Anda di halaman 1dari 16

1

INOKULASI JAMUR Fusarium sp. DALAM MEDIA BIAKAN PADAT


DAN CAIR TERHADAP PEMBENTUKAN GAHARU PADA POHON
KARAS (Aquilaria malaccensis, Lamrk)

Oleh:
Eko Sutrisno
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan
Jl. Raya Bangkinang-Kuok km 9 kotak pos 4/BKN Bangkinang, Riau

ABSTRACT
Agarwood is an aromatic substance in the form of lump brown, blackish
brown till that forms the lining of aloe wood. One of agarwood-producing trees were
trees Karas (Aquilaria malaccencis, Lamrk). The research method using a
randomized block design with 5 treatments, namely in the drill without a given
isolate / control (P1), isolate the fungus Fusarium sp. in solid medium with a dose of
2 g / hole (P2), isolates fungus Fusarium sp. in solid medium with a dose of 4 g / hole
(P3), isolates fungus Fusarium sp. in liquid medium with a dose of 2 cc / hole (P4)
and isolate the fungus Fusarium sp. in liquid medium with a dose of 4 cc / hole (P5).
Each treatment consisted of 3 blocks.Obtained data were analyzed range, if a real
influence on the level 5%, then followed by DMRT test. The parameters measured
were: infection, changes in wood color, fragrance and yield levels.The best dose is
the use of liquid isolate as much as 4 cc per hole drill that produces yield of 2.21%
with a rate of less fragrant scent at the age of 5 months after inoculation and brown.
This shows the indication and the correlation between media culture isolates against
infection agarwood-producing trees.
Keyword: Agarwood, inoculant formulations.

I. PENDAHULUAN

Gaharu merupakan komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai
ekonomi tinggi. Dikenal sebagai aloeswood atau eaglewood yang mengandung
damar wangi (aromatic resin dan sesquiterpen). Dari segi bentuk, gaharu merupakan
jaringan dari pohon penghasil gaharu dengan kandungan resin sesuiterpenoid volatile
beraroma harum yang khas dan tahan lama.
Secara alami tidak semua pohon penghasil gaharu membentuk gaharu. Jumlah
gaharu yang dihasilkan per pohon di hutan alam bervariasi dari 0,3 hingga 14 Kg
dan umumnya semakin banyak dengan makin besarnya diameter pohon (Mac
Mahon, 1998 dalam Mucharromah, 2009). Hal ini membuat proses produksi gaharu
alam menjadi mahal. Jenis pohon penghasil gaharu yang akan dijadikan sebagai
objek penelitian adalah dari genus Aquilaria, spesies A. malaccensis karena jenis ini
memiliki kualitas gaharu terbaik dibandingkan jenis lain.
Pembentukan gaharu secara alami dimulai dengan terjadinya pelukaan akibat
patah cabang atau terlukanya batang. Perlukaan ini mengakibatkan pohon terjangkit
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme diantaranya Fusarium sp. Penyakit
tersebut menular pada bagian batang pohon ditandai dengan adanya bercak warna
coklat kehitaman pada jaringan kayu yang disebabkan oleh infeksi jamur. Semakin
luas bidang infeksi pada jaringan kayu, semakin banyak rendemen gaharu yang
dihasilkan.
Pembentukan gaharu secara alami, rendemennya sangat rendah yaitu sekitar
30%, dan waktu terbentuknya gubal gaharu tersebut relatif lebih lama yaitu dapat
mencapai sekitar 15 tahun (Mulyaningsih, 1997). Berdasarkan mekanisme tersebut,

maka perlu dilakukan rekayasa pembentukan gaharu secara buatan dengan teknik
inokulasi.

II. METODE PENELITIAN


2.1. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Arboretum Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat Kuok, Kecamatan Bangkinang Barat, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau selama 6
bulan yaitu Agustus Januari 2011.
2.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pohon Aquilaria malaccensis
Lamrk umur 3 tahun, malam (lilin), alkohol 70%, dan isolat jamur Fusarium sp. asal
Provinsi Riau dalam media cair dan padat hasil pengembangan Laboratorium
SEAMEO BIOTROP di Bogor.
Peralatan yang digunakan adalah genset, bor dan mata bor (0,2 dan 0,5 cm),
kapas, alat injeksi, kaliper, meteran, kapur tulis, cat minyak/phylox, sarung tangan
plastik, cutter, millimeter blok dan alat tulis.
2.3.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 perlakuan, setiap


perlakuan terdiri dari 3 kelompok atau blok, perlakuannya meliputi :
P1 = Di bor tanpa diberi isolat (kontrol)

P2 = Isolat jamur Fusarium sp. dalam media padat dengan dosis 2 g/lubang

P3 = Isolat jamur Fusarium sp. dalam media padat dengan dosis 4 g/lubang
P4 = Isolat jamur Fusarium sp. dalam media cair dengan dosis 2 cc/lubang

P5 = Isolat jamur Fusarium sp. dalam media cair dengan dosis 4 cc/lubang
Model Linear Rancangan Acak Kelompok Lengkap adalah:
Yij

= + i + i + ij

dimana :
Yijk = Nilai pengamatan pada perlakuan isolat ke-i dan kelompok ke-j

= Nilai rata rata.

= Nilai pengaruh perlakuan isolat jamur Fusarium sp.

= Nilai pengaruh kelompok

ij = Pengaruh acak pada perlakuan isolat jamur Fusarium sp. dan kelompok
Setiap pohon sampel dibuat lubang dan diperlakukan sama yaitu diinokulasi

dengan media isolat padat ataupun cair, dimana masing-masing pohon dilakukan
pengeboran sebanyak 5 lubang bor.
Data luas infeksi pembentukan gaharu yang diperoleh dianalisa dengan uji F,
untuk membandingkan masing-masing rendemen gaharu dengan media biakan isolat
dan rendemen hasil yang terbentuk dilakukan uji perbandingan berganda dengan
Duncans Multiple Range Test (DMRT). Data pada parameter perubahan warna dan
tingkat wangi akan disajikan dalam bentuk gambar.
2.4. Pengamatan
Parameter yang diamati adalah:
2.4.1. Luas infeksi (cm2)
Pengukuran luas infeksi dilakukan setiap bulan di sekitar titik pengeboran.
Batang di sekitar titik bor dikupas kulitnya lalu diukur luas infeksi menggunakan
kertas kalkir. Data pengukuran luasan dengan kertas kalkir tersebut akan dikonversi

kedalam millimeter blok untuk mengetahui luas dengan nilai satuan centimeter
persegi (cm2).
2.4.3.2. Rendemen hasil (%)
Perhitungan rendemen hasil dilakukan pada akhir penelitian guna mengetahui
tingkat keberhasilan masing masing isolat dengan media biakan yang berbeda.
Pada akhir penelitian pohon Aquilaria malaccensis, Lamrk akan ditebang, lalu
dilakukan sortasi bagian batang yang telah terjadi proses pembentukan gaharu
dengan yang belum. Perhitungan rendemen menggunakan rumus sebagai berikut :
rendemenha sil

beratbagia nyangterbe ntuk


x100%
beratbatamg

2.4.3.3. Perubahan warna (skoring)


Perubahan warna kayu meliputi tingkat perubahan warna. Tingkat perubahan
warna kayu ditetapkan berdasarkan sistem skor (0 = putih, 1 = putih kecoklatan, 2 =
coklat, 3 = coklat kehitaman) dan dinyatakan dalam rataan nilai skor dari 3
responden (lampiran 3). Kulit batang di sekitar lubang bor dikupas, kemudian
digerus untuk melihat warna batang di sekitar lubang bor. Pengamatan perubahan
warna dilakukan setiap bulan pada semua lubang bor.
2.4.3.4. Tingkat wangi (skoring)
Pengamatan wangi kayu meliputi tingkat wangi dari senyawa gaharu yang
dihasilkan di sekitar lubang bor. Pengamatan dilakukan setiap bulan bersamaan
dengan pengamatan perubahan warna kayu. Setelah kulit batang di sekitar lubang bor
dikupas, lalu digerus untuk mengambil sampel. Kemudian jaringan kayu yang telah
tergerus dibakar. Pengamatan wangi kayu dilakukan pada setiap lubang bor dan
ditetapkan melalui uji organoleptik yang dinyatakan dengan rataan skor dari 3

responden. Skala skor wangi adalah 0 = tidak wangi, 1 = kurang wangi, 2 = wangi, 3
= wangi sekali (lampiran 3).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1.

Deskripsi Lokasi Penelitian

Arboretum Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat terletak didalam lingkungan


perkantoran Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat (BPHPS) Kuok.
3.2.

Luas Infeksi

Hasil sidik ragam pada lampiran 2 menunjukkan perlakuan inokulasi isolat padat
dan cair berpengaruh nyata pada parameter luas infeksi terhadap pembentukan
gaharu. Inokulasi dengan isolat padat dan cair terhadap luas infeksi yang telah diuji
lanjut dengan DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rerata Luas Infeksi Pembentukan Gaharu pada Media Padat dan Cair (cm2).
Perlakuan

Agustus

September

1,100

Bulan Pengamatan
Oktober Nopember Desember
1,790

1,900

3,190

Januari
3,080

P1 (kontrol 0 g)

0,380

P2 (padat 2 g)

2,813

3,590

3,770

5,500

6,120

6,160

P3 (Padat 4 g)

3,286

4,940

5,090

6,340

6,690

6,750

P4 (Cair 2 cc)

2,863

4,010

4,940

6,280

6,790

6,860

P5 (Cair 4 cc)

2,760

3,750

4,500

5,780

6,130

7,240

Keterangan : Angka-angka yang tidak diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada uji
lanjut
DMRT
dengan
selang
kepercayaan
95%.

Tabel 1. menunjukan bahwa inokulasi jamur Fusarium sp dari media biakan yang
berbeda pada berbagai taraf berbeda nyata terhadap kontrol. Hal ini terjadi sampai
pada akhir pengamatan namun masing masing dosis perlakuan dari media padat
dan cair berbeda tidak nyata. Setiap bulan terlihat adanya peningkatan luas infeksi
untuk masing masing perlakuan. Perkembangan infeksi terluas terjadi pada

10

perlakuan pemberian isolat cair sebanyak 4 cc seluas 7,24 cm2 dan isolat cair
sebanyak 2 cc seluas 6,86 cm2. Hal ini disebabkan oleh banyaknya populasi jamur
pada perlakuan tersebut, sesuai dengan pernyataan Agustini dkk (2006) bahwa pada
1 cc isolat cair dihuni oleh 106 propagul jamur Fusarium sp.
Infeksi yang diakibatkan oleh jamur Fusarium sp. terjadi pada pembuluh kayu
yang dapat menyebabkan menurunnya kemampuan sel dan jaringan dalam
melaksanakan fungsi-fungsi fisiologisnya. Penurunan kemampuan fisiologis ini
dapat mengganggu pertumbuhan bahkan menimbulkan kematian. Sebulan setelah
dilaksanakan inokulasi merupakan tahap awal infeksi dimana perkembangan infeksi
menunjukan laju yang relatif sama. Perbedaan perkembangan infeksi dijumpai pada
pengamatan ke dua yaitu pada bulan kedua setelah diinokulasi. Pada bulan kedua ini
diperkirakan isolat beradabtasi lebih baik dari sebelumnya sehingga lebih efektif
menginfeksi jaringan. Atas dasar ini dapat diperkirakan bahwa semakin lama waktu
infeksi maka hasil juga akan semakin baik.
Menurut Sumarna (2002) menyatakan bahwa infeksi yang disebabkan oleh fungi
mengakibatkan penyumbatan pada penyaluran tanaman sehingga menghasilkan
senyawa phytalyosin sebagai reaksi dari resistensi dari jaringan. Senyawa
phytalyosin yang dihasilkan berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyakit atau
patogen. Senyawa phytalyosin tersebut dapat berupa resin berwarna coklat dan
beraroma harum, serta menumpuk pada pembuluh xilem dan floem untuk mencegah
meluasnya luka ke jaringan lain. Akibat dari infeksi tersebut, sistem fisiologi
tanaman menjadi terganggu dan secara visual dapat terlihat pada bagian yang
terinfeksi berwarna coklat sampai dengan kehitaman dan memiliki aroma wangi.
Namun, apabila patogen yang menginfeksi tanaman tidak dapat mengalahkan sistem

11

pertahanan tanaman maka gaharu tidak terbentuk dan bagian tanaman yang luka
dapat membusuk.
Pola perkembangan luas infeksi pembentukan gubal gaharu setelah diinokulasi
dengan isolat jamur Fusarium sp. terlihat seperti pada Gambar berikut ini :

Gambar 2. Pola perkembangan luas infeksi pembentukan gubal gaharu.


Pada Gambar 2. juga terlihat pada perlakuan isolat cair 4 cc per lubang bor
mempunyai daya infeksi yang tinggi pada 6 bulan setelah inokulasi. Sampai pada
pengamatan terakhir masih cenderung lebih tinggi dibandingkan isolat yang lain.
Kondisi ini diduga disebabkan daya infeksi isolat yang masih kuat dan disertai
dengan keseimbangan antara ketersediaan makanan dengan jumlah koloninya.
Perlakuan lainnya terjadi peningkatan luas infeksi dari 1 bulan setelah inokulasi
hanya saja terlihat lambat dan fluktuatif. Hal ini terjadi dikarenakan adanya sistem
pertahanan tumbuhan terhadap infeksi patogen. Pohon penghasil gaharu bisanya
mensintesis dan mengakumulasi senyawa phytalyosin dan sesquiterpenoid sebagai
respon terhadap infeksi oleh agen tertentu, rangsangan fisiologis maupun keadaan
cekaman (Anonim, 2004).

14

3.3.

Rendemen Hasil

Hasil sidik ragam pada Lampiran 2. menunjukkan beberapa perlakuan pemberian


isolat berpengaruh nyata terhadap rendemen hasil gaharu. Hasil mengenai rendemen
gaharu yang telah diuji lanjut dengan DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Rendemen hasil (%) Pembentukan Gaharu pada Media Padat dan Cair.
Perlakuan

Rendemen (%)

P1 (kontrol 0 g)

0,53

P2 (padat 2 g)

0,68

ab

P4 (Cair 2 cc)

0,79

P3 (Padat 4 g)
P5 (Cair 4 cc)

2,14
2,21

c
c

Keterangan : Angka-angka yang tidak diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada uji
lanjut
DMRT
dengan
selang
kepercayaan
95%.

Tabel 2. diatas menunjukan bahwa adanya pemberian perlakuan isolat padat


sebanyak 2 g per lubang bor (P2) berbeda tidak nyata terhadap kontrol. Pemberian
perlakuan yang lain berbeda nyata terhadap kontrol. Berdasarkan uji lanjut diatas
perlakuan pemberian isolat padat sebanyak 4 g per lubang bor (P3) berbeda tidak
nyata terhadap pemberian isolat cair sebanyak 4 cc per lubang bor (P5) namun kedua
perlakuan tersebut berbeda nyata terhadap perlakuan yang lain dan memberikan hasil
yang tinggi.
Berdasarkan Tabel 2. diatas rendemen hasil terbanyak berasal dari perlakuan
pemberian isolat cair sebanyak 4 cc per lubang bor sebesar 2,21%. Perlakuan
pemberian isolat padat sebesar 4 g per lubang bor sebesar 2,17%, sedangkan
perlakuan yang lain memiliki rendemen 1 %. Perhitungan rendemen dimaksudkan
untuk mengetahui hasil yang diperoleh. Rendemen yang dihasilkan tidak sama untuk

setiap perlakuannya. Masing masing rendemen mempunyai klasifikasi dan harga


yang berbeda.
Tanda adanya pembentukan gubal gaharu (infeksi Fusarium sp.) dicirikan
dengan berubahnya warna batang dari putih kekuningan (pucat) menjadi coklat
sampai dengan coklat kehitaman di sekitar lubang bor.
Selain asal isolat yang harus sesuai (sama) dengan daerah sebaran tumbuh,
menurut Suharti (2009) faktor lain yang sangat mempengaruhi keberhasilan inokulasi
adalah sifat genetis pohon dan lingkungan tempat tumbuh. Sifat genetis pohon
merupakan kemampuan pohon untuk membentuk struktur-struktur yang tidak
menguntungkan perkembangan patogen pada pohon tersebut, sehingga patogen mati
sebelum dapat berkembang lebih lanjut dan gagal menyebabkan penyakit pada
pohon, karena pembentukan gaharu terjadi sebagai respon pertahanan pohon
terhadap pelukaan/infeksi yang berasosiasi dengan adanya perubahan sitologi pada
sel parenkima hidup pada kayu setelah dilukai.
3.4.

Perubahan Warna

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan terjadinya perubahan warna akibat


pemberian isolat seperti pada gambar berikut :

Keterangan : 0 = putih; 1 = putih kecoklatan; 2 = coklat; 3 = coklat kehitaman


Gambar 3. Laju perubahan warna gubal kayu.
Gambar 3. menunjukan terjadinya perubahan warna pada setiap bulan
pengamatan. Pemberian isolat cair sebanyak 4 cc per lubang bor memperlihatkan
perubahan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sejauh ini perubahan
warna terjadi baru sampai pada tahap berwarna coklat saja yaitu pada perlakuan
inokulasi isolat cair 4 cc dan pada perlakuan inokulasi isolat cair 2 cc. Perubahan
warna kayu terjadi pada setiap perlakuan. Intensitas warna kayu sangat bervariasi
dan dipengaruhi oleh perlakuan. Secara umum intensitas warna kayu yang diberi
perlakuan berbeda dari kontrol.
Berdasarkan Gambar 3. diatas perlakuan pemberian isolat cair sebanyak 4 cc
terus mengalami peningkatan perubahan warna sampai pada bulan akhir pengamatan.
Untuk kontrol memang terjadi perubahan warna kayu, hanya saja belum tentu
perubahan warna tersebut menandakan terjadinya pembentukan gubal gaharu.
Perubahan warna terjadi akibat adanya kerusakan dan atau kematian jaringan yang
disebabkan adanya lubang bor. Warna yang terbentuk menjadi salah satu syarat
pengklasifikasian nilai jual. Setiap warna akan memberikan nilai jual tersendiri.

12

Indikasi keberhasilan rekayasa pembentukan gaharu melalui inokulasi ditandai


dengan terjadinya perubahan proses fisiologis yang disebabkan oleh faktor-faktor
penyebab penyakit sehingga jelas ditunjukan dengan adanya gejala yaitu berubahnya
warna batang dari putih kekuningan (pucat) menjadi coklat kehitaman dan perubahan
warna atau bentuk pada daun yang menguning atau kerdil (Yunasfi, 2008).
Jaringan batang yang berwarna kecokelatan disekitar lubang bor menunjukan
telah terjadi akumulasi senyawa phytalyosin dan sesquiterpenoid sebagai respon atas
pelukaan atau infeksi jamur Fusarium sp. (Santoso, 2007).
Keberhasilan rekayasa pembentukan gaharu erat kaitannya antara kinerja
penyakit (fungi) dengan kondisi ekologis, edafis dan iklim mikro setempat, yang
merupakan respon fisiologis tumbuhan terhadap adanya serangan mikroorganisme.
Apabila tanaman diganggu oleh patogen atau keadaan lingkungan tertentu dan salah
satu atau lebih fungsi tersebut terganggu sehingga terjadi penyimpangan dari
keadaan normal maka tanaman menjadi sakit. Interaksi antara tanaman, patogen
pembentuk gaharu dan kondisi lingkungan membentuk gubal gaharu seiring waktu.
3.5.

Tingkat Wangi

Perubahan tingkat wangi untuk masing masing perlakuan menunjukkan trend


yang berbeda seperti terlihat pada gambar di bawah ini:

Keterangan : 0 = tidak wangi; 1 = kurang wangi; 2 = wangi; 3 = wangi sekali


Gambar 4. Laju perubahan tingkat wangi
Perubahan tingkat wangi dari perlakuan yang ada terlihat pemberian isolat cair
sebanyak 4 cc per lubang bor lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lainnya.
Secara umum pemberian perlakuan mampu meningkatkan tingkat wangi pada kayu
dibandingkan kontrol.
Berdasarkan skoring semua perlakuan berpotensi merangsang munculnya aroma
wangi. Sampai akhir pengamatan semua perlakuan hanya sampai pada kategori
kurang wangi. Aroma wangi yang terbentuk merupakan bagian dari komponen
senyawa gaharu yang terbentuk.
Menurut Rahayu dkk. (2009) peningkatan aroma wangi tidak selalu dibarengi
dengan perubahan warna kayu. Peningkatan aroma wangi diduga disebabkan oleh
bertambahnya senyawa sesquiterpen begitu juga penurunan tingkat wangi yang
diakibatkan oleh hilangnya senyawa sesquiterpen, karena senyawa ini mudah
menguap.
Perubahan tingkat wangi pada gaharu yang terbentuk relatif tidak stabil. Yunasfi
(2008) menyatakan bahwa ada peranan genetik dalam hal tersebut. Mengingat

14

susunan gen karena berbagai proses dapat berubah, maka demikian pula virulensi
pada suatu jenis patogen dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan itu bisa
terjadi karena hibridisasi, heterokariosis dan paraseksualisme. Itulah sebabnya
mengapa suatu jenis patogen yang sama, dan yang memiliki bentuk serta cara
perkembangbiakan yang sama, tetapi apabila berada di daerah dan berbagai jenis
pohon yang berbeda maka dapat berlainan infeksinya.

IV.

4.1.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil penelitian Inokulasi Jamur Fusarium sp. dalam Media Biakan Padat dan
Cair Terhadap Pembentukan Gaharu pada Pohon Karas (Aquilaria malaccencis,
Lamrk) dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Pemberian isolat dari media biakan yang berbeda merangsang senyawa
pembentukan gaharu dan diklasifikasikan pada kelas mutu kemedangan.
b. Gejala pencoklatan yang terbentuk pada batang cenderung menyebar secara
vertikal mengikuti arah jaringan pembuluh batang. Jaringan batang yang
berwarna kecoklatan disekitar lubang bor ini menunjukan telah terjadi akumulasi
metabolit sekunder sebagai respon atas pelukaan atau infeksi jamur Fusarium sp.
gejala tersebut sudah terlihat setelah sebulan diinokulasi.
c. Dosis terbaik adalah penggunaan isolat cair sebanyak 4 cc per lubang bor yang
menghasilkan rendemen sebesar 2,21% dengan tingkat wangi kurang wangi pada
umur 6 bulan setelah inokulasi dan berwarna coklat. Hal ini menunjukan adanya
indikasi dan korelasi antara media biakan isolat terhadap infeksi pohon penghasil
gaharu.

15

4.2. Saran
a. Disarankan untuk mendapatkan formulasi yang tepat pada pembentukan gaharu
dengan kualitas terbaik perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut dengan
rentang waktu penelitian yang lebih lama serta dosis yang lebih variatif.
b. Analisa kandungan resin dari masing-masing media biakan isolat harus
dilakukan, hal ini akan menjadi penting untuk menentukan kualitas gaharu yang
dihasilkan.

16

DAFTAR PUSTAKA
Agustini L., Dono W., Erdy S.. 2006. Keanekaragaman jenis jamur yang
potensial dalam pembentukan gaharu dari batang Aquilaria spp. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol III Nomor 5 Tahun 2006 : 555564 Badan Litbang Kehutanan.
Anonim. 2004. Uji biologi isolat jenis penyakit pembentuk gaharu dari
beberapa wilayah sentra produksi, Pusat Penelitian Pengembangan Hutan
dan Konservasi Alam, Bogor.
Atmojo K. 2003. Budidaya gaharu dan masalahnya, Sudah gaharu super pula.
Pustaka Sinar Harapan.Jakarta.
Mulyaningsih T, Hadi Surya, Markun, Listiana E, dan Faisal. 1997. Penerapan
teknik produksi gubal pada pohon ketimunan (Aquilaria filaria).
Laporan Penelitian (Tidak dipublikasikan).
Mucharromah. 2009. Pengembangan gaharu di Sumatera, Disampaikan pada
Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada
Pemberdayaan Masyarakat di sekitar Hutan. 29 April 2009. Pusat Litbang
Hutan dan Konservasi Alam Bogor.
Rahayu,G. 2009. Status penelitian dan pengembangan gaharu di Indonesia,
Disampaikan pada Seminar Nasional Menuju Produksi Gaharu Secara
Lestari di Indonesia. 12 Nopember 2009. Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam Bogor.
Santoso E, Agustini L, Irnayuli R, Turjaman M. 2007. Efektifitas pembentukan
gaharu dan komposisi senyawa resin gaharu pada Aquilaria spp. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol IV Nomor 6 Tahun 2007 : 543551 Badan Litbang Kehutanan.
Sumarna. 2002. Budidaya gaharu, Seri agibisnis. Jakarta. Penebar Swadaya.
Suharti S.2009. Prospek pengusahaan gaharu melalui pola pengelolaan hutan
berbasis masyarakat (PHBM). Disampaikan pada Workshop
Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan
Masyarakat di sekitar Hutan. 29 April 2009. Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam Bogor.
Yunasfi.2008.Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit dan
penyakit
yang
disebabkan
oleh
Jamur.
Http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-yunasfi.pdf. Diakses tanggal 10
Juni 2009.

Anda mungkin juga menyukai