Anda di halaman 1dari 44

Metode Analisis Ultimat (Ultimate Analysis)

Analisis ultimat adalah analisa laboratorium untuk menentukan kandungan abu,


karbon, hidrogen, oksigen dan belerang dalam batubara dengan metoda tertentu. Kandungan
itu dinyatakan dalam persen pada basis dan sampel dikeringkan pada suhu 105C dalam
keadan bebas kelembaban dan abu Analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kadar karbon
(C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen, (N), dan sulfur (S) dalam karbon.
Prosedur analisis ultimat ini cukup ringkas, dengan memasukkan sampel karbon ke dalam alat
dan hasil analisis akan muncul kemudian pada layar computer. Analisis ultimat untuk
menentukan kadar karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N) menggunakan alat LECO CHN 2000
dengan teknik infra merah (IR) dan analisis sulfur memakai LECO SC 632 dengan teknik infra
merah. Metode yang digunakan berdasarkan ASTM (American Society for Testing
and Materials)

Metode Analisis Ultimat


1.

Carbon dan hydrogen.

Dibebaskan sebagai CO2 dan H2O ketika batubara dibakar. CO2 bisa berasal dari mineral
karbonat yang ada, dan H2O bisa berasal dari mineral lempung atau inherent moisture pada airdried coal atau pada keduanya. Nilai kadar karbon ini semakin bertambah seiring dengan
meningkatnya kualitas batubara. Kadar karbon dan jumlah zat terbang digunakan sebagai
perhitungan untuk menilai kualitas bahan bakar, yaitu berupa nilai fuel ratio.
2.

Nitrogen.

kandungan nitrogen dari batubara merupakan hal yang signifikan, khususnya dengan hubungan
polusi udara. jadi batubara dengan nitrogen yang rendah lebih diharapkan pada industri.
Batubara tidak boleh mengandung nitrogen lebih dari 1.5-2.0% (d.a.f.)

3.

Oksigen.

Oksigen merupakan komponen dari banyak campuran organic dan anorganik pada batubara,
sebagaimana kandungan moisture. Ketika batubara teroksidasi, oksigen dapat hadir sebagai
oksida, hidroksida dan mineral sulfat, seperti material orgaink yang teroksidasi. Perlu diingat
bahwa oksigen merupakan indicator penting rank coal.

4.

Sulphur

Di dalam batubara, sulfur bisa berupa bagian dari material carbonaceous atau bisa berupa bagian
mineral seperti sulfat dan sulfida.
Gas sulfur dioksida yang terbentuk selama pembakaran merupakan polutan yang serius.
Kebanyakan negara memiliki peraturan mengenai emisi gas tersebut ke atmosfir. Satu persen
adalah limit kandungan sulfur dalam batubara yang banyak dipakai oleh negara-negara pengguna
batubara. Kandungan yang tinggi dalam coking coal tidak diinginkan karena akan berakumulasi
di dalam cairan logam panas sehingga memerlukan proses desulfurisasi.
Sulphur. sebagaimana nitrogen, kandungan sulfur dari batubara menyebabkan masalah degnan
polusi dan kegunaan. Sulfur menyebabkan korosi dan pengotoran pada pipa boiler dan
mneyebabkan polusi udara ketika dikeluarkan sebagai asap cerobong. Sulfur dapat hadir di
batubara dalam 3 bentuk:
a.

Sulfur organic, hadir pada senyawa organic pada batubara.

b.
pyrite.

Pyritic sulfur, hadir sebagai mineral sulfide pada batubara, pada dasarnya iron

c.
Mineral sulfat, biasanya hydrous iron atau kalsium sulfat, dihasilkan dari oksidasi
fraksi sulfide pada batubara.
Kandungan total dari sulfur pada steam coal yang digunakan untuk pembangkit listrik tidak
boleh melebihi 0.8-1 % (air-dried); jumlah maksimum tergantung dari peraturan emisi local.
Pada industri semen, total sulfur > 2% masih diterima, tapi..di coking coals diperlukan
maksimum 0.8% (air-dried) karenan value yang lebih tinggi mempengaruhi kualitas baja.
5.

Calorivic Value

Calorivic value adalah jumlah panas yang dihasilkan oleh pembakaran contoh batubara di
laboratorium. Pembakaran dilakukan pada kondisi standar, yaitu pada volume tetap dan dalam
ruangan yang berisi gas oksigen dengan tekanan 25 atm.
Selama proses pembakaran yang sebenarnya pada ketel, nilai calorivic value ini tidak pernah
tercapai karena beberapa komponen batubara, terutama air, menguap dan menghilang bersamasama dengan panas penguapannya. Maksimum kalori yang dapat dicapai selama proses ini
adalah nilai net calorivic value. Calorivic value dikenal juga dengan specific energy dan
satuannya adalah kcal/kg atau cal/g, MJ/kg,Btu/lb.
6.

Relative Density

Relative density adalah perbandingan berat contoh batubara (+ 2 gram) yang telah dihaluskan (212 micron), dengan berat air yang dipindahkan oleh contoh batubara tersebut dari pycnometer
yang dipergunakan untuk pengujian pada suhu 30+0.1oC.
Relative density suatu batubara tergantung dari rank dan kandungan mineralnya. Relative density
dengan kandungan ash suatu batubara, dari rank dan jenis yang sama, mempunyai korelasi yang
baik sehingga dapat dipergunakan sebagai alat untuk memperkirakan kandungan ash suatu
batubara dari relative densitynya.

7.

Chlorine

Chlorine adalah salah satu elemen batubara yang dapat menimbulkan korosi (pengkaratan) dan
masalah fouling/slagging (pengkerakkan) pada ketel uap. Kadar chlorine lebih kecil dari 0.2%
dianggap rendah, sedangkan kadar chlorine lebih besar dari 0.5% dianggap tinggi. Adanya
elemen chlorine selalu bersama-sama dengan adanya elemen natrium.

8.

Phosporus

Adanya phosphorus (posfor) di dalam coking coal sangat tidak diinginkan karena dalam
peleburan baja, phosphorus akan berakumulasi dan tinggal dalam baja yang dihasilkan. Baja
yang mengandung phosphorus tinggi akan cepat rapuh. Phosphorus juga dapat menimbulkan
masalah pada pembakaran batubara di ketel karena phosphorus dapat membentuk deposit posfat
yang keras di dalam ketel. Kandungan Fosfor; Fosfor dalam batubara dalam bentuk fosfat dan
senyawa organic fosfat. Pada pembakaran semua fosfat ini akan berubah menjadi abu.
Kandungan fosfor tidak terlalu diperhitungkan dalam hal pembakaran akan tetapi pada tahap
metalurgi
9.

Carbonate Carbondioxide

Penetapan carbonate carbondioxide dilakukan untuk mendapatkan angka yang dapat


dipergunakan sebagai pengoreksi hasil penetapan karbon, sehingga karbon yang dilaporkan
hanyalah karbon organik (organic carbon). Penetapan carbonate carbondioxide tidak perlu
dilakukan pada contoh batubara derajat rendah (brown coal dan lignite), karena batubara derajat
rendah atau lower rank coal bersifat asam sehingga carbonate carbon-nya akan kosong.
1.Analisis proksimat batubara (coal proximate analysis)

Analisis proksimat batubara bertujuan untuk menentukan kadar Moisture (air dalam batubara)
kadar moisture ini mengcakup pula nilai free moisture serta total moisture, ash (debu), volatile

matters (zat terbang), dan fixed carbon (karbon tertambat). Moisture ialah kandungan air yang
terdapat dalam batubara sedangkan abu (ash) merupakan kandungan residu non-combustible
yang umumnya terdiri dari senyawa-senyawa silika oksida (SiO2), kalsium oksida (CaO),
karbonat, dan mineral-mineral lainnya,Volatile matters adalah kandungan batubara yang
terbebaskan pada temperatur tinggi tanpa keberadaan oksigen (misalnya CxHy, H2, SOx, dan
sebagainya),
Fixed carbon ialah kadar karbon tetap yang terdapat dalam batubara setelah volatile matters
dipisahkan dari batubara. Kadar fixed carbon ini berbeda dengan kadar karbon (C) hasil analisis
ultimat karena sebagian karbon berikatan membentuk senyawa hidrokarbon volatile.

2.Nilai kalor batubara (coal calorific value)


Salah satu parameter penentu kualitas batubara ialah nilai kalornya, yaitu seberapa banyak energi
yang dihasilkan per satuan massanya. Nilai kalor batubara diukur menggunakan alat yang
disebut bomb kalorimeter.
Kalorimater bom terdiri dari 2 unit yang digabungkan menjadi satu alat. Unit pertama ialah unit
pembakaran di mana batubara dimasukkan ke dalam bomb lalu diinjeksikan oksigen lalu bomb
tersebut dimasukkan kedalam bejana disini batubara dibakar dengan adanya pasokan
udara/oksigen sebagai pembakar. Unit kedua ialah unit pendingin/kondensor (water handling)

3.Kadar sulfur
Salah satu cara untuk menentukan kadar sulfur yaitu melalui pembakaran pada suhu tinggi.
Batubara dioksidasi dalam tube furnace dengan suhu mencapai 1350C. Sulfur oksida (SOx)
yang terbentuk sebagai hasil pembakaran kemudian ditangkap oleh oleh detektor infra merah
kalau menggunakan metode infrared sedangkan kalau menggunakan metode HTM akan
ditangkap oleh larutan peroksida lalu dititrasi dengan natrium borat dan kemudian dianalisis.

4.Analisis ultimat batubara (coal ultimate analysis)


Analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kadar karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O),
nitrogen, (N), dan sulfur (S) dalam batubara. Seiring dengan perkembangan teknologi, analisis
ultimat batubara sekarang sudah dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Analisa ultimat ini
sepenuhnya dilakukan oleh alat yang sudah terhubung dengan komputer. Prosedur analisis
ultimat ini cukup ringkas; cukup dengan memasukkan sampel batubara ke dalam alat dan hasil
analisis akan muncul kemudian pada layar komputer.

5.Analisa Size Analisis


Data analisis dari suatu hasil tambang ialah satu data dari data-data yang diperlukan dalam
perancangan coal preparation plant, pada crushing plant dan screening plant pemeriksaan size
diperlukan untuk melihat apakah hasil dari proses masih sesuai dengan spesifikasi atau tidak,
pada proses loading dilakukan untuk mengantisifasi masalah yang timbul karena kalau terlalu
banyak yang fine coal nilai total moisturenya cenderung meningkat dan akan berdebu pada saat
kering.

Pada tulisan berikutnya akan dijelaskan satu persatu analisa batubara, semoga tulisan ini
bermanfaat.
1.2.1

Latar Belakang

Salah satu jenis bahan bakar yang melimpah di dunia adalah batubara. Pembakaran batubara
merupakan metode pemanfaatan batubara yang telah sekian lama dilakukan. Masalah yang
muncul sebgai akibat pembakaran langsung batubara adalah emisi gas sulfur dioksida. Sulfur
yang terdapat dalam batubara perlu disingkirkan karena sulfur dapat menyebabkan sejumlah
dampak negatif bagi lingkungan.
Sulfur merupakan bagian dari mineral sulfat dan sulfida di dalam batubara yang sifatnya mudah
bersenyawa dengan unsur hidrogen dan oksigen untuk membentuk senyawa asam, maka
keberadaan sulfur diharapkan dapat seminimal mungkin. Karena hal tersebut dapat memicu
polusi udara dari hasil pembakaran batubara. Untuk menganalisa kandungan sulfur pada batubara
biasanya digunakan alat Furnace Total Sulfur dengan High Temperature Combustion Method
yang sesuai dengan standar ISO 351-1996. Pada alat ini prosesnya menggunakan sistem
pembakaran untuk memperoleh gas sulfur dengan suhu pembakaran 1250-13500C. Pembakaran
ini biasanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk memperoleh total seluruh kandungan
sulfur yang ada pada sampel batubara.
Oleh karena itu, perlu dilakukan optimasi waktu untuk menganalisa semua kandungan sulfur
tersebut pada alat ini. Hal inilah yang melatar belakangi diangkatnya tugas untuk laporan Praktek
Kerja Lapangan ini di PT. Jembayan Muarabara dengan judul Preparasi dan Analisa Batu Bara
di PT. Jembayan Muarabara.

Karena perusahaan ini mengeksplorasi batubara untuk di perjualbelikan ke negara-negara asing,


maka analisa ini sangat dibutuhkan. Sebab batubara yang dijual di negara asing biasanya
digunakan sebagai bahan bakar. Sehingga mereka tidak ingin pada hasil pembakara batubaranya

menghasilkan gas sulfur yang cukup tinggi. Pengujian analisa inipun harus benar-benar akurat,
agar pengukuran sulfur pada laboratorium si penjual dengan laboratorium si pembeli tidak
berbeda nilainya. Kandungan sulfur ini dihitung dalam persen total sulfur pada sampel batubara.
Diharapkan laporan ini bisa bermanfaat sebagai referensi untuk pengujian sulfur yang
sesuai dengan standar ISO 351-1996.

1.3 Tujuan Kerja Praktik


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari pelaksanaan praktek kerja industri ini adalah sebagai berikut:
1)
Sebagai syarat kelulusan dalam Sekolah menengah kejuruan, terutama Program Studi
Analisis kimia.
2)
Mengetahui penerapan dan praktek dari teori-teori yang telah didapat selama sekolah
terutama dalam proses teknologi batubara.
3)
Mengetahui cara kerja di lapangan pada industri yang besangkutan secara global maupun
khusus.
4)
Memahami gambaran dan deskripsi nyata tentang hal-hal yang berkaitan dengan bidang
Analisis Kimia di lapangan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan dari penyusunan tugas khusus ini dengan judul Preparasi dan Analisa Batu Bara di PT.
Jembayan Murabara adalah untuk mengetahui cara perlakuan sample Batu Bara mulai dari
preparasi hingga mendapatkan hasil akhir analisa.

1.2

Batasan Masalah

Dalam pelaksanaan di lapangan, terdapat batasan-batasan terhadap praktek kerja yang dilakukan.
Ruang lingkup praktek yang dilakukan adalah melihat gambaran secara umum pada proses
analisa batubara meliputi sampling, preparasi batubara dan analisa batubara sehingga dalam
penulisan laporan ini kami mengangkat judul ANALISA PROKSIMAT, TOTAL SULPHUR
DAN NILAI KALORI PADA BATUBARA

1.4 Waktu Pelaksanaan

Praktek kerja Industri dilaksanakan selama tiga bulan dari tanggal 16 januari sampai 16
april 2012 di PT. Jembayan Muarabara yang berlokasi di Kabupaten Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur.

1.5 Sistematika Penulisan Laporan


Laporan ini disusun berdasarkan aturan penulisan karya ilmiah yang baku, dibagi atas beberapa
bab dan setiap bab diuraikan lagi ke dalam tiap Sub Bab, yaitu :
1.

Bagian awal

a.

Halaman judul

b.

Halaman pengesahan

c.

Abstrak

d.

Kata pengantar

e.

Ucapan Terima Kasih

f.
g.
2.

Daftar isi
Daftar Gambar
Bagian isi

a.

Bab I. Pendahuluan

b.

Bab II. Tinjauan Umum

c.

Bab III. Tinjauan Pustaka

d.

Bab IV. Uraian Analisa

e.

Bab V. Hasil Analisa dan Pembahasan

f.

Bab VI. Kesimpulan dan Saran

3.

Bagian akhir

a.

Daftar Pustaka

b.

Lampiran-Lampiran

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batubara
Batubara adalah suatu batuan sedimen tersusun atas unsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen,
dan sulfur. Dalam proses pembentukannya, batubara diselipi batuan yang mengandung mineral.
Bersama dengan moisture, mineral ini merupakan pengotor batubara sehingga dalam
pemanfaatannya, kandungan kedua materi ini sangat berpengaruh. Dari ketiga jenis pemanfaatan
batubara, yaitu sebagai pembuat kokas, bahan bakar, dan batubara konversi, pengotor ini harus
diperhitungkan karena semakin tinggi kandungan pengotor, maka semakin rendah kandungan
karbon, sehingga semakin rendah pula nilai panas batubara tersebut.

Batubara indonesia berada pada perbatasan antara batubara subbitumen dan batubara bitumen,
tetapi hampir 59% adalah lignit. Menurut hasil eksplorasi pada tahun 1999 akhir, sumber daya
batubara indonesia jumlahnya sekitar 38,8 miliar ton, dan sampai tahun 2003 sekitar 57,85 miliar
ton.

Kemajuan pesat teknologi industri khususnya sejak akhir tahun 1950-an membuat konsumsi
energi meningkat sangat pesat. Hal ini membuat pemakaian bahan bakar fosil (minyak bumi, gas
alam dan batubara) secara besar-besaran tidak terhindarkan. Bahan bakar fosil yang mudah di
eksplorasi dan dapat diperoleh dalam jumlah besar adalah batubara dengan biaya yang tidak
terlalu tinggi menjadi sumber energi utama dunia selama berpuluh-pulu tahun.Tetapi pemakain
bahan bakar batubara secara besar-besaran juga membawa dampak yang sangat serius terhadap
lingkungan terutama isu global warming dan hujan asam.
Batubara memiliki keunggulan dibandingkan bahan bakar fosil lainnya, yaitu:
Jumlah batubara yang economically exploitable lebih banyak.
Distribusi batubara di seluruh dunia lebih merata.
Batubara jug memiliki kelemahan, antara lain:

Karena komposisi coal adalah CHONS + Ash, coal identik dengan bahan bakar yang kotor dan
tidak ramah lingkungan.
Dibanding bahan bakar fosil lainnya, jumlah kandugan C per mol dari batubara jauh lebih besar.
Hal ini menyebabkan pengeluaran CO2 dari batubara juga jauh lebih banyak. Demikian juga
dengan kandungan sulfur (S) dn nitrogen (N) nya yang bila keluar ke udara bebas bisa menjadi
H2SO4 dan HNO3 yang merupakan penyebab hujan asam.

2.1.1 Proses Pembentukan Batubara


Tahap Pertama : Pembentukan gambut
Iklim bumi selama zaman batubara adalah tropis dan berjenis-jenis tumbuh-tumbuhan subur di
daerah rawa membentuk suatu hutan tropis. Setelah banyak tumbuhan yang mati dan menumpuk
di atas tanah, tumpukan itu semakin lama semakin tebal menyebabkan bagian dasar dari rawa
turun secara perlahan-lahan dan material tetumbuhan tersebut diuraikan oleh bakteri dan jamur.
Tahap ini merupakn tahap awal dari rangkaian pembentukan batubara yang ditandai oleh reaksi
biokimia yang luas. Selama proses penguraian tersebut, protein, kanji, dan selulosa mengalami
penguraian lebih cepat bila dibandingkan dengan penguraian material kayu (lignin) dan bagian
tetumbuhan yang berlilin (kulit ari daun, dinding spora, dan tepung sari). Karena itulah dalam
batubara yang muda masih terdapat ranting, daun, spora, bijih, dan resin, sebagai sisa tumbuhan.
Bagian-bagian tumbuhan itu terurai di bawah kondisi aerob menjadi karbon dioksida, air dan
amoniak, serta dipengaruhi oleh iklim. Proses ini disebut proses pembentukan humus dan
sebagai hasilnya adalah gambut.

Tahap Kedua : Pembentukan lignit


Proses terbentuknya gambut berlangsung tanpa menutupi endapan gambut tersebut. Di bawah
kondisi yang asam, dengan di bebaskannya H2O, CH4, dan sedikit CO2. Terbentuklah material
dengan rumus C65H4O30 yang pada keadaan kering akan mengandung karbon 61,7%, hidrogen
0,3% dan oksigen 38%.
Dengan berubahnya topograpi daerah di sekelilingnya, gambut menjadi terkubur di bawah
lapisan lanau (silt ) dan pasir yang diendapkan oleh sungai dan rawa. Semakin dalam terkubur,
semakin bertambah timbunan sedimen yang menghimpitnya. Sehingga tekanan pada lapisan
gambut bertambah serta suhu naik dengan jelas.
Tahap ini merupakan tahap kedua dari proses penbentukan batubara atau yang disebut Tahap
metamorfik.

Penutupan rawa gambut memberikan kesempatan pada bakteri untuk aktif dan penguraian dalam
kondisi basa menyebabkan dibebaskannya CO2, sehingga kandungan hidrogen dan karbon
bertambah. Tahap kedua dari proses pembentukan batubara ini adalah tahap pembentukan lignit,
yaitu batubara rank rendah yang mempunyai rumus perkiraan C79H5,5O14,1. dalam keadaan
kering, lignit mengandung karbon 80,4%, hidrogen 0,5%, dan oksigen 19,1%.

Tahap Ketiga : Pembentukan Batubara Subbitumen


Tahap selanjutnya dari proses pembentukan batubara ialah pengubahan batubara bitumen rank
rendah menjadi batubara bitumen rank pertengahan dan rank tinggi. Selama tahap ketiga,
kandungan hidrogen akan tetap konstan dan oksigen turun. Tahap ini merupakan tahap
pembentukan batubara subbitumen (sub-bituminous coal).
Tahap Keempat : Pembentukan Batubara Bitumen
Dalam tahap keempat atau tahap pembentukan batubara bitumen (bituminous coal), kandungan
hidrogen turun dengan menurunnya jumlah oksigen secara perlahan-lahan, tidak secepat tahaptahap sebelumnya. Produk sampingan dari tahap ketiga dan keempat ialah CH4, CO2, dan
mungkin H2O.

Tahap Kelima : Pembentukan Antrasit


Tahap kelima adalah antrasitisasi. Dalam tahap ini, oksigen hampir konstan, sedangkan hidrogen
turun lebih cepat dibandingkan tahap-tahap sebelumnya. Proses pembentukan batubara terlihat
merupakan serangkaian reaksi kimia. Kecepatan reaksi kimia ini dapat diatur oleh suhu dan atau
tekanan.

Tabel.2.1 Susunan unsur gambut, lignit, batubara subbitumen, bitumen, dan

Karbon
Volatile Matter
Calorivic Value
Moisture
Gambut

antrasit

Lignit
Subbitumen
Bitumen
60%
60-71%
71-77%
77-87%
> 53%
53-49%
49-42%
42-29%
16,8 MJ/kg
23,0 MJ/kg
29,3 MJ/kg
36,3 MJ/kg
> 75% insitu
35% insitu
25-10% insitu
8% insitu
( Muchjidin, Pengendalian Mutu Dalam Industri Batubara, 2006)
2.1.2 Kandungan Batubara
Disamping unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen, belerang, dan nitrogen di dalam batubara
ditemukan pula unsur-unsur logam yang berasal dari pengotor batubara, yaitu lapisan batubara
yang tersisip dan terperangkap diantara lapisan batubara.

Secara kimia, batubara tersusun atas tiga komponen utama, yaitu :

1.
air yang terikat secara fisika, dapat dihilangkan pada suhu sampai 105 0C, disebut
moisture.
2.
senyawa batubara atau coal substance atau coal matter, yaitu senyawa organik yang
terutama terdiri atas atom karbon, hidrogen, oksigen, sulfur, dan nitrogen.
3.

zat mineral atau mineral matter, yaitu suatu senyawa anorganik.

a)

Moisture

Dalam batubara moisture paling sedikit terdiri atas satu senyawa kimia tunggal. Wujudnya dapat
berbentuk air yang dapat mengalir dengan cepat dari dalam sampel batubara, senyawa
teradsorpsi, atau sebagai senyawa yang terikat secara kimia. Sebagian moisture merupakan
komponen zat mineral yang tidak terikat pada batubara.
Moisture didefinisikan sebagai air yang dapat dihilangkan bila batubara dipanaskan sampai 105
0C. Semua batubara mempunyai pori-pori berupa pipa kapiler. Dalam keadaan alami, pori-pori
ini dipenuhi oleh air. Didalam standar ASTM, air ini disebut moisture bawaan (inherent
moisture). Ketika batubara ditambang dan diproses, air dapat teradsorpsi pada permukaan
kepingan batubara, dan standar ASTM menyebutnya sebagai moisture permukaan (surface
moisture).
Moisture yang datang dari luar saat batubara itu ditambang dan diangkut atau terkena hujan
selama penyimpanan disebut free moisture (istilah ini dikemukakan dalam standar ISO) atau air
dry loss (istilah yang digunakan oleh ASTM). Moisture ini dapat dihilangkan dari batubara
dengan cara dianginkan atau dikering-udarakan. Moisture in air dried sample (ISO) atau residual
moisture (ASTM) ialah moisture yang hanya dapat dihilangkan bila sampel batubara keringudara yang berukuran lebih kecil dari 3 mm (istilahnya batubara ukuran minus 3 mm atau -3
mm) dipanaskan hingga 105 0C. Penjumlahan antara free moisture dan residual moisture disebut
total moisture. Dalam analisis batubara, yang ditentukan hanya moisture yang terikat secara
fisika, sedangkan yang terikat secara kimia (air hidratasi) tidak ditentukan.
Jenis-jenis moisture yang biasanya ditentukan dalam analisis batubara adalah :
1)

Total Moisture (TM)

2)

Free Moisture (FM) atau Air Dry Loss (ADL)

3)

Residual Moisture (RM) atau Moisture in air dried sample (MAD)

4)

Equilibrium moisture (EQM) atau Moisture holding capacity (MHC)

5)

Moisture in the analysis sample (dalam analisis proksimat, disingkat Mad).

Total Moisture (TM), disebut pula sebagai as received moisture (istilah yang digunakan oleh
pembeli batubara) atau as sampled moisture (istilah yang digunakan oleh penjual batubara),
menunjukkan pengukuran jumlah semua air yang tidak terikat secara kimiawi, yaitu air yang
teradsorpsi pada permukaan, air yang ada dalam kapiler (pori-pori) batubara, dan air terlarut
(dissolved water). Total Moisture didefinisikan sebagai penjumlahan dari air dry loss (free
moisture) dan residual moisture (misture in air dried sample).

b)

Zat mineral

Zat mineral atau mineral matter terdiri atas komponen-komponen yang dapat dibedakan secara
kima dan fisika. Zat mineral terdiri atas ash (abu) dan zat anorganik yang mudah menguap
(inorganic volatile matter). Apabila batubara dibakar akan terbentuk ash yang terdiri atas
berbagai oksida logam pembentuk batuan, sedangkan zat anorganik yang mudah menguap akan
pecah menjadi gas karbon dioksida (dari karbonat-karbonat), sulfur (dari pirit), dan air yang
menguap dari lempung.
Material anorganik, yaitu mineral bukan karbonat yang merupakan bagian dari struktur
tumbuhan, adalah zat mineral bawaan di dalam batubara yang persentasenya relatif kecil. Zat
mineral dari luar yang kemungkinana berasal dari debu atau serpih yang tebawa air atau yang
larut dalam air selama pembentukan gambut atau tahapan selanjutnya dari pembentukan batubara
persentasenya lebih besar dan bervariasi, baik jumlah maupun susunannya.
Mineral terbanyak di dalam batubara, yaitu kaolin, lempung, pirit, dan kalsit. Semua mineral itu
akan mempertinggi kadar silikon lainnya. Oksida alumunium, besi, dan kalsium, di dalam ash.
Kemudian menyusul berbagai senyawa magnesium, natrium, kalium, mangan, fosfor, dan sulfur
yang didapatkan dalam ash dengan persentase yang berbeda-beda.

c)

Senyawa batubara

Senyawa batubara terdiri atas zat organik yang mudah menguap dan fixed carbon. Zat organik
yang mudah menguap kebanyakan tersusun atas (1) gas-gas yang dapat terbakar seperti
hidrogen, karbon monoksida, dan metan, (2) uap yang dapat mengembun, seperti tar dengan
sedikit kandungan gas yang dapat terbakar, dan (3) uap seperti karbon dioksida dan air, yang
terbentuk dari penguraian senyawa karbon secara termis. Kandungan volatile matter (gabungan
zat organik dan anorganik yang mudah menguap) berkaitan sekali dengan peringkat batubara dan
merupakan parameter yang penting dalam mengklasifikasikan batubara.
Fixed carbon merupakan residu yang tersisa setelah moisture dan volatile matter dihilangkan.
Senyawa ini yang terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen, sulfur, dan nitrogen, dapat
dibakar.

2.2 Penambangan Batubara


2.2.1 Perencanaan Penambangan
Keputusan suatu perusahaan tambang untuk mengembangkan suatu endapan batubara yang
komersial meliputi beberapa perencanaan awal (pre-planning) yang baik, yaitu :
Mengkoordinasikan sumber daya manusia.
Kecakapan atau skill dan tekhnologi.
Mempersiapkan pernyataan dampak terhadap lingkungan.
Memperoleh perizinan dari pemerintah.
Pemasangan peralatan penambangan dan jasa pengangkutan (transportasi).
Pembangunan seluruh pemukiman dengan fasilitasnya untuk daerah terpencil (umumnya
tambang batubara letaknya jauh dari perkotaan) dan semua prasyarat untuk penambangan.

2.2.2 Penambangan Terbuka


Penambangan terbuka merupakan cara penambangan batubara yang pertama kali dilakukan
orang. Dengan menggunakan beliung dan batangan, para penambang zaman dulu menggali
batubara, baik yang tersingkap berupa lapisan yang muncul di permukaan maupun yang terkubur
beberapa meter di bawah tanah. Sampai saat ini hampir semua tambang batubara di Indonesia
menggunakan cara penambangan terbuka, kecuali di beberapa tambang, seperti Ombilin di
Sawahlunto, Sumatera Barat, selain menggunakan cara penambangan terbuka juga menggunakan
cara penambangan bawah tanah.
Pada prinsipnya ada dua cara penambangan terbuka, yakni :
1)
Penambangan pengupasan (strip mining) yang digunakan untuk menambang lapisan
batubara tunggal, letaknya horizontal dan kedalamannya mencapai 80 meter.
2)
Penambangan sumur terbuka (open pit mining) yang digunakan untuk menambang
endapan yang terdiri atas beberapa lapisan batubara. Dengan cara ini dapat ditambang lapisan
batubara dengan kedalaman lebih dari 80 meter.

2.2.3 Penambangan Bawah tanah

Banyak endapan batubara yang terletak jauh di dalam tanah sehingga hanya dapat ditambang
dengan cara penambangan bawah tanah. Untuk mencapai lapisan batubara yang terletak di
kedalaman tersebut, umumnya diperlukan penanganan yang lebih rumit. Tidak seperti pada
penambangan terbuka, umunya pada penambangan bawah tanah tidak semua batubara yang ada
di tempat tersebut dapat diambil.
Ada dua cara penambangan bawah tanah yang sampai saat ini banyak dilakukan orang, yaitu
cara bord (room) and pillar dan cara longwall. Cara ketiga yang merupakan gabungan unsurunsur dari kedua cara tadi ialah shortwail.

2.3 Pengambilan Sampel (Sampling)


Tujuan utama dari pengambilan sampel ialah untuk mengambil sebagian kecil material yang
akan mewakili sifat-sifat keseluruhan material tersebut. Syarat utama adalah sampel itu harus
mewakili (respresentatif) bahan yang di sampling.
Pengambilan sampel batubara harus dilakukan menurut standar yang telah ditentukan. Karena
banyaknya standar batu bara yang ada, pemilihan akan bergantung pada persetujuan antara
pembeli dan penjual.

2.3.1 Pengambilan Sampel Batubara Eksplorasi


Menurut keadaan batubara, yakni batubara yang masih ada di dalam perut bumi batubara yang
telah ditambang, dan batubara yang telah ditumpuk berupa stockpile, maka cara-cara
pengambilan sampel dapat dibagi menjadi pengambilan sampel batubara eksplorasi dan
pengembangan, serta pengambilan sampel batubara produksi.
Dari sekian banyak cara pengambilan sampel batubara eksplorasi , hanya dua cara yang akan
dibahas yaitu pengambilan sampel inti bor (core sampling) dan channel sampling.
a)

Pengambilan sample inti bor.

Ketika dilakukan eksplorasi, pengambilan sampel inti bor dari lapisan batubara dilakukan dengan
cara pengeboran. Batubara dengan rank rendah mudah sekali teroksidasi, bahkan batubara
bitumen yang mengandung volatile matter rendah dapat terpengaruh apabila dibiarkan terbuka
dalam kotak sampel. Pengambilan sampel ini dibagi-bagi berdasarkan ply-by-ply dan
berdasarkan probable working section.
b)

Channel sampling

Jumlah channel sampel relative banyak, mewakili keseluruhan lapisan batubara pada titik lokasi
dimana sampel diambil. Channel sampel dapat diambil baik secara manual maupun mekanis
menggunakan peralatan penambangan. Suatu channel sampel diambil dengan mengerat channel
vertical dari cross-section mulai dari atas ke bawah setinggi lapisan, yakni dari roof sampai floor.

2.3.2 Pengambilan Sampel Batubara Produksi


Tahapan pengambilan sampel batubara produksi terbagi menjadi dua, yakni:
(1) Skema pengambilan sampel yang merujuk pada berapa banyak satu lot dapat dibagi menjadi
sampling unit dan berapa banyak increment harus diambil untuk setiap sampling unitnya
sehingga dicapai presisi yang diinginkan.
(2) Sistem pengambilan sampel merupakan implementasi dari pengambilan sampel, apakah
akan dilakukan secara manual atau mekanis.

Jumlah atau banyaknya increment yang diambil dari satu lot agar dicapai suatu presisi tertentu
merupakan fungsi dari bervariasinya kualitas batubara didalam lot tersebut, tanpa memandang
dari berat lot. Lot-lot harus dibagi menjadi beberapa sampling unit dengan jumlah yang
memadai.
Banyaknya increment yang harus diambil dan cara-cara menggabungkan increment sehingga
terbentuk sampel atau subsampel, akan ditentukan oleh presisi yang diperlukan untuk
menetapkan karateristik kualitas dari lot dan oleh bevariasinya batubara yang akan diuji.
Sebelum kita menetapkan besarnya presisi, perlu dilakukan perundingan antara pihak-pihak
terkait terlebih dulu (pembeli, penjual, dan cargo superintendent company).
Presisi yang dianjurkan oleh standar ASTM adalah 1/10 kali kandungan ash (kering) untuk
general purpose sampling batubara yang telah diketahui ukuran butirannya (partikel) dan
keadaan preparasinya (masih kasar atau telah dicuci). Untuk batubara kasar berukuran top size
50 mm, jumlah minimal increment untuk lot 1000 ton adalah 35, sedangkan untuk batubara yang
telah mengalami pencucian jumlah itu lebih kecil lagi, yakni 15.
Untuk lot yang lebih besar dari 1000 ton dan hanya diperlukan satu gross sample digunakan
rumus:
Dimana: N1 = jumlah increment
N2 = jumlah increment yang diperlukan

Dalam standar ASTM D 2234 (dan dalam BS 1017) dinyatakan bahwa berat maksimal lot yang
dapat menggunakan rumus diatas adalah 10000 ton.
Jadi, untuk batubara kasar dengan lot sebesar 4000 ton dapat dilakukan dua cara:
1)
Dibagi menjadi 4 sampling unit dengan jumlah increment 4 x 35 atau 140 dan akan
menghasilkan 4 buah gross sampel yang kemudian dibuat satu composite sampel.
2)
Bila hanya diperlukan satu gross sampel dengan menggunakan rumus diatas akan
menghasilkan 70 increment. Jumlah increment untuk karateristik sampel yang akan ditentukan
oleh besarnya presisi yang diinginkan.
Untuk lot 24000 ton dapat dibagi menjadi 3 sampling unit, masing-masing dua sampling unit
10000 ton dan satu sampling unit 4000 ton, atau menjadi tiga sampling unit masing-masing 8000
ton dan seterusnya.

Table.2.2 Jumlah dan berat increment dalam prosedur general purpose sampling untuk cargo
1000 ton ke bawah.

Top size
16 mm
50 mm
150 mm
Batubara yang telah bersih
Jumlah minimal increment
15
15
15
Berat minimal satu increment
1 kg
3 kg
7 kg

Batubara yang masih kasar


Jumlah minimal increment
35
35
35
Berat minimal satu increment
1 kg
3 kg
7

kg

( Muchjidin, Pengendalian Mutu Dalam Industri Batubara, 2006)


2.3.3 Pengambilan Sampel Batubara Stockpile
Dari pengambilan sampel batubara suatu stockpile, umumnya sangat sulit diperoleh sampel
yang representative, dan tiap pengambilan sampel harus dikerjakan sesuai dengan kondisinya
masing-masing. Suatu sampel yang diambil hanya dari bagian atas atau sisi stockpile saja tidak
dapat dipandang sebagai wakil dari seluruh stockpile , terutama untuk stockpile yang terdiri atas
beberapa sumber batubara.
Menurut standar ASTM penuntun pengambilan gross sampel dari permukaan batubara terbuka
dari stockpile, kemudian sampel-sampel ini diporoses dan dikirimkan ke laboratorium untuk
dianalisis. Prosedur pengerjaannya adalah sebagai berikut:
Ukuran lot. Pembagian lot dari stockpile yang akan diambil sampelnya harus ditentukan dan
disetujui oleh semua badan terkait.
Increment. Berat satu increment akan bergantung pada ukuran partikel. Untuk batubara
berukuran top size 15 mm minimal beratnya 1 kg, 50 mm berat minimal 3 kg, dan berukuran top
size 150 mm berat minimal 7 kg. banyaknya increment untuk lot dibawah 1000 ton adalah 35
increment dan untuk lot lebih dari 1000 ton menggunakan perumusan 35.
Pengumpulan increment. Increment diambil dari suatu lubang pada permukaan stockpile sedalam
46 cm. Batubara yang telah diambil dari lubang harus ditempatkan jauh dari daerah
pengambilan sampel. Kemudian increment diambil dari bagian bawah lubang dan dimasukkan ke
dalam container (misalnya ke dalam kantong plastic, disegel, diberi nomor, dan dimasukkan ke

dalam drum). Pola tempat pengambilan increment akan bergantung pada tinggi dan kemiringan
stockpile. Atur jarak pengambilan increment ini pada permukaan stockpile, sehingga tiap
increment mewakili daerah dengan ukuran yang sama.

2.4 Preparasi Sampel


Proses preparasi sampel terdiri atas empat tahapan kerja antara lain :
1. Pengeringan, jika sampel masih basah dan susah untuk di gerus.
2. Memperkecil ukuran partikel, dengan cara milling (crushing dan grinding) yang disebut
sebagai reduction.
3. Mencampurkan (mixing) agar sampel menjadi homogen.
4. Mengurangi berat sampel dengan cara membaginya menjadi dua bagian atau lebih yang
disebut divison.
Tabel 2.3. Berat sampel analitik yang diperlukan untuk parameter tertentu

Parameter
Top size (mm)
Berat sample duplikat
ASTM
ISO
Free Moisture
Residual Moistuer
Hardgrove Grind. Index
General Analysis
Moisture (adb)
Ash Content
Volatile Matter
Total Sulfur

Calorivic Value
Suhu Leleh Ash
Analisis Ash
Fosfor
Arsen
Flour
Klor
50
3
4.75
0,25/0,2 *)
10 kg
20 kg
1 kg

2g
2g
2g
2g
2g
4g
20 g **)
2g
2g
2g

1g
10 kg
20 kg
1 kg

2g
2g
2g
2g
2g
4g
20 g **)
2g
2g
2g
1g

( Muchjidin, Pengendalian Mutu Dalam Industri Batubara, 2006)


*) -250 m (0,25 mm) untuk standar ASTM dan -200 m (0,20 mm) untuk standar ISO
**) untuk batubara dengan ash content 10 %

Table 2.4. Berat dan ukuran butir untuk penetuan khusus (diambil dari Standar Australia AS
4264.1-1995)

Uji

Standar referensi
Massa yang dibutuhkan
Ukuran partikel
Analisis ayak
AS 3881
Massa yang dibutuhkan ditentukan oleh nominal top size
Sebelum pengujian tidak ada pengecilan ukuran
Float-and sink testing
AS 4156.1
Massa yang dibutuhkan ditentukan oleh nominal top size
Sebelum pengujian tidak ada pengecilan ukuran
Indeks abrasi
AS 1038.19
10 kg
Melewati 16,0 mm
Indeks Hardgrove
AS 1038.20
1 kg
Nominal top size 4,0 mm
Uji Gleserer plastometer
AS 2137
1 kg
Melewati 4,0 mm
Total Moisture
Metode A

Metode B
AS 1038.1
300 g
Nominal top size 4,0 mm
Total Moisture
Metode C
AS 1038.1
4 kg
Nominal top size 11,2
Uji pilot coke oven
AS 2267
Ditentukan oleh ukuran pilot coke oven
Direferensikan untuk tes laboratorium
Analisis petrografik
AS 2061
200 g
Nominal top size 1,0
Dilatometer
AS 1038.12.3
1 kg
Top size 4,0 mm

( Muchjidin, Pengendalian Mutu Dalam Industri Batubara, 2006)


1) Pengeringan Udara

Pengeringan udara atau air driying kadang-kadang diperlukan dalam tahapan kerja preparasi
sampel. Faktor yang menentukan diperlukan atau tidaknya pengeringan udara adalah apakah
batubara akan melalui peralatan pembagi sampel atau melalui penggerus. Jika sampel langsung
akan dibagi melalui peralatan pembagi, maka sampel tersebut tidak perlu dikeringkan dulu.
Pengeringan sampai berat yang konstan serta suhu yang terus ditinggikan itu tidak perlu untuk
General Analysis, karena hal ini dapat berakibat terjadinya oksidasi pada batubara rank rendah.
Pengeringan dapat dilakukan di dalam oven atau Drying Set suhu 10C di atas suhu kamar.
Aturan pengeringan dalam standard ISO, ASTM, British Standard, dan AS.

Tabel. 2.5 Lamanya waktu pengeringan menurut ASTM, ISO, BS, dan AS

Suhu C
Waktu pengeringan
ISO1988
ASTM D2013
BS 1017; part 1
AS 2646.6
15 diatas suhu ruangan tapi tidak > 25C
Lebih baik tidak > 24 jam

24 jam

25C

30C
6 jam

6 jam
24 jam
40C

6 jam
45C
3 jam

3 jam
3 jam
105C
(hanya untuk high rank coal)
1 Jam

10C- 15C diatas suhu ruangan, tapi tidak > 40C, kecuali suhu ruangan > 40C

Sampai konstant

( Muchjidin, Pengendalian Mutu Dalam Industri Batubara, 2006)


2) Memperkecil ukuran butir
Dalam ISO R-1213 diberikan definisi beberapa cara memperkecil ukuran partikel ini:
1.

to mill ; memparkecil ukuran partikel dengan cara crushing, grinding, atau pulverizing.

2.
to crush (meremukkan) ; memperkecil ukuran partikel sampel sampai ukuran partikel kasar
(>3 mm).
3.
to grind, to pulverized (menggerus, melumatkan) ; memperkecil ukuran partikel sampel
sampai ukuran partikel halus (<1.5 mm).
Beberapa aturan dalam cara memperkecil ukuran partikel antara lain:
1)

Permukaan harus dilakukan secara mekanis

2)
Tidak diperbolehkan mengayak material yang tertahan ayakan (oversize). Misalnya jika
akan meremukkan material sampai melalui 10 mm maka tidak boleh hanya mengayak yang
-10mm-nya saja dan kemudian hanya meremukkan material +10 mm-nya saja. Alasannya,
karena antara batubara halus dan kasar ada perbedaan sifat petrografi, fisika, dan kimia, serta
dalam langkah pencampuran yang perlu menghomogenkan kembali sampel akan sukar untuk
dilakukan.
3)
Semua penggerus dalam preparasi sampel tidak boleh menghasilkan material yang tertahan
ayakan lebih dari 1%. Penggerus-penggerus itu, termasuk Raymond mill, harus dicek secara
teratur pada waktu-waktu tertentu untuk meyakinkan bahwa 99% hasil gerusan melalui ayakan.
4)
Semua penggerus harus selalu bersih. Misalnya pada pemakaian hammer mill yang selalu
menahan batubara setelah penggerusan, sehingga pada penggerusan selanjutnya dapat mengotori
sampel yang akan digerus.
5)
Memperkecil ukuran dengan tangan tidak diperbolehkan, kecuali untuk batu bara
lempengan.

Peralatan untuk memperkecil ukuran dalam standar ISO harus yang bekerja secara mekanis,
mesin demikian disebut mill. Yang lebih disukai adalah high speed mill.
Peralatan tersebut bermacam-macam jenisnya, mulai dari jaw crusher sampai roll crusher dan
dari mill sampai high speed impact pulveriser yang khusus diperuntukkan menggerus sampel
sampai berukuran -0,2 mm.

3) Pencampuran
Persyaratan peralatan pencampur adalah tidak diperbolehkan 1) memecahkan batu bara, 2)
menghasilkan debu, 3) membiarkan moisture menguap.
4) Pembagian sampel
Bila preparasi sampel dimulai dengan memperkecil ukuran menjadi ukuran pertengahan dan
pada langkah kedua diperkecil lagi menjadi ukuran akhir, yakni -200m, maka cara ini disebut
two-stage preparation. Ukuran pertengahan umumnya 10 mm atau 3 mm. Setiap pembagian
dalam two-stage preparation harus mempunyai berat minimal:
10 mm = 10 kg
3 mm = 2 kg
1 mm = 0,6 kg
Apabila ukuran asal dari batubara adalah 120 mm atau lebih besar lagi, maka cara preparasinya
adalah theree-stage preparation yang mempunyai dua ukuran pertengahan. Dalam cara ini berat
minimal untuk pembagian tersebut adalah:
10 mm = 15 kg
3 mm = 3 kg
1 mm = 1 kg

2.4.1 Peralatan Preparasi Sampel


a) Pengering
Untuk mengeringkan sampel batu bara dapat dipakai lantai pengering-udara (air-drying floor)
atau oven pengering (air-drying oven).


Lantai pengering-udara. Suatu lantai yang rata dan halus serta bersih yang terletak di
dalam ruangan bebas kontaminasi debu atau material lainnya. Ruangan tersebut mempunyai
sirkulasi udara yang baik tanpa panas yang berlebihan atau aliran udara yang berlebihan. Kondisi
lantai pengeringan-udara sedapat mungkin harus mendekati kondisi yang disyaratkan untuk oven
pengering-udara.

Oven pengering udara. Suatu alat yang digunakan untuk mengalirkan udara yang yang
sedikit panas pada sampel. Oven harus dapat menjaga suhunya antara 10C-15C di atas suhu
kamar. Suhu maksimal oven adalah 40 C. Untuk batubara yang mudah sekali teroksidasi, suhu
oven tidak boleh melebihi 10C diatas suhu kamar.

b) Penggerus
Beberapa jenis alat penggerus antara lain adalah :

Crusher. Ada dua jenis crusher yaitu; hummer mill yang fungsinya untuk memecahkan
sampel secara pukulan atau benturan, jaw crusher yang fungsinya untuk memecahkan sampel
secara menekan, contohnya roll crusher dan jaw crusher.

Hummer mill. Memiliki keuntungan :reduction ratio tinggi, dapat memperkecil batubara
lempengan (150 mm) dan mempunyai hasil penggerusan tinggi, harganya murah, serta tidak
terlalu makan banyak ruang. Kerugiannya adalah mempunyai angin yang deras sehingga dapat
berpengaruh terhadap sampel Moisture, menghasilkan fines yang banyak dan tidak dapat dipakai
pada batubara basah.

Double Roll Crusher. Keuntungan dari double roll crusher antara lain tidak menimbulkan
panas dan angin, tidak menghasilkan fines yang berlebihan dan mudah menangani batubara
basah.

Jaw Crusher. Alat ini cocok untuk meremukkan batubara keras dan kering. Untuk
memperoleh hasil yang halus susah sekali. Kerugian utamanya adalah kapasitas rendah (kecuali
lempengannya besar) dan tidak dapat mengerjakan batubara basah.
c)

Pencampur

Ada beberapa jenis alat yang memadai yaitu paddle mixer, drum mixer, dan double cone mixer
(untuk batubara berukuran 1.0-0.2 mm).
Yang dioperasikan secara manual adalah riffle.

d)

Pembagi

Pembagian sampel dapat dilakukan baik secara manual maupun mekanis. Jika pembagian akan
dilakukan secara manual tetapi tidak menggunakan riffle, dapat dilakukan dengan cara yang
disebut sebagai cara coning and quartering. Prinsipnya ialah batu bara dibentuk seperti gunung
(timbunan mirip kerucut pendek), ditekan sampai rata dan kemudian dibagi menjadi 4 bagian
yang sama. Dua bagian yang berlawanan disatukan untuk kemudian dibagi empat lagi, begitu
seterusnya sampai diperoleh berat yang diinginkan. Dua bagian lainnya dibuang.
Umumnya cara ini dipakai untuk membagi sampel apabila tidak tersedia riffle di lapangan.

Riffle digunakan untuk membagi sampel menjadi dua bagian sama banyak, kemudian
membagi setengahnya lagi dan demikian seterusnya hingga diperoleh berat yang diinginkan
(sama dengan cara kerja coning and quartering).
Peralatan pembagi sampel yang bekerja secara mekanis antara lain rotary sample divider (RSD)
dan slotted belt. Keuntungan alat pembagi sampel mekanis ialah reduction ratio dapat
divariasikan, dan tidak perlu membagi sampel sampai setengahnya secara berurutan. Setelah
dibagi, sampel dapat diperoleh dengan mengambil increment kecil yang banyak (diperlukan
minimal 50 increment). Jadi, menghindarkan tahap pencampuran.

Rotary Sample Divider. Alat ini terdiri atas sejumlah continer misalnya 12 atau 8 yang
dibentuk seperti segmen-segmen pada pelat berputar sekitar 60 rpm. Ukuran minimal lubang
pintu harus tiga kali ukuran terbesar partikel batubara. Jadi, sejumlah increment akan terpisah
pada setiap putarannya, terbagi merata ke settiap kontainer. Jika ada 8 segmen, satu kontainer
akan mengandung fraksi seperdelapan dari jumlah batu bara yang masuk ke RSD, sehingga kita
dapat mengambil fraksi 1/8, atau .

Slotted belt. Suatu belt conveyor yang tidak berakhir mempunyai slot dengan ruang pitchnya diperalati oleh alat berbentuk bibir yang bertindak sebagai pagar pemotong.

Gambar 2.3 Rotary Sample Divider (RSD)


2.5 Senyawa Sulfur
Belerang atau sulfur adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang S dan
nomor atom 16. Bentuknya adalah non metal yang tak berasa, tak berbau dan multitalent.
Belerang dalam bentuk aslinya adalah sebuah zat pada kristalin kuning. Di alam belerang dapat
ditemukan sebagai unsur murni atau sebagai mineral-mineral sulfit dan sulfat. Ini adalah unsur
penting untuk kehidupan dann ditemukan dalam dua asam amino. Penggunaan komersilnya
terutama dalam fertilizer namun juga dalam bubuk mesiu, korek apai, insektida, dan fungisida.
Belerang atau sulfur adalah mineral yang dihasilkan oleh proses vulkanisme. Sifat-sifat fisik
belerang adalah :
Kristal belerang berwarna kuning, kuning kegelapan dan kehitam-hitaman karena pengaruh
unsur pengotornya.
Berat jenis :2,05 2,09
Kekerasan : 1,5 2,5 (skala Mohs)
Ketahanan : getas / mudah hancur (brittle)
Pecahan : berbentuk konkoidal dan tidak rata
Kilap : dammar
Gores :berwarna putih.
Sifat belerang lainnya adalah tidak larut dalam air atau H2SO4
Titik lebur 129 0C
Titik didihnya 446 0C.

Mudah larut dalam CS2, CCl4, minyak bumi, minyak tanah dan aniline, penghantar panas dan
listrik yang buruk.
Apabila dibakar apinya berwarna biru dan menghasilkan gas-gas SO2 yang berbau busuk.

2.6 Sulfur pada Batubara


Di dalam batubara, sulfur dapat merupakan bagian dari mineral sulfat dan sulfida. Dengan
sifatnya yang mudah bersenyawa dengan unsur hidrogen dan oksigen untuk membentuk senyawa
asam, maka keberadaan sufur diharapkan dapat seminimal mungkin karena sifat tersebut yang
merupakan pemicu polusi, maka beberapa negara pengguna batubara menerapkan batas
kandungan 1 % maksimum untuk batubara yang dimanfaatkan untuk keperluan industri.
Sulfur dalam batubara terdapat dalam tiga bentuk, yaitu pirit sulfur, sufat sulfur dan organik
sulfur. Sulfur dalam bentuk pirit dan sulfat merupakan bagian dari mineral matter yang terdapat
dalam batubara yang jumlahnya masih dapat dikurangi dengan teknik pencuci. Sedangkan
organik sulfur terdapat pada seluruh material karbon dalm batubara dan jumlahnya tidak dapat
dikurangi dengan teknik pencucian. Terdapatnya sulfat sulfur dalam batubara sering
dipergunakan sebagai petunjuk bahwa batubara telah mengalami oksidasi, sedangkan pirit sulfur
dianggap sebagai salah satu penyebab timbulnya pembakaran secara spontan.

Sulfur kemungkinan merupakan pengotor utama nomor dua (setelah ash) dalam batubara ;
a)
Dalam batubara bahan bakar, hasil pembakarannya mempunyai daya korosif dan sumber
polusi udara.
b)
Moisture dan sulfur (terutama sebagai pirit) dapat menunjang terjadinya pembakaran
spontan.
c)

Semua batubara bentuk sulfur tidak dapat dihilangkan dalam proses pencucian.

Hasil penentuan sulfur digunakan untuk menunjang evaluasi pencucian batubara, emisi udara,
dan evaluasi kualitas batubara berkaitan dengan spesifikasi dalam kontrak serta untuk keperluan
penelitian.
Batubara dengan kadar sulfur yang tinggi menimbulkan banyak masalah dalam pemanfaatannya.
Bila batubara itu dibakar, sulfur menyebabkan korosi dalam ketel dan membentuk endapan
isolasi pada tabung ketel uap (yang disebut slagging). Disamping itu juga menimbulkan

pencemaran udara. Sebagaian sulfur akan terbawa dalam hasil pencairan batubara, gasifikasi, dan
pembuatan kokas. Jadi, harus dihilangkan dulu sebelum di lakukan proses-proses tersebut.
Unsur belerang terdapat pada batubara terdapat dengan kadar bervariasi dari rendah (jauh
dibawah 1 %) sampai lebih dari 4%. Unsur ini terdapat dalam batubara dalam tiga bentuk yakni
belerang organik, pirit, dan sulfat. Dari ketiga bentuk belerang tersebut, belerang organik dan
belerang pirit merupakan sumber utama emisi oksida belerang. Dalam pembakaran batubara
semua belerang organik dan sebagian belerang pirit menjadi SO2. Oksida belerang ini
selanjutnya dapat teroksidasi menjadi SO3. Sedangkan belerang sulfat disamping stabil dan sulit
menjadi oksida belerang, kadar relatifnya sangat mudah dibanding belerang bentuk lainnya.
Oksida-oksida belerang yang terbawa gas buang dapat bereaksi dengan lelehan abu yang
menempel pada dinding tungku maupun pipa boiler sehingga menyebabkan korosi. Sebagian
SO2 yang diemisikan ke udara dapat teroksidasi menjadi SO3 yang apabila bereaksi dengan uap
air menjadi kabut asam sehingga menimbulkan turunnya hujan asam.

2.7 Analisa Sulfur


Belerang atau sulfur dalam batu bara dapat terjadi dalam beberapa bentuk:
(1) Sebagai organik sulfur, di mana sulfur terikat pada senyawa hidrokarbon dalam coal matter
(2) Sebagai mineral sulfida, sulfur ada dalam fraksi anorganik, misalnya dalam pirit
(3) Sebagai mineral sulfat yang dihasilkan dari oksidasi mineral sulfida dengan bantuan udara
(besi sulfida besi sulfat, kalsium sulfida kalsium sulfat).
Dalam analisis ultimat ditentukan total sulfur (TS) yang mewakili semua bentuk sulfur dalam
batubara. Penentuan masing-masing bentuk sulfur atau forms of sulfphur tidak termasuk dalam
analisis ultimat.
Standar ISO 334-1975 dan ISO 351-1975 memberikan dua cara penentuan sulfur total, masingmasing cara Eschka dan high temperature combustion. Dalam cara Esckha, 1 g sampel batubara
halus dicampurkan dengan 3 g reagens Eschka (2 bagian berat magnesium oksida ditambah 1
bagian berat natrium karbonat anhidrous) di dalam cawan porselen khusus atau cawan platina,
kemudian ditutup dengan 1 g reagens Eschka. Cawan dipanaskan dalam tungku pembakaran
yang biasa dipakai untuk penentuan ash, dari mulai dalam keadaan dingin sampai suhu 800C
selama 1 jam dengan kecepatan pemanasan yang rendah pada permulaannya. Pada suhu 800C
dibiarkan 1 jam lagi. Setelah didinginkan, diitambahkan larutan barium klorida dan endapan
barium sulfat hasil reaksi ditentukan secara gravimetri.
Dalam cara kedua, yaitu cara High Temperature combustion (HTM), sekitar 0,5 g sampel
batubara halus ditimbang dalam perahu porselen,ditutupi oleh 0,5 g aluminium oksida. Perahu

dipanaskan di dalam tabung dari furnace bersama aliran gas oksigen murni pada suhu 1350 C.
Sulfur oksida dan klor oksida yang terbentuk diabsorbsi dalam larutan hidrogen peroksida,
kemudian asam sulfat hasil reaksi sulfur dan asam klorida hasil reaksi klor, ditentukan secara
titrimetri. Cara ini lebih cepat bila dibandingkan dengan cara Eschka, tetapi dengan cara ini akan
diperoleh penjumlahan persentase sulfur dan klor. Untuk memperoleh persentase sulfur, sebelum
titrasi harus ditambahkan merkuri oksianida (racun).
Selain penentuan sulfur cara HTM yang diakhiri dengan titrasi, dapat pula diakhiri dengan
mendeteksi gas sulfur dioksida menggunakan instrumen, misalnya dengan Leco sulfur
determinator SC 132.

Dalam standar ASTM 3177 diberikan cara penentuan total sulfur dari larutan hasil penentuan
calorific value yang disebut cara bomb washing. Setelah penentuan calorific value selesai,
larutan sisa diambil dan ditentukan total sulfurnya menggunakan cara Eschka.

Gambar 2.8 Furnace Total Sulfur HTM Carbolite

2.8 Pengaruh Sulfur


Di dalam dunia industri, pemanfaatan pokok batubara adalah untuk pembangkit listrik dan pabrik
baja, keduanya menuntut batubara berkandungan sulfur rendah. Pada kontrak jual-beli batubara
(pemasaran) kandungan sulfur merupakan salah satu persyaratan pokok dan mempengaruhi
harga.
Batubara bersulfur tinggi juga menimbulkan masalah teknis dan lingkungan. Pada proses
pembakaran (power plant), sulfur dikonversi ke oksida dan dapat menimbulkan pengkaratan atau
korosi kuat pada peralatan atau komponen logam. Batubara bersulfur tinggi dapat menimbulkan
masalah lingkungan, baik di lokasi tambang, sepanjang jalur pengangkutan batubara,
penumpukan, hingga di lokasi pemanfaatan. Pada lokasi-lokasi tersebut, selain menimbulkan
polusi udara, juga dapat menghasilkan aliran air bersifat asam, sedangkan pembakaran batubara
dapat menghasilkan gas SOx yang mengganggu atmosfer.

Disisi lain, kenyataan di lapangan sebaran kandungan sulfur pada lapisan batubara dapat sangat
bervariasu dan berubah-ubah nilainya, baik secara vertical maupun lateral, bahkan pada jarak
yang dekat sekalipun. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh proses-proses geologi yang
berlangsung bersamaan maupun setelah pembentukan lapisan batubara. Oleh karena itu, data
kandungan sulfur pada batubara merupakan hal yang penting untuk diketahui secara lebih baik
karena berkaitan dengan aspek pemanfaatan, lingkungan pemasaran, perencana, dan operasi
penambangan, serta aspek geologi.

Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah lingkungan, terutama
kandungan sulfur sebagai polutan utama. Sulfur batubara juga dapat menyebabkan kenaikan
suhu global serta gangguan pernafasan. Oksida belerang merupakan hasil pembakaran batubara
juga menyebabkan perubahan aroma masakan / minuman yang dimasak atau dibakar dengan
batubara (briket), sehingga menyebabkan menurunnya kualitas makanan atau minuman, serta
berbahaya bagi kesehatan (pernafasan). Cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut adalah
dengan mewujudkan gagasan clean coal combustion melalui desulfurisasi batubara.

BAB IV
METODE ANALISA

1.

PROXIMATE ANALYSIS

A.

Moisture In The Analysis Sample (Kandungan Air Lembab)

Standar Acuan : ISO 311 1983


Prinsip :
Seberat tertentu sampel batubara dipanaskan dalam oven suhu 105 1100C dalam aliran
gas nitrogen murni sampai berat yang konstan. Persentase Mad ditentukan dari kehilangan berat
sampel.

Peralatan :

1.Oven. Suatu minimum free-space oven yang dapat mencapai suhu 105 1100C dengan tetap
dan dapat dialiri gas nitrogen dengan kecepatan 600 ml/menit atau 15 volume dari oven per jam,
diukur pada suhu dan tekanan atmosfir.
2.Dish / tempat timbang. Tempat yang dangkal terbuat dari silica atau gelas dengan tutup terasah
atau logam tahan karat dengan penutupnya, yang berukuran sedemikian rupa sehingga dapat diisi
batubara yang tebalnya tidak melebihi 0.15 g/cm2.
3.Flowmeter. Suatu flowmeter yang dapat mengukur kecepatan alir gas nitrogen melalui oven.
4.Drying tower. Berkapasitas 250 ml, dipadati oleh magnesium perklorat atau desiccant lainnya
untuk mengeringkan gas nitrogen.
5.Desikator.
6.Analitical balance.

Reagens :
1.Gas Nitrogen. Mengandung oksigen tidak lebih dari 10 l per liter nitrogen.
2.Desiccant. Alumina atau silica gel yang ada penunjuk kejenuhan.

Prosedur :
1.Naikan suhu oven sampai 105 1100C sambil dialirkan ke dalamnya gas nitrogen dengan
kecepatan 300 ml/menit.
2.Timbang Dish kosong yang kering dan bersih bersama tutupnya sampai ketelitian 0.1 mg (M1).
3.Sebarkan sampel sebanyak 1 g sampai terbentuk lapisan, tutup dan timbang lagi sampai
ketelitian 0.1 mg (M2).
4.Panaskan Dish tanpa tutup yang berisi sampel di dalam oven selama 3 jam (sampai konstan).
5.Ambil Dish berisi sampel yang telah kering, pasang lagi penutupnya, dinginkan dalam
desikator.
6.Timbang kembali, catat (M3), Hitung persentase Moisture.

Perhitungan :

% Moisture = (M2 M3) x 100 / (M2 M1)

Repeatibility : 0.2%
Reproductibility : -

B.

Ash Content (Kandungan Abu)

Standar Acuan : ISO 1171 1981


Prinsip :
Sampel dipanaskan diudara dengan kecepatan pemanasan yang spesifik sampai suhu 815
100C dan meneruskan pemanasan pada suhu tersebut sampai beratnya konstan. Persentase abu
dihitung dari berat residu yang tertinggal setelah incinerasi.

Peralatan dan Reagens :


1.Desiccant. Alumina yang sudah diaktifkan, silica gel, magnesium perklorat.
2.Analitical balance.
3.Desikator.
4.Muffle Furnace. Dilengkapi dengan ventilasi udara.
5.Cawan atau Dish. Terbuat dari silica, porselen atau platina ; kedalaman 10 15 mm.

Prosedur :
1.Timbang cawan kosong yang kering dan bersih bersama tutupnya sampai ketelitian 0.1 mg
(M1).
2.Timbang 1 gram sampel berukuran minus 0.2 mm kedalam cawan yang sudah diketahui
beratnya, sebagai (M2).
3.Masukan cawan tanpa tutup yang berisi sampel ke dalam furnace yang dingin. Panaskan
sampai mencapai suhu 5000C selama 60 menit (kecepatan pemanasan 160C permenit).
4.Teruskan pemanasan dengan kecepatan 100C permenit selama 30 menit sehingga pada akhir
waktu 30 menit itu suhu furnace sekitar 8150C.
5.Lanjutkan incinerasi pada suhu 815 100C selama 1 jam.
6.Ambil cawan dari furnace, dinginkan dalam desikator dan timbang dengan tutupnya.
7.Lanjutkan tahap (5) dan (6) sampai didapat berat konstan (M3).
8.Hitung banyaknya ash dalam sampel.

Perhitungan :
Cara yang baik untuk mengerjakan penentuan ash adalah setelah langkah (7), semua ash dalam
cawan dibuang dan cawannya dibersihkan, kemudian timbang sebagai (M4).(Prosedur ini
menurut AS 1038, Part 3 1979)

% Ash Content = (M3 M4) x 100 / (M2 M1)

Repeatibility : 0.2% untuk ash < 10% dan 2.0% untuk ash > 10%
Reproductibility : 0.3% untuk ash < 10% dan 3.0% untuk ash > 10%

C.

Volatile Matter (Zat Mudah Terbang)

Standar Acuan ISO 562 1981

Prinsip :
Sampel batubara dipanaskan pada suhu 9000C tanpa adanya kontak dengan udara, selama
7 menit tepat. Persentase Volatile Matter dihitung dari hilangnya berat sampel setelah dikoreksi
oleh kandungan moisture in the analysis sample.

Peralatan dan Reagens :


1.Desiccant. Alumina yang sudah diaktifkan, silica gel, magnesium perklorat.
2.Desikator.
3.Analitical balance.
4.Muffle Furnace. Electric, mempunyai daerah suhu yang konstan 900 100C. Bila pintu dibuka
suhu akan turun sampai 8850C, kemudian setelah ditutup lagi akan naik lagi ke suhu 9000C
dalam waktu 3 4 menit.
5.Cawan dan tutupnya. Cawan silinder dari fused silica bersama tutupnya. Harus mempunyai
berat antara 10 dan 14 gram.
6.Stand. Tempat cawan cawan dalam furnace.
7.Stop watch. Alat pencatat waktu.

Prosedur :
1.Panaskan muffle furnace sampai suhu 900 100C.
2.Panaskan cawan kosong dan tutupnya di dalam furnace selama 7 menit tepat.
3.Ambil cawan dari dalam furnace, dinginkan diatas dasar logam, kemudian pindahkan kedalam
desikator.
4.Setelah dingin, timbang cawan dan tutupnya (M1).
5.Timbang kedalam cawan itu sebanyak 1 gram sampel (M2).
6.Pasang lagi tutupnya, ketok ketok di atas permukaan yang keras dan bersih sampai sampel
membentuk permukaan yang rata.
7.Panaskan di dalam furnace tepat selama 7 menit.
8.Ambil cawan dari dalam furnace, dinginkan dan timbang (M3).

9.Hitung persetase VM.

Perhitungan :
% Volatile Matter = {(M2 M3) x 100 / (M2 M1)} Mad

Repeatibility : 0.3% untuk VM < 10% dan 3.0% untuk VM > 10%
Reproductibility : 0.5% untuk VM < 10% dan 4.0% untuk VM > 10%

2.

TOTAL SULFUR

Standar ISO 351-1996 Solid mineral fuels-Determination of total sulfur-High temperature


combustion method
Ruang Lingkup :
Sample batubara dipanaskan pada suhu 1350 0C, gas sulfur oksida hasil reaksinya dilewatkan
kedalam larutan hidrogen peroksida yang akan mengubahnya menjadi asam sulfat yang pada
akhirnya ditentukan secara titimetri asam-basa.

Reaksi

Sampel Batubara + O2
SO2 + H2O2
H2SO4 + Na2B4O7.10 H2O

Alat-alat Analisa
FURNACE TS HTM CARBOLITE
Tube Combustion

SO2 + CO2 + H2O


H2SO4
4H3BO3 + Na2SO4 + 5H2O

Tabung oksigen dengan regulator dan flowmeter


Cawan perahu pembakaran
Kawat tahan panas (dengan panjang 60 cm dan ujungnya terdapat bengkokan untuk mengambil
cawan perahu dari dalam tube)
Kawat pusher dengan stopper di ujungnya (untuk mendorong perahu ke daerah panas di dalam
tube)
Baki metal
Washing bottle (absorber)
Pompa vakum dan selang yang telah terhubung pada pompa
Erlenmeyer 250 ml
Gelas ukur 100 ml
Labu ukur 1000 ml
Pipet tetes
Buret
Botol semprot
Stopwatch
Spatula
Neraca Analitik
Masker hidung (sebagai pelindung/safety)

Bahan-bahan Analisa
Bahan Pereaksi :

Larutan H2O2 1 % (:dengan melarutkan 33 ml reagent H2O2 30 % ke dalam 1 liter


aquadest).

Larutan Na2B4O7 0,05 N

Al2O3 (serbuk)

Larutan indikator campuran :

Larutan A : melarutkan 0,125 g Metil Merah dalam 60 ml etanol dan mengencerkan dengan
aquadest sampai 100 ml.
Larutan B : melarutkan 0,083 g Metilen Biru ke dalam 100 ml etanol.
Mencampurkan larutan A dan B dengan volume 1 : 1 (sama banyak).
Larutan indikator ini hanya bisa dipakai dalam waktu 1 minggu.

Bahan Sampel :

Batubara dengan ukuran 0,212 mm


Prosedur Kerja

1.

Menaikkan suhu furnace sampai 1350 0C.

2.
Menimbang 500 mg sampel batubara dengan teliti ke dalam cawan perahu pembakaran dan
meratakannya.
3.
Menutupi sampel dengan Al2O3 sebanyak 0,5 g (sampai tertutupi semua permukaan
sampel).
4.

Memasukkan 100 ml larutan H2O2 1 % ke dalam washing bottle.

5.
Memasangkan selang pompa vakum ke ujung washing bottle, menyalakan pompa vakum
dan mengatur aliran vakumnya agar konstan melalui absorbernya.
6.
Memasangkan ujung washing bottle yang sisi lain ke tube combustion melalui selang di
stopper yang telah terpasang pada tube.
7.

Membuka aliran oksigen dan mengaturnya menjadi 300 ml per menit.

8.

Memasukkan cawan perahu yang berisi sampel dari ujung inlet tube combustion.

9.
Mendorong cawan perahu dengan kawat pusher sampai jarak cawan perahu ke tengahtengah daerah terpanas furnace sekitar 24 cm dan membiarkannya selama 3 menit.
10. Menarik kembali kawat pusher agar tidak panas dan memperkuat stopper pada ujung kawat
ke ujung tube.
11. Setelah 3 menit, mendorong maju cawan perahu sekitar 4 cm dan membiarkan selama 1
menit. Pendorongan ini dilakukan hingga 6 kali mendorong setiap 1 menitnya. Untuk

memudahkan dalam pengerjaannya, umumnya kawat pusher ditandai dengan garis-garis yang
setiap garisnya menandakan satu dorongan dalam 1 menit.
12. Setelah dorongan terakhir, cawan perahu harus ditengah-tengah daerah terpanas, dan
membiarkan selama 4 menit.
13. Setelah selesai, menutup aliran oksigen dan mematikan pompa vakum.
14. Melepaskan washing bottle dari selang vakum dan dari selang stopper di tube.
15. Melepaskan kawat pusher dan stopper pada ujung tube, dan mengeluarkan cawan perahu
dengan kawat tahan panas (menampungnya dengan baki metal).
16. Memasukkan larutan yang ada di washing bottle ke dalam erlenmeyer 250 ml dan membilas
washing bottle dengan aquades.
17. Menambahkan 3 tetes larutan indikator campuran dan menggoncang hingga rata sampai
berwarna ungu terang.
18. Menitrasi larutan tersebut dengan Na2B4O7 0,05 N hingga larutan berubah menjadi warna
hijau terang (mencapai titik akhir titrasi).
19. Mencatat volume akhir titrasi pada format yang tersedia untuk analisa total sulfur.
20. Mengerjakan penentuan blanko dengan perlakuan yang sama seperti diatas tanpa sampel
batubara.

MetodePerhitungan :

dimana:
V1 = volume Na2B4O7 0,05 N untuk titrasi banko (ml)
V2 = voume Na2B4O7 0,05 N untuk titrasi sampel (ml)
N

= konsentrasi Na2B4O7 (N)

Bst = bobot setara senyawa sulfur (Bst = 16,03)

m = berat sampel (mg)

3.

CALORIFIC VALUE (NILAI KALORI)

Standard Acuan :
ASTM D 5865 2004
Ruang Lingkup :
Metode ini adalah untuk menentukan Nilai Kalori dari contoh, menggunakan Bomb Calorimeter
Parr 6200.
Prinsip :
Contoh yang telah diketahui massanya, dibakar dalam bomb kalorimeter pada kondisi standard.
Nilai kalori kasar dihitung dari naiknya suhu air di dalam vessel kalorimeter dan kapasitas panas
rata-rata dari sistem.

Peralatan Dan Reagen :


Neraca Analitik, bomb calorimeter, krusibel bomb calorimeter, kawat stainless steel, gas oksigen
dan aquadest.
Perlakuan Contoh :
Contoh dengan diameter 0.212 disimpan dalam ruangan yang terkontrol suhu dan tekanannya
dan bertempat di ruangan timbang.

Instruksi Kerja :
4.

Dicek kondisi alat, tekanan gas, regulator, volume air pendingin dan aliran listrik.

5.
Dinyalakan alat dengan menekan tombol hitam yang ada dibelakang alat ke posisi atas
untuk mengaktifkan alat, pompa, pemanas dan laju air.
6.

Dibuka aliran gas oksigen dengan cara memutar pulp hitam ke kiri

7.

Ditunggu selama 20 menit untuk menstabilkan alat.

8.

Ditimbang benzoic acid atau IHS dan sampel seberat 1.0000 gram ke dalam krusibel.

9.
Ditempatkan krusibel pada penyangga electrode dan atur kawat pemantik tersentuh/kontak
dengan sample.
10. Disatukan combustion chamber dengan bomb cap dengan cara memutar bomb cap ke kanan
sampai kencang, dipastikan combustion chamber dan bomb cap sesuai dengan pasangannya.
11. Diisi gas pada vessel dengan oksigen hingga tekanan maksimum 30 atm (tekan tombol
FILL)
12. Dimasukkan vessel ke dalam bomb bucket dan isi dengan 2 liter aquadest dari pipet tank
13. Dimasukkan elekroda pada terminal nut dan pastikan kedua elektroda tersebut terkoneksi
dengan terminal nut.
14. Ditutup bomb bucket lid dan pastikan tertutup rapat
15. Ditekan [START] kemudian dipilih ID bomb dan dimasukkan berat sampel
16. Ditunggu sampai proses analisa selesai dan dicatat hasil analisa
17. Bomb bucket yang berisi vessel dikeluarkan dari bomb jacket
18. Dikeluarkan vessel dari bomb bucket.
19. Dibuang gas CO2 dengan cara memutar knop yang berada di bomb cap
20. Dicuci bagian dalam bomb dengan air , ditampung air pencuci ke dalam labu erlenmeyer.
Dibersihkan semua kawat yang tidak terbakar dari elektroda dan dicuci kepala bomb dengan air
dan ditampung air cucian ke dalam labu erlenmeyer yang sama dengan di atas.
21. Dititrasi air cucian dengan larutan standard Na2CO3 menggunakan indikator Methyl Merah
hingga mencapai titik akhir berwarna Orange Merah. Dicatat volume penitar.

Perhitungan :
a.

Ditekan tombol REPORT dan dimasukkan nomor contoh.

b.

Dimasukkan volume penitar

c.

Dimasukkan nilai Total Sulphur (TS %ad).

d.
Laporan akhir dicetak sebagai Nilai Kalori akhir. Diperiksa bahwa semua detail telah benar
dan dilampirkan pada worksheet.

Anda mungkin juga menyukai