diberikan

berdasarkan pada pemeriksaan kultur dan resistensi kuman.


First choise : Clindamycin : dewasa: 300-900 mg/iv/im tiap 8 jam.
anak : 25-40 mg/kgBB/hari iv tiap 8 jam.
Penicillin
Ceftadizime
Cephalosporin seperti cefotaxim : 1-2 mg tiap 4-8 jam iv.
25

Dosis anak : 50-150 mg/ kgBB/hari.

b. Insisi dan drainase


Insisi abses pada daerah ini ada tiga cara:

Intraoral, bila penonjolan yang timbul kearah faring yaitu di dinding faring
lateral.

Ekstraoral, dimana insisi dari sebelah luar, dibawah angulus mandibula dan
diseksi secara tumpul sepanjang batas medial dari m. pterigoid internus
menuju prosesus styloideus.

Melalui fossa submaksila secara MOSHER, cara ini dipergunakan bila


lokasi pus tidak jelas dan terdapat tanda-tanda sepsis.

Komplikasi
Septik trombosis vena jugularis interna

Erupsi (rupture) arteri karotis

Sekuele neurologist Sindroma Horner (cervical Symphatetic)

Mediastinitis: penyebaran sepanjang carotid sheath

3.3 Otitis Media Akut (OMA)


Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh
mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.
Etiologi
Kuman penyebab utama pada OMA adalah bakteri piogenik, seperti Streptokokus
hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pneumokokus, Hemofilus influenza, Esheria
coli, Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris, Pseudomonas aurugenosa
Patofisiologi
Terjadinya OMA akibat terganggunya factor pertahanan tubuh yang
bertugas menjaga kesterilan telinga tengah. Factor penyebab utama adalah
sumbatan tuba eustachius sehingga pencegahan invasi kuman terganggu.
26

Pencetusnya adalah infeksi saluran nafas atas. Penyakit ini mudah terjadi pada
bayi karena tuba eustachiusnya pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.
Manifestasi klinis
Gejala klinis OMA tergantung pada stadium penyakit dan umur pasien.
Stadium OMA berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah:
a. Stadium oklusi tuba eustachius
Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan
negatif di dalam telinga tengah. Kadang berwarna normal atau keruh
pucat. Efusi tidak dapat dideteksi. Sukar dibedakan dengan otitis media
serosa akibat virus atau alergi.
b. Stadium hiperemis
Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau
seluruh membrane timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang
telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat serosa sehingga sukar
untuk dilihat.
c. Stadium supurasi
Membrane timpani menonjol kearah telinga luar, akibat edema
yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel
superficial, serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani. Pasien
tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga
bertambah hebat. Apabila tekanan tidak berkurang, akan terjadi iskemia,
tromboflebitis, dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini terlihat
sebagai daerah yang lembek dan kekuningan pada membrane timpani. Di
tempat ini akan terjadi rupture.
d. Stadium perforasi
Karena pemberian antibiotic yang terlambat atau virulensi yang
tinggi, dapat terjadi rupture membrane timpani dan nanah keluar mengalir
dari telinga tengah ke telinga luar. Pasien yang semula gelisah menjadi
tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak.
e. Stadium resolusi

27

Bila membrane timpani tetap utuh, maka keadaan membrane


timpani perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi,
maka secret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh
baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun
tanpa pengobatan, OMA akan berubah menjadi OMSK bila perforasi
menetap dengan secret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul.
OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa
bila secret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.
Terapi
a. Stadium oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba eustachius sehingga
tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl
efedrin 0,5% untuk anak<12 tahunatau HCl efedrin 1% dalam larutan
fisiologis untuk anak diatas 12 tahun dan dewasa. Sumber infeksi local
harus diobati. Antibiotic diberikan bila penyebabnya kuman.
b. Stadium hiperemis
Diberikan antibiotic, obat tetes hidung, dan analgetik. Bila
membrane timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan
miringotomi.
c. Stadium supurasi
Selain antibiotik , pasien harus dirujuk untuk dilakukan
miringotomi bila membrane timpani masih utuh sehingga gejala cepat
hilang dan tidak terjadi rupture.
d. Stadium perforasi
Terlihat secret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan
obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotic yang adekuat
sampai 3 minggu.
e. Stadium resolusi
Membrane timpani berangsur normal kembali, secret tidak ada
lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak antibiotic dapat dilanjutkan sampai
3 minggu. Bila tetap mungkin sudah terjadi mastoiditis.
28

3.4 Sindrom Nefritis Akut (SNA)


SNA dapat terjadi paska infeksi streptokokus beta hemolitikus
Patofisiologi
Faringitis dan tonsillitis (10-14 hari), impetigo (21 hari)

glomerulopati

koefisien ultrafiltrasi glomerular

LFG

normal or/APG

FF

Distal delivery

reabsorbsi
proksimal
absolute

tekanan kapiler peritubular


Proteinuria

Hematuria

reabsorbsi Na+
Serum BUN

Kreatinin
dilusi plasma, volume plasma
dan volume cairan ekstraselular

refleks baroreseptor
factor vasokonstriktor
neural dan humoral

oliguria

hipertensi

edema

kongesti paru

ensefalopati hipertensif akut

29

Manifestasi klinis
1. Keluhan saluran kemih
Oliguria dan hematuria tanpa sakit merupakan gejala patognomonik untuk
SNA.
2. Hipertensi
Hipertensi ringan, sedang dan berat dengan komplikasi ensefalopati hipertensif
akut terutama pada pasien anak.
3. Sembab dan bendungan sirkulasi
a. Sembab kelopak mata atau pergelangan kaki pagi hari dan hilang siang
hari.
b. Bendungan sirkulasi
- Kardiomegali (bukan bentuk jantung hipertensif) dengan konfigurasi
Flabby heart disertai irama derap.
- Bendungan paru akut
a. Keluhan sesak nafas sampai ortopnea menyerupai bendungan paru
akut jantung tetapi tanpa didahului dyspnea on effort.
b. Ronki basah di daerah basal paru
-

Kenaikan tekanan vena jugularis

Hepatomegali bendungan

Keluhan sakit di daerah perut kanan atas akibat regangan kapsul hepar.
Hepatomegali dengan permukaan rata dan konsistensi kenyal dan nyeri tekan.
4. Bradikardia
Bradikardia merupakan salah satu tanda penting untuk diagnosis banding
dengan gagal jantung kongestif.
Terapi
Tentukan penyebabnya dan lakukan penatalaksanaan penyebabnya.
Penatalaksanaan hipertansi dengan obat antihipertensi.
Mencegah kelebihan garam dan air. Dilakukan pembatasan garam dan cairan,
pemberian diuretic dosis tinggi bila perlu. Pengawasan ketat terhadap berat
badan, keseimbangan cairan, dan ukuran jantung.
Penatalaksanaan gagal ginjal.
30

3.5 Sepsis
Sepsis adalah keadaan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit
infeksi yang berat, disertai dengan ditemukannya respons sistemik yang dapat
berupa hipotermia, hipertermia, takikardia, hiperventilasi dan letargi.
Etiologi
Mikroorganisme penyebab sepsis sangat berhubungan dengan umur dan
status imunitas anak, pada masa neonatus E.coli, S.aureus, Streptokokus grup B
dan L. monositogenes merupakan penyebab tersering. Pada anak yang lebih besar
sepsis dapat disebabkan oleh S.pneumoniae, H.influenza tipe B, N.mengitidis,
salmonella sp., S.aureus, dan streptokokus grup A. Anak dengan gangguan
imunitas dapat mengalami sepsis yang disebabkan oleh berbagai kuman, bahkan
oleh kuman yang tidak biasa.
Patofisiologi
Infeksi bakteri

endorphin

produk bakteri

aktivasi komplemen

misalnya endotoksin

makrofag

faktor jaringan

sitokin

aktivasi PMN,
pelepasan PAF, produk

aktivasi

aktivasi

koagulasi

kalikreinkinin

arakidonat dan substansi


toksik lain

fibrinolisis

31

Vasodilatasi,

syok septic

Kerusakan endotel

kebocoran kapiler,
kerusakan endotel

Kapiler
Kegagalan organ berganda
Manifestasi klinis
Manifestasi sepsis pada anak dengan gangguan imunitas yang berat sangat
sulit untuk diketahui. Stadium dini, adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa
menggigil, hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi yang disusul dengan hipotensi.
Gelisah dan agitasi merupakan tanda awal dari syok septic maka hal ini perlu
diperhatikan dalam pengelolaan sepsis. Hipotensi dapat mengakibatkan timbulnya
gagal ginjal akut, gangrene perifer dan laktik asidosis. Kadang-kadang dapat juga
ditandai dengan letargi, muntah, perut kembung dan hipotermia. Petekia dan
purpura dapat ditemukan pada pasien sepsis terutama yang disebabkan oleh
Meningokokus, P.aeruginosa dapat menimbulkan kelainan kulit berupa ecthyma
gangrenosa.
Terapi
1. Pengendalian infeksi
2. Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan, koreksi asam basa dan
pemberian farmakoterapi kardiovaskular seperti dopamine dan dobutamin
pada kedaan syok septic.
3. Mempertahankan fungsi respirasi secara efisien, antara lain dengan pemberian
oksigen dan mengusahakan agar jalan nafas tetap terbuka.
4. Renal support untuk mencegah gagal ginjal akut
5. Kortikosteroid
3.5 Sinusitis
Sinusitis adalah radang pada sinus paranasal. Menurut Adams, berdasarkan
perjalanan penyakitnya terbagi atas:
1. Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu.
2. Sinusitis subakut, bila infeksinya beberapa minggu sampai beberapa bulan.

32

3. Sinusitis kronis, bila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun


(menurut Cauwenberge, bila sudah lebih dari 3 bulan).

Etiologi
Penyebabnya dapat virus, bakteri atau jamur. Menurut Gluckman, kuman
penyebab sinusitis akut tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae yang ditemukan pada 70% kasus. Dapat disebabkan
rhinitis akut; infeksi faring seperti faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut; infeksi
gigi molar M1, M2, M3 atas, serta premolar P1, P2; berenang dan menyelam;
trauma dan barotrauma.
Faktor predisposisi obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, benda asing di
hidung, tumor atau polip. Juga rhinitis alergi, rhinitis kronik, polusi lingkungan,
udara dingin dan kering.
Patofisiologi:
Edema di kompleks osteomeatal,

Mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat
bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan

Gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus

Silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih
kental

Media yang baik untuk tumbuhnya bakteri pathogen

Sumbatan berlangsung terus, hipoksia dan retensi lendir

Infeksi oleh bakteri anaerob


33


Perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.

Manifestasi klinis
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas
(terutama pada anak kecil).
Gejala subyektif:
a. gejala sistemik, yaitu demam dan rasa lesu
b. gejala local, yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbaudan
mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih
berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena , serta kadang
nyeri alih ke tempat lain.

Sinusitis maksilaris: nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang


menyebar ke alveolus, hingga terasa di gigi. Nyeri alih di rasakan di
dahi dan depan telinga.

Sinusitis etmoid: nyeri di pangkal hidung dan kantus medius, kadangkadang nyeri di bola m,ata atau belakangnya, terutama bila mata
digerakkan. Nyeri alih di pelipis.

Sinusitis frontal: nyeri terlokalisasi di dahi atau di seluruh kepala.


Sinusitis sphenoid: rasa nyeri di verteks, oksipital, retroorbital, dan di
sphenoid.

Gejala obyektif:
Tampak pembengkakan di daerah muka.

Sinusitis maksilaris: terlihat di pipi dan kelopak mata bawah.

Sinusitis frontal: terlihat di dahi dan kelopak mata atas.

Sinusitis etmoid: jarang bengkak, kecuali bila ada komplikasi.


Rhinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada

sinusitis maksila, frontal, dan etmoid anterior tampak mukopus di meatus medius.
Pada sinusitis etmoid posterior dan pada sphenoid, tampak nanah keluar dari

34

meatus superior. Rhinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal


drip).
Terapi
1. Antibiotika selama 10-14 hari, meskipun gejala telah hilang.
2. Dekongestan local berupa tetes hidung, untuk memperlancar drainase sinus.
3. Analgetika bila ada keluhan nyeri.
4. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah
terjadi komplikasi ke orbita atau intracranial, atau bila ada nyeri yang hebat
karena ada secret tertahan oleh sumbatan.
Komplikasi

Osteomielitis dan abses subperiostal

Kelainan orbita

Kelainan intracranial

Kelainan paru

3.6 Endokarditis
Endokarditis akut paling sering disebabkan oleh Stafilokokus aureus yang
terjadi pada katup jantung yang normal. Bentuk infeksi ini menimbulkan destruksi
yang cepat, menghasilkan fokus-fokus metastatik yang jika tidak diobati akan
menimbulkan kematian penderitanya dalam waktu 6 minggu. Endokarditis
subakut biasanya disebabkan oleh Streptokokus viridans, terjadi pada katup yang
sudah rusak, tidak menghasilkan fokus-fokus metastatik dan jika tidak diobati
memerlukan waktu lebih dari 6 minggu atau bahkan satu tahun sebelum
menimbulkan kematian penderitanya.
Gejala endokarditis umumnya mulai terjadi dalam waktu 2 minggu setelah
kejadian yang mencetuskannya. Pada mikrorganisme yang patogenesitasnya
rendah, seperti Streptokokus viridans, awitan tersebut biasanya berangsur-angsur
dengan gejala febris dan malaise. Pada mikrorganisme yang patogenesitasnya
tinggi, seperti Stafilokokus aureus, awitannya akut dengan gejala febris yang
tinggi. Febris biasanya ditemukan pada hampir semua pasien endokarditis,
35

derajatnya rendah (kurang dari 39,4C) kecuali pada penyakit yang akut, disertai
artralgia.
3.7 Artritis
Artritis septik biasanya berasal dari penyebaran langsung secara
hematogen pada sinovial. Faktor yang memberi kecenderungan menjadi artritis
septik adalah masa bayi, terapi imunosupresif, alkoholisme, penyalahgunaan obat,
beberapa penyakit sistemik kronik, hemoglobinopati, defisiensi komplemen an
immunoglobulin, gangguan fungsi sel fagosit, artritis kronik, infeksi saluran nafas
atas dan kerusakan sendi sebelumnya.
Sekitar 75% pioartrosis nongonokokus disebabkan oleh kokus gram
positif, yang paling sering adalah Stafilokokus aureus. Pneumokokus dan
Streptokokus -hemolitikus grup A serta Streptokokus viridans ditemukan pada
kurang dari separuh bahan pemeriksaan.

36

TONSILEKTOMI
Definisi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatine seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya sehingga tonsiler
bersih tanpa menimbulkan trauma yang berarti pada jaringan sekitarnya,
seperti uvula dan pilar tonsil.
Adenoidektomi adalah tindakan operasi untuk mengangkat adenoid
(tonsila faringeal) di daerah nasofaring tanpa melukai otot faring dan torus
tubarius.
Indikasi operasi
Indikasi Absolut Tonsilektomi :
Tonsilektomi akut berulang (lebih dari 3x pertahun).
Tonsilektomi kronis walaupun tanpa eksaserbasi akut tetapi merupakan
fokal infeksi.
Post peritonsiler abses karena sering rekuren.
Karier difteri.
Tonsillitis yang menyebabkan kejang demam
Pembesaran

tonsil

yang

menyebabkan

obstruksi

pernafasan/

Obstructive Sleep Apneu Syndrome (OSAS) atau gangguan menelan


(abnormal swallowing).
Tidur mengorok atau bernafas melalui mulut.
Dicurigai adanya keganasan pada tonsil

37

Indikasi Absolut Adenoidektomi :


Penyakit telinga tengah sekunder akibat obstruksi tuba eustachii.
Hipertrofi adenoid yang menyebabkan obstruksi pernafasan.
Sinusitis oleh karena obstruksi ostium sinus akibat kelainan adenoid.

Indikasi Relatif Tonsiloadenoidektomi:

Nyeri tenggorok berulang


Otalgia berulang
Rhinitis kronis
Infeksi saluran nafas berulang
Tonsil yang besar atau dengan debris
Limfadenopati servikal
Tonsillitis TBC atau adenitis TBC
Penyakit sistemik akibat infeksi streptococcus beta hemolyticus
(rheumatic fever, rheumatic heart disease).

Kontraindikasi Absolut Tonsilektomi :


Infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang.
Penyakit darah, leukemia, purpura, anemia aplastik dan hemofilia.
Penyakit sistemik yang tidak terkontrol seperti DM dan penyakit
jantung.
Demam yang tidak diketahui penyebabnya.
Asma Bronkhiale.
Sinusitis.
Tonus otot yang lemah.
Kontraindikasi Absolut Adenoidektomi:
Penyakit darah : leukemia, anemia aplastik, hemofili dan purpura.
Penyakit sistemik yang tidak terkontrol: diabetes mellitus, penyakit
jantung.

38

Kontraindikasi Relatif.
Palatoschizis.
Poliomielitis epidemika.
Umur kurang dari 3 tahun.
Anemia (Hb <10gr% atau Hct < 30%)
Infeksi akut saluran nafas atas (tidak termasuk abses peritonsiler)
Komplikasi :
Perdarahan.
Infeksi.
Nyeri.
Trauma jaringan sekitar tonsil.
Perubahan suara.

PROSEDUR PEMBEDAHAN
Persiapan Pasien
Riwayat penyakit yang komplit dan pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
dengan perhatian khusus terhadap adanya gangguan-gangguan yang bersifat
familial atau diturunkan terutama kecenderungan terjadiya perdarahan. Disamping
itu, riwayat saudara pasien yang mungkin mengalami kesulitan dengan anestesi
umum sebaiknya dicari dalam usaha untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
39

hipertermia maligna. Uji penyaringan terhadap gangguan darah yang paling


disukai antara lain : Waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin dan jumlah
trombosit. Pasien sebaiknya tidak makan aspirin selama dua mingggu sebelum
pembedahan. Anamnesis tetap merupakan pedoman yang paling berharga untuk
kemungkinan adanya kecenderungan perdarahan. Pemeriksaan hitung darah
lkomplit dan urinalisis selalu dibutuhkan sebelum anesesi umum. Radiografi dada
dan elektrokardiografi dianjurkan pada pasien dewasa diatas usia 40 tahun.
Sebaiknya terdapat dokumentasi pada grafik kebutuhan dan indikasi prosedur
pembedahan.
Dokter sebaiknya menjelaskan pada pasien terutama anak kecil agar dapat
mengerti secara pasti prosedur pembedahan yang akan dilakukan dan hal ini
dilakukan dalam usaha menolong pasien dan mencegah episode infeksi yang
berulang dan memperbaiki pendengaran. Sebaiknya juga dijelaskan bahwa
mungkin terdapat rasa tidak enak pada periode segera setelah pembedahan, tetapi
dokter perawat dan orangtua akan dapat membantu pada saat ini. Kemudian
keluarga sebaikya ditanya untuk memperkuat hal ini dan emnjawab pertanyaanpertanyaan anak secara jujur. Kunjungan sebelum pembedahan ke rumah
sakitakan membantu menghilangkan rasa takut yang terjadi pada anak. Petunjukpetunjuk pada keluarga mengenai perawatan setelah pembedahan dalam hal diet,
aktivitas, kembali ke sekolah, gejala-gejala yang mungkin terjadi seperti nyeri
telinga selama minggu pertama setelah pembedahan, dan kemungkinan
perdarahan yang terlambat sebaiknya dijelaskan. Aktivitas setelah pembedahan
bersifat individual terhadap respon dan keinginan anak. Adalah perlu tidak adanya
batas absolut terhadap aktivitas. Disamping, jika dimasukkan saluran ventilasi
pada waktu dilakukan adenoidektomi dan tonsilektomi, maka perawatan dan
pencegahan masuknya air pada saluran telinga sebaiknya dijelaskan.
Dewasa cenderung lebih sering mengalami rasa tidak enak setelah
pembedahan dibandingkan dengan anak-anak. Rasa tidak enak pada faring yan
persisten dapat diperkirakan terjadi selama tujuh sampai sepuluh hari. Orang
dewasa sebaiknya hati-hati terhadap hal ini dan kemungkinan terjadinya
perdarahn yang terlambat tujuh sampai sebelas hari setelah prosedur pembedahan.

40

Pertimbangan-pertimbangan teknis
Hubungan anatomi yang penting harus dipahami oleh ahli bedah yang
melakukan tonsilektomi

Anatomi pembedahan
1. Struktur

kedua

arkus-otot

palatoglossus

(arkus

anterior)

dan

otot

palatofaryngeus (arkus posterior)


2. Perbatasan lateral fossa tonsilaris- otot konstriktor superior
3. Hubungan plika, khususnya plika triangularis
4. Aliran darah yang berasal dari lima pembuluh arteri-bagian dorsum lingua
berasal dari arteri lingulis:palatina ascenden dan tonsila keduanya dari
maksilaris eksterna; Faryngea asenden dari arteri karotis eksterna; dan palatina
desenden dari maksilaris interna.
Kelainan pembuluh darah pada daerah ini dapat menyebabkan kesulitan
tertentu pada pembedahan tonsil.
Drainase limfatik utama dari tonsil palatina meninggalkan trabekula
fibrosis tonsil melalui kapsul ke otot konstriktor superior faring. Beberapa betuk
trunkus pada sisi ini, menembus fasia bukofaringealis, dan memasuki rantai
kelenjar servikal profunda dimana drainase mencapai duktus torasikus dan
kemudian memasuki sirkulasi umum. Tidak terdapat bukti bahwa adanya
pembuluh limfatik aferen yang efektif dari tonsila.
Hal-hal seperti anestesi endotrakeal, zat anestetik yang tidak mudah
meledak, cairan intravena, dan kauter penghisap untuk menghentikan perdarahan
akan membantu ahli bedah secara tehnik. Anestesi lokal pada dewasa cukup aman
dan dapat diterima pasien.
Perdarahan setelah pembedahan digolongkan menjadi segera dan
terlambat. Perdarahan setelah pembedahan persisten yang segera pada umumnya
diatasi dengan membius kembali pasien dan mengendalikan perdarahan dengan
ligasi atau pengisapan elekrokauter. Perdarahan yang berarti nantinya mungkin
dapat diatasi pada keadaan pasien rawat jalan, Khususnya jika anak muda atau
41

orang dewasa tersebut kooperatif. Hal ini dapat terjadi setelah hari ke sepuluh
paska pembedahan. Pengangkatan bekuan darah pada fossa tonsilaris disertai
dengan kauter perak nitrat dan tekanan pada umumnya semua diperlukan untuk
mengendalikan perdarahan setelah pembedahan yang terlambat. Kadang-kadang,
karena pasien yang tidak kooperatif atau perdarahan yang berlebihan, maka
diperlukan untuk membius kembali pasien dengan tujuan untuk mengendalikan
perdarahan secara adekuat.
Tonsilektomi dapat dilakukan sebagai prosedur pembedahan rawat jalan
pada beberapa pasien. Bagaimanapun, beberapa pasien mangalami nausea dan
disfagia yang persisten dan dapat menyebabkan dehidrasi jika dipulangkan lebih
cepat. Keputusan seperti pantas atau tidaknya pasien dipulangkan lebih cepat
sebaiknya tergantung pada ahli bedah. Pasien yang mengalami tonsilektomi perlu
menginap jika jumlah makan yang dimakan peroralnya tidak adekuat, mereka
yang tinggal jauh dari fasilitas medis, atau terdapat kekhawatiran terjadinya
perdarahan.
Prinsip

adenoidektomi

dengan

menggunakan

adenotom

LaForce

membutuhkan penyisipan adenotom yang terbuka pada garis tengah diikuti oleh
penyisipan adentom tambahan pada posisi lateral pada salahsatu sisi garis tengah
Keuntungan alat ini adalah kemugkinan cedera yang lebih sedikit dibandingkan
dengan kuret, ke dalam insisi dapat dikendalikan dengan lebih baik dan
pengangkatan adenoid dapat dilakukan dengan aman oleh keranjang adenotom.
Setelah adenoid diangkat, atau selama fase pengangkatan adenoid, meletakkan
busa pada nasofaringsangat berguna untuk menghentikan perdarahan sehingga sisi
pengangkatan dapat diperiksa ulang untuk meyakinkan seluruh massa adenoid
sudah terangkat dan untuk melihat sumber perdarahan sehingga dapat digunakan
hemostat. Teknik ini hanya cocok untuk pengangkatan hipertrofi adenoid yang
biasa.

42

BAB III
KESIMPULAN

Faring dibagi menjadi 3: nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Di


Orofaring terdapat cincin Waldeyer terdiri dari Adenoid (tonsila pharingeal),
Tonsila palatina, Tonsila lingual dan folikel limfoid pada dinding posterior faring.
Dalam pengertian sehari-hari, tonsil adalah tonsila palatina, sedang tonsila
faringeal lebih dikenal sebagai adenoid.
Infeksi tonsil disebut tonsilitis, yang terbagi menjadi :
1. Tonsilitis akut
a. Tonsilitis akut parenchymatosa
b. Tonsilitis akut folikularis
2. Tonsillitis Akut Rekuren
3. Tonsilitis membranasea
a. Tonsilitis difteri
b. Tonsilitis septic
c. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulsero membranosa)
d. Penyakit kelainan darah
- Angina agranulositosis
- Leukemia akut
- Infeksi Mononukleosis
4. Tonsilitis Kronis
Adapun komplikasi tonsilitis adalah:
1. Abses Peritonsil (Quinsy)

3. Otitis Media Akut (OMA)

2. Abses Parafaring

4. Sindrom Nefritis Akut (SNA)


43

5. Sepsis

7. Endokarditis

6. Sinusitis

8. Artritis

Untuk terapi tonsilitis, diberikan antibiotik, kortikosteroid, antipiretik, dan


infus. Bisa dilakukan tonsilektomi sesuai dengan indikasinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ashae, R. 2005. http://www.kidsource.com/ASHA/otitis.html. What is


Tonsilitis?
2. Gates, G.A. 2005. http://www.nidcd.nih.gov/health/hearing/otitism.asp. Journal
of Tonsilitis.
3.

Ramsey,

D.D.

2003.

http://www.illionisuniv.com/infection/Midear.html.

Tonsilitis
4. Djaafar, Z. 2001. Kelainan Telingan Tengah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung dan Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: 49-62
5. Wikipedia. 2005. http://en.wikipedia.org/wiki/Ear. Wikipedia Ecyclopedia
6. Robertson, J.S. 2004. http://www.emedicine.com/emerg/topic351.htm. Journal
of Tonsilitis
7. Ballenger, Jhon Jacob. 2000. Disease of the Nose, Throat, Ear, Head, and Neck.
13th Editions. Philadelpia: 306 315
8.

Shah,

Udayan

K.

2006.

Tonsillitis

and

Peritonsillar

Abscess.

http://www.emedicine.com/

44

45

Anda mungkin juga menyukai