Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan
refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan
sosialnya. Fenomena kehidupan itu beraneka ragam baik yang mengandung aspek
sosial, budaya, politik, ekonomi, kemanusiaan, keagamaan, moral, maupun jender.
Dengan daya imajinatifnya, berbagai realitas kehidupan yang dihadapi sastrawan
itu diseleksi, direnungkan, dikaji, diolah, kemudian diungkapkan dalam karya
sastra yang lazim bermediumkan bahasa.
Sebagai sebuah karya seni yang lazim memanfaatkan bahasa sebagai
mediumnya maka bahasa sastra memiliki peran sentral. Bahasa sastra menjadi
media utama untuk mengekspresikan berbagai gagasan sastrawan. Dengan
demikian bahasa sastra sekaligus menjadi alat bagi sastrawan sebagai
komunikator untuk menyampaikan gagasan-gagasan kepada pembaca sebagai
komunikan atau apresiatornya.
Untuk menyampaikan berbagai gagasan kepada pembaca itulah bahasa
sastra diberdayakan dan dieksploitasi oleh sastrawan sedemikian rupa. Melalui
berbagai cara segenap potensi bahasa diusahakan oleh sastrawan agar asosiatif,
ekspresif, dan indah sehingga menarik dan mengesankan pembaca. Dalam konteks
itulah style gaya bahasa memegang peran penting dalam karya sastra guna
menciptakan efek makna tertentu dalam rangka mencapai efek estetik.
A. Bahasa Karya Sastra
Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang
fungsi estetiknya dominan. Sebagai media ekspresi karya sastra, bahasa sastra
dimanfaatkan oleh sastrawan guna menciptakan efek makna tertentu guna
mencapai efek estetik. Bahasa sastra sebasgai media ekspresi sastrawan
dipergunakan untuk memperoleh nilai seni karya sastra, dalam hal ini
berhubungan dengan style gaya bahasa sebagai sarana sastra. Dengan demikian,

plastis bahasa menjadi kebutuhan dalam bahasa sastra agar memiliki fungsi estetik
yang dominan.
Untuk memperoleh efektivitas pengungkapan, bahasa dalam sastra
disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan didayagunakan secermat mungkin
sehingga tampil dengan bentuk yang plastis yang berbeda dengan bahasa
nonsastra. Itu sebabnya karya sastra di samping disebut dunia dalam imajinasi,
juga disebut dunia dalam kata. Dunia yang diciptakan, dibangun, ditawarkan dan
diabstraksikan dengan kata-kata, dengan bahasa. Apa pun yang akan dikatakan
pengarang atau diinterpretasikan oleh pembaca mau tak mau harus bersangkut
paut dengan bahasa. Struktur novel dan segala sesuatu yang dikomunikasikan,
demikian Fowler (1977: 3), selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa
pengarang.
Bahasa sastra berhubungan dengan fungsi semiotik bahasa sastra. Bahasa
merupakan sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics), sedangkan
sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua (second order semiotics)
(Abrams, 1981: 172). Bahasa memiliki arti berdasarkan konvensi bahasa, yang
oleh Riffaterre (1978: 2-3) arti bahasa disebut meaning (arti), sedangkan arti
bahasa sastra disebut significance (makna). Sebagai medium karya sastra, bahasa
sastra berkedudukan sebagai semiotik tingkat kedua dengan konvensi sastra.
Menurut Riffaterre (1978: 1-2) karya sastra merupakan ekspresi tidak langsung,
yakni menyatakan suatu hal dengan arti yang lain.
Menurut kaum Formalis Rusia, bahasa sastra adalah cara penuturan yang
bersifat tidak otomatis, tidak rutin, tidak biasa (Teeuw, 1984: 131). Penuturan
dalam sastra selalu diusahakan dengan cara baru, cara lain, cara yang belum
digunakan orang. Sastra mengutamakan keaslian pengucapan dan untuk
memperoleh cara itu maka pengarang kadang-kadang sampai pada penggunaan
berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan (language deviation). Unsur kebaruan
dan keaslian merupakan suatu hal yang menentukan nilai sebuah karya. Bagi
kaum Formalis, adanya penyimpangan dari sesuatu yang wajar itu merupakan
proses sastra yang mendasar.

Penyimpangan kebahasaan dalam sastra dilakukan pengarang tentu


dimaksudkan untuk memperoleh efek estetik, di samping ingin mengedepankan,
mengaktualkan (foregrounding) sesuatu yang dituturkan. Bahasa sastra dengan
demikian bersifat dinamis, terbuka terhadap kemungkinan adanya penyimpangan
dan pembaruan, namun juga tak mengabaikan aspek komunikatifnya. Karena,
pada hakikatnya penuturan sastra pun merupakan proses komunikasi.
B. Ciri Khas Bahasa Sastra
Sebagai sebuah media ekspresi sastrawan dalam mengemukakan gagasan
melalui karyanya, bahasa sastra memiliki beberapa ciri antara lain sebagai bahasa
emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya
bahasa ilmiah yang rasional dan denotatif. Namun tentang pencirian itu kiranya
masih perlu penjelasan (lihat Wellek & Warren, 1989: 22-23). Yang pasti,
penggunaan bahasa dalam karya sastra merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari dunia makna dan citraan serta suasana yang akan dituangkan oleh pengarang.
Penggunaan bahasa dalam karya sastra itu merupakan sasaran kajian Stilistika
(Aminuddin, 1995: 44; bdk. Satoto, 1995: 17). Dalam berbagai penyimpangan,
pembaruan dan keaslian dalam pengungkapan kebahasaan karya sastra itulah
Stilistika memiliki peran sentral.
Secara rinci, bahasa sastra memiliki sifat antara lain: emosional, konotatif,
bergaya (berjiwa), dan ketidaklangsungan ekspresi. Emosional, berarti bahasa
sastra mengandung ambiguitas yang luas yakni penuh homonim, manasuka atau
kategori-kategori tak rasional; bahasa sastra diresapi peristiwa-peristiwa sejarah,
kenangan dan asosiasi-asosiasi. Bahasa sastra konotatif, artinya bahasa sastra
mengandung banyak arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial (Wellek &
Warren, 1989: 22-25).
Sifat bahasa sastra yang lain dapat dilihat dari segi gaya bahasa. Gaya
bahasa merupakan bahasa yang digunakan secara khusus untuk menimbulkan efek
tertentu, khususnya efek estetis (Pradopo, 1997: 40). Keraf (1991: 113)
menegaskan, bahwa gaya bahasa disusun untuk mengungkapkan pikiran secara
khas yang memperlihatkan perasaan jiwa dan kepribadian penulis. Gaya bahasa

itu adalah cara yang khas dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri pribadi
(Hartoko dan Rahmanto, 1986: 137).
Dapat ditambahkan bahwa bahasa sastra memiliki ciri penting yakni
ketaklangsungan ekspresi. Riffaterre (1978: 1) menyatakan bahwa puisi itu
ekspresi yang tidak langsung. Meskipun teori Riffaterre ini dalam hubungannya
dengan puisi, hal ini berlaku pula bagi prosa atau fiksi. Misalnya, novel Ahmad
Tohari Bekisar Merah adalah ketaklangsungan ekspresi. Yang dimaksud Bekisar
Merah dalam novel itu adalah tokoh utama Lasi, yang dikiaskan sebagai bekisar
merah, blasteran ayam kampung dan ayam hutan, yang parasnya indah dan
penampilan fisiknya menarik, untuk hiasan rumah dan diperjualbelikan. Lasi
dikiaskan demikian, karena dia adalah anak blasteran lelaki Jepang dengan
perempuan Jawa, parasnya cantik dan diperjualbelikan oleh para mucikari dan
orang berduit untuk memperoleh keuntungan material.
Menurut Riffaterre (1978: 2) ketaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh
tiga hal, yakni: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti
(distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Penggantian
arti dilakukan dengan penggunaan metafora dan metonimia. Metafora dan
metonimia adalah bahasa kiasan pada umumnya yang meliputi perbandingan,
personifikasi, sinekdoki, alegori, di samping metafora dan metonimia itu sendiri.
Penyimpangan arti disebabkan oleh adanya pemakaian: (1) ambiguitas, (2)
kontradiksi, dan (3) nonsense. Ambiguitas adalah pemakaian kata, frase atau
kalimat yang berarti ganda. Kontradiksi adalah pernyataan berbalikan,
menyatakan sesuatu secara terbalik. Kontradiksi ini berupa penggunaan paradoks
dan ironi. Nonsense adalah bahasa, kata-kata yang secara linguistik tidak memiliki
arti, tidak terdapat dalam kamus, tetapi memiliki makna berdasarkan konvensi
sastra yang berupa konvensi tambahan (Preminger, 1974: 80).
Adapun penciptaan arti berupa pengorganisasian ruang teks. Karena
karya sastra, khususnya puisi berupa karya tertulis, maka dimanfaatkan ruang teks
untuk menciptakan arti, misalnya berupa enjambment, rima, tipografi dan
homologue (persejajaran baris). Secara linguistik hal itu tidak memiliki arti, tetapi
dalam karya sastra hal itu memiliki makna tertentu.

Bahasa sastra memiliki segi ekspresif yang membawa nada dan sikap
penulisnya. Bahasa sastra tidak hanya menyatakan dan mengungkapkan apa yang
dikatakan melainkan juga ingin mempengaruhi sikap pembaca, membujuknya dan
akhirnya mengubahnya. Bahasa sastra juga menekankan adanya tanda bahasa
yakni simbolisme. Segala jenis teknik dipakai untuk menarik perhatian pembaca,
misalnya metrum, asonansi dan aliterasi serta pola bunyi. Tentu saja, yang
terakhir ini terutama pada puisi (Teeuw, 1984: 130).

Anda mungkin juga menyukai