Anda di halaman 1dari 15

Bahasa Indonesia Bahasa Lelaki?

Telaah Ketimpangan Gender dalam Bahasa Indonesia

D. Jupriono
dijadikan alam pria dan wanita
dua makhluk dalam asuhan dewata
ditakdirkan bahwa pria berkuasa
adapun wanita lemah lembut
manja ...
wanita dijajah pria
sejak dulu
(Ismail Marzuki, 1959?)
Pendahuluan: Masyarakat, Kebudayaan, dan Bahasanya
Benarkah bahasa Indonesia (BI) berjenis kelamin lelaki? Beragam jawaban bisa
disodorkan, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Di sini, BI
akan dibedah dari perspektif gender, sebagai matra sentral Feminisme. Dengan
perspektif gender, nanti akan dibuktikan bahwa BI lebih memihak penutur lelaki
ketimbang perempuan biarpun jelas sekali bahwa BI juga dituturkan oleh separuh
masyarakat wanita. Singkat kata, senang atau tidak, BI bias maskulin.
Mengapa BI memihak lelaki, inilah soalnya! Dengan sedikit penyederhanaan, boleh
dikatakan bahwa pembiasan gender itu terjadi karena masyarakat Indonesia juga
meletakkan lelaki pada tataran lebih tinggi di atas perempuan. Mengapa masyarakat
"menjunjung" lelaki dan "menjinjing" perempuan? Mengapa tidak sebaliknya? Atau,
mengapa pula keduanya tidak diletakkan dalam garis egaliter? Karena, kebudayaan
yang dihasilkan dan diikuti masyarakat pun memihak lelaki!
Kebudayaan? Di sinilah kita mendudukkan kebudayaan sebagai terdakwa, seakanakan yang salah memang budayanya. Dalam pengertian yang luas, apa yang disebut
kebudayaan mencakup seluruh aktivitas noninstingtif masyarakat tertentu. Pengertian
bahwa kebudayaan adalah kesenian, seperti yang banyak dipahami orang selama ini,
merupakan pengertian yang sempit dan disempitkan. Aktivitas noninstingtif--yang hanya
bisa diperoleh dengan belajar--berwujud gagasan, tindakan, dan benda karya budaya.
Yang termasuk di dalamnya adalah peralatan dan perlengkapan hidup, sistem ekonomi
dan mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek), kesenian, sistem religi, dan bahasa (Koentjaraningrat, 1964: 79). Untuk diskusi
ini, kenyataan bahasa sebagai salah satu unsur bagian dari budaya perlu
digarisbawahi.
Di samping sebagai bagian, bahasa juga merupakan wahana budaya. Sebagai wahana
budaya, bahasa akan merekam semua aktivitas masyarakatnya. Bahasa adalah cermin

budaya. Maka, bahasa pun tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur budaya lain di
masyarakat itu.1) Itulah sebabnya, jika ingin mengetahui unsur-unsur budaya suatu
masyarakat secara keseluruhan, orang harus mempelajari bahasa masyarakat yang
bersangkutan sebagai konteksnya. Ingat, "bahasa menunjukkan bangsa". Dalam hal ini,
menarik diungkap di sini keyakinan J.H. Greenberg (Samsuri, 1986) bahwa: "Language
may no longer be conceived rather be viewed as part of the whole and functionally
related to it."
Telaah Interdisipliner: Metode dan Rumusan Masalah
Telaah ini menerapkan ancangan (approach) kualitatif etnografis. Dengan ancangan ini,
data yang diambil tergolong data lunak (soft data), berupa tuturan bahasa, dan bukan
angka-angka (Kirk dan Miller, 1986). Sumber data dalam telaah ini diambil dari latar
alami (natural setting), yakni tuturan alamiah keseharian. Instrumen yang dipakai
adalah kemampuan penelaah itu sendiri. Sebagai human instrument, manusia dapat
menghasilkan data berketerpercayaan cukup tinggi sebab hanya manusia sendirilah
yang sanggup memahami keseluruhan konteks dan perilaku kehidupannya. Dilihat dari
kemurniannya, telaah ini bersifat interdisipliner, antara Linguistik dan Studi Perempuan
(Women Study). Dengan ini, akan dipersoalkan perihal tersubordinasinya perempuan
oleh dominasi lelaki, keterpurukan nasib perempuan dalam bayangan cengkeraman
kekuasaan lelaki--sebagai cermin paling mencolok dari apa yang biasa disebut sebagai
ketimpangan gender, sebagai kaki tangan ideologi patriarki.2)
Bagaimana cara mencandra semua masalah di atas--inilah soal metodologisnya. Soalsoal sosial-politik, hukum, interaksi manusia, kekuasaan (termasuk kekuasaan lelaki
atas perempuan), lazimnya disoroti dengan pendekatan perilaku (behavioral approach).
Dengan pendekatan ini yang dicandra adalah perbuatan, tindakan, kekerasan, dst.
masyarakat. Untuk telaah ketimpangan gender pun, ini tidak keliru.3) Akan tetapi, jelas
sekali bahwa dengan begitu ketimpangan ini lebih banyak disoroti dari sisi perilaku
masyarakatnya saja, yang membentuk realitas sosiobehavioral, Padahal, survei
membuktikan bahwa ketimpangan gender juga dapat disorot dari segi kebahasaannya,
yang akan membentuk realitas simbolis. Dari segi kebahasaan, penyorotan akan
dilakukan dengan pendekatan verbal (verbal approach), yang sebenarnya sudah sering
diterapkan orang.4) Pendekatan verbal bisa membuktikan bahwa "lelaki menang,
perempuan kalah" dapat dilihat dari bahasanya.Dengan pendekatan verbal, data verbal
yang masuk akan dikaji dengan analisis isi (content analysis). Teknik ini akan dilengkapi
dengan domain analysis, terutama dalam menyusun kategorisasi data. Topik bincang
dalam tulisan ini adalah "Bagaimana saja wujud ketimpangan gender yang terungkap
dalam bahasa Indonesia?".
Wujud Ketimpangan Gender Masyarakat dalam Bahasa Indonesia
Ketimpangan gender dalam bahasa Indonesia terungkap dalam wujud: nama penanda
status keluarga/perkawinan, penyebutan keberadaan atau tindakan, keniscayaan
struktur, dan inisiatif pengucapan. Masing-masing akan dibahas dalam bagian berikut.

Pemakaian Nama Penanda Status Keluarga/Perkawinan


Sejak lahir dari guwagarba sang ibu, manusia sudah dikotak-kotakkan ke dalam
gender: "lelaki" dan "perempuan". Setiap anak harus tunduk pada orang-tuanya. Untuk
melanggengkan eksistensi keluarga, pada beberapa suku, etnis, dan kelompok sosial
lain, terdapat adat mencantumkan nama ayah--dan bukan nama ibu!--di belakang nama
anak. Atau, jika pada komunitasnya tidak mengenal adat itu, saat dewasa yang dipilih
sebagai nama tambahan adalah nama ayah dan bukan ibu. Misalnya seorang anak
lelaki bernama Bambang dan anak perempuan bernama Linda, berayahkan
Notosusanto dan beribukan Juminten. Jika Bambang dan Linda sudah dewasa, dan
ada keinginan untuk melanggengkan nama orang-tua, yang dipilih untuk ditambahkan
adalah Notosusanto dan bukan Juminten. Maka, terbentuklah nama Bambang
Notosusanto dan Linda Notosusanto. Rasanya betapa ganjilnya jika dipilih *Bambang
Juminten dan *Linda Juminten. Alih-alih dengan itu, seorang artis yang bernama Lisa A.
Riyanto, misalnya, hampir bisa dipastikan ia anak dari komponis A. Riyanto yang sudah
almarhum itu.
Setelah berumah tangga, nasib lelaki dan perempuan masih tetap tidak sama. Seorang
istrilah yang lazim menambahi namanya dengan nama suaminya, dan bukan
sebaliknya: suami menambahi namanya dengan nama istrinya--sungguh mustahil!
Maka, yang ada Tien Soeharto dan bukan *Soeharto Tien.
Penyebutan terhadap Keberadaan dan Tindakan
Nasib perempuan dan lelaki tidak sama, termasuk dalam hal menerima sebutan,
predikat, atau julukan untuk suatu tindakan atau keberadaan. Ketimpangan tersebut
dapat dipilah-pilah lagi ke dalam ketimpangan sebutan berikut.
Sebutan yang Maskulin dan Feminin
Beberapa kosakata sebutan klasik juga membelah manusia menjadi sebutan yang
bersifat feminin dan sebutan yang berbau maskulin. Untuk sebutan yang feminin kita
kenal, misalnya, "ibu kota, induk semang, nenek moyang, dewi malam ('bulan'), putri
malu (sejenis bunga), ibu pertiwi, dan ratu adil, dan bukan *bapak kota, *jago semang,
*kakek moyang, *dewa malam, *putra malu, *bapak pertiwi, dan *raja adil". Dengan
memakai ibu, induk, nenek, dewi, putri, dan ratu, nuansa kesan yang memancar adalah
kedamaian, kepasifan, ketenangan, kesabaran. Agaknya sudah menjadi "kodrat",
bahwa kata-kata ini diciptakan khusus buat yang serba pasif, diam, dan damai.
Sebutan yang bercorak maskulin berkesan menguasai, agresif, garang. Dalam
khasanah kosakata BI klasik kita temukan misalnya raja hutan ('singa, macan'), raja
siang ('matahari'), dewa maut, dewa perang. Dalam kosakata BI kontemporer, untuk
sesuatu yang bersifat garang, pemberani, dan agresif itu, kita pakai raja jalanan ('suka
mengebut'), raja judi, raja copet, bapak pembangunan, bapak koperasi, bapak
pendidikan nasional, jago matematika, jago nggambar, dan jelas bukan *ratu judi, *ratu

copet, *ibu pembangunan, *ibu koperasi, *ibu pendidikan nasional, *babon matematika,
*babon nggambar.
Layak dipertanyakan kebenaran ini, memang. Siapa pun tahu, harimau atau singa yang
disebut raja hutan tadi belum tentu berjenis kelamin jantan, dan memang tidak harus
jantan; siapa pun sulit menolak realitas bahwa seorang siswa yang dipredikati jago
matematika belum tentu berkelamin lelaki. Pak Harto disebut-sebut sebagai "Bapak
Pembangunan", Bung Hatta "Bapak Koperasi", dan Ki Hajar Dewantara "Bapak
Pendidikan Nasional". Semua setuju. Masalahnya, andai saja--memang hanya andai-pelopor pembangunan itu Mbak Mega, perintis koperasi itu Mbak Tutut, dan tokoh
pendidikan itu Bu Toeti Heraty, apakah kita sportif menyebut ketiga beliau itu sebagai
"*Ibu Pembangunan", "*Ibu Koperasi", dan "*Ibu Pendidikan Nasional"? Saya tidak
berani berspekulasi. R.A. Kartini pun belum pernah disebut "Ibu Pendidikan" atau
sebutan lain yang tidak menuansakan bias gender lelaki.
Sebutan Pelecehan Martabat
Gejala penghalusan pengucapan sesuatu--biasa disebut eufemisme--kadang memang
menerbitkan kesan sopan, tenang, indah, anggun. Seseorang yang sedang makan
siang bersama, dan tiba-tiba perutnya mules, misalnya, ia toh tak mungkin mengatakan
"Maaf, saya mau berak" jika ia belum siap dituduh tidak sopan. Ia mesti menghaluskan
pengucapannya: "Maaf, saya mau ke belakang". Tentu saja, semua yang makan siang
itu benar-benar menyadari bahwa acuan berak dan ke belakang adalah kurang lebih
sama saja. Akan tetapi, konotasi yang muncul berbeda. Dalam konteks seperti ini
eufemisme menemukan tempatnya untuk diterapkan.p> Bagaimana eufemisme dalam
pemartabatan lelaki-perempuan dalam dunia "kerja"? Masih tepatkah digunakan? Tidak
semuanya. Kata pelacur, karena dipandang vulgar, norak, menjijikkan, harus
"dihaluskan", diganti dengan wanita tunasusila atau WTS--dan justru singkatannya
inilah yang lebih populer. Jadi, orang bisa menepuk dada, seakan di Indonesia tak ada
pelacur lagi, yang ada hanyalah wanita-wanita tuna susila saja. Perasaan menjadi lega.
Bahwa kebanggaan ini baru berada dalam tataran slogan, dan dalam realitasnya tetap
saja "emangnye gue pikirin", itu soal lain.
Sehubungan dengan kajian ini, jika kata WTS digencarkan dan pelacur dihapus,
apakah ini berarti bahwa yang nakal perempuan saja, sedangkan lelaki tak ada yang
tunasusila? Padahal, adalah fakta bahwa "pria penghibur", "bawon", "gigolo", "teko",
"bandot", memang ada. Inilah cermin paling buruk dari pelecehan gender yang
menempatkan perempuan pelacur pada posisi yang lebih terlecehkan, sekalipun lakon
yang dijalani sama persis dengan lelaki pelacur. Dengan demikian, layak sekali jika
perempuan Indonesia tersinggung.5) Ini diskriminasi perlakuan seksual.
Lalu, bagaimana? Jika istilah WTS tetap dipertahankan, harus ada kata khusus untuk
menunjuk pada lelaki pelacur. Jika boleh, saya akan mengusulkan istilah "pria
tunasusila" atau PTS untuk yang satu ini. Masalahnya, jika PTS dipilih, mahasiswa
perguruan tinggi "luar negeri" se-Indonesia akan memprotes keras. Dan, saya belum
siap diprotes. Maka, ganti lagi dengan yang lain, semisal "lelaki tunasusila" atau LTS.

Dengan ini pembagian kerja secara seksual benar-benar ada dan adil. Lain lagi jika
dipandang tidak usah ada tambahan istilah semacam LTS itu, WTS pun mesti dihapus,
dan diganti dengan kata baru lagi yang netral, yang mampu mewadahi baik WTS
maupun LTS. Atau, barangkali kembali ke pelacur lagi. Untuk ini, bagaimana kalau
saudara-saudara kita yang masih menderita itu kita sebut saja "manusia tunasusila"
(MTS). Masalahnya lagi, ini jelas memerahkan telinga saudara kita yang belajar,
mengajar, atau alumni madrasah tsanawiyah. Begini saja: orang tunasusila (OTS)?
Degradasi Konsep Martabat
Dengan degradasi, makna kata menjadi enteng, remeh, bahkan ujung-ujungnya bisa
melenceng dari konsep dasarnya. Degradasi terhadap perjuangan kerja perempuan,
misalnya, akan sering muncul di sekitar kita, yang memang merupakan masyarakat
patriarkis. Karena beban kondisi ini, saya sering melihat kekikukan ibu pekerja ("wanita
karier", WK) berpenghasilan tinggi, bahkan sebagian dari mereka melebihi gaji
suaminya, manakala saya tanyakan berapa gajinya. Mengherankan, gaji tinggi melebihi
suami kok malu. Apa salahnya? Perhatikan kutipan wawancara berikut!
Saya: Wah gajinya besar dong. Cepet kaya, Bu, nanti.
WK

: Ah, nggak juga. Itu kan menurut situ.

Saya: Gaji segitu besar lho, Bu. Ini kan di atas gaji suami.
Hebat.
WK : Ah, saya kan cuma istri. Jadi, hanya sekadar membantu suami
saja.

Pernyataan "cuma istri, hanya sekadar membantu suami" merupakan pantulan dari
rasa kikuk mereka. Pernyataan ini melemahkan realitas yang sesungguhnya: bahwa
mereka benar-benar menolong suami dari banting tulang mencukupi kebutuhan, jadi
tidak sekadar melengkapi, tetapi benar-benar menyelamatkan ketahanan ekonomi
keluarga, sebagai survival strategy. Mereka malu mengakui. Toh mereka merasa
hanyalah figuran pendamping belaka, semantara suami tercinta adalah aktor utama
kepala keluarga. Padahal, mereka banar-benar bekerja! Itu memang hak dan buah
kegigihan mereka.
Kebanyakan dari mereka mengidap semacam "sindrom takut sukses" (fear of success
syndrom), khawatir menyaingi dan menyinggung suami. Aneh, tapi bukti berbicara
bahwa tidak sedikit suami merasa terusik cengkeraman hegemoninya menerima
kenyataan ini. Adalah bukti juga bahwa biarpun bergaji lebih kecil, jadi memang hanya
sekadar membantu--dalam arti yang sesungguhnya--seorang suami memilih berkelahi

ketimbang harus mengakui: "*Ah, saya ini 'kan cuma sekadar membantu penghasilan
istri?"
Sebutan Pembatasan Berkebebasan
Jika orang percaya bahwa lelaki dan perempuan diciptakan sama-sama dari tanah,
sama hak dan kewajibannya sebagai hamba Tuhan, semestinya tak ada lagi
pemasungan gender satu dan pemerdekaan gender lain. Dengan standar ganda ini,
perempuan dipaksa oleh kulturnya untuk selalu diam, patuh, mengalah, sebab ramai,
melawan, dan sifat agresif lainnya hanya boleh dilakukan oleh sesamanya yang
bergender lelaki. Berikut ini cuplikan obrolan ibu dengan anak perempuannya (AP) yang
hendak menuntut Pak Lurahnya yang telah memotong kiriman duit dari suami di
perantauan (Malaysia) perempuan itu, perhatikan!
Ibu: Kamu nggak bisa begitu. Bagaimanapun dia itu wong dhuwur lho. Lurah kok
mau dilawan.
Kita ini orang kecil, Nduk. Lagipula, kita itu kan perempuan to.
Dipikir ..., Nduk!
AP : Mbok, tapi ini kan duit laki saya. Jadi ya termasuk duitku juga. Aku kan
bininya.
Di Malaysia dia kan kerja
tok. Siang

keras. Apa dikira di sana dia cuma kluyuran

malam dia kerja keras kayak kuda. Ee ... kok di sini dipotong orang
seenaknya.
Emangnya duit kakeknya!
Ibu: Kamu itu dinasihati kok sukanya ngeyel. Nduk, ingat kamu itu perempuan
lho. Cuma
perempuan. Nggak ada ceritanya, perempuan bisa menang. Perempuan saja kok

macem

-macem. Mbok tunggu saja nanti kalau lakimu sudang pulang. Biar dia yang
ngurus.
Ini urusan lelaki. Sementara diam dan nerimo saja.

Dalam fragmen wacana di muka dipertentangkan soal apa yang pantas dan apa yang
tabu dilakukan oleh perempuan. Soal gugat-menggugat--menggugat pak lurah lagi-bukan kawasan garapan perempuan. Ini urusan lelaki. Dalam kasus ini AP dan Ibu tidak
hanya menderita karena mereka wong cilik (rakyat jelata), tetapi juga karena gender
mereka yang bukan lelaki. Maka, sempurna sudah kekalahan mereka. Masyarakat luas
menerima pandangan ini sebagai kebenaran. Maka, lelaki di sekitarnya akan
memandang AP sebagai perempuan aneh, bahkan tak tahu diri. Malahan, ibunya
sebagai sesama perempuan pun tidak berpihak kepadanya. "Perempuan saja kok
macem-macem," katanya. Inilah dampak nyata hegemoni ideologi patriarki.

Tentu saja, Ibu ini tak salah. Dia memang hidup dalam penjara budaya masyarakat
yang patriarkis, yang secara tegas menempatkan perempuan sebagai perawat sektor
domestik, sedang lelaki sebagai penguasa sektor publik (Budiman, 1981), dengan
imbangan penghargaan yang tak sama. Inilah produk paling diskriminatif dari
pembagian kerja secara seksual (sexual division of labour) (Beneria, 1979: 205).
Ungkapan bahwa soal menggugat pak lurah, ini urusan lelaki, dalam wacana di atas,
merupakan fakta yang tak terbantahkan dalam pembagian yang tak adil ini.
Sebagai bandingan, perhatikan dialog rekayasa berikut. Pada masyarakat yang
kebudayaannya berada dalam cengkeraman hegemoni lelaki, seperti lingkungan kita
ini, mungkinkah dialog antarlelaki berikut dapat kita temui?
*Gede: Sudahlah kita mengalah saja. Apa sih jeleknya orang ngalah. Ingat kita
ini kan lelaki. Masak mau menuntut pak lurah. Kan nggak pantas.
*Bejo: Iya ya, ... kita 'kan lelaki. Lelaki saja kok macam-macam.

Pembagian kerja secara seksual juga menempatkan citra (image) apa yang selayaknya
pantas muncul dan apa yang haram nongol dalam wacana, percakapan, atau peristiwa
tutur lainnya. Realitas citra ini begitu kuatnya sehingga melembaga ke dalam berbagai
matra kehidupan, salah satunya dalam dunia pendidikan, khususnya dalam buku-buku
bacaan. Di sini masyarakat membangun stereotipe apa yang pantas untuk lelaki dan
apa yang boleh dilakukan oleh perempuan. Oleh karena itu, yang paling sering kita
baca dalam buku adalah contoh-contoh kalimat berikut.6)

Ayah memperbaiki mesin mobil.

Ibu menjahit baju.

Ibu memasak di dapur.

Adikku yang manis menimang boneka.

Aku bermain layang-layang.

Gelegar sadar kemitrasejajaran membahana membubung tinggi saat ini. Semua pihak
menyadari bahwa pembagian kerja secara seksual itu tidak adil dan hanya membuang
sia-sia energi perempuan yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi pembangunan.
Akan tetapi, tindakan dalam wilayah semantis kultural misalnya bahasa yang
mendukung perobohan tembok ketimpangan gender itu belum muncul juga. Malahan,
kalau boleh menduga, pembakuan bahasa Indonesia lewat penerbitan buku Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) pada 1988 (edisi II 1993), entah sadar entah
tidak, boleh jadi justru merupakan upaya melanggengkan kemapanan status quo
hegemoni patriarki di masyarakat kita. Kalimat-kalimat yang dicontohkan, misalnya,
tampak benar tidak bebas muatan politik gender maskulin. Perhatikan kutipan dari
TBBBI berikut.

1. Ayah sudah berangkat ke kantor. (hal. 427)


2. Siti masih sering pulang malam, atau malah pagi buta. (438)
3. Ibunya terus menjahit sampai tengah malam sungguhpun dia telah merasakan
adanya kelainan dalam dadanya. (460)
4. Ibu sedang memasak, sedangkan ayah sedang membaca koran. (463)
5. Suami Lastri baru pulang dari Amsterdam. (473)
6. Dokter H. Kamaruzzaman (52 tahun), Direktur RSU Dr. Zainal Abidin, Banda
Aceh, Jumat malam meninggal secara mendadak. (477)
7. Aku suka kepada wanita itu sebagai sekretaris, dan dia sangat menyenangkan
sebagai kawan, tetapi jelas akan menyusahkan sekali sebagai kawan hidup.
(478)
Contoh-contoh ini diambil secara acak dari dua bab terakhir, yang memang membahas
kalimat dan wacana. Akan tetapi, jika bab-bab lain ditelaah, hasilnya sama saja. Kalau
dicermati, tampak benar bahwa kalimat-kalimat ini memang bias gender: memihak
lelaki, menohok perempuan. Pada kalimat (1), apakah yang bekerja di kantor hanya
dimonopoli ayah? Kalimat (2) pembaca pasti menarik kesan negatif pada Siti yang pasti
perempuan itu. Coba diandaikan, jika Siti diganti Suto (ini pasti lelaki) apakah yang
muncul tetap kesan minor? Mengapa hanya lelaki yang pantas begitu? Kalimat (1), (5),
(6), dan (7) mengukuhkan lelaki melenggang di sektor publik (public sphere),
sedangkan pada kalimat (2), (3), dan (4) perempuan dipaksa berkutat di kesumpekan
kawasan domestik (domestic sphere).
Bahwa contoh-contoh kalimat itu ditulis hanya secara kebetulan, itu mungkin saja. Akan
tetapi, semua penulis TBBBI adalah masyarakat Indonesia, hidup bergumul dengan
masyarakat yang mendominankan nilai lelaki dan mensubordinasikan nilai perempuan.
Jadi, jika mereka terperangkap dalam budaya patriarki seperti itu, ini bukan barang
aneh. Apalagi--harap tahu saja--92% dari tim penyusunnya lelaki tulen, hanya seorang
yang perempuan.7) Sebutan Negatif, Sebutan Positif Berdasarkan kategori ini, kesan
remeh, sepele, kecil, yang hanya mengganggu saja, pantas dikenakan pada
perempuan. Sementara, mitos soal-soal besar, penting, yang menentukan segalanya,
hanya layak untuk lelaki. Padahal, dalam kenyataan lelaki pun sama saja, bahkan
mungkin lebih negatif, dari perempuan. Begitulah, karena yang distereotipekan cerewet
adalah perempuan, muncullah ungkapan "dasar mulut nenek-nenek" atau "dasar mulut
perempuan", dan bukan "*dasar mulut kakek-kakek" atau "*dasar mulut lelaki". Padahal,
menurut pengamatan D. Spender (1980), lelakilah yang mendominasi pembicaraan,
melontarkan interupsi, sementara perempuan dicatat lebih banyak bertanya
menanggapi lelaki.

Kenyataan yang menguntungkan diterima oleh kaum lelaki. Jika ungkapan mulut
perempuan, dasar betina, misalnya, menempati kesan buruk, tidak demikian halnya
dengan bersikap jantan. Bahkan, meskipun dasar laki-laki sebenarnya juga minor,
posisinya terkesan lebih "mahal" di atas dasar betina, misalnya. Sebutan Penstandaran
Gender Adalah realitas kehidupan bahwa di dunia ini selalu ada sesuatu yang berada
dalam garis kontinum. Kontinum standar "besar", misalnya mencakup dari sangat
besar, agak besar, agak kecil, sampai sangat kecil; demikian juga "berat", "tinggi", dan
"banyak", dll. Dalam kontinum tersebut, lazimnya yang dipakai sebagai ukuran (standar)
adalah posisi yang mayor (berat, tinggi, besar, banyak, tebal) dan bukan yang minor
(ringan, rendah, kecil, sedikit, tipis). Oleh karena itu, dalam percakapan tentang berat
badan dan tebal papan, misalnya, kalimat yang mungkin muncul adalah "Berapa berat
badanmu?" dan "Tebal papan kayu ini 0,15cm", dan pasti bukan "*Berapa ringan
badanmu?" dan "Tipis papan kayu ini 0,15cm." (biarpun 0,15cm itu memang tergolong
relatif tipis). Mengapa demikian? Ya, memang begitu: bahwa yang ditetapkan sebagai
standar pasti yang mayor, bukan yang minor!
Bagaimana dalam ranah pergenderan? Ini baru masalah! Seperti diketahui, hakikatnya,
hanya ada dua kontras gender: lelaki >< perempuan, feminin >< maskulin, jantan ><
betina. Oleh karena itu, tidak bisa konsep dasar dikotomi gender ini ditempatkan pada
garis kontinum; hakikatnya, memang tidak ada "*sangat lelaki", "*agak perempuan",
"*lebih betina", misalnya. Akan tetapi, lain konsep, lain fakta. Dalam realitas empiris,
kelompok gender lelaki/maskulin selalu dijadikan ukuran, rujukan, bandingan, standar.
Maka, untuk memandang gender perempuan/feminin pun, standar bakunya juga
kebakuan lelaki/maskulin.
Barisan lelaki dianggap superior, tegar, dan rasional, sedangkan perempuan selalu
ditempatkan pada stereotipe emosional, sentimentil, cengeng, malu-malu. Barangkali,
inilah sebabnya mengapa yang ada adalah "putri malu" dan bukan "*putra malu". Oleh
karena itu, jika seorang perempuan terlihat malu-malu, itu sudah semestinya, sudah
"kodrat".8) Maka, yang pantas menduduki posisi kepala keluarga adalah ayah dan
bukan ibu.
Sebagai standar, segala perilaku lelaki yang distereotipekan masyarakat harus diikuti,
jika ingin disebut jantan atau lelaki sejati. Seorang lelaki harus bersikap laki-laki. Lelaki
yang terkesan klemar-klemer, lamban, pasif, kewanita-wanitaan akan dipandang
negatif: "Lelaki kok begitu". Sebaliknya, seorang perempuan yang "tomboy", yang
kelaki-lakian--asal tidak terlampau jauh saja, asal masih mau dandan dan berparfum-menerima nasib yang berbeda, yang tidak negatif. Maka, kesan apa yang muncul
mendengar/membaca kalimat-kalimat berikut?
8. Doni mengenakan rok mini.
9. Dina memakai celana.
10. Cowok atletis itu malu-malu, grogi, keluar keringat dinginnya.
11. Cewek seksi itu tampil yakin dan penuh percaya diri.

Lelaki pakai rok? "Ah, yang bener aja!" Bisa-bisa yang bersangkutan dianggap miring.
Umumnya orang, entah lelaki entah perempuan, akan berkonotasi negatif terhadap
kalimat (8) dan (10). Sebab, "rok mini, malu-malu, grogi" bukan standar. Itu 'kan khas
perempuan. Jangan lupa, yang berbau perempuan itu nonstandar. Bukankah
standarnya selalu "celana, yakin, PD", sebagai akibat dari penetapan gender lelaki
sebagai standar? Sebaliknya, terhadap Dina dan cewek seksi itu pada kalimat (9) dan
(11), orang akan mempersembahkan konotasi positif, sebab ciri-ciri yang disosokkan
kedua perempuan itu sudah maskulin, artinya sudah standar.
Inilah biang kerok persoalan realitas simbolis bahasa: bahwa jika disebut mahasiswa,
yang dimaksud adalah baik mahasiswa lelaki maupun mahasiswa perempuan, tetapi
jika yang disebut mahasiswi, yang dimaksud pastilah hanya mahasiswa perempuan.
Maka, orang pun latah, dan khawatir: jika hanya disebut "wartawan", "sastrawan",
"polisi" saja, apakah orang sudah paham pasti; ini harus ditegaskan lagi, jika yang
dimaksud adalah oknum perempuan, sehingga menjadi wanita wartawan , sastrawan
wanita, dan polisi wanita (polwan). Realitas simbolis ini memantulkan anggapan diamdiam bahwa jurnalistik, sastra, dan kepolisian itu seakan-akan sektor garapan lelaki,
bukan kodratnya perempuan. Dalam kebudayaan Barat, bahkan lebih gila lagi; ini
tercermin dalam bahasanya juga.9)
Lelaki memang menjadi standar. Dalam bahasa Inggris, misalnya, untuk menyebut
manusia pada umumnya, orang meminjam kata man, dan bukan woman. Artinya, kalau
disebut man, yang dimaksud adalah 'baik lelaki maupun perempuan', akan tetapi jika
disebut woman, yang diacu pastilah 'hanya perempuan'. Sebab, sekali lagi, lelaki itu
standar, sedang perempuan substandar, "belum manusia utuh". Maka, layak saja,
ketika D. Spender bermaksud menggambarkan bahwa manusialah pencipta bahasa,
sebenarnyalah tersirat juga anggapan bahwa yang lebih banyak menentukan adalah
lelaki. Denggan kondisi ini, Spender mesti meminjam dulu kata man, dan bukan
woman, untuk konsep manusia. Maka, ia menjuduli bukunya Man Made Language
(1980), dan bukan *Woman Made Language.10)
Keniscayaan Struktur akibat Konvensi Kebudayaan Masyarakat
Dalam kebudayaan kita, ada kesepakatan legal membudaya bahwa yang bisa
"mengawini" dan "menceraikan" adalah lelaki, sedangkan perempuan, sabar atau tidak,
hanya bisa "dikawin" dan "diceraikan" saja. Dalam keadaan terpaksa, pihak perempuan
yang merasa sudah tidak percaya lagi pada lelaki, akan bertindak aktif dan menuntut.
Biarpun begitu, tetap saja, dia hanya bisa "minta dikawin" dan "minta diceraikan".
Undang-undang perkawinan (katanya sih) begitu. Maka, langsung bisa ditebak siapa
yang diacu "saya", "aku", "kamu", dan "dia" dalam kalimat-kalimat berikut.
1. Saya mau mengawinimu asal kamu tidak menuntut macam-macam.
2. Seandainya sekadar boros dan cerewet saja, aku masih bisa menerima. Tapi,
masalahnya dia itu selingkuh. Maka, tak ada pilihan lain, aku akan
menceraikannya, meskipun sebenarnya aku masih cinta.

Bagaimana seandainya pihak perempuan yang lebih kaya, berkuasa, berkedudukan,


lebih tinggi statusnya daripada lelaki? Selama jarum sejarah budaya masyarakat masih
berputar pada lingkaran ideologi patriarki, obsesi perempuan untuk dapat mengawini
dan menceraikan lelaki benar-benar bagai menunggu tenggelamnya perahu gabus atau
terapungnya batu. Sungguh utopis!
Dalam tuntutan struktur bahasa, sepanjang ada fungsi gramatikal subjek (S), predikat
(P), kemudian juga objek (O) dan keterangan (K), dengan pola urutan ketat P-O dengan
letak S dan K manasuka, kalimat "*Leli mengawini Joko" atau "*Joko dicerai Leli", apa
salahnya. Tetapi, soal bahasa bukan hanya struktur, melainkan juga realitas kultur.
Dalam kultur masyarakat kita, seorang perempuan dapat "kawin dengan", "minta cerai
dari", "bercerai dari", dan "diceraikan oleh", tetapi tidak dapat "mengawini" atau
"menceraikan" lelaki (Moeliono & Dardjowidjojo, 1988; Alwi dkk., 1993). Maka, kalimat
semacam "Joko mengawini Leli" atau "Leli diceraikan Joko" berada dalam keniscayaan
struktur. Kepastian struktur ini mengukuhkan dirinya karena kultur, bukan karena
struktur.
Inisiatif Ekspresi dalam Komunikasi
Entah sampai kapan, kebiasaan yang dianggap wajar dan baik adalah lelakilah
pengambil inisiatif pertama, sedang perempuan hanya pantas menunggu dan
merespon inisiatif sang lelaki pujaan. Tugas masing-masing terbelah tegas: lelaki
beraksi, perempuan bereaksi. Oleh karena itu, dalam dunia komunikasi (pergaulan,
perpacaranan, perkencanan), misalnya, yang sering terjadi adalah lelaki yang
mengungkapkan cinta lebih dulu, lelakilah yang mengirimi surat cinta lebih dulu. Ini
menunjukkan bahwa inisiatif ekspresi atau prakarsa pengucapan berada di tangan
lelaki. Mustahilkah perempuan menyatakan perasaan cintanya terlebih dahulu? Tidak
juga. Memang terjadi dan tidak hanya satu dua. Tetapi, jelas bahwa yang oleh
masyarakat dianggap wajar dan pantas memulai, memprakarsai, dan berinisiatif adalah
pihak lelaki. Bahwa setelah mereka resmi pacaran, atau resmi nikah, perempuan
mendahului "menyergap" itu soal lain. Perempuan yang "kebelet" nekat terus terang
menyatakan perasaannya terlebih dahulu ("Aku cinta kamu") harus siap disoroti dengan
nada minor: Perempuan kok begitu! Tetapi, makhluk Tuhan yang satu ini tak kehabisan
taktik. Dia menyiumpan sebuah rekayasa simbolis: tetap lebih dahulu menyatakan
perasaannya, tetapi tidak transparan, "tidak langsung buka kulit, tampak isi". Biasanya,
ia akan menyelubungi gejolak perasaan yang diekspresikan dengan kata-kata samar,
dibantu dengan sikap sedikit malu-malu, isyarat dan perhatian, dan pilihan konteks
situasi yang tepat. Repotnya kalau sang lelaki tidak segera menangkap isyarat itu,
entah karena memang lelaki ini tergolong tidak mengerti, bebal, goblog, atau mungkin
sebenarnya mengerti, tetapi pura-pura tidak tahu: sungguh celaka!
Inisiatif ekspresi semacam ini merupakan sebuah konvensi budaya. Maka, pembaca
atau pendengar mana pun segera dapat menarik implikasi konvensionalnya (Samsuri,
1996): siapa yang dirujuk oleh kata aku (ku) dan dia (ia) dalam kutipan berikut. Aku
sangat mencintainya. Jika nanti sudah menjadi milikku, akan kusayangi dia. Akan
kucium keningnya. Kubelai rambutnya dan kuremas jarinya yang lentik itu. Tetapi, aku

ragu, apa dia mau. Meskipun tidak disebut eksplisit siapa "aku" dan "dia" dalam kutipan
ini, orang tidak akan salah menangkap siapa "aku" dan "dia" tersebut: "aku" pasti lelaki
dan "dia" niscaya perempuan, lain tidak. Mengapa? Ya itu tadi, budaya masyarakat
telah memagari simbol dan mempedomani interpretasi terhadap simbol-simbol bahasa
itu.
Simpulan: Mau ke mana Bahasa Indonesia?
Ketimpangan gender masyarakat Indonesia tercermin ke dalam BI berwujud:
(1) penambahan nama sebagai penanda status
(2) penyebutan keberadaan dan

tindakan,

keluarga/perkawinan;
meliputi:

(a) sebutan kemaskulinan dan kefemininan,


(b) sebutan

pelecehan martabat,

(c) sebutan degradasi konsep dasar martabat,


(d) sebutan pembatasan berkebebasan,
(e) sebutan kenegatifan dan kepositifan, dan
(f) sebutan penstandaran

gender;

(3) keniscayaan struktur akibat konvensi kebudayaan, dan


(4) inisiatif ekspresi dalam komunikasi.

Quo vadis ketimpangan gender ini? Dari keempat deskripsi ketimpangan gender dalam
BI ini, tampaknya yang mungkin bisa berubah adalah penambahan nama penanda
status, sebagian penyebutan keberadaan dan tindakan, dan inisiatif ekspresi.
Perubahan ini akan terjadi sejalan dengan perubahan masyarakat berikut nilai,
pandangan hidupnya, khususnya terhadap eksistensi gender. Ada gejala sebagian
perempuan karier tidak lagi menambahi namanya dengan nama ayah atau suaminya.
Sebutan pelecehan martabat gender, semacam WTS, bisa jadi akan tergeser sejalan
dengan kesadaran perempuan bahwa yang bisa bertuna susila bukan hanya monopoli
perempuan. Apalagi inisiatif ekspresi, sekarang rasanya bukan aneh jika perempuan
lebih dulu menyatakan cintanya. Sekalipun yang terakhir ini lebih merupakan kasus
parsial sporadis belaka, bisa diprediksikan pada masa-masa mendatang fakta ini akan
berkembang, sejalan dengan semakin samar dan relatifnya nilai moral masyarakat,
terutama dalam menyikapi gender, dalam arus globalisasi budaya yang kian "nyahnyoh" (permisive) ini.
Konvensi budaya menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mendudukkan
lelaki di atas segala-galanya. Dengan begini, konvensi masyarakat memposisikan lelaki
sebagai standar mutu, baik dalam memandang lelaki maupun perempuan. Konvensi ini
juga telah menarik garis tegas stereotipe lelaki dan stereotipe perempuan dengan hasil

yang sudah jelas sama-sama kita sadari: ketimpangan gender. Dalam posisi yang serba
timpang ini, lelaki mendominasi, sedang perempuan tersubordinasi, ke dalam peranperan yang dikontrol oleh cengekeraman hegemoni lelaki.
Karena bahasa mewadahi realitas masyarakat yang timpang seperti itu, bahasa
Indonesia berada dalam genggaman lelaki. Dengan demikian, bahasa ini mungkin
bergender lelaki. Sampai kapankah bahasa kita berkelamin lelaki? Sampai kapankah
dendang lagu "... wanita dijajah pria ... sejak dulu" terus kita nikmati? Kita tak mungkin
menjawabnya "Belum tahu dia!" sebab persoalan ini menyangkut semua segi
kehidupan masyarakat, tempat BI digunakan dan peluang BI mewahanai kehidupan itu.
Catatan
1. Dengan begini, pada sisi satu bahasa merupakan bagian budaya, sedangkan
pada sisi lain ia menjadi wahana, wadah, dan alat budaya. Keunikan ini
membuktikan bahwa bahasa itu "bermuka dua". Periksa: Samsuri, ".
Kebudayaan, masyarakat, dan bahasa Indonesia. Buletin Yaperna, Berita Ilmuilmu Sosial dan Kebudayaan, 1975: 14--23; juga dalam "Kebudayaan dan
Bahasa Indonesia", Kertas Kerja Seminar Bulan Bahasa di FPBS IKIP Malang,
28 Oktober 1986.
2. Ideologi patriarki memandang bahwa wanita itu inferior, lemah, bodoh, tak
berdaya, dan hanya bisa bergantung pada lelaki, maka demi kelangsungannya
mereka harus "dibimbing" (baca: dikuasai!) terus-menerus oleh lelaki yang
dianggap lebih superior, kuat, pintar. Lihat Arief Budiman, Pembagian Kerja
Secara Seksual (Jakarta: PT Gramedia, 1981). Konsep ini dekat dengan
seksisme, ketimpangan gender, dominasi lelaki, subordinasi perempuan,
supremasi kekuasaan lelaki, dan hegemoni pria.
3. Banyak sekali kajian yang menerapkan pendekatan perilaku, sekadar contoh:
Mies Grijns dkk., "Gender, Marginalisation and Rural Industry", Warta Studi
Perempuan, Vol. No. , 1994; Muh. Asfar, "Wanita dan Politik: antara Karir Pribadi
dan Jabatan Suami", Prisma XXV/5, Mei 1996.
4. Dengan pendekatan verbal, ketimpangan gender dalam bahasa Inggris dikaji
oleh Victoria Fromkin dan Robert Rodman, An Introduction to Language, Edisi V,
Cet. V (Fort Worth: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1993), khususnya bab
"Language in Society", subbab 'Language and Sexim' (hal. 306--312); tinjauan
sekilas terhadap ketimpangan gender dalam bahasa Inggris dan Indonesia, lih.
Siusana Kweldju, "Penelitian Seksisme Bahasa dalam Kerangka Penelitian
Stereotipi Seks", Warta Studi Perempuan, Vol. 4, No. 1, hal. 7--18, 32; juga
Kweldju (1991).
5. Inilah salah satu tajuk bincang Samsuri dalam orasi ilmiahnya pada Rapat Senat
Terbuka Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dalam rangka dies natalisnya

yang ke-38, 24 Agustus 1996, dimuat dalam jurnal FSU in the Limelight, Vol. 5,
No. 1, Oktober 1996, hal. 1--14.
6. Dalam hal ini saya (dkk.) pernah mengadakan penelitian tentang ini berjudul
"Ideologi Gender-Patriarki dalam Buku Teks Bahasa Indonesia Sekolah Dasar"
(Divisi Pemberdayaan Perempuan, LPK2I, 1994). Temuan penelitian itu adalah
bahwa 74% dari semua buku teks pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD, terbitan
dari 17 penerbit penerbit di Jawa Timur dan jawa Tengah, selalu menempatkan
pelaku lelaki (bapak, abang, aku) pada sektor atau tindakan yang secara
stereotipis layak dilakukan oleh maskulin (memperbaiki mesin, bermain layanglayang), sebaliknya selalu memposisikan perempuan terpuruk dan berkutut
dalam sektor dan tindakan yang stereotpe feminin (memasak, bermain boneka).
7) TBBBI edisi I (1988), dari 11 penyusun, hanya 1 orang saja yang perempuan
(W.H.C.M. Lalamentik, Ph.D.). TBBBI edisi II (1993), dari 14 pakar bahasa yang
memberikan saran penyempurnaan, hanya 2 orang yang perempuan. Inilah
sumber kecurigaan bahwa gender lelaki mendominasi perempuan dan itu
membayangi contoh-contoh kalimat pada buku itu.
7. Bagi pejuang Feminisme Liberal dan Feminisme Radikal, hanya ada tiga hal
yang bisa dikategorikan ke dalam "kodrat wanita", yaitu menstruasi, melahirkan,
dan menyusui--sesuatu yang memang hanya bisa "dilakukan" oleh perempuan.
Lih. S. Harding, The Science Question in Feminism (Ithaca, New York: Cornell
University Press, 1986). Dalam pandangan kelompok ini, mengasuh anak,
memasak, merawat rumah bukan monopoli perempuan, merupakan peran-peran
yang bisa berubah sesuai dengan budaya masyarakat (nurture), dan bukan
kodrat (nature) perempuan, sebab lelaki juga (harus) bisa.
8. Sebagai contoh, berikut ini dikutipkan beberapa saja. The American College
Dictionary (1947) mendefenisikan bahwa "doctor, n, ... a man of great learning".
Graduate School of Management UCLA (The Balloon XXII, 6) menulis: "A
businessman is agressive; a businesswoman is pushy .... A businessman is good
on details; she's picky ... He follows through; she doesn't know when to quit ... He
stands firm; she's hard .... He is a man of the world; she's been around .... He
isn't afraid to say what is on his mind; she's mouthy .... He exercises authority
diligenttly; she's power mad .... He's closemouthed; she's secretive. He climbed
the ladder of success; she slept her way to the top. Bahkan, lebih tegas lagi,
Fromkin dan Rodman, Opcid., hal 307, mengutip: "When I asked 'What walks on
four legs in the morning, two at noon, and three in the evening', you answerd,
'Man'. You didn't say anything about women. When you say Man, ... you include
women too. Everyone knows that." Lihat juga konsep gender dalam Crystal
(1985: 133-134).
9. Lih. D. Spender, Man Made Language (London: Routledge & Kegan Paul, 1980).
Daftar Pustaka

Bhasin, K. 1990. What is Patriarchy. New Delhi: Kali for Women.


Budiman, A. 1981. Pembagian Kerja secara Seksual. Jakarta: PT Gramedia.
Coates, J. 1986. Women, Men and Language: A Sociolinguistic Account of Sex
Differences in Language. London: Longman.
Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya. 1997. Masalah dominasi gender dalam
Developmentalisme. Tempo Interaktif, II/16, 23 Juni.
Frank, F. dan F. Ashen. 1983. Language and the Sexes. New York: State University of
New York Press.
Jupriono, D. 1995. Kamus Kecil Istilah Studi Perempuan. Malang: Divisi Pemberdayaan
Perempuan, LP3K Multimatra.
Kirk, J. dan M.L. Miller. 1986. Reliability and Validity in Qualitative Research. Beverly
Hills: Sage Publication.
Kweldju, S. 1993. Penelitian seksisme bahasa dalam kerangka penelitian stereotipi
seks. Warta Studi Perempuan 4/1: 7--18.
Samsuri. 1996. Bahasa Indonesia, pemakaiannya, dan implikasi kemasyarakatannya.
FSU in the Limelight, V/1, Oktober 1996, hal. 1--14.
Spender, D. 1985. Man Made Language. London: Routledge & K. Paul.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sukesi, K. 1991. Seksisme. Warta Studi Perempuan Vol 2, No. 1: 40 Wullur, V. 1991.
Beberapa catatan tentang Feminisme. Warta Studi Perempuan Vol 2, No. 1: 35--39.

Anda mungkin juga menyukai