Anda di halaman 1dari 4

LTM MPK AGAMA ISLAM

Judul

: Contoh Konflik Umat Beragama di Indonesia

Nama

: Dimas Farlyansyah Pratama

NPM

: 1306449340

A. Konflik Poso
Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum
terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun
itu belum bisa menjamin keamanan di Poso. Pelbagai macam konflik terus
bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poson
adalah berlatar belakan agama, namun kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan
menemukan pelbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut.
Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari
keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat
suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso,
seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.
dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam
dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah
mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang
mendominasi adala agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut
agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam
dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru
kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.

Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai
kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosialbudaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat
kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai
kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada
sintimen keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya
pasangan Piet I dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan
suku[1].Untuk seterusnya agama dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik
yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar persona pun bisa
menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat
perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi beragama Kristen.
Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima
diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah
tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan
banyak orang dan bahkan kelompok.
Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma
psikologis yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan
sepele berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam
kerusuhan itu, namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras,
isu tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi
oleh petualang politik melalui instrumen isu pendatang vs penduduk asli dengan
dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan sosio-kultural, ekonomi,
dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik diradikalisasi dengan bungkus ideologis
keagamaan, sehingga konflik Poso yang semula hanya berupa tawuran berubah
menjadi perang saudara antar komponen bangsa.

B. Konflik Maluku
Salah satu konflik yang berbau sara di Indonesia adalah konflik yang terjadi di
Maluku Utara, konflik ini pertama kali terjadi bulan Agustus 1999 yang di picuoleh
pertikaian antara suku Kao yang merupakan suku asli daerah tersebut dengan suku
Makian yang merupakan pendatang dari pulau Makian di daerah selatan pulau
Ternate berkaitan dengan pegelolaan pertambangan emas di kecamatan Malifut. Pada
gelombang pertama jumlah korban jiwa hanya dalam hitungan puluhan, demikian
juga harta benda dan rusaknya tempat-tempat ibadah.
Konflik terus berlanjut pada bulan Oktober-November 1999. Skala kerugian harta
milik yang berkenaan dengan fasilitas-fasilitas publik dan bangunan jauh melebihi
kerugian yang terjadi pada bulan Agustus 1999. Pada konflik ini kurang lebih 16
Desa Suku Makian diratakan dengan tanah, sementara jumlah korban yang meninggal
kurang 100 orang dan kebanyakan dari komunitas islam.
Dalam aksi kekerasan kedua ini, ketiga Sultan yang memerintah di MalukuUtara,
yakni Sultan Ternate, Sultan Tidore, dan Sultan Bacan telah mengambil peran aktif
dalam meredakan keteganggan-keteganggan antara dua komunitas yang berperang.
Sultan Ternate bahkan mengambil langkah kontroversial dengan membentuk kembali
pasukan adat. Pasukan ini disebut pasukan kuning, karena mereka memakai seragam
kuning, maka pasukan khusus Sultan Ternate ini dikenal sebagai pasukan kuning.
Pada mulanya, pasukan kuning membantu, polisi dan tentara untuk meredakan
konflik di wilayah tersebut. Namun seiring berlalunya waktu, mereka secara
berlahan-lahan mulai mengambil alih fungsi aparat keamanan sampai pada titik
dimana mereka merupakan satu-satunya kekuatan keamanan di kota tersebut.
Mereka mulai bertindak kasar dan sewenang-wenang terhadap setiap orang yang
menghalangi caranya. Tindakan sewenang-wenang dari pasukan Kuning tersebut
mendapat reaksi keras dari orang-orang Muslim dari Ternate Selatan. Mereka
kemudian membentuk Pasukan Putih untuk melawan Pasukan Kuning. Pada akhirnya
pertempuran antar kedua pasukan yang sama-sama beragama islam inipun tidak dapat
dielakkan.

Konflik di Maluku Utara terjadi lagi pada tanggal 26 Desember hingga bulan Maret
2000. pada Periode ini konflik yang terjadi di wilayah Maluku Utara hanya
merupakan imbas dari apa yang telah terjadi di Maluku Tengah. Dalam kekerasan
gelombang ketiga ini serangan-serangan dilakukan secara simultan oleh kelompok
Kristen terhadap desa Muslim di Gahoku, Toguliwa, Gurua, Kampung Baru,
Gamsungi, Lauri, dan Popilo yang berada di Kecamatan Tobelo, serta desa Mamuya
di kecamatan Galela. Berdasarkan data yang ada, dalam kerusuhan ini korban yang
meninggal tercatat kurang lebih 800 orang, dimana 200 orang diantaranya meninggal
karena terbakar hidup-hidup di Masjid Baiturrachman di Desa Popilo.[2]
Konflik terjadi pula pada tanggal 19 juni 2000 di Desa Duma Kecamatan Galela.Pada
konflik ini terjadi serangan dari mereka yang mengatasnamakan komunitas Islam
terhadap masyarakat di Desa Duma yang mayoritas beragama Kristen. Dalam
pertikaian yang tidak seimbang ini setidaknya 215 orang meninggal dan kurang lebih
500 orang dinyatakan hilang bersamaan dengan tenggelamnya kapal Nusa Bahari
yang membawa masyarakat Desa Duma untuk mengungsi.

Daftar Pustaka
http://mantrikarno.wordpress.com/2008/06/25/sumber-sumber-konflik-di-malukuutara-1999-2004/
http://saatnyayangmuda.wordpress.com/2009/01/28/sejarah-konflik-poso/

Anda mungkin juga menyukai