Anda di halaman 1dari 14

5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Penyakit Jantung Koroner
2.1.1 Definisi Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner adalah penyakit pada pembuluh darah arteri
koroner yang terdapat di jantung, yaitu terjadinya penyempitan dan penyumbatan
pada pembuluh darah tersebut. Hal itu terjadi karena adanya ateroma atau
aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah), sehingga suplai darah ke otot jantung
menjadi berkurang (Maulana, 2008).
Penyakit jantung koroner adalah kelainan di arteri koroner sehingga tidak
cukup suplai darah yang berarti juga kurangnya suplai oksigen dan nutrisi untuk
menggerakkan jantung secara normal (Soeharto, 2004).
Penyakit jantung koroner adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh
penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke otot
jantung (Soeharto, 2001).
2.1.2 Etiologi Penyakit Jantung Koroner
Penyakit Jantung Koroner disebabkan oleh penumpukan lemak pada
dinding dalam pembuluh darah jantung (pembuluh koroner), dan hal ini lama
kelamaan diikuti oleh berbagai proses seperti penimbunan jaringan ikat,
perkapuran, pembekuan darah yang semuanya akan mempersempit atau
menyumbat pembuluh darah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan otot jantung di
daerah tersebut mengalami kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan
berbagai akibat yang cukup serius dari angina pektoris (nyeri dada) sampai infark
jantung, yang dalam masyarakat di kenal dengan serangan jantung yang dapat
menyebabkan kematian mendadak.
Pembuluh arteri ini akan menyempit dan bila parah terjadi penghentian
darah. Setelah itu terjadi proses penggumpalan dari berbagai substansi dalam
darah sehingga menghalangi aliran darah dan terjadi atherosklerosis. Manifestasi
klinik dari penyakit jantung koroner adalah: tanpa gejala, angina pektoris, infark
miokard akut, aritmia, payah jantung, kematian mendadak (Soeharto, 2004).

2.1.3 Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner


Penyakit jantung koroner terjadi bila ada timbunan (PLAK) yang
mengandung lipoprotein, kolesterol, sisa-sisa jaringan dan terbentuknya kalsium
pada intima, atau permukana bagian dalam pembuluh darah. Plak ini membuat
intima menjadi kasar, jaringan akan berkurang oksigen dan zat gizi sehingga
menimbulkan infark, penyakit jantung koroner menunjukkan gejala gizi terjadi
infark miokard atau bila terjadi iskemia miokard seperti angina pektori.
Kolesterol serum dibawa oleh beberapa lipoprotein yang diklasifikasikan
menurut densitasnya. Lipoprotein dalam urutan densitas yang meningkat adalah
kilomikron. VLDL (Very Low Density Lopoprotein). LDL (low Density
Lipoprotein) dan HDL (High Density Lipoprotein). HDL menurunkan resiko
penyakit jantung ke hati, tempat kolesterol di metabolisme dan di ekskresikan.
Orang dewasa dapat diklasifikasikan sebagai beresiko penyakit jantung koroner
dengan melihat kadar kolesterol total dan lipoproteinnya (Moore, 1997).
2.1.4 Gejala Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner sering ditandai dengan rasa tidak nyaman atau
sesak di dada, gejala seperti ini hanya dirasakan oleh sepertiga penderita. Rasa
nyeri terasa pada dada bagian tengah, lalu menyebar keleher, dagu dan tangan.
Rasa tersebut akan hilang beberapa menit kemudian.
Rasa nyeri muncul karena jantung kekurangan darah dan suplai oksigen.
Kondisi ini timbul secara tidak terduga dan hanya timbul jika jantung dipaksa
bekerja keras, misalnya ketika fisik dipaksa bekerja keras atau mengalami tekanan
emosional.
Pada usia lanjut gejala serangan jantung sering tidak disertai keluhan
apapun, sebagian hanya merasa tidak enak badan. Gejala penyakit jantung koroner
pada umumnya tidak spesifik untuk diduga angina pektoris. Biasanya diperoleh
riwayat penyakit orang bersangkutan, sedangkan pemeriksaan fisik kurang
menunjukkan data yang akurat. Pada keadaan tenang elektrodiagram pada orang
yang menghidap angina pectoris akan terlihat normal pada keadaan istirahat.
Sebaliknya menjadi normal saat melakukan kerja fisik. Riwayat angina pectoris

tidak stabil lebih sulit dikendalikan karena terjadi secara tidak terduga kasus ini
menjadi mudah terdeteksi jika disertai dengan nyeri sangat hebat di dada, disertai
dengan gejala mual, takut dan merasa sangat tidak sehat.
Berbeda dengan kasus infark miokard pada kelainan jantung yang satu ini
dapat diketahui melalui penyimpanan irama jantung saat pemeriksaan melalui
elektro kardiografi dan dikaitkan dengan peningkatan kadar enzim jantung dalam
darah, juga dalam perkembangan penyakit jantung koroner biasanya disertai
kelainan kadar lemak dan trombosit darah penderita yang diikuti oleh kerusakan
endoterium dinding pembuluh nadi (Krisnatuti dan Yenria, 1999).
2.1.5 Hiperkolesterolemia Pada Penyakit Jantung Koroner Sebagai Faktor Risiko
Aterosklerosis
a.

Definisi Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan

kadar kolesterol total plasma dalam keadaan puasa. Seseorang dikatakan


mengalami hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol total plasma 200
mg/dl (Anwar, 2003). Kadar normal kolesterol tikus putih strain Wistar
(Rattus norvegicus) adalah 10-54 mg/dl (Smith and Mangkoewidjojo, 1998).
b. Patogenesis Hiperkolesterolemia
Mekanisme terjadinya hiperkolesterolemia adalah lemak yang
berasal dari makanan akan mengalami proses pencernaan di dalam usus
menjadi asam lemak bebas, trigliserid, fosfolipid dan kolesterol. Kemudian
diserap ke dalam bentuk kilomikron. Sisa pemecahan kilomikron beredar
menuju hati dan dipilah-pilih menjadi kolesterol. Sebagian kolesterol ini
dibuang ke empedu sebagai asam empedu dan sebagian lagi bersama-sama
dengan trigliserida akan bersekutu dengan protein tertentu (apoprotein) dan
membentuk Very Low Density Lipoprotein (VLDL), yang selanjutnya
dipecah oleh ensim lipoprotein menjadi Intermediet Density Lipoprotein
(IDL) yang tidak bisa bertahan 2-6 jam karena langsung akan diubah
menjadi Low Density Lipoprotein (LDL) (Soeharto, 2004).

Didalam pembuluh darah terdapat sel-sel perusak (monosit) yang


dapat merusak LDL. Melalui jalur sel-sel perusak ini molekul LDL
dioksidasi, sehingga tidak dapat masuk kembali ke dalam aliran darah.
Kolesterol yang banyak terdapat dalam LDL akan menumpuk dalam sel-sel
perusak. Bila hal ini terjadi selama bertahun-tahun, kolesterol akan
menumpuk pada dinding pembuluh darah dan membentuk plak. Plak akan
bercampur dengan protein dan ditutupi oleh selsel otot dan kalsium. Hal
inilah yang kemudian dapat berkembang menjadi aterosklerosis (Almatsier,
2004).
c.

Definisi Aterosklerosis
Aterosklerosis adalah penyakit akibat respon peradangan pada

pembuluh darah (arteri besar dan sedang), bersifat progresif, yang ditandai
dengan deposit massa kolagen, lemak, kolesterol, produk buangan sel dan
kalsium, disertai proliferasi miosit yang menimbulkan penebalan dan
pengerasan dinding arteri, sehingga mengakibatkan kekakuan dan kerapuhan
arteri.
Aterosklerosis sangat dipengaruhi kadar kolesterol yang tinggi
merokok, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, obesitas, dan kurang
aktivitas fisik. Tingginya kadar homosistein darah, fibrinogen, dan
lipoprotein-a juga dilaporkan sebagai faktor risiko terjadinya aterosklerosis.
Ada empat faktor risiko biologis yang tak dapat diubah, yaitu usia, jenis
kelamin, ras, dan riwayat keluarga (genetik).
Populasi dengan hiperlipidemia lebih banyak terkena aterosklerosis
dibanding kelompok orang dengan kadar lipid rendah. Populasi dengan
hiperlipidemia ini lebih signifikan berhubungan dengan gejala aterosklerosis
dan kematian oleh karena komplikasi aterosklerosis koroner. Tingginya
kolesterol darah, trigliserida, dan LDL berhubungan dengan stenosis
koroner. Sementara kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL)
berhubungan dengan menurunnya insiden penyakit aterosklerotik, karena

HDL dapat mengembalikan kolesterol dari jaringan untuk di metabolisme di


hepar.
Kadar kolesterol yang tinggi menjadi penjejas utama sel endotel dan
miosit. Kolesterol dapat mengalami oksidasi, agregasi, dan berikatan dengan
proteoglikan atau menyatu dengan kompleks imun. Kolesterol di tubuh
disintesis oleh Asetil-KoA secara kompleks. Asetil-KoA mempunyai 3
molekul yang membentuk Mevalonat melewati reaksi penting dan di
katelisis oleh enzim HNG-KoA reduktase.
Pada kondisi hipertensi juga berperan agen proinflamasi yang
meningkatkan formasi hidrogen peroksida (hidroksi radikal) dan radikal
bebas (anion superoksida) dalam plasma. Substansi itu mereduksi
pembentukan nitrit oksida oleh endotel, meningkatkan adesi lekosit, dan
peningkatan

resistensi

perifer.

Selanjutnya

formasi

radikal

bebas

mengakibatkan efek hipertensi dan hiperkolesterolemia.


2.2 Kolesterol
Kolesterol adalah lipid amfipatik dan merupakan senyawa kimia yang
dibutuhkan oleh tubuh sebab merupakan prekursor dari semua steroid di dalam
tubuh seperti kortikosteroid, hormon seks, garam empedu, dan vitamin D. Selain
itu, kolesterol merupakan senyawa pembentuk struktur utama sistem membran sel
dan lapisan luar lipoprotein (Murray et al., 2003). Kolesterol terdapat di jaringan
dan plasma sebagai kolesterol bebas atau dalam bentuk simpanan yang berikatan
dengan asam lemak rantai panjang sebagai ester kolesterol. Kolesterol sendiri
tidak larut dalam darah oleh karena itu, dalam plasma, kedua bentuk tersebut perlu
berikatan dengan pengangkutnya yaitu lipoprotein. Tujuh puluh persen kolesterol
terdapat didalam lipoprotein plasma dalam bentuk kolesterol ester dan kadar
kolesterol tertinggi terdapat pada LDL (Guyton & Hall, 2006). Sekitar separuh
kolesterol tubuh berasal dari sintesis senyawa tersebut (sekitar 700 mg/hari) dan
sisanya diperoleh dari makanan. Tubuh membutuhkan senyawa kolesterol dalam
batas normal tertentu dan akan memiliki dampak negatif bila kadarnya
kekurangan atau kelebihan (Murray et al., 2003). Bila kadar kolesterol (terutama

10

kolesterol total dan LDL) di dalam darah terlalu tinggi akan terjadi pengendapan
pada dinding pembuluh darah, dan ini dapat mengakibatkan risiko tinggi terhadap
penyakit jantung (Grundy, 2004).
2.2.1 Pembentukan Kolesterol
Kolesterol diabsorbsi setiap hari dari saluran pencernaan, yang disebut
kolesterol eksogen, suatu jumlah yang bahkan lebih besar dibentuk dalam sel
tubuh disebut kolesterol endogen. Pada dasarnya semua kolesterol endogen yang
beredar dalam lipoprotein plasma dibentuk oleh hati, tetapi semua sel tubuh lain
setidaknya membentuk sedikit kolesterol, yang sesuai dengan kenyataan bahwa
banyak struktur membran dari seluruh sel sebagian disusun dari zat yang
berstruktur dasar inti sterol ini (Guyton & Hall, 2006) seperti terlihat pada
Gambar 2.1

Gambar 2.1 Struktur kolesterol (Guyton & Hall, 2006)


Menurut Harding et al. (2010) proses sintesis kolesterol terdiri dari lima
tahapan utama antara lain (Gambar 2.2):
1.

Merubah Asetil CoA menjadi 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA (HMG-CoA).

2.

Merubah HMG-CoA menjadi mevalonate

3.

Mevalonate

diubah

menjadi

molekul

dasar

isoprene,

pyrophosphate (IPP), bersamaan dengan hilangnya CO2.


4.

IPP diubah menjadi squalene

5.

Squalene diubah menjadi kolesterol.

isopentenyl

11

Gambar 2.2 Pembentukan kolesterol (Harding, 2010)


2.3 Kopi (Coffea sp)
Kopi (Coffea sp) merupakan minuman stimulan yang didapatkan dari biji
yang dipanggang, pada umumnya disebut biji kopi. Saat ini, kopi (Coffea sp)
merupakan minuman yang sangat populer di seluruh dunia. Pada awalnya kopi
(Coffea sp) dikonsumsi pada abad ke-9 di dataran tinggi Ethiopia kemudian
menyebar ke Mesir dan Yaman, seterusnya pada abad ke-15 telah mencapai
Azerbaijan, Persia, Turki, dan Afrika Utara, Italia, benua Eropa, Indonesia, dan
Amerika. Selain dikonsumsi sebagai stimulant, kopi (Coffea sp) juga digunakan
dalam ritual-ritual agama, kepentingan politik, dan sebagai jamuan untuk tamutamu agung.
Tanaman kopi (Coffea sp) termasuk dalam golongan famili Rubiaceae
yang mempunyai 500 macam genus dan lebih dari 6000 spesies. Biasanya tumbuh

12

berupa semak atau pohon kecil yang dapat mencapai 5 meter ketika tidak berbuah.
Daunnya berwarna hijau gelap dan mengkilat, biasanya panjangnya 10-15 cm dan
mempunyai lebar 6 cm. Bunganya berwarna putih dan berbau harum. Bijinya
berbentuk oval, dengan panjang kira-kira 1,5 cm, berwarna hijau saat belum
matang,

kemudian

berwarna kuning ketika

hendak matang,

kemudian

kemerahmerahan, dan menjadi hitam ketika kering. Biasanya dikotil tapi 5-10%
merupakan monokotil yang disebut peaberries. Biji kopi ini umumnya matang
sekitar tujuh hingga sembilan bulan. Kopi (Coffea sp) tumbuh di daerah tropis dan
tumbuhan peralihan yang tumbuh di lereng gunung. Ada dua jenis tanaman kopi
yang sering dikonsumsi masyarakat antara lain Kopi Arabika (Coffea arabica) dan
Kopi Robusta (Coffea canephora). Ketika matang, biji kopi dipetik, diproses,
dikeringkan, dan dipanggang. Saat dipanggang, biji kopi mengalami beberapa
perubahan fisika dan kimia. Biji-biji kopi itu dipanggang dalam beberapa derajat,
tergantung pada rasa yang diinginkan. Setelah dipanggang biji kopi akan digiling
dan disajikan dalam beberapa macam penyajian.
Senyawa kimia pada biji kopi dapat dibedakan atas senyawa volatil dan
non volatil. Senyawa volatil adalah senyawa yang mudah menguap, terutama jika
terjadi kenaikan suhu. Senyawa volatil yang berpengaruh terhadap aroma kopi
antara lain golongan aldehid, keton dan alkohol, sedangkan senyawa non volatile
yang berpengaruh terhadap mutu kopi (Coffea sp) antara lain kafein, chlorogenic
acid dan senyawa-senyawa nutrisi. Golongan asam juga dapat mempengaruhi
mutu kopi (Coffea sp), karena merupakan salah satu senyawa pembentuk aroma
kopi (Coffea sp). Asam yang dominan pada biji kopi adalah asam klorogenat yaitu
sekitar 10 % pada kopi robusta (Coffea canephora) dan 7 % pada kopi arabika
(Coffea arabica). Selama penyangraian sebagian besar chlorogenic acids akan
terhidrolisa menjadi asam kafeat dan Quinic acid. Selain itu terdapat juga kafein
yang merupakan unsur terpenting pada kopi yang berfungsi sebagai stimulant,
sedangkan kafeol merupakan faktor yang menentukan rasa. Kafein merupakan
suatu alkaloid dari metil xantin yaitu 1,3,7 trimetil xantin.

13

2.3.1 Jenis-jenis Kopi (Coffea sp)


Di dunia ada sekitar 70 spesies kopi tetapi yang sering dibudidayakan
hanya kopi robusta (Coffea canephora), arabika dan liberika. (Najiyati dan
Danarti, 1997). Berikut beberapa jenis kopi beserta cirinya :
a. Kopi robusta (Coffea canephora)
Kopi robusta (Coffea canephora) digolongkan lebih rendah mutu
citarasanya dibandingkan dengan citarasa kopi arabika (Coffea Arabica).
Hampir seluruh produksi kopi robusta (Coffea canephora) di seluruh dunia
dihasilkan secara kering dan untuk mendapatkan rasa lugas tidak boleh
mengandung rasa-rasa asam dari hasil fermentasi. Kopi robusta (Coffea
canephora) memiliki kelebihan yaitu kekentalan lebih dan warna yang kuat
(Siswoputranto, 1992).
b. Kopi arabika (Coffea Arabica)
Kopi arabika (Coffea Arabica) adalah kopi yang paling baik mutu
cita rasanya, tanda-tandanya adalah biji picak dan daun hijau tua dan
berombak-ombak (Botanical, 2010). Jenis-jenis kopi yang termasuk dalam
golongan arabika adalah abesinia, pasumah, marago dan congensis (Najiyati
dan Danarti, 1997).
c. Kopi liberika (Coffea liberica)
Kopi liberika (Coffea liberica) berasal dari Angola dan masuk ke
Indonesia sejak tahun 1965. Meskipun sudah cukup lama penyebarannya
tetapi hingga saat ini jumlahnya masih terbatas karena kualitas buah yang
kurang bagus dan rendemennya rendah (Najiyati dan Danarti, 1997).
2.3.2 Komposisi Kimia Kopi (Coffea sp)
Komposisi kimia dari biji kopi bergantung pada spesies dan varietas dari
kopi tersebut serta faktor-faktor lain yang berpengaruh antara lain lingkungan
tempat tumbuh, tingkat kematangan dan kondisi penyimpanan (Clarke dan
Macrae, 1985).
Adapun komposisi kimia dari biji dan bubuk kopi robusta (Coffea canephora)
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:

14

Tabel 2.1 Komposisi kimia biji dan bubuk kopi robusta (Coffea canephora) (%)
Komponen
Mineral
Kafein
Trigonelline
Lipid
Total Asam Klorogenat
Asam Alifatik
Oligosakarida
Total Polisakarida
Asam Amino
Protein
Asam Humin
(Clarke dan Macrae, 1985)

Biji Kopi
4,0-4,5
1,6-2,4
0,6-0,75
9,0-13
7,0-14
1,5-2,0
5,0-7,0
3,0-47,0
2,0
11,0-13,0

Kopi Bubuk
4,6-5,0
2,0
0,3-0,6
6,0-11
3,9-4,6
1,0-1,5
0-3,5
13,0-15,0
16,0-17,0

Gambar 2.3 Tanaman kopi (ICO, 2010)


Pada penelitian sebelumnya zat kimia yang digunakan sebagai penurun
kolesterol total adalah asam klorogenat. Penelitian sebelumnya menggunakan
buang terong ungu (Solanum melongena L.). Terong ungu (Solanum melongena
L.) mengandung total asam klorogenat sebesar 10-16% .

2.4 Ekstraksi
Metode yang digunakan adalah metode maserasi dan evaporasi.

15

2.4.1. Maserasi
Meserasi berasal dari istilah mecaration dari bahasa latin macerace, yang
artinya merendam, merupakan proses paling tepat dimana obat yang sudah halus
memungkinkan untuk direndam dalam mentrum sampai meresap dan melunak
susunan sel, sehingga zat zat yang mudah larut akan melarut. (Ansel, 1989 :
607). Maserasi merupakan penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan
cara merendam serbuk simplisia dengan cairan penyari. Cairan penyari yang
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
zat aktif di dalam sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat didesak
ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi
antara larutan di luar sel dan di dalam sel.
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif
yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah
mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak dan lainlain. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau
pelarut lain. Bila cairan penyari maka untuk mencegah timbulnya kapang, dapat
ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian.
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara
maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna
Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara: 10 bagian simplisia dengan
derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan
75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama minimal 24 jam,
terlindung dari cahaya, sari diserkai (sediaan galenik,1986).
2.4.2. Evaporasi
Evaporasi merupakan suatu proses penguapan sebagian dari pelarut
sehingga didapatkan larutan zat cair pekat yang konsentrasinya lebih tinggi.
Tujuan dari evaporasi itu sendiri yaitu untuk memekatkan larutan yang terdiri dari
zat terlarut yang tak mudah menguap dan pelarut yang mudah menguap. Dalam

16

kebanyakan proses evaporasi, pelarutnya adalah air. Evaporasi tidak sama dengan
pengeringan, dalam evaporasi sisa penguapan adalah zat cair, kadang-kadang zat
cair yang sangat kental, dan bukan zat padat. Begitu pula, evaporasi berbeda
dengan distilasi, karena disini uapnya biasanya komponen tunggal, dan walaupun
uap itu merupakan campuran, dalam proses evaporasi ini tidak ada usaha untuk
memisahkannya menjadi fraksi-fraksi. Biasanya dalam evaporasi, zat cair pekat
itulah

yang

merupakan

produk

yang

berharga

dan

uapnya

biasanya

dikondensasikan dan dibuang.


Cairan pengekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol
96% karena CGA secara bebas larut dalam etanol dan aseton. Etanol dapat
bercampur dengan air pada segala perbandingan, panas yang diperlukan untuk
pemekatan lebih rendah Selain itu etanol tidak menyebabkan pembengkakan
membran sel, memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut, mengendapkan bahan
putih telur, dan menghambat kerja enzim (Voigt, 1994).

2.5 Kerangka Konseptual


Diet normal

Diet kuning
telur

17

(-) Hambat
absorbsi glukosa

Ekstrak kopi
robusta
(CGA)

(-) Hambat
absorbsi kolesterol

Glukosa

Piruvat

Asetil CoA

Kolesterol
endogen

Kolesterol
eksogen

Kolesterol Total

Gambar 2.4 Kerangka konseptual

Keterangan:
(-)

: menghambat
Kerangka konseptual pada Gambar 2.5 menjelaskan bahwa kopi robusta

mengandung CGA. CGA berfungsi sebagai penghambat absorbsi glukosa yang


terkandung dalam diet normal. Penyerapan glukosa diusus dihambat oleh CGA,
maka proses glikolisis menurun. Hasil dari proses glikolisis adalah piruvat,
sehingga jumlah piruvat yang terbentuk berkurang. Pembentukan piruvat
berkurang, maka proses dekarboksilasi oksidatif menurun. Dekarboksilasi
oksidatif adalah proses oksidasi piruvat yang membentuk asetil-KoA, sehingga
asetil-KoA yang terbentuk juga berkurang. Pembentukan kolesterol endogen
berbahan dasar asetil Ko-A. Karena asetil-KoA yang terbentuk berkurang, maka
pembentukan kolesterol endogen menurun.

18

Di usus CGA juga berperan menghambat penyerapan kolesterol yang


terkandung dalam kuning telur atau menurunkan kolesterol eksogen. Sehingga
CGA yang terkandung dalam kopi kemungkinan dapat mencegah kenaikan kadar
kolesterol baik endogen maupun eksogen. Sebagai tolak ukur adalah penurunan
kadar kolesterol total dari tikus wistar tersebut. Hasil yang diperoleh akan
dianalisis.
2.6 Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu pernyataan sementara atau dugaan jawaban
yang paling memungkinkan walaupun masih harus dibuktikan dengan penelitian
(Sugiyono, 2008). Berdasarkan rumusan masalah dan pengertian hipotesis, maka
penulis megemukakan hipotesis dalam penelitian ini adalah : Ada efek efek
Preventif Ekstrak kopi robusta (Coffea canephora) terhadap peningkatan kadar
kolesterol total pada tikus jantan galur wistar yang diinduksi kuning telur.

Anda mungkin juga menyukai