Anda di halaman 1dari 9

JURNAL ALUMNI, MEI 2004

PROFESIONALISASI GURU:
Antara Harapan dan Kenyataan
Darwing Paduppai
FMIPA UNM Makassar

ABSTRAK
Menjadi seorang guru diperlukan syarat-syarat khusus dan kompetensi
tertentu apalagi sebagai guru yang profesional, ia harus menguasai seluk beluk
pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Guru
merupakan jabatan profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagaimana
halnya dokter, apoteker, pengacara, dan lain lain. Masalah utama pekerjaan
profesi adalah implikasi dan konsekwensi jabatan tersebut terhadap tugas dan
tanggung jawabnya. Ciri-ciri pokok pekerjaan yang bersifat profesional, yakni:
(1) dipersiapkan melalui proses pendidikan dan latihan secara formal, (2)
mendapat pengakuan dari masyarakat, (3) adanya organisasi profesi dan (4)
mempunyai kode etik sebagai landasan dalam melaksanakan tugas. Banyak
guru yang tidak memahami hakekat profesinya sehingga ia tidak bertindak
profesional dalam mengemban tugasnya. Kenyataan dilapangan mengindikasikan bahwa jabatan guru masih jauh dari hakekat profesi keguruan, sehingga
kurang mendapat penghargaan dan pengakuan di mata masyarakat. Intervensi
penyelenggara pendidikan dan bahkan masyarakat terhadap pekerjaan guru
semakin menurunkan derajat profesionalisme guru.

PENDAHULUAN
Hampir semua golongan masyarakat masih cenderung memandang
bahwa guru merupakan pekerjaan profesi yang tingkatannya paling rendah
dibanding profesi lain. Tidak seperti halnya dokter yang dipandang oleh
masyarakat sebagai pekerjaan profesi yang derajatnya paling tinggi. Rendahnya
pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor pertama adalah adanya pandangan sebagian masyarakat bahwa siapa pun
dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan. Kekurangan tenaga guru di
daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak
mempunyai kewenangan profesional. Faktor kedua adalah pandangan guru itu
sendiri terhadap profesinya. Banyak guru yang tidak menghargai profesi yang
disandangnya, dan tidak berusaha untuk mengembangkan profesi tersebut.
Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk
kepuasaan dan kepentingan dirinya, ketidakmampuan guru melaksanakan tugas
profesinya, komersialisasi mengajar, dan lain-lain, sering menyebabkan
pudarnya wibawa guru sehingga pengakuan profesi guru semakin merosot.
Itulah sebabnya pengakuan dan usaha menegakkan profesi guru harus dimulai
dari guru itu sendiri. Usaha yang dapat dilakukan harus dimulai dari pengakuan
72

JURNAL ALUMNI, MEI 2004

secara sadar akan makna profesi, menghargai dan mencintai tugas profesinya,
serta berusaha untuk mengembangkan profesi yang disandangnya.
Di lain pihak, dapat dikatakan bahwa guru merupakan faktor penentu
keberhasilan pendidikan, sebab guru memegang peranan utama dalam proses
mengajar belajar yang merupakan inti dari proses pendidikan secara
keseluruhan. Proses mengajar belajar merupakan proses yang mengandung
serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal-balik yang
berlangsung secara edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.
Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian
khusus. Pekerjaan ini tidak dapat dilakukan tanpa memiliki keahlian sebagai
guru. Untuk menjadi guru, diperlukan syarat-syarat khusus dan kompetensi
tertentu, apalagi sebagai guru yang profesional, ia harus menguasai seluk-beluk
pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Ilmu
pengetahuan tersebut perlu dibina dan dikembangkan melalui masa pendidikan
tertentu atau pendidikan prajabatan.
Jabatan guru memiliki tugas yang cukup banyak, baik yang terikat oleh dinas
maupun di luar dinas. Pengelompokan tugas-tugas guru terdiri dari tiga jenis, yaitu:
(1) tugas dalam bidang profesi, (2) tugas kemanusiaan, dan (3) tugas dalam
bidang kemasyarakatan. Salah satu di antara ketiga tugas guru tersebut (yakni
tugas dalam bidang profesi yang meliputi: mendidik, mengajar, dan melatih)
akan dibahas secara singkat dalam makalah ini.
1.

Profesi Guru

1. Pengertian dan Karakteristik Profesi


Secara sederhana pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan
yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang secara khusus disiapkan untuk itu, dan
bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh
pekerjaan lainnya. Kata-kata dipersiapkan untuk itu dapat diartikan melalui
proses pendidikan atau dapat pula diartikan melalui proses latihan. Makin tinggi
tingkat pendidikan yang harus dipenuhi oleh suatu pekerjaan yang bersifat
profesi, makin tinggi pula derajat profesi yang harus disandang oleh orang yang
menggelutinya. Dengan kata lain, tinggi rendahnya pengakuan profesionalisme
bergantung kepada keahlian dan tingkat pendidikan yang ditempuhnya.
Sudjana (1998) mengemukakan empat ciri pokok pekerjaan yang bersifat
profesional, yakni: (1) dipersiapkan melalui proses pendidikan dan latihan secara
formal, (2) mendapat pengakuan dari masyarakat, (3) adanya organisasi profesi,
dan (4) mempunyai kode etik sebagai landasan dalam melaksanakan tugas.
Schein (1972) mengemukakan ciri-ciri profesional sebagai berikut: (1)
bekerja sepenuhnya dalam jam-jam kerja (fulltime), (2) pilihan pekerjaan itu
didasarkan pada motivasi yang kuat, (3) memiliki seperangkat pengetahuan, ilmu,
dan keterampilan khusus yang diperoleh lewat pendidikan dan atau latihan yang
lama, (4) membuat keputusan sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan atau
73

Profesionalisasi Guru

menangani klien, (5) pekerjaan berorientasi kepada pelayanan, bukan untuk


kepentingan pribadi, (6) pelayanan itu didasarkan atas kebutuhan objektif klien,
(7) memiliki otonomi untuk bertindak dalam menyelesaikan persoalan klien, (8)
menjadi anggota organisasi profesi, sesudah memenuhi persyaratan atau kriteria
tertentu, (9) memiliki kekuatan dan status yang tinggi sebagai keahlian dalam
spesialisasinya, dan (10) keahlian itu tidak boleh diiklankan untuk mencari
klien.
Selanjutnya, dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia I Tahun
1988, juga telah ditentukan syarat-syarat suatu pekerjaan profesional, yaitu: (1)
atas dasar panggilan hidup yang dilakukan sepenuh waktu serta untuk jangka
waktu yang lama, (2) telah memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus, (3)
dilakukan menurut teori, prinsip, prosedur, dan anggapan-anggapan dasar yang
sudah baku sebagai pedoman dalam melayani klien, (4) sebagai pengabdian
kepada masyarakat, bukan mencari keuntungan finansial, (5) memiliki kecakapan
diagnostik dan kompetensi aplikatif dalam melayani klien, (6) dilakukan secara
otonom yang bisa diuji oleh rekan-rekan seprofesi, (7) mempunyai kode etik
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, dan (8) pekerjaan dilakukan untuk melayani
mereka yang membutuhkan (Pidarta, 1997).
Profesi pendidikan di Amerika Serikat memiliki karakteristik yang secara
substantif tidak berbeda dengan hasil Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia I,
yaitu: (1) sebagai pekerja sosial yang unik, jelas, dan penting, (2) menekankan
teknik intelektual, (3) membutuhkan pendidikan spesialisasi dalam waktu
panjang, (4) memerlukan otonomi yang luas sebagai individu ataupun organisasi
profesi, (5) otonomi individu mendapat persetujuan dari organisasi profesi, (6)
tekanan pada jasa lebih besar dibandingkan dengan hasil ekonomis, baik secara
perseorangan maupun secara kelompok profesional, (7) memiliki organisasi
profesi secara otonom, dan (8) ada kode etik yang jelas dan tegas. Karakteristikkarakteristik tersebut dikemukakan oleh Imran Manan (1989).
Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) (Pidarta, 1997)
menyimpulkan bahwa ciri-ciri utama profesi adalah: (1) memiliki fungsi dan
signifikansi sosial, (2) memiliki keahlian dan keterampilan tingkat tertentu, (3)
memperoleh keahlian dan keterampilan melalui metode ilmiah, (4) memiliki
batang tubuh disiplin ilmu tertentu, (5) studi dalam waktu lama di perguruan
tinggi, (6) pendidikan tersebut juga merupakan wahana sosialisasi nilai-nilai
profesional di kalangan mahasiswa/siswa yang mengikutinya, (7) berpegang
teguh kepada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi dengan sanksi-sanksi
tertentu, (8) bebas memutuskan sendiri dalam memecahkan masalah bertalian
dengan pekerjaannya, (9) memberi layanan sebaik-baiknya kepada klien dan
otonom dari campur tangan pihak luar, dan (10) mempunyai prestise yang tinggi
di masyarakat dan berhak mendapat imbalan yang layak.
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan mengenai karakteristik
profesi, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pekerja atau orang yang memangku
jabatan profesional adalah sebagai berikut.
74

JURNAL ALUMNI, MEI 2004

(1)

Memilih suatu jabatan atau pekerjaan profesi didasari atas motivasi yang
kuat dan merupakan panggilan nurani orang yang bersangkutan.
(2) Memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan khusus yang bersifat
dinamis dan terus berusaha untuk mengembangkannya.
(3) Ilmu pengetahuan dan keterampilan khusus yang dimiliki tersebut
diperoleh melalui pendidikan dan atau latihan dalam jangka waktu yang
lama.
(4) Mempunyai otonomi dalam bertindak ketika melayani klien.
(5) Mengabdi kepada masyarakat atau berorinetasi kepada layanan sosial, dan
bukan untuk mendapatkan keuntungan finansial.
(6) Tidak mengiklankan atau mempromosikan keahliannya untuk
mendapatkan klien.
(7) Menjadi anggota organisasi profesi.
(8) Organisasi profesi tersebut menentukan persyaratan penerimaan anggota,
membina profesi anggota, mengawasi perilaku anggota, memberi sanksi
kepada anggota yang melanggar kode etik, dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota.
(9) Menaati atau mematuhi kode etik profesi.
(10) Mempunyai kekuatan dan status yang tinggi serta diakui oleh masyarakat
sebagai konsekuensi keahlian yang ia miliki.
(11) Berhak mendapat imbalan yang layak.
2. Profesionalisasi Guru dan Kompetensinya
Bila diperhatikan karakteristik suatu pekerjaan yang bersifat profesional
seperti telah dikemukakan di atas, maka akan tampak bahwa profesi guru tidak
mungkin dapat dikenakan kepada sembarang orang yang dipandang oleh
masayarakat umum sebagai guru. Pada umumnya masyarakat berpandangan
bahwa pekerjaan guru yang berupa mendidik dan mengajar dapat dilakukan oleh
siapa saja. Sebagaimana Pidarta (1997) mengemukakan bahwa kalau mendidik
diartikan sebagai memberi nasehat, petunjuk, mendorong agar rajin belajar,
memberi motivasi, menjelaskan sesuatu atau ceramah, melarang perilaku yang
tidak baik, menganjurkan dan menguatkan perilaku yang baik, dan menilai apa
yang telah dipelajari anak, maka memang hampir semua orang bisa
melakukannya dan tidak perlu bersusah-payah membuat orang menjadi pendidik
profesional. Namun demikian, apakah mendidik seperti ini dapat menjamin anak-anak
untuk berkembang sempurna secara batiniah dan lahiriah?
Untuk memperjelas masalah di atas, kita harus memahami dengan baik
pengertian mendidik. Pekerjaan mendidik mencakup banyak hal, yaitu segala
sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia. Kadang orang
mengatakan bahwa mendidik adalah me-manusiakan manusia. Ada pula yang
mengemukakan bahwa mendidik adalah membudayakan manusia. Pengertian
mendidik yang relatif operasional dikemukakan oleh Pidarta (1997) bahwa
75

Profesionalisasi Guru

mendidik adalah suatu upaya untuk membuat anak-anak mau dan dapat belajar
atas dorongan diri sendiri untuk mengembangkan bakat, pribadi, dan potensipotensi lainnya secara optimal. Lebih lanjut dikemukakan bahwa mendidik
memusatkan diri pada upaya pengembangan afeksi anak-anak, sesudah itu
barulah pada pengembangan kognisi dan keterampilannya. Berkembangnya
afeksi yang positif terhadap belajar, merupakan kunci keberhasilan belajar
berikutnya, termasuk keberhasilan dalam meraih prestasi kognisi dan
keterampilan. Bila afeksi anak sudah berkembang secara positif terhadap belajar,
maka guru, orang tua, maupun anggota masyarakat tidak perlu bersusah payah
membina mereka agar rajin belajar. Apa pun yang terjadi mereka akan belajar
terus untuk mencapai cita-citanya.
Melakukan pekerjaan mendidik seperti yang telah dikemukakan di atas
tidaklah gampang. Hanya orang-orang yang sudah belajar banyak tentang
pendidikan dan sudah terlatih yang mampu melaksanakannya. Ini berarti
pekerjaan mendidik memang harus profesional.
Guru harus dapat membangkitkan minat dan kemauan anak untuk belajar,
memahami cara belajar, senang belajar, dan tidak pantang mundur untuk belajar
meskipun banyak rintangan yang dihadapi. Inilah tuntutan masayarakat sebagai
konsekuensi jabatan profesi yang disandang oleh guru. Hal ini cukup beralasan
sebab guru telah dibekali ilmu pendidikan dan ilmu tertentu untuk diajarkan selama
menjalani studi dalam waktu yang relatif cukup lama. Dengan cara mendidik
seperti yang telah dikemuakan, citra pendidikan di mata masyarakat dapat
terdongkrak. Ini pula merupakan tantangan bagi para pendidik bila ingin
profesinya mendapat pengakuan dan tidak diragukan oleh masyarakat.
Sekilas Mengenai Kondisi Guru di Lapangan
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak guru yang
melakukan tugasnya hanya dengan mengajar, membuat satuan pelajaran,
membuat rencana pelajaran, membuat alokasi waktu dalam bentuk program
tahunan dan program caturwulan, melakukan evaluasi hasil belajar yang hanya
terbatas pada aspek kognitif siswa, dan menganalisis daya serap siswa. Ia
cenderung tidak mempedulikan kondisi psikologis yang terjadi pada siswa di
kala proses mengajar belajar berlangsung karena mengejar target kurikulum. Hal
ini dilakukan oleh guru karena takut dimarahi oleh kepala sekolah bila target
kurikulum belum tercapai. Ada juga guru (untuk mata pelajaran tertentu) yang
malas memeriksa hasil ulangan siswa karena kepala sekolah telah
menginstruksikan batas minimum nilai yang harus dimasukkan ke buku rapor.
Guru tersebut beranggapan bahwa untuk apa diperiksa, toh nilainya juga sudah
ada patokannya. Adanya patokan nilai seperti ini akan memberikan peluang
kepada guru untuk memanipulasi nilai. Sudah tentulah kondisi dan tindakan
seperti ini tidak memenuhi kriteria keprofesionalan. Dengan kata lain ia tidak
bertindak secara profesional sebagai seorang guru. Dengan demikian, harus
diakui bahwa masih ada guru di lapangan yang belum atau kurang profesional.
76

JURNAL ALUMNI, MEI 2004

Dan hal inilah yang selalu disorot oleh masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
sejumlah cara dan tempat untuk mengembangkan profesi guru.
Kurang profesionalnya guru dalam bertindak, tidak sepenuhnya dan kurang
bijaksana bila kita hanya menuding bahwa hanya guru tersebutlah yang tidak
profesional. Sebab pihak penyelenggara pendidikan (kepala sekolah, kakandep,
kakanwil, beserta seluruh jajarannya) kadang kala kurang menghargai jabatan
profesi guru seperti kenyataan yang saya ungkapkan di atas. Dengan demikian,
para penyelenggara pendidikan pun perlu ditingkatkan derajat keprofesionalannya
dalam menjalankan tugas dan memangku jabatannya.
Demikianlah sekelumit pandangan penulis mengenai guru di lapangan
dan pihak penyelenggara pendidikan. Berikut ini akan dikemukakan mengenai
tugas dan tanggung jawab guru beserta kompetensinya sebagai bagian yang
takterpisahkan dengan tugas profesinya.
Tugas dan Tanggung Jawab Guru Beserta Kompetensinya
Masalah utama pekerjaan profesi adalah implikasi dan konsekuensi jabatan
tersebut terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini sangat penting karena di
sinilah perbedaan pokok antara profesi yang satu dengan profesi yang lainnya.
Menurut Peters (1963), tugas dan tanggung jawab guru terdiri dari: (1)
guru sebagai pengajar, (2) guru sebagai pembimbing, dan (3) guru sebagai
administrator kelas. Pendapat lain dikemukakan oleh Usman (1994) yang
mengelompokan tugas-tugas guru atas tiga jenis, yaitu: (1) tugas dalam bidang
profesi, yang meliputi: mendidik, mengajar, dan melatih, (2) tugas kemanusiaan,
dan (3) tugas dalam bidang kemasyarakatan. Bila kedua pendapat ini dikaji,
maka pendapat Usman lebih luas dibanding pendapat Peters. Dalam situasi di
lapangan, tugas dan tanggung jawab guru yang menonjol adalah sebagai
pengajar dan administrator kelas. Tugas mendidik belum membudaya di
kalangan para guru, padahal hal itu termasuk konsekuensi dari jabatan
profesional yang disandangnya. Memang tugas mendidik itu cukup berat, sebab
pekerjaan mengajar, membimbing, melatih, dan memfungsikan diri sebagai orang tua
di sekolah termasuk pekerjaan mendidik. Dengan demikian, secara sederhana dapat
dikatakan bahwa bila guru telah melakukan pekerjaan mendidik maka guru
tersebut juga telah melakukan tugas-tugas lainnya. Jadi tugas pokok seorang
guru adalah mendidik. Pencantuman dan pengelompokan beberapa tugas lainnya
hanyalah untuk mengeksplisitkan saja agar kelihatan lebih operasional.
Guru dalam melaksanakan tugasnya harus mempunyai kemampuan
dasar yang disebut kompetensi. Menurut Sudjana (1998), kompetensi tersebut
terdiri dari tiga bidang, yaitu: (1) kompetensi bidang kognitif, (2) kompetensi
bidang sikap, dan (3) kompetensi bidang perilaku/performance.
Kompetensi bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual yang dimiliki
oleh guru, seperti penguasaan materi pelajaran, pengetahuan mengenai cara
mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan
77

Profesionalisasi Guru

tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang administrasi kelas,


pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar siswa, pengetahuan tentang
kemasyaralatan serta pengetahuan umum lainnya.
Kompetensi bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap
berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya. Misalnya sikap
menghargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap
mata pelajaran yang dibinanya, sikap toleransi terhadap rekan seprofesinya,
memiliki kemauan yang kers untuk meningkatkan hasil pekerjaannya.
Kompetensi perilaku/performance, artinya kemampuan guru dalam berbagai
keterampilan dan berperilaku, seperti keterampilan mengajar, membimbing,
menilai, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul atau berkomunikasi
dengan siswa, keterampilan menumbuhkan semangat belajar siswa,
keterampilan merancang dan menyusun persiapan mengajar, keterampilan
melaksanakan administrasi kelas, dan lain-lain.
Kompetensi kognitif berkenaan dengan aspek teori atau pengetahuan,
sedangkan kompetensi perilaku berkenaan dengan praktek pelaksanaan sebagai
implementasi dari teori atau pengetahuan yang dimiliki oleh guru. Komptensi
guru dalam bidang sikap berkenaan dengan aspek psikologis, terutama yang
terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya yang merupakan implikasi dari
jabatan profesi yang disandangnya. Ketiga bidang kompetensi tersebut saling
berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Kompetensi guru di Indonesia telah dikembangkan oleh Proyek
Pembinaan Pendidikan Guru (P3G) Depdikbud. Pada dasarnya kompetensi guru
menurut P3G bertolak dari analisis tugas seorang guru. Ada sepuluh kompetensi
guru menurut P3G, yaitu sebagai berikut:
(1) menguasai bahan,
(2) mengelola program belajar mengajar,
(3) mengelola kelas,
(4) menggunakan media/sumber belajar,
(5) menguasai landasan kependidikan,
(6) mengelola interaksi belajar mengajar,
(7) menilai prestasi siswa,
(8) mengenal fungsi dan layanan bimbingan penyuluhan,
(9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan
(10) memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna keperluan pengajaran.
3. Kode Etik Guru
Seorang guru adalah seorang pekerja profesional yang mendapat
pendidikan dan keahlian untuk mencapai kualifikasi tertentu. Dalam kegiatan
belajar mengajar, guru berhubungan dengan pertimbangan nilai-nilai.
Pendidikan berhubungan erat dengan transformasi nilai-nilai dari masyarakat
kepada anak didik atau dari diri guru itu sendiri kepada siswa. Dalam kaitan
78

JURNAL ALUMNI, MEI 2004

tersebut, diperlukan etika profesi keguruan. Jadi etika profesi keguruan adalah
ketentuan-ketentuan moral atau kesusilaan yang merupakan pedoman bagi guru
dalam melakukan tugasnya. Kode etik guru di Indonesia dilahirkan oleh
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Kode etik tersebut adalah sebagai
berikut:
(1) berbakti dalam membimbing peserta didik,
(2) memiliki kejujuran profesional dalam melaksanakan kurikulum sesuai dengan
kebutuhan masing-masing peserta didik,
(3) mengadakan komunikasi untuk mendapatkan informasi tentang peserta
didik,
(4) menciptakan suasana belajar yang kondusif dan mengadakan hubungan
dengan orang tua siswa,
(5) memelihara hubungan dengan masyarakat untuk kepentingan pendidikan,
(6) secara individual atau berkelompok mengembangkan profesi,
(7) menciptakan dan memelihara hubungan baik antarpendidik,
(8) secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi
profesi, dan
(9) melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.

PENUTUP
Demikianlah uraian mengenai profesionalisasi guru yang sempat penulis
paparkan dalam makalah ini. Uraian tersebut agaknya bersifat harapan, sebab
harus diakui bahwa beberapa kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
jabatan guru masih jauh dari profesi guru yang sesungguhnya, meskipun tidak
dapat dipungkiri bahwa mereka itu berstatus guru. Dengan kata lain, kita
masih harus banyak berbenah diri untuk menjadi guru yang profesional,
meskipun kita telah berstatus guru. Ini merupakan suatu tantangan bagi para
guru untuk mendongkrak derajat profesinya agar mendapat penghargaan dan
pengakuan di mata masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, M., 1996. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Cetakan Kesembilan. Bandung:
Sinar Baru Algesindo.
Kartikawati, E. dan Willem Lusikooy, 1993. Profesi Keguruan. Depdikbud
Ditjen Dikdasmen, Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III,
Jakarta.
Manan, I., 1989. Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan. Depdikbud Ditjen Dikti.
Jakarta: P2LPTK.

79

Profesionalisasi Guru

Peters, B. and Farwell, 1963. Introduction to Teaching. New York: McMillan


Company.
Pidarta, M., 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Schein, E.H. and Diane W. Kommers, 1972. Professional Education. New York:
McGraw Hill Book Company.
Sujdana, N., 1998. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Cetakan Keempat.
Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Usman, M.U., 1994. Menjadi Guru Profesional. Cetakan Kelima. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

80

Anda mungkin juga menyukai