Anda di halaman 1dari 18

Kelemahan Otot Wajah e.

c Kelumpuhan Nervous Facialis


Ida Bagus Indrayana/ 102009119
Sella Aprilyan Pratama / 102010348
Rio Ramadhona/ 102011446

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara no. 6 Jakarta Barat 11470
No. Telp. 021-56942061.
Abstrak: Bells palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa
adanya penyakit neurologik lain. Insidensi sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000 orang setiap
tahun. Berbagai teori mencoba menerangkan abnormalitas yang terjadi, salah satunya adalah
keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1. Kontroversi dalam tata laksana masih diperdebatkan,
walaupun hampir sebagian besar kasus (85%) sembuh sempurna dalam 1-2 bulan dan rekurensi
terjadi pada 8% kasus. Dokter di pelayanan primer diharapkan dapat menegakkan diagnosis
Bells palsy serta mengobati dengan tepat.
Kata kunci: Bells palsy, kelemahan wajah, paralisis, layanan primer, HSV tipe 1
Abstract: Bells palsy is a syndrome of facial weakness with lower motor neuron sign caused by
idiopathic facial nerve involvement outside the central nervous system, without any other
neurological diseases. The incidence of this syndrome is around 23 cases in 100.000 people each
year. Various theories try to explain the existing abnormality, one of which involves Herpes
Simplex Virus type I. Controversies in the management are still on debate, although most of the
cases (85%) completely resolve in 1-2 months and recurrence was found in 8% of cases. Doctors
in primary health care are expected to be able to make a prompt diagnosis and treatment for
Bells palsy.
Keywords: Bells palsy, facial weakness, paralysis, primary care, HSV type 1

Page | 1

Pendahuluan
Bells palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang
disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya
penyakit neurologik lainnya1.
Sir Charles Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma
kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh
karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak
diketahui penyebabnya2.
Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus per 100.000 orang setiap tahun 1. Insiden Bells
palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut. Prevalensi
rata-rata berkisar antara 1030 pasien per 100.000 populasi per tahun dan meningkat sesuai
pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10%
kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini2,3.
Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran
tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah yang akan bersifat
permanen. Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai Bells palsy oleh dokter pelayanan primer
agar tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpa melupakan diagnosis banding yang mungkin
didapatkan1.
Dalam mendiagnosis Bells palsy perlu dibedakan apakah kelumpuhannya parsial
(inkomplit) atau komplit. Sistim House-Brackmann digunakan untuk menentukan derajat
kerusakan saraf fasialis dengan cara menilai fungsi motorik otot-otot wajah 2. Bells palsy
merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk
menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis1.
Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi dini dan
merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain pada pemeriksaan
neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis banding Bells palsy. Jika tidak
tersedia, dokter umum dapat menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan diagnosis
banding lain. Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi non-farmakologis dan
farmakologis1.

Page | 2

Prognosis pasien Bells palsy umumnya baik, terutama pada anak-anak. Penyembuhan
komplit dapat tercapai pada 85 % kasus, penyembuhan dengan asimetri otot wajah yang ringan
sekitar 10% dan 5% penyembuhan dengan gejala sisa berat2.
Pembahasan
Skenario : seorang laki-laki berusia 25 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan mata kiri
tidak dapat ditutup dan mulutnya mencong ke kanan sejak 1 hari yang lalu. Pasien mengatakan
keluhan timbul secara tiba-tiba dan membuat dirinya cemas.
Anatomi
Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000 serabut
saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya membentuk saraf
intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior
lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjer parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal.
Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu2:
1 . Segmen supranuklear
2 . Segmen batang otak
3 . Segmen meatal
4 . Segmen labirin
5 . Segmen timpani
6 . Segmen mastoid
7 . Segmen ekstra temporal

Page | 3

Gambar 1. Skema dari Saraf Kranialis Ketujuh (fasialis). Cabang motorik ditandai
dengan garis warna biru, cabang parasimpatis ditandai dengan garis warna jingga,
dan cabang aferen viseral spesial (pengecapan) ditandai dengan garis putus-putus
dan titik3.
Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-pontin memasuki meatus akustikus internus.
Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang untuk ganglion
pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan bergabung dengan korda
timpani. Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan bagian yang tersempit
yang dilewati saraf fasialis; foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diameter sebesar
0,66 mm1,4.
Anamnesis
1. Mencantumkan tanggal pengambilan anamnesis
Mencantumkan waktu pengambilan sangat penting dan pertama kali dilakukan pada saat
mencatat hasil anamnesis yang dilakukan pada pasien, terutama dalam keadaan darurat
atau pada rumah sakit.
2. Mengidentifikasi data pribadi pasien
Komponen ini mencakup nama, usia, jenis kelamin, status pernikahan, dan pekerjaan.
Sumber informasi dapat diperoleh dari pasien sendiri, anggota keluarga atau teman,
atasan, konsultan, atau data rekam medis sebelumnya.
3. Keluhan Utama
Page | 4

Keluhan utama merupakan salah satu dari beberapa keluhan lainnya yang paling dominan
sehingga mengakibatkan pasien melakukan kujungan klinik. Usahakan untuk
mendokumentasikan kata-kata asli yang dipaparkan oleh pasien, misalnya rasa gatal.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit pada masa kecil seperti cacar, rubella, mumps, polio, dll perlu ditanyakan dalam
anamnesis. Termasuk penyakit kronis yang dialami sejak masa kecil. Selain itu, informasi
mengenai riwayat penyakit pada masa dewasa perlu didapatkan
5. Riwayat Penyakit Pada Keluarga
Dalam memperoleh informasi ini, tanyakan mengenai usia, penyebab kematian, atau
penyakit yang dialami oleh keluarga terdekat pasien seperti orang tua, kakek-nenek,
saudara, anak, atau cucu.1
Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mengerutkan dahi
Memejamkan mata
Mengembangkan cuping hidung
Tersenyum
Bersiul
Mengencangkan kedua bibir. 1,2

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan
jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel
dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bells palsy akan menunjukkan
adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion
genikulatum.2

Diagnosis
Working Diagnosis
Bells Palsy

Page | 5

Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap


untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan
penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan
gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan
pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup
mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas1.
Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah
disingkirkan. Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan
kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada
bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi
dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan
perifer terjadi pada satu sisi wajah. Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat
dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistim House-Brackmann dan
metode Freyss2,6.
Sistem House-Brackmann terdiri dari 5 derajat. Derajat I berfungsi normal,
derajat II disfungsi ringan, derajat III dan IV disfungsi sedang, derajat V
disfungsi berat dan derajat VI merupakan kelumpuhan total. Derajat II-V
merupakan kelumpuhan parsial sedangkan derajat VI merupakan kelumpuhan
komplit2.
Pada metoda Freyss dinilai 4 komponen yaitu pemeriksaan fungsi motorik
dari sepuluh otot wajah, tonus otot, sinkinesis dan hemispasme. Sistem ini
pertama kali diperkenalkan di Perancis2.
Untuk menentukan topografi kerusakan saraf fasialis ini dilakukan beberapa
pemeriksaan seperti tes Schirmer, pemeriksaan refleks stapedius, tes
gustometri dan tes salivasi2,5. Tes Schirmer dilakukan untuk mengevaluasi
fungsi saraf Petrosus dengan menilai fungsi lakrimasi pada mata kanan dan
kiri. Hasil abnormal menunjukan kerusakan pada Greater Superficial
Petrosal Nerve (GSPN) atau saraf fasialis di proksimal ganglion genikulatum.
Lesi pada tempat ini dapat menyebabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada
kornea akibat terpaparnya kornea mata yang mengalami kelumpuhan2.

Page | 6

Pemeriksaan refleks stapedius rutin dilakukan pada kelumpuhan saraf


fasialis. Pemeriksaan ini untuk mengevaluasi fungsi cabang stapedius dari
saraf fasialis. Tes ini merupakan tes yang paling objektif dari beberapa tes
topografi saraf fasialis lainnya. Pada kasus Bells palsy dengan refleks
stapedius yang masih normal menandakan bahwa penyembuhan komplit
dapat terjadi dalam 6 minggu2.
Tes Gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf khorda timpani dengan
menilai pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa manis, asam dan
asin. Tes ini sangat subjektif. Disamping fungsi pengecapan, khorda timpani
juga berperan dalam fungsi salivasi. Kita dapat menilai fungsi duktus
Whartons dengan mengukur produksi saliva dalam 5 menit. Bila Produksi
saliva berkurang dapat diprediksi khorda timpani tidak berfungsi baik.
Menurut Quinn dkk, pada kasus Bells palsy sering terdapat kesenjangan
topografi saraf fasialis seperti pada pasien terdapat kehilangan fungsi
lakrimasi sedangkan reflek stapedius dan fungsi pengecapan masih normal
atau dapat juga fungsi lakrimasi dan reflek stapedius mengalami ganguan,
tetapi fungsi salivasinya masih normal. Hal ini disebabkan karena terdapatnya
multipel inflamasi dan demyelinisasi disepanjang perjalanan saraf fasialis
dari batang otak ke cabang perifer2.
Setiap pasien dengan kelumpuhan saraf fasialis seharusnya menjalani
pemeriksaan THT yang lengkap seperti pemeriksaan otoskopi, pemeriksaan
massa pada parotis dan pemeriksaan audiologi untuk menentukan fungsi dari
N.VII dan N.VIII. Bila terdapat kelainan pada pemeriksaan audiometri, maka
dianjurkan pemeriksaan Auditory Brainstem Response (ABR) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) 2.
Pemeriksaan oftalmologi terutama dilakukan bila terdapat lagoftalmus pada
mata sisi yang lumpuh. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan tingkat
lagoftalmus sehingga dapat diperkirakan kesanggupan kelopak mata dalam
melindungi kornea2.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis kasus
Bells palsy, kecuali bila dicurigai adanya penyebab yang lain. Pemeriksaan
Page | 7

radiologi tidak rutin dilakukan pada kasus ini kecuali bila adanya riwayat
paralisis rekuren, curiga adanya lesi pada Cerebellopontine Angle (CPA),
terdapat kelainan pada telinga tengah (otitis media akut, otitis media kronik
atau kolesteatom), ada riwayat trauma serta pada pasien yang belum
menunjukan perbaikan paralisisnya dalam 1 bulan2.
Pemeriksaan MRI dilakukan pada kasus yang kita curigai suatu neoplasma
tulang temporal, tumor otak, tumor parotis atau untuk mengevaluasi multiple
sklerosis. Gambaran MRI pada kasus Bells palsy dapat berupa peningkatan
gadolinium saraf pada bagian distal kanalis auditorius interna dan ganglion
genikulatum yang merupakan lokasi tersering terjadinya edema saraf fasialis
yang menetap2.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan
perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi
yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor
apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian
tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis
atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis
kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya1,4,7.
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan
mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid
menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli
perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah
menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat
ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda
patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli
bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan
VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan
sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis,
parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia1,4,7.
Stroke NonHemoragik
Page | 8

Dapat berupa iskemik atau emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah
lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun
terjadi iskemik yang menimbulkan hipoksia dan slanjutnya dapat timbul edema sekunder.
Kesadaran umumnya baik.
1. Menurut perjalanan penyakitnya
a. TIA (transient ischemic attaks)
Gangguan neurologis lokal yang terjadi selama beberapa menit sampai jam saja. Gejala
yang timbul akan hilang dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
b. RIND (reversible iskemik neurologik defisit)
Terjadi lebih lama dari pada TIA , gejala hilang < 24 jam tetapi tidak lebih dari 1 minggu.
c. Progesif stroke inevaluation
Perkembangan stroke perlahan-lahan sampai akut munculnya gejala makin lama semakin
buruk proses pregresif berupa jam sampai beberapa hari
d. Stroke komplet (stroke lengkap)
Gangguan neurologis yang timbul sudah menetap atau permanen. Sesuai dengan
istilahnya stroke komplet dapat di awali oleh serangan TIA berulang.

Gejala klinis pada stroke akut berupa :


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Kelumpuhan wajah atau anggota badan ( biasanya hemiparesis ) yang timbul mendadak
Gangguan sensibilitas pada satu anggota badan (gangguan hemisensorik )
Perubahan mendadak pada status mental ( konfusi, delirium , latergi, stupor, atau koma )
Afasia ( tidak lancar atau tidak dapat bicara )
Disatria ( bicara pelo atau cadel )
Ataksia ( tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasaran )
Vertigo ( mual dan muntah atau nyeri kepala )3

Epidemiologi
Menurut Holland12 (2007) di Inggris insiden Bells palsy terjadi pada 20/100.000 orang
per tahun dengan usia terbanyak adalah 1540 tahun dan tidak terdapat perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan penelitian Tsai dkk (2009) di Taiwan melaporkan
bahwa insiden Bells palsy juga terdapat pada anak berusia 3 bulan 18 tahun, anak
perempuan lebih banyak dibanding anak laki-laki (rasio 1,4 : 1) dan banyak terjadi pada
musim dingin dibanding musim panas2,3.
Etiopatogenesis

Page | 9

Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bells palsy, yaitu
iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas
sebagai etiologi penyakit ini. Burgess dkk mengidentifikasi genom virus herpes simpleks
(HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah
mengalami Bells palsy1.
Tiemstra dkk (2007) mengatakan bahwa Bells palsy disebabkan oleh inflamasi saraf
fasialis pada ganglion genikulatum sehingga menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi
saraf. Singhi dkk mengatakan bahwa lokasi lesi saraf fasialis sering terdapat pada segmen
labirin, dimana pada segmen ini terdapat ganglion genikulatum. Segmen ini merupakan segmen
tersempit dalam kanalis fasialis sehingga bila terjadi inflamasi ringan saja pada saraf, dapat
menyebabkan kompresi saraf tersebut2.
Baru-baru ini perhatian terfokus pada virus Herpes Simpleks tipe I (HSV-1) yang
dianggap sebagai penyebab inflamasi tersebut. Hal ini berdasarkan pada penelitian Mukarami
dkk dikutip dari Desatnik yang mendeteksi DNA HSV-1 pada 79% pasien Bells palsy dengan
menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Menurut Holland (2008) HSV-1 dapat
dideteksi lebih dari 50% kasus Bells palsy sedangkan virus Herpes Zoster (HZV) hanya sekitar
13% kasus. Herpes zoster lebih sering menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis dalam bentuk
Zoster sine herpete (tanpa vesikel) dan hanya 6% dalam bentuk Ramsay Hunt Syndrome
(dengan vesikel). Zoster sine herpete ini diduga juga sebagai penyebab hampir sepertiga
kelumpuhan saraf fasialis yang idiopatik. Infeksi virus Herpes Zoster ini juga berhubungan
dengan prognosis yang jelek dan menimbulkan inflamasi saraf yang irreversibel2.
Untuk menentukan adanya virus ini, dapat digunakan teknik polymerase chain reaction
(PCR) dengan cara mengisolasi DNA virus pada cairan endoneural saraf fasialis selama fase
akut. Selain itu dapat pula dilakukan biopsi pada otot sekitar daerah auricular bagian posterior
yang dipersarafi oleh saraf fasialis2.
Manisfestasi Klinik
Gejala Bells palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang terjadi
secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga mengeluhkan
nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan
sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi
Page | 10

dan berubahnya pengecapan. Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial atau komplit.
Kelumpuhan parsial dalam 17 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit2,3.

Gambar 2. Pasien ini menderita Bells palsy sisi kanan, yang menghasilkan kontraktur dari otot fasialis.
Perhatikan deviasi pada mulut4.

Menurut Yanagihara dkk berdasarkan studi yang dilakukannya terhadap etiologi, derajat,
sisi lesi dan progresivitas inflamasi saraf fasialis, Bells palsy dibedakan dalam 3 fase yaitu2:

Fase akut (0-3 minggu)


Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion genikulatum, biasanya akibat infeksi virus
Herpes Simpleks (HSV). Inflamasi ini dapat meluas ke bagian proksimal dan distal serta
dapat menyebabkan edema saraf.

Fase sub akut (4-9 minggu)


Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai berkurang.

Fase kronik (> 10 minggu)


Edema pada saraf menghilang, tetapi pada beberapa individu dengan infeksi berat, inflamasi
pada saraf tetap ada sehingga dapat menyebabkan atrofi dan fibrosis saraf.

Page | 11

Gambar 3. Bells palsi sisi kiri5

Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bells palsy dapat berbeda. Bila lesi di foramen
stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi
wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bells phenomenon).
Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu
muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan
yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut
mulut1.
Tabel 1. Manifestasi klinis berdasarkan letak lesi5

Page | 12

Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah
ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid
ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama1.
Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis
(sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan
menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan1.
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan Bells palsy adalah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah
kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka penyembuhan komplit,
menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan
seharusnya dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi pasien terhadap
kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bells palsy membutuhkan kontrol rutin dalam jangka
waktu lama2.
Tiemstra dkk mengatakan bahwa, kortikosteroid sangat bermanfaat dalam mencegah
degenerasi saraf, mengurangi sinkinesis, meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan
inflamasi pada saraf fasialis sedangkan Acyclovir diberikan untuk menghambat replikasi DNA
virus. Cara pemberian kortikosteroid ini berbeda pada masing-masing studi menurut Tiemstra
dkk prednison pada dewasa dimulai dengan dosis 60 mg/hari selama 5 hari dan diturunkan
menjadi 40 mg/hari selama 5 hari berikutnya. Menurut Engstrom dkk Prednison dimulai dengan
dosis 60 mg/hari selama 5 hari dan diturunkan 10 mg/hari dalam 5 hari berikutnya (total
pemberian prednison 10 hari) 2,6.
Untuk antiviral dapat digunakan Acyclovir atau obat jenis lainnya seperti Valaciclovir,
Famciclovir dan Sorivudine yang mempunyai bioavailabilitas yang lebih baik dari Acyclovir.
Dosis Acyclovir diberikan 400 mg 5 kali sehari selama 10 hari atau Valaciclovir 500 mg 2 kali
sehari selama 5 hari. Jika penyebabnya diduga virus herpes zoster, maka dosis Acyclovir di
naikan menjadi 800 mg 5 kali sehari atau Valaciclovir 1 gram 2 kali sehari.11 Kombinasi
penggunaan kortikosteroid dan Antiviral oral memberikan hasil yang lebih baik daripada
penggunaan kortikosteroid oral saja dan akan lebih baik bila terapi diberikan dalam 72 jam

Page | 13

pertama. Studi lain juga mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan lama penyembuhan antara
pemberian obat-obatan ini secara oral atau intravena2.
Disamping terapi obat-obatan, pada kasus Bells palsy juga dilakukan Perawatan mata
dan fisioterapi. Perawatan mata tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekeringan pada
kornea karena kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dan produksi air mata yang
berkurang. Perawatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan artificial tear solution pada
waktu pagi dan siang hari dan salep mata pada waktu tidur. Pasien juga dianjurkan menggunakan
kacamata bila keluar rumah. Bila telah terjadi abrasi kornea atau keratitis, maka dibutuhkan
penatalaksanaan bedah untuk melindungi kornea seperti partial tarsorrhaphy Menurut Sukardi,
fisioterapi dapat dilakukan pada stadium akut atau bersamaan dengan pemberian kortikosteroid.
Tujuan fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Caranya yaitu dengan
memberikan radiasi sinar infra red pada sisi yang lumpuh dengan jarak 2 ft (60 cm) selama 10
menit. Terapi ini diberikan setiap hari sampai terdapat kontraksi aktif dari otot dan 2 kali dalam
seminggu sampai tercapainya penyembuhan yang komplit. Disamping itu juga dapat dilakukan
massage pada otot wajah selama 5 menit pagi dan sore hari atau dengan faradisasi2,6.
Terapi pembedahan pada kasus Bells palsy masih kontroversi. Terapi dekompresi saraf
fasialis

hanya

dilakukan

pada

kelumpuhan

yang

komplit

atau

hasil

pemeriksaan

elektroneurography (ENG) menunjukan penurunan amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi
saraf fasialis ini sering terdapat pada segmen labirin, maka pada pembedahan digunakan
pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy sedangkan bila lesi terdapat pada segmen
mastoid dan timpani digunakan pendekatan transmastoid2,6.
Komplikasi
1. Crocodile tear phenomenon.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan
setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut
otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi
lesi di sekitar ganglion genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul
gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul
Page | 14

gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.


Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi
bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
3. Hemifacial spasm
Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali)
dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi
wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan
psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak
sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
4. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas terlihat
pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila kembalinya fungsi
sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi
jelas saat otot wajah bergerak.
Prognosis
Prognosis Bells palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien dan derajat
kelumpuhan. Kelumpuhan parsial (inkomplit), mempunyai prognosis yang lebih baik. Anak-anak
juga mempunyai prognosis yang baik dibanding orang dewasa dan sekitar 96,3% pasien Bells
palsy dengan House-Brackmann kurang dari Derajat II dapat sembuh sempurna, sedangkan pada
House-Brackmann lebih dari derajat IV sering terdapat deformitas wajah yang permanen2.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele
berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan,
refleks stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari
(penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas1.
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada
fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/atau
perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama1.
Bells palsy biasanya dapat sembuh tanpa deformitas. Hanya 5% yang mengalami
deformitas. Deformitas pada Bells palsy dapat berupa2:

Regenerasi motorik inkomplit


Page | 15

Ini merupakan deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf fasialis. Dapat terjadi akibat
penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot ekspresi wajah. Regenerasi saraf yang
tidak maksimal dapat menyebabkan kelumpuhan semua atau beberapa otot wajah.
Manifestasi dari deformitas ini dapat berupa inkompetensi oral, epifora dan hidung
tersumbat.

Regenerasi sensorik inkomplit


Manifestasinya dapat berupa disgeusia, ageusia atau disesthesia.

Regenerasi Aberrant
Selama regenerasi dan perbaikan saraf fasialis, ada beberapa serabut saraf yang tidak
menyambung pada jalurnya tapi menyambung dengan serabut saraf yang ada didekatnya.
Regenerasi aberrant ini dapat menyebabkan terjadinya gerakan involunter yang mengikuti
gerakan volunter (sinkinesis).
Diperlukan pemeriksaan untuk menentukan prognosis penyakit ini. Pemeriksaan tersebut

direko- mendasikan pada kelumpuhan komplit atau bila tidak terdapat tanda-tanda penyembuhan
dalam

3 minggu dari onset penyakit. Menurut Yeo dkk ENG merupakan alat yang dapat

membantu memperkirakan prognosis penyakit. Alat ini dapat mencatat compound action
potential dari otot fasialis setelah diberikan stimulasi elektrik supramaksimal pada saraf fasialis
bagian distal dari foramen stilomastoid2.
Rekurensi pada kasus Bells palsy jarang dilaporkan terutama pada anak-anak. Chen dkk
melaporkan terdapat 6% kasus Bells palsy yang mengalami rekurensi. Rekurensi ini dapat
disebabkan oleh terserang virus kembali atau aktifnya virus yang indolen di dalam saraf fasialis.
Bila rekurensi terjadi pada sisi yang sama dengan sisi yang sebelumnya, biasanya disebabkan
oleh virus Herpes Simpleks. Rekurensi meningkat pada pasien dengan riwayat Bells palsy dalam
keluarga. Umumnya rekurensi terjadi setelah 6 bulan dari onset penyakit2.

Kesimpulan
Bells palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh
keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik
lainnya1.
Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bells palsy, yaitu
iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi1.
Page | 16

Gejala Bells palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi, nyeri di
sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah, hiperakusis, berkurangnya produksi air mata,
hipersalivasi dan berubahnya pengecapan2,3.
Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah disingkirkan.
Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral atau
perifer. Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan
sistim House-Brackmann dan metode Freyss2,6. Untuk menentukan topografi kerusakan saraf
fasialis ini dilakukan beberapa pemeriksaan seperti tes Schirmer, pemeriksaan refleks stapedius,
tes gustometri dan tes salivasi2,5.

Page | 17

Daftar pustaka
1. Lowis H, Gaharu MN. Bells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer. J
Indon Med Assoc. 2012:62;32-7
2. Munilson J, dkk. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bells Palsy. Available from:
3. Greenberg DA, et al. 2002. Clinical Neurology. 5th edition. McGraw-Hill: New York.Chapter
5
4. Feldman EL, et al. 2005. Atlas of Neuromuscular Diseases. A Practical Guideline. SpringerVerlag/Wien: Austria. pp.56-61
5. Rohkamm R. 2004. Color Atlas of Neurology. Thieme Stuttgart: New York.pp.98-99
6. Lange DJ, et al. Peripheral and Cranial Nerve Lesions. In: Rowland LP. 2000. Merritts
Neurology. 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins Publishers: New York. Chapter 68
7. Tsementzis SA. 2000. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery. A Clinicals
Pocket Guide. Thieme Stuttgart: New York.pp.78
8. Frank M. Sullivan, Ph.D., Iain R.C. Swan, M.D., Peter T. Donnan, Ph.D., Jillian M.
Morrison, et al. Early Treatment with Prednisolone or Acyclovir in Bells Palsy. N Engl J
Med 2007;357:1598-607.
9. Donald H. Gilden, M.D. Bells Palsy. N Engl J Med 2004;351:1323-31.
10. J J Halperin. Bells Palsy. Overlook Hospital Atlantic Health, Summit, NJ, USA. 2009 :
155-159

Page | 18

Anda mungkin juga menyukai