Oleh:
Eko Sutrisno
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan
Jl. Raya Bangkinang-Kuok km 9 kotak pos 4/BKN Bangkinang, Riau
ABSTRACT
Agarwood is an aromatic substance in the form of lump brown, blackish
brown till that forms the lining of aloe wood. One of agarwood-producing trees were
trees Karas (Aquilaria malaccencis, Lamrk). The research method using a
randomized block design with 5 treatments, namely in the drill without a given
isolate / control (P1), isolate the fungus Fusarium sp. in solid medium with a dose of
2 g / hole (P2), isolates fungus Fusarium sp. in solid medium with a dose of 4 g / hole
(P3), isolates fungus Fusarium sp. in liquid medium with a dose of 2 cc / hole (P4)
and isolate the fungus Fusarium sp. in liquid medium with a dose of 4 cc / hole (P5).
Each treatment consisted of 3 blocks.Obtained data were analyzed range, if a real
influence on the level 5%, then followed by DMRT test. The parameters measured
were: infection, changes in wood color, fragrance and yield levels.The best dose is
the use of liquid isolate as much as 4 cc per hole drill that produces yield of 2.21%
with a rate of less fragrant scent at the age of 5 months after inoculation and brown.
This shows the indication and the correlation between media culture isolates against
infection agarwood-producing trees.
Keyword: Agarwood, inoculant formulations.
I. PENDAHULUAN
Gaharu merupakan komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai
ekonomi tinggi. Dikenal sebagai aloeswood atau eaglewood yang mengandung
damar wangi (aromatic resin dan sesquiterpen). Dari segi bentuk, gaharu merupakan
jaringan dari pohon penghasil gaharu dengan kandungan resin sesuiterpenoid volatile
beraroma harum yang khas dan tahan lama.
Secara alami tidak semua pohon penghasil gaharu membentuk gaharu. Jumlah
gaharu yang dihasilkan per pohon di hutan alam bervariasi dari 0,3 hingga 14 Kg
dan umumnya semakin banyak dengan makin besarnya diameter pohon (Mac
Mahon, 1998 dalam Mucharromah, 2009). Hal ini membuat proses produksi gaharu
alam menjadi mahal. Jenis pohon penghasil gaharu yang akan dijadikan sebagai
objek penelitian adalah dari genus Aquilaria, spesies A. malaccensis karena jenis ini
memiliki kualitas gaharu terbaik dibandingkan jenis lain.
Pembentukan gaharu secara alami dimulai dengan terjadinya pelukaan akibat
patah cabang atau terlukanya batang. Perlukaan ini mengakibatkan pohon terjangkit
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme diantaranya Fusarium sp. Penyakit
tersebut menular pada bagian batang pohon ditandai dengan adanya bercak warna
coklat kehitaman pada jaringan kayu yang disebabkan oleh infeksi jamur. Semakin
luas bidang infeksi pada jaringan kayu, semakin banyak rendemen gaharu yang
dihasilkan.
Pembentukan gaharu secara alami, rendemennya sangat rendah yaitu sekitar
30%, dan waktu terbentuknya gubal gaharu tersebut relatif lebih lama yaitu dapat
mencapai sekitar 15 tahun (Mulyaningsih, 1997). Berdasarkan mekanisme tersebut,
maka perlu dilakukan rekayasa pembentukan gaharu secara buatan dengan teknik
inokulasi.
Metode Penelitian
P2 = Isolat jamur Fusarium sp. dalam media padat dengan dosis 2 g/lubang
P3 = Isolat jamur Fusarium sp. dalam media padat dengan dosis 4 g/lubang
P4 = Isolat jamur Fusarium sp. dalam media cair dengan dosis 2 cc/lubang
P5 = Isolat jamur Fusarium sp. dalam media cair dengan dosis 4 cc/lubang
Model Linear Rancangan Acak Kelompok Lengkap adalah:
Yij
= + i + i + ij
dimana :
Yijk = Nilai pengamatan pada perlakuan isolat ke-i dan kelompok ke-j
ij = Pengaruh acak pada perlakuan isolat jamur Fusarium sp. dan kelompok
Setiap pohon sampel dibuat lubang dan diperlakukan sama yaitu diinokulasi
dengan media isolat padat ataupun cair, dimana masing-masing pohon dilakukan
pengeboran sebanyak 5 lubang bor.
Data luas infeksi pembentukan gaharu yang diperoleh dianalisa dengan uji F,
untuk membandingkan masing-masing rendemen gaharu dengan media biakan isolat
dan rendemen hasil yang terbentuk dilakukan uji perbandingan berganda dengan
Duncans Multiple Range Test (DMRT). Data pada parameter perubahan warna dan
tingkat wangi akan disajikan dalam bentuk gambar.
2.4. Pengamatan
Parameter yang diamati adalah:
2.4.1. Luas infeksi (cm2)
Pengukuran luas infeksi dilakukan setiap bulan di sekitar titik pengeboran.
Batang di sekitar titik bor dikupas kulitnya lalu diukur luas infeksi menggunakan
kertas kalkir. Data pengukuran luasan dengan kertas kalkir tersebut akan dikonversi
kedalam millimeter blok untuk mengetahui luas dengan nilai satuan centimeter
persegi (cm2).
2.4.3.2. Rendemen hasil (%)
Perhitungan rendemen hasil dilakukan pada akhir penelitian guna mengetahui
tingkat keberhasilan masing masing isolat dengan media biakan yang berbeda.
Pada akhir penelitian pohon Aquilaria malaccensis, Lamrk akan ditebang, lalu
dilakukan sortasi bagian batang yang telah terjadi proses pembentukan gaharu
dengan yang belum. Perhitungan rendemen menggunakan rumus sebagai berikut :
rendemenha sil
responden. Skala skor wangi adalah 0 = tidak wangi, 1 = kurang wangi, 2 = wangi, 3
= wangi sekali (lampiran 3).
Luas Infeksi
Hasil sidik ragam pada lampiran 2 menunjukkan perlakuan inokulasi isolat padat
dan cair berpengaruh nyata pada parameter luas infeksi terhadap pembentukan
gaharu. Inokulasi dengan isolat padat dan cair terhadap luas infeksi yang telah diuji
lanjut dengan DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rerata Luas Infeksi Pembentukan Gaharu pada Media Padat dan Cair (cm2).
Perlakuan
Agustus
September
1,100
Bulan Pengamatan
Oktober Nopember Desember
1,790
1,900
3,190
Januari
3,080
P1 (kontrol 0 g)
0,380
P2 (padat 2 g)
2,813
3,590
3,770
5,500
6,120
6,160
P3 (Padat 4 g)
3,286
4,940
5,090
6,340
6,690
6,750
P4 (Cair 2 cc)
2,863
4,010
4,940
6,280
6,790
6,860
P5 (Cair 4 cc)
2,760
3,750
4,500
5,780
6,130
7,240
Keterangan : Angka-angka yang tidak diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada uji
lanjut
DMRT
dengan
selang
kepercayaan
95%.
Tabel 1. menunjukan bahwa inokulasi jamur Fusarium sp dari media biakan yang
berbeda pada berbagai taraf berbeda nyata terhadap kontrol. Hal ini terjadi sampai
pada akhir pengamatan namun masing masing dosis perlakuan dari media padat
dan cair berbeda tidak nyata. Setiap bulan terlihat adanya peningkatan luas infeksi
untuk masing masing perlakuan. Perkembangan infeksi terluas terjadi pada
10
perlakuan pemberian isolat cair sebanyak 4 cc seluas 7,24 cm2 dan isolat cair
sebanyak 2 cc seluas 6,86 cm2. Hal ini disebabkan oleh banyaknya populasi jamur
pada perlakuan tersebut, sesuai dengan pernyataan Agustini dkk (2006) bahwa pada
1 cc isolat cair dihuni oleh 106 propagul jamur Fusarium sp.
Infeksi yang diakibatkan oleh jamur Fusarium sp. terjadi pada pembuluh kayu
yang dapat menyebabkan menurunnya kemampuan sel dan jaringan dalam
melaksanakan fungsi-fungsi fisiologisnya. Penurunan kemampuan fisiologis ini
dapat mengganggu pertumbuhan bahkan menimbulkan kematian. Sebulan setelah
dilaksanakan inokulasi merupakan tahap awal infeksi dimana perkembangan infeksi
menunjukan laju yang relatif sama. Perbedaan perkembangan infeksi dijumpai pada
pengamatan ke dua yaitu pada bulan kedua setelah diinokulasi. Pada bulan kedua ini
diperkirakan isolat beradabtasi lebih baik dari sebelumnya sehingga lebih efektif
menginfeksi jaringan. Atas dasar ini dapat diperkirakan bahwa semakin lama waktu
infeksi maka hasil juga akan semakin baik.
Menurut Sumarna (2002) menyatakan bahwa infeksi yang disebabkan oleh fungi
mengakibatkan penyumbatan pada penyaluran tanaman sehingga menghasilkan
senyawa phytalyosin sebagai reaksi dari resistensi dari jaringan. Senyawa
phytalyosin yang dihasilkan berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyakit atau
patogen. Senyawa phytalyosin tersebut dapat berupa resin berwarna coklat dan
beraroma harum, serta menumpuk pada pembuluh xilem dan floem untuk mencegah
meluasnya luka ke jaringan lain. Akibat dari infeksi tersebut, sistem fisiologi
tanaman menjadi terganggu dan secara visual dapat terlihat pada bagian yang
terinfeksi berwarna coklat sampai dengan kehitaman dan memiliki aroma wangi.
Namun, apabila patogen yang menginfeksi tanaman tidak dapat mengalahkan sistem
11
pertahanan tanaman maka gaharu tidak terbentuk dan bagian tanaman yang luka
dapat membusuk.
Pola perkembangan luas infeksi pembentukan gubal gaharu setelah diinokulasi
dengan isolat jamur Fusarium sp. terlihat seperti pada Gambar berikut ini :
14
3.3.
Rendemen Hasil
Rendemen (%)
P1 (kontrol 0 g)
0,53
P2 (padat 2 g)
0,68
ab
P4 (Cair 2 cc)
0,79
P3 (Padat 4 g)
P5 (Cair 4 cc)
2,14
2,21
c
c
Keterangan : Angka-angka yang tidak diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada uji
lanjut
DMRT
dengan
selang
kepercayaan
95%.
Perubahan Warna
12
Tingkat Wangi
14
susunan gen karena berbagai proses dapat berubah, maka demikian pula virulensi
pada suatu jenis patogen dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan itu bisa
terjadi karena hibridisasi, heterokariosis dan paraseksualisme. Itulah sebabnya
mengapa suatu jenis patogen yang sama, dan yang memiliki bentuk serta cara
perkembangbiakan yang sama, tetapi apabila berada di daerah dan berbagai jenis
pohon yang berbeda maka dapat berlainan infeksinya.
IV.
4.1.
Kesimpulan
Hasil penelitian Inokulasi Jamur Fusarium sp. dalam Media Biakan Padat dan
Cair Terhadap Pembentukan Gaharu pada Pohon Karas (Aquilaria malaccencis,
Lamrk) dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Pemberian isolat dari media biakan yang berbeda merangsang senyawa
pembentukan gaharu dan diklasifikasikan pada kelas mutu kemedangan.
b. Gejala pencoklatan yang terbentuk pada batang cenderung menyebar secara
vertikal mengikuti arah jaringan pembuluh batang. Jaringan batang yang
berwarna kecoklatan disekitar lubang bor ini menunjukan telah terjadi akumulasi
metabolit sekunder sebagai respon atas pelukaan atau infeksi jamur Fusarium sp.
gejala tersebut sudah terlihat setelah sebulan diinokulasi.
c. Dosis terbaik adalah penggunaan isolat cair sebanyak 4 cc per lubang bor yang
menghasilkan rendemen sebesar 2,21% dengan tingkat wangi kurang wangi pada
umur 6 bulan setelah inokulasi dan berwarna coklat. Hal ini menunjukan adanya
indikasi dan korelasi antara media biakan isolat terhadap infeksi pohon penghasil
gaharu.
15
4.2. Saran
a. Disarankan untuk mendapatkan formulasi yang tepat pada pembentukan gaharu
dengan kualitas terbaik perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut dengan
rentang waktu penelitian yang lebih lama serta dosis yang lebih variatif.
b. Analisa kandungan resin dari masing-masing media biakan isolat harus
dilakukan, hal ini akan menjadi penting untuk menentukan kualitas gaharu yang
dihasilkan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Agustini L., Dono W., Erdy S.. 2006. Keanekaragaman jenis jamur yang
potensial dalam pembentukan gaharu dari batang Aquilaria spp. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol III Nomor 5 Tahun 2006 : 555564 Badan Litbang Kehutanan.
Anonim. 2004. Uji biologi isolat jenis penyakit pembentuk gaharu dari
beberapa wilayah sentra produksi, Pusat Penelitian Pengembangan Hutan
dan Konservasi Alam, Bogor.
Atmojo K. 2003. Budidaya gaharu dan masalahnya, Sudah gaharu super pula.
Pustaka Sinar Harapan.Jakarta.
Mulyaningsih T, Hadi Surya, Markun, Listiana E, dan Faisal. 1997. Penerapan
teknik produksi gubal pada pohon ketimunan (Aquilaria filaria).
Laporan Penelitian (Tidak dipublikasikan).
Mucharromah. 2009. Pengembangan gaharu di Sumatera, Disampaikan pada
Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada
Pemberdayaan Masyarakat di sekitar Hutan. 29 April 2009. Pusat Litbang
Hutan dan Konservasi Alam Bogor.
Rahayu,G. 2009. Status penelitian dan pengembangan gaharu di Indonesia,
Disampaikan pada Seminar Nasional Menuju Produksi Gaharu Secara
Lestari di Indonesia. 12 Nopember 2009. Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam Bogor.
Santoso E, Agustini L, Irnayuli R, Turjaman M. 2007. Efektifitas pembentukan
gaharu dan komposisi senyawa resin gaharu pada Aquilaria spp. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol IV Nomor 6 Tahun 2007 : 543551 Badan Litbang Kehutanan.
Sumarna. 2002. Budidaya gaharu, Seri agibisnis. Jakarta. Penebar Swadaya.
Suharti S.2009. Prospek pengusahaan gaharu melalui pola pengelolaan hutan
berbasis masyarakat (PHBM). Disampaikan pada Workshop
Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan
Masyarakat di sekitar Hutan. 29 April 2009. Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam Bogor.
Yunasfi.2008.Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit dan
penyakit
yang
disebabkan
oleh
Jamur.
Http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-yunasfi.pdf. Diakses tanggal 10
Juni 2009.