I.
Nama
: Abiyyu Ahmad
NIM
: 03121403056
Kelompok
: 7 (Tujuh)
NAMA PERCOBAAN
: Pembuatan Chitosan
3.
terangkai
dengan
ikatan
glikosida
pada
posisi
-(1-4).
sehingga
chitin
menjadi
sebuah
polimer
berunit
N-
(Tokura, 1995). Chitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air,
larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO 3, dan H3 PO4, dan tidak
larut dalam H2SO4.
Chitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat
polielektrolitik (Hirano, 1986). Disamping itu Chitosan dapat dengan mudah
berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu,
Chitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan
induistri kesehatan (Muzzarelli, 1986). Saat ini budi daya udang dengan
tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang merupakan komoditi
ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non-migas dan
merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi. Udang di
Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang telah
dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya.
Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan
udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat
udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha
pengolahan udang cukup tinggi (Anonim, 1994). Limbah kulit udang
mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, chitin,
pigmen, abu, dan lain-lain (Anonim, 1994).
Saat ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah
termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan
bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di negara maju seperti Amerika
Serikat dan Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam industri
sebagai bahan dasar pembuatan chitin dan chitosan.
Manfaatnya di
dari
hewan
golongan
crustaceans
melimpah
di
alam
berbentuk
linier yang terdiri dari dari monomer N-asetilglukosamin (GlcNAc) dan Dglukosamin (GlcN). Bentukan derivatif deasetilasi dari polimer ini antara lain
adalah kitin. Kitin merupakan salah satu jenis polisakarida terbanyak ke dua di
bumi setelah selulosa dan dapat ditemukan pada eksoskeleton invertebrata dan
beberapa fungi pada dinding selnya.
III.3. Logam Berat Beracun di Perairan
Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari
5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4
sampai 7 (Miettinen, 1977). Sebagian logam berat seperti timbal (Pb), kadmium
(Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang berbahaya. Afinitas yang
tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam
enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak aktif. Gugus karboksilat (COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal,
dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transpormasi
melalui dinding sel. Logam berat juga mengendapkan senyawa fosfat biologis
atau mengkatalis penguraiannya (Manahan, 1977).
Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun
logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai
berikut merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr),
nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja dkk, 1982). Menurut Darmono (1995)
daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah terhadap manusia
yang mengkomsumsi ikan adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+ >Ag2+ > Ni2+ > Pb2+
> As2+ > Cr2+ Sn2+ > Zn2+.
dalam bentuk kompleks dengan zat organik seperti hexa-etil timbal, dan tetra alkil
lead (TAL) (Iqbal dan Qadir, 1990).
Pada hewan dan manusia timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui
makanan dan minuman yang dikomsumsi serta melalui pernapasan dan penetrasi
pada kulit. Di dalam tubuh manusia, timbal dapat menghambat aktifitas enzim
yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit
anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya
nafsu makan, kejang, kolik khusus, muntah dan pusing-pusing. Timbal dapat juga
menyerang susunan saraf dan mengganggu sistem reproduksi, kelainan ginjal, dan
kelainan jiwa (Iqbal dkk 1990; Pallar, 1994).
III.4. Kitosan sebagai Antibakteri
Pemberian kitosan melalui penyuntikan dan perendaman dilaporkan dapat
meningkatkan ketahanan Salvelinus fontinalis terhadap infeksi Aeromonas
salmonicida (Anderson et al., 1994). Sedangkan Sukenda et al. (2007)
melaporkan juga bahwa uji in vivo pada udang putih, Litopenaeus vannamei,
menunjukkan bahwa penggunaan kitosan sebagai
imunostimulan
mampu
imun,
mempercepat
penyembuhan
kitosan
telah
dan trombosit lebih baik pada ikan-ikan yang diberi kitosan dibandingkan ikan
kontrol dengan presentase tertinggi pada kelompok ikan yang diberi kitosan 6
g/g (Sukenda, L., dkk. 2008).
Interaksi bahan antibakteri dapat melalui interaksi ionik dan interkasi
hidrofobik. Namun karena kitosan tidak memiliki gugus alkil hidrofobik, maka
kemungkinan besar interaksi sifat antibakteri polimer kitosan dengan bakteri
melalui interaksi ionik antara polikationik ammonium kuaterner kitosan dengan
muatan ion negatif sel bakteri. Gugus hidrofilik yang cenderung bermuatan
negatif ini berinteraksi dengan polikation ammonium kuaterner kitosan.
Adanya interaksi tersebut membuat keberadaan polikation kitosan
mengganggu metabolisme bakteri dengan melapisi permukaan sel bakteri,
mencegah masuknya nutrien kedalam sel, berikatan dengan DNA kemudian
menghambat RNA dan sintesis protein, sehingga menyebabkan kerusakan
komponen intraseluler dan penyusutan membran sel secara perlahan dan
akhirnya mengakibatkan kematian sel bakteri (Purnawan, 2008).
III.5. Kitosan dalam Industri
Kitosan atau Chitosan banyak digunakan oleh berbagai industri antara lain
industri farmasi, kesehatan, biokimia, bioteknologi, pangan, pengolahan limbah,
kosmetik, agroindustri, industri tekstil, industri perkayuan, industri kertas dan
industri elektronika. Aplikasi khusus berdasarkan sifat yang dipunyainya antara
lain untuk: pengolahan limbah cair terutama bahan sebagai bersifat resin penukar
ion untuk minimalisasi logamlogam berat, mengoagulasi minyak/lemak, serta
mengurangi kekeruhan: penstabil minyak, rasa dan lemak dalam produk industri
pangan.
Chokyon Rha clan Mc NeaLY h. w. (1959) melaporkan bahwa chitosan
dapat berfungsi sebagai pengikat bahan-bahan untuk pembentukan alat-alat gelas,
plaslik, karet dan selulosa sehingga sering disebut "specialily adhesif
formulations". Selain itu chitosan dapat digunakan sebagai perekat (misalnya
chitosan yang berkosentrasi rendah dan sedang yang berkosentrasi (3 - 4) %
dalam asam asetat 2 % pada bahan untuk pembuatan rayon cotton.
Sifat chitosan sebagai polimer alami mempunyai sifat menghambat
absorpsi lemak. Sifat ini sangat potensial untuk dijadikan obat penurun lemak,
penurun kolesterol, pelangsing tubuh atau pencegahan penyakit lainnya. Chitosan
juga bersifat tidak dicernakan dan tidak diabsorpsi tubuh, sehingga lemak dan
kolesterol makanan terikat menjadi bentuk non-absorpsi yang tak berkalori, Tidak
seperti serat alam lain, chitosan mempunyai sifat unik karena memberikan daya
pengikatan lemak yang sangat tinggi. Pada kondisi normal chitosan mampu
menyerap 4 - 5 kali lemak dibandingkan serat lain. Kapasitas yang tinggi ini juga
diakibatkan gugus chitosan yang relatif bersifat basa dengan adanya gugus amino.
Sebagai contoh jumlah lemak yang dieksresi oleh chitosan sekitar 51 %
sedangkan oleh pektin dan selulosa hanya mencapai 5 - 7 %.
Di bidang induslri, chitosan dapat meningkatkan kekuatan mekanik Facia
kertas, memperbaiki ikatan antara warna dengan makanan, menghilangkan
kelebihan penggunaan perekat dan dapat mencegah kelarutan hasil dari kertas,
pulp dan tekstil. Sedangkan penerapan lain di bidang biokimia, chitin dan
chitosan digunakan sebagai zat mempercepat dalam penyembuhan luka. Sifat lain
adalah chitosan dapat berfungsi sebagai zat koagulan, adanya sifat ini
menyebabkan ia banyak dimanfaatkan bentuk recovery senyawa-senyawa organik
dari limbah bekas media tumbuh seafood.