Anda di halaman 1dari 7

MAULUDAN

Perayaan Maulid Nabi dan Kontroversi Ma'na Bidah Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi
adalah amalan bid'ah adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bid'ah adalah sesuatu yang baru
atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari Al-Qur'an dan asSunah. Adapun maulid walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan
dari Al-Qur'an dan as-Sunah.
Pada maulid Nabi di dalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur, membaca dan
mendengarkan bacaan Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut
ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang
kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada
dalilnya di dalam Al-Qur'an dan as-Sunah.
Pengukhususan Waktu
Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid'ah adalah adanya pengkhususan
(takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak
dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis
yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu
amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan
tersebut tidak ada landasan dari syar'i sendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir:
hal.27).
Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal,
karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan
hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa
diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak
bercampur dengan maksiat.
Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar'i tersebut, akan
tetapi masuk kategori tartib (penertiban).
Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad
sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti
diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu
dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan
Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: "Bahwa hadis ini disertai banyaknya
riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amalamal salihah dan dilakukan terus-menerus".(Fathul Bari 3: hal. 84)
Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor
juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat
Allah,( yaitu datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul 'Urubah
dan direstui Nabi.
Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro' Mi'roj dan yang lainya
hanyalah untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada
keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah,
penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh
syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila
kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan
atau ditinggalkan.

Acara maulid di luar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara
pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat yang lain
yang diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori
maulid, walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita
berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu yang
berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi
harus terus menerus dan dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan
jalan maksiat.
Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat
Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di
bulan Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan
barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain bulan
Rabiul Awal maka kami sepakat keyakinan ini adalah bid'ah dholalah.
Tak Pernah Dilakukan Zaman Nabi dan Sohabat
Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid'ah adalah karena acara maulid tidak pernah
ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham
bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat) dari Al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak
dilakukan Nabi atau Sahabat dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark dan tidak ada
keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal
tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.
Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan
beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat
mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram
atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:
1. Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau hadis yang
maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat: "Dan perbuatlah kebajikan, supaya
kamu mendapat kemenangan.''(QS Al-Haj: 77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi
tidak menjelaskan semua secara rinci.
2. Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu belai lakukan akan dikira umatnya bahwa
hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih
berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.
3. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang
beliau katakan pada siti Aisyah: "Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh
akan aku robohkan Ka'bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as.
Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka'bah menjadi pendek." (HR. Bukhori dan Muslim)
Nabi meninggalkan untuk merekontrusi ka'bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar
tidak terganggu.
4. Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadis: Nabi
disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka
ada yang berkata: "itu biawak!", maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya:
"apakah biawak itu haram? Nabi menjawab: "Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi
kaumku, saya merasa jijik!" (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa yang
ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau
dilarang.
5. Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhol. Dan adanya

yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhul) adalah haram.dan masih banyak
kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu
Tafahum wad Dark limasalatit tark)
Dan Nabi bersabda:" Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan
apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka
terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi
membaca:" dan tidaklah Tuhanmu lupa".(HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda:
"Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan
batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau
melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa
melupakannya maka janganlah membahasnya".(HR.Daruqutnhi)
Dan Allah berfirman:"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
amat keras hukumannya."(QS.Al Hasr:7) dan Allah tidak berfirman dan apa yang ditinggalknya
maka tinggalkanlah.
Maka dapat disimpulkan bahwa "at-Tark" tidak memberi faidah hukum haram, dan alasan
pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan sahabat sama dengan
berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!
Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan: "Saya tidak tahu bahwa maulid ada
asalnya di Kitab dan Sunah" dengan jawaban: "Tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil itu
tidak ada", peryataannya Imam Suyutiy ini didasarkan karena beliau sendiri dan Ibnu Hajar alAsqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum'ah. AlBayanul Qowim, hal.28)

MAULUDAN 2
Merayakan Maulid Nabi SAW (1) Memang Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni
peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah menjumpai suatu hadits/nash yang menerangkan
bahwa pada setiap tanggal 12 Rabiul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul
Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika
beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga
para tabi`in dan tabi`it tabi`in.
Menurut Imam As-Suyuthi, tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran
Rasulullah saw ini dengan perayaan yang meriah luar biasa adalah Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id
Kukburi ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (l. 549 H. - w.630 H.). Tidak kurang dari 300.000 dinar
beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini. Intinya
menghimpun semangat juang dengan membacakan syiir dan karya sastra yang menceritakan
kisah kelahiran Rasulullah SAW.
Di antara karya yang paling terkenal adalah karya Syeikh Al-Barzanji yang menampilkan
riwayat kelahiran Nabi SAW dalam bentuk natsar (prosa) dan nazham (puisi). Saking
populernya, sehingga karya seni Barzanji ini hingga hari ini masih sering kita dengar dibacakan
dalam seremoni peringatan maulid Nabi SAW.
Maka sejak itu ada tradisi memperingati hari kelahiran Nabi SAW di banyak negeri Islam. Inti
acaranya sebenarnya lebih kepada pembacaan sajak dan syi`ir peristiwa kelahiran Rasulullah
SAW untuk menghidupkan semangat juang dan persatuan umat Islam dalam menghadapi
gempuran musuh. Lalu bentuk acaranya semakin berkembang dan bervariasi.

Di Indonesia, terutama di pesantren, para kyai dulunya hanya membacakan syiir dan sajak-sajak
itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan
momentum tradisi maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media
dakwah dan pengajaran Islam. Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang
harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi Islam telah
mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga
untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin,
pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan
masyarakat.
Kembali kepada hukum merayakan maulid Nabi SAW, apakah termasuk bid`ah atau bukan?
Memang secara umum para ulama salaf menganggap perbuatan ini termasuk bid`ah. Karena
tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah saw dan tidak pernah dicontohkan oleh para shahabat
seperti perayaan tetapi termasuk bidah hasanah (sesuatu yang baik), Seperti Rasulullah SAW
merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya,
yaitu setia hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan
wahyunya.


. :
:

Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai
puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu
diturunkan kepadaku. (H.R. Muslim)
Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk
kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT
berfirman:

Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
(QS.Yunus:58).
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Hadits itu menerangkan bahwa pada
setiap hari senin, Abu Lahab diringankan siksanya di Neraka dibandingkan dengan hari-hari
lainnya. Hal itu dikarenakan bahwa saat Rasulullah saw lahir, dia sangat gembira menyambut
kelahirannya sampai-sampai dia merasa perlu membebaskan (memerdekakan) budaknya yang
bernama Tsuwaibatuh Al-Aslamiyah.
Jika Abu Lahab yang non-muslim dan Al-Quran jelas mencelanya, diringankan siksanya
lantaran ungkapan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang
yang beragama Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW?

MAULUDAN 3
Merayakan Maulid Nabi SAW (2) Jika sebagian umat Islam ada yang berpendapat bahwa
merayakan Maulid Nabi SAW adalah bidah yang sesat karena alasan tidak pernah dikerjakan
oleh Rasulullah saw sebagaimana dikatakan oleh beliau:

Hindarilah amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah menyesatkan. (HR
Abu Daud dan Tarmizi)
Maka selain dalil dari Al-Quran dan Hadits Nabi tersebut, juga secara semantik (lafzhi) kata
kullu dalam hadits tersebut tidak menunjukkan makna keseluruhan bidah (kulliyah) tetapi
kullu di sini bermakna sebagian dari keseluruhan bidah (kulli) saja. Jadi, tidak seluruh bidah
adalah sesat karena ada juga bidah hasanah, sebagaimana komentar Imam Syafii:


Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan (dalam
agama) bertentangan dengan Al-Quran, Sunnah Nabi SAW, prilakuk sahabat, atau kesepakatan
ulama maka termasuk bidah yang sesat; adapun sesuatu yang diada-adakan adalah sesuatu yang
baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Quran, Hadits, prilaku sahabat atau Ijma) maka sesuatu
itu tidak tercela (baik). (Fathul Bari, juz XVII: 10)
Juga realitas di dunia Islam dapat menjadi pertimbangan untuk jawaban kepada mereka yang
melarang maulid Nabi SAW. Ternyata fenomena tradisi maulid Nabi SAW itu tidak hanya ada di
Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam. Kalangan awam diantara mereka
barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama
berargumen bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan
ibadah mahdhah atau ritual peribadatan dalam syariat.
Buktinya, bentuk isi acaranya bisa bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya justru
pada momentum untuk menyatukan semangat dan gairah ke-islaman. Mereka yang melarang
peringatan maulid Nabi SAW sulit membedakan antara ibadah dengan syiar Islam. Ibadah
adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi syiar adalah
sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasional serta mubah.
Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Imam
as-Suyuthi mengatakan dalam menananggapi hukum perayaan maulid Nabi SAW:


Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Quran
dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian
dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang
dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bidah hasanah(sesuatu yang baik). Orang yang
melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita
dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad saw yang mulia. (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h.
251-252)
Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: Bidah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga
memperingati hari maulid Rasulullah SAW.
Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi): Termasuk hal baru yang baik dilakukan pada
zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah saw.
dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia,
sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada
Rasulullah SAW dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada

Allah atas diutusnya Rasulullah SAW kepada seluruh alam semesta.


Untuk menjaga agar perayaan maulid Nabi SAW tidak melenceng dari aturan agama yang benar,
sebaiknya perlu diikuti etika-etika berikut:
1. Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW.
2. Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.
3. Membaca sejarah Rasulullah SAW dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan keutamaankeutamaan beliau.
4. Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin.
5. Meningkatkan silaturrahim.
6. Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran Rasulullah
SAW di tengah-tengah kita.
7. Mengadakan pengajian atau majlis talim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan
mensuritauladani Rasulullah SAW.

MAULUDAN 4
Memuliakan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW Ketika memasuki bulan Rabiul Awal, umat
Islam merayakan hari kelahiran Nabi SAW dengan berbagai cara, baik dengan cara yang
sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, barzanji dan
pengajianpengajian yang mengisahkan sejarah Nabi SAW menghiasi hari-hari bulan itu.
Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan seperti itu juga muncul. Dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi
(849 H - 911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan. Sebagaimana
dituturkan dalam Al-Hawi lil Fatawi:
"Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal,
bagaimana hukumnya menurut syara'. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang
melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: Menurut saya bahwa asal
perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Quran dan kisah-kisah
teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian
menghidangkan makanan yang dinikmnti bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang
dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bidah al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi
pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka dta dan kegembiraan atas
kelahiran Nnbi Muhammad SAW yang mulia". (Al-Hawi lil Fatawi, juz I, hal 251-252)
Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa
senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan
cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman,
mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk diteladani. Pengungkapan rasa gembira itu
memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sebagaimana
firman Allah SWT :



Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah
kalian. (QS Yunus, 58)
Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah
SWT. Sementara Nabi Muhammad SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia
yang tiadataranya. Sebagaimana firman Allah SWT:

Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. alAnbiya',107)
Sesunggunya, perayaan maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam.
Benihnya sudah ditanam sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:







Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang
puasa Senin. Maka beliau menjawab, "Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan
kepadaku. (HR Muslim)
Betapa Rasulullah SAW begitu memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah
SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa
syukur itu beliau ungkapkan dengan bentuk puasa.
Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW termasuk
sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan shalawat, baik
Barzanji atau Diba', sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang
merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh Syari' at Islam. Sayyid Muhammad'
Alawi al-Maliki mengatakan:
"Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang sudah
lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan
dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (di
dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara' secara parsial (bagianbagiannya)
Sesungguhnya perkumpulan ini merupakan sarana yang baik untuk berdakwah. Sekaligus
merupakan kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh punah. Bahkan menjadi kewajiban
para da'i dan ulama untuk mengingatkan umat kepada akhlaq, sopan santun, keadaan sehari-hari,
sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi Muhammad SAW. Dan hendaknya mereka menasehati
dan memberikan petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan
memperingatkan umat akan datangnya bala' (ujian), bid'ah, kejahatan dan berbagai fitnah".
(Mafahim Yajib an Tushahhah, 224-226)
Hal ini diakui oleh Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyyah berkata, "Orang-orang yang melaksanakan
perayaan Maulid Nabi SAWakan diberi pahala. Begitulah yang dilakukan oleh sebagian orang.
Hal mana juga di temukan di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS. Dalam
Islam juga dilakukan oleh kaum muslimin sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi
SAW. Dan Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi
mereka, bukan dosa atas bid'ah yang mereka lakukan". (Manhaj as-Salaf li Fahmin Nushush
Bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 399)
Maka sudah sewajarnya kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi SAW sebagai salah satu
bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga karena isi perbuatan tersebut
secara satu persatu, yakni membaca shalawat, mengkaji sejarah Nabi SAW, sedekah, dan lain
sebagainya merupakan amalan yang memang dianjurkan dalam syari'at Islam.

Anda mungkin juga menyukai