Anda di halaman 1dari 13

SENI RUPA MODERN DAN KONTEMPORER

Penelitian tentang karya seni bukan merupakan suatu hal yang mudah melainkan suatu pekerjaan
yang sangat pelik, dan membutuhkan kecerdasan dari sudut mana kita memandang. Hal ini
sangat memberikan pengaruh pada hasil penelitian yang penuh dengan ketegangan antara sudut
pandang ilmiah dan seni.
2.1 Seni Rupa
Seni rupa secara sederhana, didefinisikan sebagai seni yang dapat dilihat atau tampak kasat mata.
Dalam bahasa Inggris seni rupa disebut visual art, karena memang seni rupa hanya dapat
dirasakan lewat penglihatan. Ini ditegaskan oleh Humar Sahman dalam bukunya Mengenali
Dunia Seni Rupa sebagai berikut:
peranan mata sangat menentukan apakah dalam proses mencipta sejak dari pengamatan
sampai pada visualisasi, gagasan ataupun dalam proses apresiasi produk visualisasi itu. Orang
yang buta warna walaupun sepintas-lintas matanya nampak beres-beres saja, tidak akan mampu
menjadi perupa atau apresiator karya seni rupa yang kompeten (Humar Sahman, 1993: 200).
Banyak pendapat mengenai seni rupa selain visual art di antaranya spatial art yang dalam kamus
bahasa Inggris berarti mengenai ruang/tempat. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Humar
Sahman sebagai berikut:
disebut spasial art jika yang diaksentuasi adalah ruang (space) seperti bangunan (arsitektur =
seni mencipta ruang). Atau apabila karya yang diciptakan menempati ruang, baik dalam arti
faktual maupun virtual (Humar Sahman, 1993:200).
Dalam artian terbatas seni rupa dapat diartikan plastic jika dalam konteks hanya
memanfaatkan teknik membentuk bahan-bahan plastis (lunak) (Herbert Read, 2000: 1). Contoh
dari pengertian ini adalah patung, keramik termasuk juga instalasi.
Pendapat Jim Supangkat dalam SanentoY., (2001: ix) mengenai seni rupa dalam pengantar buku
Dua Seni Rupa dapat dijadikan sebagai landasan dalam penelitian ini. Menurutnya seni rupa
bila diterjemahan secara harfiah ke dalam bahasa Inggris maka terdapat dua istilah yang berbeda
yaitu visual art dan fine art.
Visual art mengacu pada pengertian seni yang menekankan rupa. Istilah ini mempunyai
lingkup jauh lebih luas darifine art. Seni rupa ini dapat dikatakan setua kebudayaan umat
manusia karena memang ada di semua kebudayaan di segala zaman sejak zaman primitif.
Sedangkan fine art mempunyai lingkup yang sangat sempit dan tradisinya terikat pada
kebudayaan Barat.
Membongkar persoalan seni rupa sedikit banyak mempersoalkan identifikasi melalui modifikasi
pemikiran-pemikiran dengan menangkap gejala seni rupa. Munculnya seni rupa kontemporer
mungkin dapat melahirkan persoalan rumit, sebab tidak semua seni yang dibuat pada masa
sekarang adalah kontemporer. Hal ini akhirnya menyebabkan kecenderungan yang tidak bisa
sepenuhnya dicerna dengan konsep, misalnya seni instalasi atau praktek-praktek seni rupa
lainnya yang dianggap ekstrim.

Setiap karya seni hendaknya memberikan manfaat pada masyarakat atau kehidupan umat, karya
seni seperti inilah disebut karya seni yang berkualitas artinya masyarakat bisa menikmati dengan
kepolosan apresiasi serta pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian akan timbul
keseimbangan antara seniman karya seni dengan apresiator. Di lain pihak karya seni tidak harus
selalu dapat dimengerti oleh masyarakat, akhirnya melahirkan gejala kurangnya apresiasi,
kampungan, ketinggalan zaman dan sebagainya.
Persoalan di atas merupakan permasalahan yang menyelesaikannya menuntut kreativitas. Setiap
seniman dalam proses penciptaan karya seni hendaknya memakai pemikiran yang sangat matang.
Berkaitan dengan proses penciptaan dalam hal ini Dharsono (2004: 28) membaginya dalam tiga
komponen proses penciptaan karya seni yaitu tema, bentuk dan isi. Ketiga komponen ini
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
2.1.1 Tema
Tema merupakan rangsang cipta seniman dalam usahanya untuk menciptakan bentuk-bentuk
yang menyenangkan sehingga dapat memberikan konsumsi batin manusia secara utuh dan
perasaan keindahan. Kita dapat menangkap harmoni bentuk yang disajikan serta mampu
merasakan lewat sensitivitasnya. Dalam sebuah karya seni hampir dapat dipastikan adanya
tema, yaitu inti atau pokok persoalan yang dihasilkan sebagai akibat adanya pengolahan objek
(baik objek alam atau objek imajinasi), yang terjadi dalam ide seorang seniman dengan
pengalaman pribadinya. Ada kalanya seorang seniman mengambil alam sebagai objek
karyanya, tetapi karena adanya pengolahan dalam diri seniman tersebut maka tidaklah
mengherankan apabila bentuk (wujud) terakhir dari karya ciptannya akan berbeda dengan objek
semula.
problem yang sangat penting dalam mencipta sebuah karya seni bukanlah apa yang
digunakan sebagai objek tetapi bagaimana sang seniman mengolah objek tersebut menjadi
karya seni yang punya nafsu dan citra pribadi sehingga dalam pengertian tema, tidaklah dapat
diterangkan begitu saja tanpa seseorang terlibat di dalamnya (dalam proses-proses penciptaan).
Tema merupakan bentuk dalam ide sang seniman, artinya bentuk yang belum dituangkan dalam
media atau belum lahir sebagai bentuk fisik. Maka dapat dikatakan pula bahwa seni adalah
pengejawantahan dari dunia ide sang seniman (Dharsono, 2004: 30).
2.1.2 Bentuk
Pada dasarnya apa yang dimaksud dengan bentuk adalah totalitas dari pada karya seni. Bentuk
itu merupakan organisasi atau suatu kesatuan atau komposisi dari unsur pendukung karya. Ini
dijelaskan lebih lanjut oleh Dharsono bahwa ada dua macam bentuk yang pertama adalah
bentuk visual yaitu bentuk fisik dari sebuah karya seni atau kesatuan dari unsur-unsur pendukung
karya seni tersebut. Selanjutnya adalah bentuk khusus yaitu bentuk yang tercipta karena adanya
hubungan timbal balik antara nilai-nilai yang dipancarkan oleh fenomena bentuk fisik terhadap
tanggapan kesadaran emosional.
2.1.3 Isi
Isi adalah bentuk psikis dari karya yang dihasilkan seorang seniman. Perbedaan bentuk dan isi
hanya terletak pada diri seniman. Bentuk hanya cukup dihayati secara inderawi tetapi isi atau arti
dihayati dengan mata batin seorang seniman secara kontemplasi. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa isi disamakan dengan tema seseorang seniman.

2.2 Fungsi Seni Rupa


Sepanjang sejarah kehidupan manusia, tidak bisa disangkal bahwa manusia tidak bisa lepas dari
seni, karena seni merupakan bagian dari kehidupan manusia dari sejak zaman prasejarah hingga
sekarang artinya seni adalah kebutuhan yang sama pentingnya dengan kebutuhan lain.
Karya seni secara teoritis mempunyai tiga macam fungsi yaitu: fungsi personal, fungsi sosial dan
fungsi fisik. Seni memang tidak lepas dari fungsi, di mana kehidupan manusia tidak bisa lepas
dari seni, ini menandakan bahwa kita adalah makhluk sosial yang sekaligus sebagai makhluk
individu. Selain sebagai keindahan, religius atau benda pakai seni mempunyai fungsi yang
sangat mendalam (Dharsono, 2004: 31).
Setiap manusia pasti membutuhkan tata cara (norma) hidup. Dari tata cara hidup itulah manusia
akhirnya melahirkan kebudayaan dan dari kebudayaan itu lahirlah seni. Sebagai instrumen
ekspresi personal, seni semata-mata tidak dibatasi untuk dirinya sendiri. Maksudnya seni tidak
secara eksklusif dikerjakan berdasarkan emosi pribadi namun bertolak pada pandangan personal
menuju persoalan-persoalan umum di mana seniman itu hidup, kemudian diterjemahkannya
lewat lambang dan simbol. Ciri-ciri kemanusiaan seperti kelahiran, cinta dan kematian yang
punya dasar instrumen secara umum diangkat sebagai tema seni, tetapi pengolahan terhadap
wujud karya tidak bisa lepas dari adanya keunikan seniman dalam menangkap atau membentuk
idenya.

2.3 Seni Rupa Modern


Eropa dan Amerika adalah pelopor lahirnya seni modern. Hal ini ditegaskan oleh Rosenberf,
dalam Dharsono (2004:222) bahwa:
Pengertian modern dalam terminologi seni rupa tidak bisa dilepaskan dari prinsip modernisme
atau paham yang mendasari perkembangan seni rupa modern dunia sampai pertengahan abad ke20. Seni rupa modern dunia memiliki nilai-nilai yang bersifat universal. Dari penafsiran seorang
pelukis Jerman yang pindah ke Amerika Serikat sesudah Perang Dunia ke II, Hans Hofmann
menyatakan hanya seniman dan gerakan di Eropa dan Amerika yang mampu melahirkan seni
rupa modern, konsepsi poros Paris-New-York sebagai pusat perkembangan seni rupa modern.
Seni modern lahir dari dorongan untuk menjaga standar nilai estetik yang kini sedang terancam
oleh metode permasalahan seni. Modernisme meyakini gagasan progres karena selalu
mementingkan norma kebaruan, keaslian dan kreativitas. Prinsip tersebut melahirkan apa yang
kita sebut dengan Tradition of the new atau tradisi Avant-garde, pola lahirnya gaya seni
baru pada awalnya ditolak, namun akhirnya diterima masyarakat sebagai inovasi terbaru.
Seni modern dengan melahirkan Conceptual Art/ Seni Konseptual merupakan gerakan dalam
menempatkan ide, gagasan atau konsep sebagai masalah yang utama dalam seni. Sedangkan
bentuk, material dan objek seninya hanyalah merupakan akibat/efek samping dari konsep
seniman.
Walapun kita sering menggunakan istilah seni rupa modern prinsip modernisme tak pernah
sungguh-sungguh berakar. Polemik kebudayan di tahun 30-an sangat mempengaruhi pemikiran
perkembangan seni rupa Indonesia. Hal ini dipertegas oleh Jim Supangkat 1992 sebagai berikut:

Persentuhan seni rupa Indonesia dengan seni rupa modern sebenarnya hanya terbatas pada corak,
gaya, dan prinsip estetik tertentu. Nasionalisme sebagai sikap dasar persepsi untuk menyusun
sejarah perkembangan sejarah seni rupa Indonesia adalah kenyataan yang tak bisa disangkal dan
nasionalisme sangat mewarnai pemikiran kesenian dihampir semua negara berkembang. Batas
kenegaraan itulah yang mengacu pada nasionalisme yang akhirnya diakui dalam seni rupa
kontemporer yang percaya pada pluralisme sejak zaman PERSAGI tidak pernah ragu
menggariskan perkembangan seni rupa Indonesia khas Indonesia (Jim Supangkat dalam
Dharsono, 2004: 224).
Kendati seni rupa modern percaya pada eksplorasi dan kebebasan secara implisit akhirnya
hanyalah mempertahankan prinsip-prinsip seni rupa Barat (tradisi Barat). Prinsip-prinsip
modernisasi juga menetapkan tahap perkembangan yang didasarkan pada perkembangan seni
rupa modern Eropa Barat dan Amerika (lihat sejarah). Di Indonesia prinsip-prinsip seperti itu
tidak seluruhnya teradaptasi, akan tetapi muncul secara terpotong-potong kadang dalam bentuk
yang lebih ekstrim.
Catatan perkembangan pelukis Belanda yang diabaikan adalah catatan yang justru secara
mendasar memperlihatkan tanda-tanda perkembangan seni rupa modern. Kendati tidak terlalu
nyata pergeseran yang terjadi pada tahun 1940-an ini menandakan seniman mulai
mempersoalkan bahasa rupa dan cenderung meninggalkan representasi (menampilkan realitas
sebagai fenomena rupa). Pada tahun 50-an kecenderungan mempersoalkan bahasa rupa itu
menegaskan pada karya pelukis Ries Mulder yang waktu itu tinggal di Bandung. Ketika Ries
Mulder merintis pendidikan seni rupa di Bandung (ITB), perkembangan seni rupa di alur ini
memasuki era penjelajahan masalah bentuk rupa yang secara sadar meninggalkan representasi.
Ries Mulder memperkenalkan konsep-konsep seni lukis kubisme yang kemudian sangat
berpengaruh di kalangan pelukis pribumi yang belajar padanya. Di tempat lain, ruang seni rupa
di Jogjakarta pada saat itu dipenuhi dengan karya-karya realistis. Dari kenyataan inilah maka
lahir kubu Bandung yang disebut sebagai laboratorium Barat. Hal ini dipertegas oleh A.D. Pirous
bahwa:
perguruan tinggi dibentuk dengan gaya, konsep dan teori kesenian Barat modern diajarkan
pada mahasiswa, proses itu berjalan sedemikian sehingga pada tahun 50 dan 60-an , karya-karya
mahasiswa seni rupa Bandung pernah dicap sebagai hasil laboratorium Barat (A.D. Pirous,
2003:56)
Akibat dari perkembangan ini, kemudian menjadi kontradiksi kubu Bandung-Jogja yang
memperlihatkan pertentangan dua tradisi besar seni rupa modern, yaitu kontradiksi tradisi realis
dan modernis.
2.4 Seni Rupa Kontemporer
Antara modern dan kontemporer secara umum tidak dapat dipilah berdasarkan waktu, hal ini
mengakibatkan tidak jelasnya pemisah antara kedua istilah tersebut. Instilah modern dan
kontemporer dalam konteks seni rupa dijelaskan oleh Kramer dalam Dharsono sebagai berikut:
Pengertian kontemporer dibandingkan dengan istilah modern hanya sekedar sebagai sekat
munculnya perkembangan seni rupa sekitar tahun 70-an dengan menempatkan seniman-seniman
Amerika seperti David Smith dan Jackson Pollock sebagai tanda peralihan (Dharsono, 2004:
223).

Pengertian kontemporer dalam bidang arsitektur memiliki pengertian lain, hal ini diungkapkan
oleh Kultermann seorang pemikir asal Jerman, berdasarkan teori Udo pengertian kontemporer
dekat dengan paham post-modern menjelang 1970. Paham baru ini menentang kerasionalan
paham modern yang dingin dan berpihak pada simbolisme instink (Dharsono, 2004: 223).
Dalam istilah seni pengertian ini ditafsirkan lebih lajut oleh Douglas Davis kontemporer sebagai
kembalinya upaya mencari dan mengangkat nilai-nilai budaya dan kemasyarakatan atau dalam
istilah seni kembali ke konteks.
Seperti telah kita ketahui, seni kontemporer dalam bahasa Indonesia padanannya adalah seni
masa kini atau juga seni mutakhir. Dalam khazanah seni modern yang telah berusia ratusan
tahun, kehadiran seni kontemporer cukup rumit dan menimbulkan kontroversi yang
berkepanjangan.
Istilah seni kontemporer pada hemat saya justru banyak menimbulkan kebingungan. Istilah seni
kontemporer dalam arti seni masa kini sepanjang yang telah saya selusuri, sudah muncul sejak
tahun 50-an. Pada waktu itu, karya seni masa kini hanya menyangkut nama-nama Picasso,
Matisse, Braque dan lain-lain yang tidak bisa disebut satu persatu apakah tidak mengherankan
jika pada tahun 1996 kita harapkan kepada bentuk seni yang sama sekali berbeda dengan tokohtokoh yang berbeda pula, namanya masih tetap sama yaitu seni kontemporer apa sebenarnya
yang mempertautkan seni kontemporer tahun 50-an yang diwakili Picasso dan kawan-kawannya
dengan seni kontemporer di tahun 1996 yang diwakili Pop art, Happening art dan seni instalasi,
dan sebagainya saya rasa, inilah yang membingungkan dengan memakai istilah seni kontemporer
karena setiap ungkapan seni 10, 20, 50, seratus tahun yang lalu atau yang akan datang, pada
zamannya yang bersangkutan tetap merupakan seni kontemporer. Seperti juga waktu yang akan
datang dan pergi, juga ungkapan seni dari waktu ke waktu yang akan dan pergi masing-masing
mempunyai bentuk, sifat dan kecenderungan masing-masing yang saling berbeda satu sama
lain, bahkan sering tidak ada kaitan dan kebersamaan titik tolaknya. Periode berikutnya adalah
pendobrakan yang lengkap terhadap asas-asas seni rupa tradisi Barat. Bahkan, akhirnya
pendobrakan ini semakin beraneka ragam. Dipengaruhi oleh semangat individualisme dengan
jumlah pelukis yang semakin banyak maka seni kontemporer ini semakin dipadati oleh seni
individual di mana setiap seniman berusaha untuk saling berbeda satu sama lain (Popo Iskandar,
2000:30).
Ditinjau dari sudut ini seni kontemporer bukanlah konsep tetap. Seni kontemporer adalah
dimensi waktu yang terus bergulir mengikuti perkembangan masyarakat dengan zamannya.
Kiranya hanya satu indikasi yang bisa dijadikan titik terang istilah seni kontemporer, yakni lahir
dan berkembang dalam khazanah dan ruang lingkup seni modern. Hal ini di pertegas dalam buku
AWAS! Recent art from Indonesia: Seni rupa kontemporer muncul setelah seni rupa modern.
berlangsungnya perayaan Boom seni lukis di akhir tahun 80-an dan awal akhir 90-an
seniman bergerak cepat menembus, melintas batas-batas tradisional negara yang membatasi
identitasnya. Kelangsungan seni rupa kontemporertidak lagi mengusung semangat hebat,
pemberontakan dan penyangkalan seperti pendahulunya di tahun 70-an (seni modern) tetapi
melangsungkan negosiasi dengan berbagai senimanan baru, perubahan-perubahan yang serba
cepat, peluang dan tentunya juga gemerlapnya pasar (Rizki A Zaelani, 1999:92).
Untuk melengkapi batasan antara modern dan kontemporer dalam seni rupa, penulis (Senin, 17
Januari 2005) berhasil menghubungi Setiawan Sabana (pendidik, perupa, dekan FSRD ITB). Ia
mengungkapkan, sesuai dengan hasil penelitiannya mengenai Seni Rupa Kontemporer Asia

Tenggara yang dilakukannya selama 4 tahun, bahwa yang membedakan antara seni rupa modern
dan kontemporer sebagai berikut:
1. Seni rupa modern
memutuskan rantai dengan tradisi masa lalu, pada masa ini tradisi tidak menjadi perhatian
yang signifikan dan itu dianggap sebagai seseuatu yang tidak perlu diotak-atik lagi tapi cukup
dalam musium saja,
-

adanya high art dan low art ( kesenian dianggap adiluhung),

tema-tema sosial cenderung ditolak, dan

kurang memperhatikan budaya lokal.

2. Seni rupa kontemporer


-

tradisi dicoba untuk diangkat kembali misalnya tema lebih bebas dan media lebih bebas,

tema-tema sosial dan politik menjadi hal yang lumrah dalam tema berkarya seni,

baurnya karya seni adiluhung/high art dan low art,

masa seni rupa modern kesenian itu abadi maka masa kontemporer kesenian dianggap
kesementaraan,
dulu ada istilah menara gading sekarang kesenian merakyat, jadi tidak lagi menjadi sesuatu
yang perlu/harus bertahan, dan
-

budaya lokal mulai bahkan menjadi perhatian.

Selanjutnya ia menyimpulkannya bahwa fenomena seni rupa kontemporer Indonesia merupakan


suatu refleksi, pencerminan evaluasi kembali, sikap evaluatif dan pencarian akan potensi-potensi
kultural yang baru di negeri ini dan merupakan bentuk kesadaran baru dalam era global.
2.5 Seni Rupa Indonesia
Kolonialisme Eropa terutama yang dilakukan oleh dua negara yakni Spanyol dan Portugis, telah
memberikan dampak besar pada perkembangan budaya Timur (Indonesia). Portugis adalah
negara Eropa pertama yang melakukan perjalanan mengarungi samudera sebelah selatan menuju
Afrika, melewati selatan dari Timur Asia pada abad ke-15. Kemudian pada akhir abad ke-16
Inggris dan Belanda menyaingi monopoli Portugis dalam perdagangan di daerah Timur. Belanda
kemudian menjajah Hindia Belanda sebagai negara koloni penghasil teh, kapas, emas dan
sumber daya alam lainnya terutama Indonesia hingga jatuhnya kekuasaan Belanda ke tangan
Jepang tahun 1942. Tentu hal ini sangat berpengaruh pada semua tatanan yang ada di Indonesia
baik segi politik maupun kebudayaan yang imbasnya sampai pada perjalanan seni rupa.
Perjalanan seni lukis kita sejak perintisan R. Saleh sampai awal abad 21, terasa masih
terombang-ambing oleh berbagai benturan konsepsi. Kemapanan seni lukis Indonesia yang
belum mencapai tataran berhasil itu, sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang
membuahkan seni alternatif dengan munculnya seni konsep (conceptual art) seni instalasi, dan

Performance Art, yang pernah menjamur di kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996.
Kemudian muncul berbagai alternatif semacam kolaborasi sebagai mode 1996/1997.
(Dharsono, 2004: 194).
Sejarah mencatat, perkembangan seni rupa Indonesia pada tiap zamannya banyak dipengaruhi
oleh kolonialisme terutama pada perkembangan seni rupa modern Indonesia yang selalu terkait
dengan perubahan sosial dan juga memuat konteks-konteks sosial, ekonomi maupun
kebudayaan. Hal ini terbukti dengan munculnya seorang seniman pertama kaum pribumi
(terjajah) bernama R. Saleh Syarif Bustaman (1807-1880) yang dinyatakan sebagai perintis,
karena telah menanamkan tonggak pertama perjalanan seni lukis Indonesia (Sudarmaji dalam
Dharsono, 2004:140). Dengan mendapatkan pendidikan gambar dari pelukis Belgia, R. Saleh
dikirim ke negeri Belanda untuk belajar melukis dengan dibiayai pemerintah Belanda pada tahun
1829, dari hasil pendidikan tersebut R. Saleh melahirkan dua karyanya yang sangat terkenal
sampai saat ini yaitu Antara Hidup dan Mati dan Hutan Terbakar serta beberapa potret
keluarga raja-raja Jawa dan pejabat pemerintahan Belanda.
Gambar 1. Lukisan Raden Saleh Berburu Banteng
(Dharsono,2004:142)
Kasus lain yang hampir serupa terjadi setelah meninggalnya R. Saleh (1880). Munculnya tokoh
pelukis yang mengenyam pendidikan dari Belanda yaitu Abdullah Suryosubroto (1900-an). Ia
pada awalnya dikirim ke negeri Belanda oleh Wahidin Sudirohusodo untuk menuntut ilmu
kedokteran namun tanpa sepengetahuan ayahnya ia malah belajar pada akademi seni rupa. Ia
kemudian pulang ke Indonesia menjadi pelukis besar dan menetap di Bandung. Sejak wafatnya
R. Saleh (1880) sampai pada munculnya Abdulah Suryosubroto (1900-an) konteks dunia seni
rupa Indonesia seperti mengalami rantai terputus.
Mooi Indie (seni lukis pemandangan) merupakan masa awal perkembangan seni rupa
Indonesia setelah wafatnya R. Saleh. Tumbuhnya Mooi Indie merupakan pengaruh pengusaha
dan para pedagang masa kolonialisme tahun 1930-1938. Melihat keadaan alam di Indonesia yang
indah dan permai menyebabkan para pengusaha pada waktu itu sangat menyukai objek-objek
keindahan alam, sehingga lahir pelukis-pelukis pemandangan, diantaranya Abdullah
Suryosubroto, Pringadi dan Wakidi. Hal ini ditegaskan oleh Sanento Yuliman sebagai berikut:
pada awal abad dua puluh terbentuklah konsumen lukisan pemandangan alam di Indonesia,
yaitu saudagar, pengusaha, pegawai Belanda dan para wisatawansemua menginginkan kenangkenangan alam Indonesiakarena kebanyakan pelukis pada masa itu memang senang melukis
pemandangan alam. Kesenangan itubeserta hasil penjualanbagi pelukis merupakan imbalan
yang cukupPelukis Abdullah Suryosubroto, Pringadi dan Wakidi meluangkan banyak waktu
pergi ke tempat sepi di lereng gunung Tangkuban Parahu, kaki Merapi, pantai Pelabuhan Ratu
dan di Ngarai Sianok merenungi pemandangan alam dan dengan tekun melukisnya (Sanento
Yuliman, 2001:80).
Mooi Indie memiliki karakter dan teknik pewarnaan yang berbeda dengan masa R. Saleh.
Pewarnaan karya senimanMooi Indie lebih menyala baik pada objek alam, binatang maupun
manusia. Tokoh-tokoh masa Mooi Indie selain Abdullah Suryosubroto, Wakidi dan Pringadi
yaitu Basuki Abdullah dan pelukis lainnya. Mereka melukis pemandangan dengan teknik yang
biasa dilakukan dan diajarkan di akademi seni rupa negeri Belanda berdasarkan ketentuan lazim,
yaitu memperhitungkan perspektif/ruang dan teknik pewarnaan yang ditonjolkan.

Gambar 2. Lukisan Abdulah Suryosubroto Hamparan Sawah


(Dharsono, 2004)
Dengan aturan-aturan seperti di atas Sudjojono (salah satu murid Pringadi) merasa tidak punya
kebebasan, sebab menurutnya melukis harus terbebas dari kaidah-kaidah agar gejolak jiwa bisa
tercurahkan sebebas-bebasnya. lukisan tidak diukur dari kecepatan dalam melukiskan objek
tetapi bagaimana menuangkan intensitas kegemasan garis-garis yang disapukan pada kanvas,
ujar Sudjojono (Sanento Yuliman, 2001:82). Sudjojono tetap konsisten pada keyakinannya
hingga tahun 1937 ia berhasil mengikuti pameran bersama orang-orang Eropa. Pada tahun 1938
ia menjadi tokoh dan penggerak Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) yang diketuai
oleh Agus Djaya. Perkumpulan ini dirintis sebagai kesatuan pelukis-pelukis untuk melahirkan
lukisan corak Indonesia dengan konsep melukis tidak semata-mata berbekal keterampilan
teknis, tetapi memerlukan pandangan hidup dan visi seni yang luas dan mendalam. Namun
akhirnya PERSAGI bubar ketika kekuasaan Belanda jatuh ke tangan Jepang Pada bulan Maret
1942.
Jatuhnya kekuasaan Belanda ke tangan Jepang bukan hanya suatu kemenangan militer saja,
tetapi bangsa Indonesia lebih melihat peristiwa ini sebagai kemenangan kepercayaan akan harga
diri bangsa Asia terhadap bangsa Barat. Ini dipaparkan oleh A.D. Pirous bahwa:
Kedatangan Jepang ke Indonesia pada waktu itu dirasakan sebagai saudara tua yang
melepaskan kekuasaan penjajahan Belanda yang diterima dengan semangat persaudaraan yang
erat. Jepang yang juga unggul dalam kebudayaan, diharapkan dapat membantu mengembangkan
kebudayaan Indonesia, harapan ini jadi lebih diyakini, ketika pemerintah Jepang menampakan
perhatiannya yang besar terhadap persoalan-persoalan kebudayaan (AD. Pirous 2003:3).
Pada masa pendudukan Jepang seni rupa Indonesia mendapatkan perhatian yaitu dengan
disediakannya alat-alat dan tempat untuk melukis sehingga terselenggara pameran lukisan
pertama pada bulan September 1942. Tapi sayangnya karya-karya yang dibuat hanya sebagai
propaganda pemerintahan Jepang yaitu dengan bertemakan kehebatan pemerintahan Jepang.
Gambar 3. Foto Perupa Jepang Saseo Ono
(A.D. Pirous, 2003:1)
Gambar 4. Sketsa Saseo Ono menggambarkan situasi Jalan Braga, Bandung
(A.D. Pirous, 2003:2)
Gambar 5. Sketsa Saseo Ono menggambarkan semangat awal kemerdekaan
(A.D. Pirous, 2003: 9)
Puncak campur tangan pemerintahan Jepang dapat dicatat pada bulan April tahun 1943 atau
setahun setelah masa pendudukan. Jepang membentuk suatu badan kebudayaan yang diberi nama
Keimin Bunka Sidosho dengan kontrol di bawah seniman Jepang yaitu Saseo Ono, di dalamnya
tetap terdapat propaganda pemerintahan Jepang. Akan tetapi oleh para seniman lokal Keimin
Bunka Sidosho dimanfaatkannya sebagai kesempatan untuk berlatih secara teratur dengan
literatur dan peralatan yang ada, mereka mengadakan ceramah/diskusi tentang seni rupa dengan
sedikitnya memberikan pandangan-pandangan baru tentang perkembangan kesenian (seni rupa)

Indonesia. Di pihak lain Indonesia mendirikan Poetra yang dalam bagian seni rupanya
dipimpin oleh S. Sujoyono dan Affandi.
Selain mengabdi pada bidang seni, seniman-seniman lokal berjuang melawan pemerintahan
Jepang lewat lukisan dan poster, dengan jiwa nasionalisme pada saat itu sebagai contoh lukisan
Affandi menyindir pekerja romusha dengan badan kurus dan pakaian compang-camping,
demikian juga poster dengan model pelukis Dullah, teks oleh Khairil Anwar Boeng Ajo Boeng
direproduksi dan disebar lewat gerbong-gerbong kereta api.
Uraian singkat di atas tidak menggambarkan secara detail tentang sejarah, penulis hanya menulis
apa yang dianggap penting. Namun yang terpenting kita telah mendapatkan benang merah
sebagai bukti kuat tentang pengaruh Barat terhadap perkembangan seni rupa modern Indonesia.
Hal tersebut mengingat apa yang diungkapkan oleh Prof. Huizinga seorang ilmuwan sejarah
yang dikutip kembali oleh Moh. Hatta;Bahwa sejarah bukanlah menuliskan selengkaplengkapnya fakta yang terjadi pada masa lampau yang tidak mungkin ditulis lengkap oleh
manusia, sejarah memberi bentuk kepada masa yang lalu supaya roman masa lalu itu jelas
tergambar di muka kita (Khalid Zabidi 2003:22).
Gambar 6. Karya Jim Supangkat
(GSRB, 1979: 48)
Pertama kali yang harus dipahami dari sejak awal adalah perkembangan seni rupa modern
Indonesia merupakan proyek kebudayaan Barat yang dibawa melalui Kolonialisme Eropa
(Belanda). Perkembangan (seni rupa modern) berbeda dengan seni rupa yang telah hidup lama
(seni rupa lokal) di Indonesia. Jim Supangkat menandai ini dengan pernyataannya: Indonesia
Modern art grew out of western culture, it was not a continuity and development of traditional
arts, which have a different frame of reference (Jim Supangkat, dalam Khalid Zabidi 2003:23)
2.6 Perkembangan Seni Rupa Bandung
Melihat sangat luasnya ruang lingkup seni rupa maka penulis dalam hal ini hanya akan
membeberkan perkembangan seni murni saja karena mengingat seni murni dianggap sebagai
pencetus awal modernisasi seni rupa Indonesia.
Perkembangan seni rupa Bandung ditandai dengan munculnya kelompok seni rupa Hindia Molek
atau Mooi Indie kelompok ini banyak menggambarkan lukisan-lukisan yang bertemakan
pemandangan alam yang indah dan objek manusia. Ini dipertegas oleh Sudarmaji bahwa:
Masa Hindia Jelita, atau masa Hindia Indah, atau Mooi Indie, apapun namanya, masa itu
merupakan masa yang menonjolkan sesuatu sifat yang diakibatkan sebagai suatu cara melihat
dan memandang dunia sekelilingnya dari aspek visualnya. Para seniman pada masa ini
memandang gejala sekelilingnya dari sudutnya yang molek, yang cantik, indah, permai dalam
memuja alam Indonesia, terutama gunungnya, laut, sawah, bunga-bunga, manusia terutama
gadis-gadis Indonesia yang cantik (Dharsono, 2004:143).
Kelompok ini muncul tentu tidak lepas dari pengaruh pelukis Barat (penjajah) yang melukis
bertaraf hanya sebagai hobi atau kesenangan belaka. Hindia Molek atau Mooi Indie adalah
sebuah perkembangan seni rupa sebelum lahirnya PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia).
Semenjak dari masa itu perkembangan seni rupa atau bahkan kebudayaan di Indonesia
merupakan perkembangan yang terlepas dari seni rupa prasejarah bahkan hal ini merupakan

pembuka babak baru seni rupa modern Indonesia. Sekitar tahun 1908-1937 pelukis-pelukis
Mooi Indie banyak memilih tempat untuk menetap di Bandung ini disebabkan karena alam
keindahan Bandung merupakan objek yang sangat mendukung dalam berkarya rupa pada saat
itu, misalnya Abdullah Suryosubroto ia memilih Bandung yang akhirnya ia menetap di sana
dengan alasan karena banyak orang asing bermukim yang merupakan konsumen utama seni lukis
baru. Namun yang lebih penting bahwa Bandung merupakan letak yang strategis karena berada
di tengah-tengah alam raya yang indah dengan dikelilingi gunung-gunung yang merupakan
sorga bagi seorang pelukis Mooi Indie.
Rentang pandang kebiruan kaki langit dengan puncak gunung diselimuti awan tipis, mainan
cahaya disela-sela bambu dan hutan belantara serta keelokan jalan atau sungai yang mengalir
jernih menawan, melingkar di antara semak-semak dan pepohonan berlumut yang dipadu dengan
hamparan sawah yang belum ditanamai. Bentang alam pegunungan yang tampak menghijau
laksana lautan hijau mengepung gunung, di bawah sinar matahari pagi dengan senyum awan tipis
lukisan Abdullah Suryosubroto mampu membawakan rasa keharuan dan perasaan tentram, yang
telah hilang ditelan hiruk keramaian kota. Tidaklah mengherankan apabila lukisannya banyak
diminati orang-orang asing dan orang-orang Indonesia sendiri (Kusnadi dalam Dharsono,
2004:144).
Seni rupa Bandung merupakan salah satu muatan seni rupa modern dan kontemporer di
Indonesia. Kalau kita lihat ke belakang hingga munculnya Pelukis Lima Bandung tentulah kita
akan dapat menyimpulkan bahwa Bandung merupakan motor pergerakan seni rupa Indonesia
dari pra-kemerdekaan, pasca kemerdekaan hingga sekarang. Seniman lainnya yang seangkatan
dengan Abdullah Suryosubroto sebagai pengisi masa Mooi Indie yaitu Sukardji dan Kendar
Kerton yang kemudian disusul oleh kelompok Lima Bandung yang aktif pada tahun 1935-1940
yaitu Affandi, Barli, Wahdi, Sudarso dan Hendra. Mereka semua merupakan seniman yang hidup
dan berjaya di masa Kolonial hingga sekarang. Dengan pendidikan dari Belanda para pelukis
Bandung masa lalu telah bisa membaca literatur Barat antara lain gambar reproduksi karya
seniman Barat yang terkenal pada waktu itu.
2.6.1

Masa Pendidikan Tinggi Tahun 1947-1960-an

Lahirnya lembaga pendidikan seni rupa secara formal maupun nonformal sangatlah berarti bagi
perkembangan seni rupa di Bandung, dengan berawal dari berdirinya sanggar-sanggar sebagai
transformasi teknis, pengalaman, wawasan di antara para peserta didik. Baru sekitar tahun 1947
pendidikan tinggi seni rupa formal berdiri, pendirian ini berdasarkan pada pemikiran seorang
guru SMU bernama Simon Admiral dan Ries Mulder, seorang seniman kebangsaan Belanda,
dengan alasan bahwa bangsa Indonesia sudah tidak adil diperlakukan oleh Belanda.
Gambar 7. Lukisan karya Ries Mulder
(Ardiyanto, 1996)
Jika bangsa yang dijajah itu mendapatkan pendidikan dengan metodologi seperti Eropa, Barat,
tentulah akan maju. Berangkat dari pemikiran bangsa Indonesia telah memiliki kemampuan
tinggi dalam berolah seni dan telah dibuktikan dengan banyaknya karya-karya tradisional dan
aktivitas seni lainnya, ini mendorong untuk didirikannya lembaga pendidikan tinggi seni rupa.
Maka pada tanggal 1 Agustus 1947 didirikan Universitaire Leergang Voor de Opleiding
Tekenlaren yang kemudian diubah ke dalam bahasa Indonesia dengan nama Balai Pendidikan
Universiter Guru Gambar yang tergabung dalam Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik,

Universitas Indonesia di Bandung (kini FSRD- ITB) dengan dosen berkebangsaan Belanda dan
salah satunya dari kaum pribumi bernama Sjafei Soemardja dengan akta mengajar dari Belanda
yaitu Middlebare Akte dan pada tahun 1956 di lembaga tersebut dibentuk jurusan melukis di
samping pendidikan yang mencetak guru gambar.
Gambar 8. Mahasiswa Seni Rupa ITB Tahun 1956
( A.D. Pirous, 2003: 164)
Kemudian lembaga yang mencetak guru seni rupa selanjutnya dikelola oleh FKIP-UNPAD
(sejak 1961) dan kini lembaga pendidikan guru seni rupa tersebut berada pada Jurusan
Pendidikan Seni Rupa dan kerajinan IKIP Bandung yang sekarang menjadi UPI (Universitas
Pendidikan Indonesia)
2.6.2 Seni Rupa Bandung Tahun 1970-1980-an
Masa 70-an, ditandai oleh maraknya pembangunan di sektor ekonomi, hal ini ditandai dengan
masuknya penanaman modal asing sehingga memajukan roda industri dan perekonomian.
Pertumbuhan perekonomian menimbulkan krisis sosial sehingga mendorong timbulnya berbagai
ketimpangan sosial. Hal ini dijelaskan oleh A.D. Pirous sebagai berikut:
Perkembangan ekonomi yang mengalami pertumbuhan, melahirkan berbagai ketimpangan yang
mendorong pergolakan sosaial dan politik, seperti misalnya kasus malari pada 1974, serta
gelombang protes dan demonstrasi mahasiswa (A.D Pirous, 2003:172).
Suasana seperti itu berimplikasi pada ruang seni rupa, yaitu ditandai dengan lahirnya gaya seni
yang mengarah pada nilai-nilai spiritual dengan lahirnya lukisan-lukisan yang bernafaskan keIslaman seperti kaligrafi. Hal ini terus berkembang sehingga bermunculan seniman-seniman
kaligrafi. Ini ditegaskan dengan jelas oleh A.D. Pirous:
berbagai pameran yang diikuti banyak seniman dengan beragam gaya, dari kecenderungan
gaya ekspresif seperti: Affandi, dan Amri Yahya di Yogya, serta gaya meditatif dari Ahmad
Sadali, A.D. Pirous, A. Subarna dari Bandung, hingga gaya surealistis seperti Saiful Adnan dari
Yogya yang juga kuat memperkaya ragam bahasa visual seni lukis kaligrafi Islami (A.D.
Pirous, 2003:173)
Tumbuhnya perekonomian di Indonesia Era 80-an mendorong timbulnya kegiatan berkesenian
yang mengakibatkan lahirnya sejumlah kolektor, galeri, art dealer dan lain-lain, kemudian
disusul pembangunan perkantoran, hotel, real estate atau perumahan. Sehingga melahirkan
kebutuhan barang seni sebagai elemen estetiknya. Ardiyanto (1998:55) menyebutkan frekuensi
penjualan lukisan dan pesanan patung mengalami lonjakan yang fantastis dan dengan sendirinya
banyak seniman yang hidupnya berkecukupan, sehingga tidak salah jika G. Shidarta dalam
makalah diskusi dalam pameran ASEAN ke-3 di Jakarta mensinyalir bahwa kecenderungan
besar di mana seniman (seni) mengabdi kepada kekuatan ekonomi.
Realitas lain para perupa pemberontak pada masa ini mayoritas muncul dari kalangan mahasiswa
akademi seni rupa di Bandung, mereka menganggap bahwa lembaga tempat menimba ilmu
dinilai kaku, konservatif dan tidak progresif dalam menyikapi perkembangan seni rupa
Indonesia. Pendek kata lembaga pendidikan seni rupa tidak dapat mengakomodir berbagai
gagasan, motivasi atau keinginan kaum muda ( Ardiyanto, 1998:55).

Karya-karya yang dilahirkan pada masa ini tidak lagi memperhatikan nilai-nilai estetik dan
mengejar wilayah artistik baru bahkan keluar dari wilayah dengan kode khusus, mereka
menganggap praktek eksplorasi artistik sebagai ciri modernisme tidak dianggap penting.
pencarian esensi ekspresi, eksplorasi media, perkara orisinalitas, pencarian teknik baru tidak
dipersoalkan pada karya-karya di era tahun 80-an (Jim Supangkat dalam Ardiyanto, 2003:56).
Praktek seni rupa yang mempunyai kecenderungan menyimpang ini antara lain seperti karyanya
Acep Zam-zam Noor, Irwan Karseno dengan mengangkat isu seks kemudian tokoh lainnya
seperti Tisna Sanjaya dan Kristiawan, menyelenggarakan pameran gambar di sepanjang jalan
Cikapundung-Bandung.
Gambar 9. Aksi mahasiswa IKIP Bandung tahun 1981
(Ardiyanto, 1998: 62)
Pemilihan ruang publik tidak saja dikarenakan perkara ukuran yang relatif lebih besar namun
secara tidak disadari hal ini jadi lebih dekat dengan lahirnya karya seni yang dapat diapresiasi
oleh masyarakat khususnya warga kampus ini dilakukan oleh mahasiswa seni rupa IKIP
Bandung (sekarang UPI) angkatan 1981 mereka mendobrak bahwa karya itu tidak selalu
individual. Peristiwa ini sempat menjadi polemik dan kekalutan pada masyarakat kampus
(Ardiyanto, 1998:62).
2.7 Seni Instalasi
Munculnya seni instalasi berasal dari perkembangan salah satu teknik dalam seni rupa (patung)
yaitu asemblasi. Asemblasi sendiri berasal dari perkembangan aliran Kubisme (Picasso dan
Braque), ditambah dengan semakin gencarnya pengaruh Dadaisme, Surealisme dan Conseptual
Art/Seni Konseptual.
Dalam buku Art Speak Robert, A. (1990:90), menyebutkan bahwa seni instalasi dunia pertama
kali muncul pada erapop art (1950-1970-an) dengan tokoh-tokohnya: Judy Pfaff dengan
karyanya yaitu membuat taman bawah laut dari ribuan berbagai jenis sampah dengan sangat
fantastik. Tohoh lainnya Daniel Buren membuat instalasi garis-garis yang diaplikasikan pada
struktur-struktur yang diuraikan dengan penempatan mereka pada karakter fisikal atau sosial
dari tempat itu.
Adapun artian harfiahnya (asal kata install = memasang, installation = pemasangan), jadi seni
instalasi merupakan seni yang memasang, menyatukan, memadukan dan mengkontruksi
sejumlah benda yang dianggap bisa merujuk pada suatu konteks kesadaran makna tertentu. Lebih
spesifiknya instalasi adalah memasang, merakit, komponen-komponen benda seni maupun benda
lain (bentuk di luar konteks seni rupa). Adapun pengertian instalasi yang diungkapkan oleh
Setiawan Sabana bahwa, instalasi adalah sebuah perakitan komponen-komponen dalam karya
seni yang dulu dipisahkan seperti patung, lukis, grafis dan keramik.
2.8 Sejarah Singkat Seni Instalasi Asia Tenggara
Pada pertengahan tahun 1970-an banyak dilakukan percobaan seni kontemporer yaitu di
Thailand, Singapura termasuk Indonesia. Tetapi yang berani melakukan percobaan ini hanya
sekelompok kecil seniman.

Pada tahun 1990-an didirikan suatu komunitas instalasi di Asia Tenggara yang diberi nama
Forum Seni Internasional. Tidak dapat kita pungkiri instalasi ini memang merupakan pengaruh
dari Barat. Adanya seni instalasi seolah-olah merupakan zaman renaissance di Asia Tenggara,
namun lamakelamaan instalasi dapat diadopsi oleh para seniman Asia Tenggara karena dirasakan
cocok dengan konteks sosial budaya Asia Tenggara. Julie Ewington Art and
Asia Pacific(1995:110).
Sejarawan Thailand yang bernama Somporn Rodboon mengatakan bahwa tidak ada keraguraguan lagi pengaruh instalasi datang dari Barat. Para seniman di Asia Tenggara selalu
mengadakan hubungan dengan koleganya (teman bisnis) melalui kegiatan pameran dan konfrensi
salah satu kolega mereka adalah Andi Goldsworthy, ia sering berada di Filifina pada pertengahan
tahun 1993. Andi Goldsworthy merupakan seorang seniman yang karyanya banyak
menggunakan bahan-bahan alami.
Seni instalasi dibangun dengan harapan bisa menafsirkan seni kontemporer yang cocok dengan
wilayah Asia Tenggara. Tradisi kebudayaan pribumi Asia Tenggara seperti upacara-upacara ritual
keagamaan (tradisi) merupakan sumber daya bagi perkembangan seni instalasi yang
berpengaruh pada karya instalasi di Asia Tenggara.
2.9 Perkembangan Seni Instalasi di Indonesia
Munculnya seni instalasi di Indonesia paling tidak sejak munculnya Gerakan Seni Rupa Baru
pada tahun 1975-1979. bertujuan meruntuhkan definisi seni rupa yang terkungkung oleh seni
patung, lukis dan seni grafis, serta anti elitisme, seperti tampak karya-karya mereka (Ahda
Imran,: 2004).
Munculnya keberadaan seni instalasi pada masa gerakan seni rupa baru Indonesia ini dijelaskan
pula oleh Mikke Sutanto sebagai berikut:
perkembangan seni instalasi di Indonesia disemai dari pameran seni yang diadakan oleh
kelompok seni rupa baru yang kemudian gencar disebut Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia
(1975). ketika pameran ini berlangsung pada saat itu sebutan instalasi belum ada hingga
Sanento Yuliman, seorang kritikus seni menggunakan kata instalasi pada tahun 1989 (Mikke
Sutanto, 2003:118).

Anda mungkin juga menyukai