Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bone Tumor
2.1.1. Etiologi
penyebab sebagian besar tumor tulang masih belum diketahui, namun
perubahan genetik, seperti pada tumor lain, memiliki peranan. 4 Radiasi, infark
tulang, paget disease, inflamasi kronik dihubungkan dengan tumor tulang.
Sementara itu penyebab keganasan yang lebih jarang adalah paparan bahan-bahan
tertentu (misalnya kromium, nikel, kobalt, aluminium, titanium, methylmethacrylate dan polietilen), namun belum terbukti secara pasti. Akhir-akhir ini
perhatian terfokus pada sedikit kasus mengenai osteosarcoma yang dilaporkan
meningkat dalam hubungannya dengan implanted metallic hardware dan prostesis
sendi. Tetapi data epidemiologi untuk hubungan causatif masih terbatas maupun
disimpulkan.4,5
2.1.2. Klasifikasi bone tumor
Klasifikasi Neoplasm-like Lesion of bone:6
1. Osteogenic
a. Osteoma (ivory exostosis)
b. Single osteochondroma (osteocartilaginous exostosis)
c. Multiple osteochondromata (multiple hereditary exostose)
d. Osteoid osteoma
e. Benign osteoblastoma (giant osteoid osteoma)
2. Chondorgenic
a. Enchondroma
b. Multiple enchondromata (Olliers dyschondroplasia)
3. Fibrogenic
a. Subperiosteal cortical defect (metaphyseal fibrous defect)
b. Nonosteogenic fibroma (nonossifying fibroma)
c. Monostotic fibrous dysplasia
d. Polyostotic fibrous dysplasia
e. Osteofibrous dysplasia (Campanacci syndrome)
f. Brown tumor (hyperparathyroidism)
4. Angiogenic
a. Angioma of bone (hemangioma and lymphangioma)
b. Aneurysmal bone cyst (ABC)
5. Uncertain origin

a. Simple bone cyst (unicameral bone cyst/UBC)


Klasifikasi true primary neoplasms of bone:6
1. Osteogenic
a. Osteosarcoma (osteogenic sarcoma)
b. Surface osteosarcoma (parosteal sarcoma; periosteal sarcoma)
2. Chondrogenic
a. Benign chondroblastoma
b. Chondromyxoid fibroma
c. Chondrosarcoma
3. Fibrogenic
a. Fibrosarcoma of bone
b. Malignant fibrosis histiocytoma of bone
4. Angiogenic
a. Angiosarcoma of bone
5. Myelogenic
a. Myeloma of bone (multiple myeloma)
b. Ewings sarcoma (Ewings tumor)
c. Hodgkins lymphoma of bone
d. Non-hodgkins lymphoma (reticulum cell sarcoma)
e. Skeletal reticuloses (Langerhans cell histiocytoses)
f. Leukemia
6. Uncertain origin
a. Giant cell tumor of bone (osteoclastoma)
2.1.3. Manifestasi klinis
Manifestasi tumor tulang tidaklah spesifik, karena lamanya waktu yang
dibutuhkan dari timbul hingga tumor terdiagnosa. Nyeri, bengkak dan general
discomford merupakan gejala kardinal yang mengarah pada diagnosa tumor
tulang. Namun, keterbatasan gerak dan fraktur spontan juga memiliki arti
penting.5
1. Nyeri
Nyeri biasanya merupakan gejala paling umum pada hampir semua
keganasan tulang. Apabila fraktur spontan tidak terjadi, gejala biasanya
timbul lambat. Awalnya pasien merasakan tearing neuralgia-like pain,
yang mungkin diartikan sebagai nyeri reumatik. Meskipun gejala
awalnya terjadi secara intermiten dan hanya saat istirahat, nyeri dapat
menjadi semakin intens, mengganggu tidur saat malam, menyebar ke
sendi terdekat dan sering disalahartikan sebagai artritis atau fenomena
pascatrauma.

Intensitas nyeri yang lebih lanjut dirasakan persisten dan seperti ditusuk.
Selama progresivitas penyakit, nyeri semakin menyiksa dan tidak
tertahankan sehingga membutuhkan terapi opiat.
Pada kasus dimana terjadi penekanan pada nerve trunks atau nerve
plexuses, pasien dapat merasakan nyeri yang menyebar. Nyeri yang
spesifik terjadi bila tumor berlokasi pada tulang belakang dan
menyebabkan gejala kompresi radiks atau spinal dengan paralisis.
2. Bengkak
Gejala terpenting kedua pada tumor tulang adalah bengkak, dimana
sering memiliki durasi yang panjang, terutama neoplasma benigna, dan
tidak memberikan keluhan lain. Deskripsi konsistensi dari bengkak
penting dilakukan, misalnya kasar, kenyal padat atau lembek.
Pengukuran besar bengkak juga diperlukan. Pembengkakan tumor
mungkin dapat menyebabkan perubahan kulit, meliputi kulit yang tegang
mengkilat dengan pelebaran vena, livid, hipertermi, stria pada kulit dan
terkadang ulserasi.
Mobilitas tulang, subkutis dan otot di atas tumor juga harus diperiksa.
Semakin rendah mobilitasnya, semakin mengarah kepada suatu
keganasan.
3. Keterbatasan gerak
Mobilitas dapat terbatas pada kasus dimana lesi dekat dengan sendi,
seperti pada osteoblastoma, chondroblastoma, GCT, dan semua tipe
sarcoma. Terkadang, bukan karena tumornya yang menyebabkan
keterbatasan gerak, namun adanya reaksi sinovitis pada sendi seperti
pada chondroblastoma yang dapat menyamarkan diagnosis.
4. Fraktur patologis
Adanya fraktur dapat didiagnosis awal, karena hal tersebut menyebabkan
pasien datang mencari pengobatan segera. Fraktur mungkin terjadi tanpa
adanya gejala yang lebih dulu yang sering terjadi pada kista juvenil dan
beberapa non-ossifying bone fibroma. Pada kasus tumor tulang maligna,
fraktur lebih jarang terjadi awal, karena biasanya terjadi pada stadium
lanjut dari tumor tulang osteolitik dan pasien merasakan nyeri, serta
adanya pertumbuhan tumor sebelumnya.
5. General symptom

Gejala ini meliputi demam, lelah, dan penurunan berat badan. Gejala
tersebut timbul lebih lambat pada tumor ganas dan hampir tidak terjadi
pada tumor jinak.
2.1.4. Diagnosis
Karena primary true neoplasm of bone, terutama yang ganas jarang terjadi.
Dokter harus waspada akan adanya kemungkinan suatu neoplasma sebagai
diagnosis banding jika terdapat keadaan nyeri yang tidak bisa dijelaskan
(unexplained pain), bengkak, benjolan, atau penurunan fungsi. Jadi kecurigaan
awal atau diagnosis sementara dari true neoplasm dapat dilakukan oleh primary
care physician atau secondary care. Pasien yang dicurigai adanya tumor harus
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (termasuk biopsi). Untuk mendiagnosis suatu
lesi yang dicurigai keganasan pada tulang diperlukan anamnesis (umur pasian,
riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang),
pemeriksaan fisik, pencitraan, pemeriksaan laboratorium, staging neoplasma, dan
biopsi.6-8
1. Anamnesis
a. Umur pasien
Biasanya umur pasien memberikan informasi berharga terhadap
diagnosis tumor tulang karena sebagian besar tumor tulang memiliki
predileksi untuk umur tertentu.5,8
Tabel 2.1. Peak age predilection dari lesi tulang8

b. Riwayat penyakit
Riwayat adanya trauma lokal sering disebutkan oleh pasien dengan
neoplasma muskuloskeletal. Neoplasma yang tumbuh lambat
(slowly growing neoplasm) dan neoplasm-like lesion jarang
menyebabkan gejala kecuali karena lokasinya, adanya neoplasma
tersebut mengganggu fungsi jaringan sekitar, atau terdapat
komplikasi yakni fraktur patologis.
Nyeri merupakan gejala yang signifikan terhadap neoplasma ganas
dengan pertumbuhan cepat (rapidly growing malignant neoplasm).
Awalnya ringan dan intermiten, nyeri kemudian menjadi progresif
menjadi berat dan konstan, sampai pada titik menganggu tidur
pasien. Hal ini dapat disebabkan karena tensi atau tekanan pada
periosteum dan endosteum yang sensitif. Riwayat adanya nyeri
yang berat tiba-tiba biasanya mengindikasi adanya fraktur
patologis, dan mungkin merupakan manifestasi pertama pada area
tulang yang lemah karena adanya neoplasma tulang.6
2. Pemeriksaan fisik
Pembengkakan lokal atau benjolan dapat dideteksi dengan inspeksi saat
lesi menonjol keluar melebihi batas tulang yang normal atau dapat
dideteksi dengan palpasi. Pembengkakan lesi benigna biasanya tegas dan

tidak lunak. Pada neoplasma maligna dengan pertumbuhan cepat


bengkak lebih difus dan sering lunak. Pada lesi yang vaskular, vena
superfisial terlihat berdilatasi dan kulit yang melingkupi teraba hangat.
Jika lesi dekat dengan sendi, fungsi sendi tersebut dapat terganggu dan
mungkin juga nyeri keterbatasan gerak sendi.6

Gambar 2.1. Dilatasi vena superfisial

3. Pemeriksaan pencitraan dan korelasi dengan patologi


Untuk mendiagnosis suatu neoplasm-like lesion dan true neoplasm of
bone dapat digunakan metode diagnosis dengan pencitraan termasuk foto
polos (plain radiography), tomografi polos (plain tomography) , CT,
MRI, dan scintigraphy (bone scan).
a. Plain radiography
Plain radiography dengan 2 posisi dapat digunakan sebagai metode
pencintraan awal untuk lesi yang dicurigai neoplasm like lesion dan
true neoplasm of bone. Rontgen dapat menentukan lokasi dan ukuran
lesi, resorbsi tulang, batas lesi (baik batas yang jelas atau kabur),
reaksi tulang terhadap lesi, dan efek lesi pada korteks (tidak ada,
ekspansi, penetrasi). Terkadang lesi yang tidak dicurigai, terutama
neoplasm-like lesion atau neoplasma benigna yang asimtomatik
ditemukan kebetulan pada rontgen dengan tujuan lain, misalnya
cedera.6,8
1) Lokasi lesi
Sebagian besar tumor tulang baik jinak maupun ganas sering
timbul pada suatu tempat tertentu, misalnya tulang panjang, tulang
pipih, tulang aksial atau tulang apendikular. Beberapa tumor
memiliki predileksi pada tulang yang cepat tumbuh, biasanya di
daerah metafisis (misalnya osteosarcoma), sementara tumor lain
cenderung mengikuti distribusi sumsum tulang (misalnya ewings
sarcoma). Lebih lanjt, suatu lesi di tulang panjang dapat dibedakan
berdasarkan lokasi longitudinal (epifisis, metafisis, diafisis)
maupun tranversal (meduler, kortikal, jukstakortikal). Sebagai
contoh, simple bone cyst dan nonossifying fibroma timbul didaerah
metafisis, namun simple bone cyst cenderung pada medular,
sedangkan nonossifying fibroma pada kortikal. Lebih lanjut, simple
bone cyst biasanya berada di dalam kavitas medular, sedangkan
aneurysmal bone cyst lebih berada di pinggir kavitas medula.
Tetapi, pada tulang pendek maupun tulang tubular tipis, seperti

10

metakarpal, metatarsal, falang, dan fibula, keseluruhan tulang dapat


terkena, sehingga terkadang sulit untuk menentukan bagian tulang
mana lesi tersebut bermula.

Gambar 2.2. Lokasi bone tumor8


2) Batas lesi
Lesi pada tulang ada yang berbatas tegas dan adapula yang
memiliki batas tidak tegas. Batas lesi dan zona transisi atara lesi
dan bagian tulang yang sehat merupakan faktor yang menentukan
apakah lesi tersebut agresif atau tidak. Lesi dengan batas tegas dan
memiliki zona transisi yang sempit secara radiologi dianggap
nonagresif, terutama bila batas lesi memiliki batas sklerotik
(sclerotic border).8
3) Reaksi periosteal
Adanya reaksi periosteal yang terlihat dari pemeriksaan radiologis
penting dalam menentukan karakteristik lesi tulang. Reaksi
periosteal yang solid atau unilamelar merupakan penampakan
untuk

lesi

yang

nonagresif

karena

mengindikasikan

lesi

dibawahnya memiliki pertumbuhan lambat dan memberikan


kesempatan tulang untuk membatasi lesi. Pada lesi dengan
pertumbuhan lambat ke dalam tulang, permukaan dalam dari kortek

11

secara berangsur-angsur terkikis dari dalam. Pada waktu yang


sama, periosteum bereaksi dengan mendeposisi tulang di luar.
Kombinasi ini menghasilkan adanya ekspansi tulang.8

Gambar 2.3. Reaksi periosteal unilamelar8


Ketika periosteum terangkat oleh neoplasma yang telah mengikis
korteks, hal ini menyebabkan pembentukan sudut dimana
periosteum yang terelevasi dan tulang menjadi satu/melekat.
Bentuk segitiga dari tulang reaktif ini sering disebut segitiga
Codmans.

Gambar 2.4. Segitiga Codmans


Elevasi periosteum pada suatu tingkat menstimulasi pembentukan
lapisan berturut-turut dari reaksi periosteal. Fenomena ini disebut
onion skin appearance.

12

Gambar 2.5. Reaksi periosteal multilamelar


Karena neoplasma maligna tumbuh cepat diatas batas korteks,
pembuluh darah turut mengikuti dan tumbuh dengan pola radial
dari korteks. Baik neoplasma tulang dan reaksi periosteal
membentuk pembuluh yang radial ini, yang disebut sunburst
appearance.

Gambar 2.6. Reaksi periosteal perpendikular


4) Opasitas dan mineralisasi
Patologi neoplasm like lesion dan true neoplasm of bone terefleksi
baik dengan perubahan densitas dalam penampakan rontgen tulang
dan jaringan lunak. Tumor dapat berupa litik, sklerotik/blastik
maupun campuran.

13

Sel neoplastik sendiri tidak dapat merusak tulang, namun


keberadaannya menginisiasi resorbsi tulang oleh osteoklas lokal.
Sel neoplasma tertentu juga menginisiasi deposisi osteoblastik
lokal pada tulang normal, menjadi tulang yang reaktif. Sel
neoplastik pada grup neoplasma osteogenik mampu memproduksi
osteoid dan tulang, dimana dirujuk menjadi tumor tulang. Pada
rontgen terlihat refleksi proporsi bervariasi dari resorbsi tulang
(osteolisis) dan deposisi tulang (osteosklerosis).
Lesi geografik dimasukkan ke dalam tipe 1 dan dapat dibagi lagi
menjadi tipe 1a (batas tegas dengan lingkaran sklerotik/sclerotic
rim), tipe 1b (batas tegas tanpa lingkaran sklerotik) dan tipe 1c (lesi
litik fokal dengan batas tidak tegas). Lesi infiltratif memiliki batas
yang tidak tegas dan zona transisi yang luas. Pola destrukri tulang
dapat moth-eaten (tipe 2) atau permeated (tipe 3), dimana
terlihat destruksi tulang litik yang kecil, tidak sempurna, dan batas
tidak tegas

Gambar 2.7. Lesi geografik tipe 1a

14

Gambar 2.8. Lesi geografik tipe 1b

Gambar 2.9. Lesi geografik tipe 1c

15

Gambar 2.10. Lesi tipe 2 moth eaten

Gambar 2.11. Lesi tipe 3 permeated


Tulang yang lemah oleh destruksi lokal (resorbsi osteoklas) dari
berbagai sebab lebih gampang fraktur daripada tulang normal.
Komplikasi ini disebut fraktur patologis karena terjadi pada daerah
tulang yang abnormal atau patologis. Jika proses regenerasi dari
penyembuhan fraktur lebih cepat daripada proses destruktif

16

neoplasma,

fraktur

patologis

dapat

menyatu.

Jika

terjadi

sebaliknya, fraktur patologis tidak pernah menyatu.


Pada neoplasma maligna dengan pertumbuhan cepat, mungkin
reaksi periostealnya sedikit atau tidak ada, dimana pada
penampakan radiologis terdapat defek osteolitik. Ini terjadi pada
tipe osteolitik metastasis tulang. Neoplasma primer tertentu,
terutama karsinoma prostat mendorong reaksi osteoblastik cepat
ketika metastasi ke tulang dan memproduksi metastasis tipe
osteoblastik atau osteosklerotik.
True cyst ( kavitas yang mengandung gas atau cairan) pada tulang
hanya simple bone cyst, yang merupakan neoplasm like lesion. Lesi
osteolitik lain mungkin terlihat kistik pada radiologi, tetapi karena
mereka mengandung jaringan tumor, mereka merupakan lesi solid.
Opasitas lesi berdasarkan radiologi juga dipengaruhi oleh
mineralisasi dari matriks. Matriks yang dimaksud adalah jenis-jenis
jaringan dari tumor, seperti osteoid, chondral, fibrous, atau adiposa
dimana kesemuanya memiliki penampakan radiolusen. Mineralisasi
merupakan kalsifikasi dari matriks tersebut.
5) Ukuran dan jumlah
Ukuran lesi dapat menjadi petunjuk untuk menentukan diagnosis
karena beberapa entitas memiliki ukuran tertentu, misalnya osteoid
osteoma dan osteoblastoma secara histologi mirip, namun berbeda
ukurannya. Nidus pada osteoid osteoma memliki diameter kurang
dari 1,5 cm, sedangkan osteoblastoma memiliki diameter lebih dari
1,5 cm.
Jumlah lesi juga dapat menjadi petunjuk. Tumor tulang primer
terjadi soliter, sedangkan abnormalitas lain mungkin dapat
multipel.
6) Keterlibatan cortical
Lesi yang bermula didalam korteks, korteks dapat dipengaruhi oleh
proses yang berasal dari kanal medula atau periosteum atau
jaringan lunak sekitar. Sebagai contoh, karena ekspansi proses

17

dalam medula, dapat menyebabkan erosi pada permukaan dalam


korteks, disebut endosteal scalloping. Jika lesi dalam medula
sanagat agresif sehingga mengikis bagian dalam korteks tanpa
memberikan kesempatan periosteum untuk membentuk tulang
baru, korteks akan hancur. Di lain pihak, jika tulang memiliki
waktu membuat periosteum baru dilapisan luar korteks karena
bagian dalam sudah terkikis, tulang akan nampak membesar.
Tergantung dari agresivitas lesi, kortek yang melebar (balloned
cortex) mungkin memiliki ketebalan normal atau tipis.
Proses yang bermula dari lapisan permukaan luar korteks, baik
pada periosteum maupun jaringan lunak sekitar dapat mengikis
permukaan luar korteks. Proses ini dinamakan saucerization.
7) Komponen jaringan lunak
Adanya komponen jaringan lunak dengan lesi pada tulang memberi
kesan adanya proses keganasan. Tumor mungkin menghancurkan
korteks karena perluasaanya atau mungkin menenmbus kanal
harvest untuk mencapai jaringan lunak sekitar.
Beberapa tanda radiologis ini terkadang merupakan tanda patogmonik
yang diberikan pada jenis-jenis neoplasma tertentu (sunburst
appearance mengindikasi osteosarcoma, onion skin appearance
mengindikasi ewings sarcoma) tanda ini tidak berarti spesifik atau
konstan. Sebagai konsekuensi, spot diagnosis pada radiologi tunggal
lebih pintar daripada bijaksana. Semua data harus terkorelasi untuk
mendapatkan ketetapan diagnosis.
b. Tomografi konvensional
Metode pencitraan ini menyediaan gambaran dari seri potongan
jaringan pada kedalaman yang bervariasi dari permukaan kulit.
Potongan sedemikian, setiap potongannya fokus pada level tertentu,
yang membantu sekali dalam evaluasi abnormalitas dalam jaringan
dengan kontras tinggi seperti tulang. Meskipun tomografi ini telah

18

diganti kedudukannya oleh CT atau MRI, masih memiliki tempat di


RS dimana modalitas yang lebih mahal tidak ada.
c. CT
Dengan CT, jaringan dengan densitas yang berbeda lebih jelas
dibedakan dengan radiasi yang lebih kurang daripada tomogragrafi
konvensional. Pada sistem muskuloskeletal, CT lebih disukai untuk
akurasi menggambarkan lokasi dan perluasan lesi, termasuk skip
lesion dan ekstensi jaringan lunak dalam tulang. CT juga menyediakan
detail tulang lebih baik pada daerah yang dalam seperti pelvis atau
tulang belakang. Ini lebih berguna dalam mendeteksi area

yang

mengalami ossifikasi dan kalsifikasi dan fraktur patologis yang halus.


Sebagai tambahan, CT scan dada memperlihatkan metastase ke paru
yang kecil dimana tidak bisa terlihat pada rontgen.
d. MRI
Keuntungan yang paling signifikan pada MRI dibandingkan CT
adalah

menggunakan

non-ionizing

radiofrequency

radiation

dibandingkan radiasi ion. Hal ini memberikan gambaran yang lebih


baik pada jaringan lunak, termasuk sumsum tulang, juga sebagian
besar saraf dan pembuluh darah serta hubungan antara neoplasma
dengan struktur tersebut. Ini juga menyediakan data fiologis dan
anatomis (utamanya jika dikombinasi dengan agen kontras dan
spectroskopi). Lesi sumsum tulang memiliki intensitas sinyal rendah
pada T1-weighted images (terlihat gelap), sementara perluasan
jaringan lunak dan neoplasma jaringan lunak memiliki intesitas sinyal
tinggi (terlihat terang) di T2-weighted images. Sebagai pengecualian
pada generalisasi ini, lemak (termasuk lipoma) memiliki intensitas
sinyal tinggi pada T1 dan T2 weighted images, dan sebagian besar
fibrous lesion memiliki intensitas sinyal rendah pada T1 dan T2

19

weighted images. MRI terutama berguna dalam staging neoplasma


maligna.
e. Scintigraphy (bone scan)
Bone scan menggambarkan perubahan dalam aliran darah lokal dalam
tulang, termasuk derajat aktivitas metabolik lokal. Terutama
peningkatan pembentukan tulang. Daerah yang terjadi peningkatan
ambilan radionuclide disebut hot spots. Scintigraphy sangat berguna
dalam memperlihatkan lesi, baik benigna maupun maligna, yang
sangat vaskular. Bone scan pada seluruh seluruh tubuh telah
mengganti radiographic skeletal surveys dalam deteksi multiple lesion
di tulang lain, juga polystotic fibrous dysplasia dan metastasis ke
tulang.
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lanjutan yang relevan dapat membantu dalam
membedakan dengan diagnosis banding lain. Pemeriksaan laboratorium
yang dapat dilakukan antara lain sebagi berikut:
a. Darah rutin, termasuk hitung jenis leukosit
b. LED, sering meningkat pada ewings sarcoma
c. Kalsium serum, meningkat pada multiple myeloma dan metastatic
bone disease
d. Fosfor serum, menurun pada hiperparatiroidsm (dengan brown tumor)
e. Serum alkaline phosphatase, meningkat pada osteosarcoma dan
pagets disease
f. Serum acid phosphatase, meningkat pada karsinoma prostat
(menyebar diatas kapsul)
g. Prostatic spesific antigen (PSA), meningkat pada karsinoma prostat
h. Serum protein electrophoresis, pola abnormal pada multiple myeloma
dan metastatic bone disease
i. Protein bence jones pada urin, meningkat pada multiple myeloma
5. Staging dari neoplasma tulang

20

Enneking membuat suatu sistem untuk staging neoplasma tulang.


Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menentukan staging
neoplasma meliputi rontgen, CT scan (lokal dan dada), MRI, dan
scintigraphy (bone scan).
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam staging lesi meliputi:
a. Derajat histologi lesi: benign (seperti nonosteogenic fibroma),
potentially

malignant

(seperti

giant

cell

tumor),

low-grade

malignancy (locally agressive but metastasizes late, seperti parosteal


sarcoma atau chondrosarcoma), high-grade malignancy (locally very
aggresive

and

metastasizes

early,

seperti

osteosarcoma

dan

fibrosarcoma).
b. Ukuran lesi dan apakah terbatas pada satu kompartemen, seperti
tulang (intrakompartemen) atau telah meluas ke satu atau lebih
kompartemen jaringan lunak (ekstrakompartemen)
c. Apakah lesi sudah metastasis
Untuk neoplasma maligna, staging dapat dikelompokkan menjadi:
a. Low grade malignancy
1) Intracompartemental
2) Extracompartemental
b. High grade malignancy
1) Intracompartemental
2) Extracompartemental
c. Metastasis
Staging pada lesi yang dicurigai neoplasma tulang marupakan bagian
yang penting dalam evaluasi suatu lesi, terutama saat lesi dicurigai ganas.
Tujuan dari sistem staging adalah untuk menentukan prognosis suatu lesi,
baik dengan atau tanpa pengobatan, dan untuk merencanakan metode
terapi yang ideal (kemoterapi, radioterapi, atau reseksi bedah). Lebih
lanjut, sistem staging bermanfaat dalam standardisasi outcome secara
nasional dan internasional dari berbagai macam terapi. Staging lesi
sebaiknya lebih dahulu sebelum dilakukan biopsi karen biopsi dapat
merubah diagnostic images yang perlu untuk evaluasi staging.

21

6. Biopsi
Dalam mendiagnosis neoplasma atau neoplasma like lesion dari jaringan
muskuloskelatal, biopsi penting dilakukan untk menghindari 2 kesalahan
yang serius dalam hubungannya dengan terapi:1) salah menngenali suatu
keganasan (underdiagnosis), yang mana menghasilkan terapi yang tidak
adekuat; 2) mendiagnosis suatu neoplasma non-maligna sebagai suatu
neoplasma maligna (overdiagnosis), yang mana menghasilkan terapi
yang berlebihan.
Sampel biopsi harus adekuat dalam ukuran dan harus representatif
terhadap lesi. Open surgical biopsy lebih akurat daripada biopsi aspirasi.
Meskipun susah pada beberapa kasus seperti vertebra dimana open biopsi
membutuhkan operasi ekstensif.
2.1.5. Terapi
1. Pembedahan
Terapi yang paling efektif pada neoplasma muskuloskeletal adalah
reseksi dengan pembedahan (eksisi, ablasi) baik tunggal maupun
dikombinasikan dengan kemoterapi atau radioterapi pada neoplasma
maligna. Jenis-jenis prosedur pembedahan meliputi: reseksi intrakapsular
(intralesi), seperti kuretase; reseksi marginal (narrow margin beyond the
capsule); dan reseksi radikal (semua atau bagian besar tulang yang
terkena termasuk semua jaringan lunak yang terkena). Defek residu
setelah reseksi intrakapsular atau reseksi marginal mungkin memerlukan
bone grafts, sementara defek setelah reseksi lokal luas selalu
memerlukan graft.
Dua tipe utama dari reseksi radikal adalah limb-sparing (limb salvage)
dan amputasi (atau disartikulasi). Selama dekade terakhir, prosedur limb
sparing lebih sering dilakukan daripada amputasi atau disartikulasi.
Harapan hidup sama antara kedua tipe reseksi radikal, namun kriteria
maupun jumlah komplikasi berbeda. Pada prosedur limb-sparing,
kriterianya: tidak ada skip lesion (lesi tambahan di daerah yang lebih

22

proksimal dari tulang yang terkena); lesi pada tulang dan kompartemen
jaringan lunak yang terkena dapat direseksi (resectable) tanpa
membahayakan anggota tubuh yang lain; dan rekonstruksi defek residu
dapat dikerjakan. Jika kriteria tersebut tidak dapat dipenuhi pilihan yang
ada hanya amputasi atau disartikulasi. Rekonstruksi sebagian besar defek
residu yang terjadi pada prosedur limb-sparing dapat dipenuhi dengan
large bone allograft (dengan atau tanpa supplemental vascularized
autogenous bone grafts), arthrodesis (fusi tulang melewati daerah sendi
sebelumnya) atau endoprostesis yang custom-made (artificial metallic
device). Komplikasi yang terjadi pada allograft masif meliputi derajat
infeksi yang signifikan, delayed union (atau bahkan nonunion) dari graft
bone ke host bone, dan fraktur patologi lambat pada revaskularisasi yang
tidak komplit pada allograft. Pada custom-made endoprosthesis,
komplikasi meliputi late loosening dan mechanical failure. Metode lain
untuk rekonstruksi defek pada prosedur limb sparing dan anggota gerak
bawah pada anak-anak, utamanya laki-laki adalah rotationplasty Van nes
procedure. Meliputi pemendekan tungkai bawah melewati defek.
2. Kemoterapi
Peningkatan yang signifikan pada persentase harapan hidup anak-anak
dan dewasa dengan neoplasma maligna tulang karena penggunaan agen
kemoterapi yang efektif pada sel neoplasma maligna primer dan
mikrometastase klinis. Keberhasilan dari agen kemoterapi tergantung
dari beberapa faktor, meliputi aktivitas agen antineoplasma, mekanisme
kerja, dan biologis neoplasma. Regimen kemoterapi yang dikombinasi
dengan mekanisme kerja yang yang berbeda sering lebih efektif dalam
maksimalisasi jumlah sel neoplasma yang dibunuh.
Kemoterapi neoadjuvan diberikan sebelum operasi,

sementara

kemoterapi adjuvan diberikan setelah operasi. Persentase sel yang


nekrosis dalam neoplasma yang direseksi setelah penggunaan kemoterapi
neoadjuvan menyediakan data yang berguna baik dalam efektivitas agen
kemoterapeutik dan prognosis untuk pasien tersebut.

23

Efek toksik baik kemoterapi neoadjuvan dan adjuvan

meliuti

neutropenia, trombositopenia, komplikasi pada luka, infeksi, mual,


allopesia, dan keterlambatan penyembuhan (pada bone allograft). Efekefek ini reversibel setelah kemoterapi dihentikan.
Neoplasma maligna sangat bermacam-macam dalam sensitivitasnya
maupun responnya terhadap kemoterapi. Yang paling sensitif adalah
osteosarkoma, ewings sarcoma, malignant fibrous histiocytoma of bone,
dan childhood rhabdomyosarcoma. Chondrosarcoma, fibrosarcoma of
bone dan soft tissue sarcoma relatif resisten atau tidak responsif terhadap
kemoterapi.
Penggunaan agen terapeutik yang luas digunakan dapat dikategorikan ke
dalam 4 grup tergantung mekanisme kerjanya:
a. Alkylating agents (cyclophosphamide, cisplatin)
b. Antineoplasm antibodies (doxorubicin, actinomycin D)
c. Antagonis folat (methotrexate dengan citrovorum rescue)
d. Antimetabolites (mercaptopurine, 5-flurouracil/5-FU)
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menemukan agen
kemoterapeutik yang ideal, keefektivitasannya harus dilakukan dengan
uji meticulous double-blind, dan investigasi secara random clinical
outcome.
3. Radioterapi
Metode terapi ini sering dikombinasi dengan prosedur pembedahan,
kemoterapi adjuvan atau keduanya.
2.2. Aneurysmal Bone Cyst
2.2.1. Etiologi
Aneurysmal bone cyst (ABC) bukan merupakan true neoplasm namun
patogenesisnya belum diketahui.6 Tetapi terdapat teori yang menjelaskan
mekanisme patogenesis aneurysmal bone cyst yakni adanya gangguan pada
sirkulasi lokal yang menyebabkan peningkatan tekanan vena yang menyolok dam
perkembangan vascular bed menjadi berdilatasi dan membesar dalam daerah
tulang yang terkena. Namun, terdapat keikutsertaan abnormalitas kromosom
(translokasi 17p13) yang menyebabkan berhentinya maturasi dari osteoblas

24

disebabkan oleh ekspresi berlebihan dari USP6 (deubiquitinating enzymes) dan


disregulasi sinyal autokrin BMP(bone morphology protein).4,9
2.2.2. Karakteristik ABC
ABC dapat terjadi pada segala usia namun kebanyakan pasien didiagnosis
pada remaja dan dewasa muda (< 20 tahun).9 Neoplasma ini merupakan vaskular
soliter yang abnormal yang bermulai dari jaringan sumsum tulang kanselus.6 ABC
merupakan lesi benigna, sering terjadi pada metafisis tulang panjang, terutama
distal femur, proksimal tibia dan vertebral posterior bodies.3,6,9
ABC bersifat agresif/desktruktif lokal, cepat mengikis tulang kortikal dari
permukaan dalam. Pada waktu yang sama, reaksi periosteal tulang mendeposisi
permukaan luar yang menyebabkan terjadinya ekspansi, terlihat sebagai dilatasi
aneurisma, sehingga disebut aneurysmal bone cyst. Karena lesi mengandung
jaringan vaskular daripada cairan, sehingga ABC merupakan bukan true cyst. Jika
dibiarkan tidak diterapi ABC dapat mencapai ukuran yang membahayakan dan
mungkin bisa ruptur ke jaringan sekitarnya, memproduksi hematom.
2.2.3. Patologi
ABC mengandung jaringan seperti spon dari kanal vaskular yang besar
(spongelike network of large vascular channels) yang membawa sirkulasi darah
dan mungkin merupakan malformasi arterio-venosa. Secara histopatologi, ABC
terlihat sebagai kista hemoragik dan ruang cavernosa yang dikelilingi oleh septa
fibrosa yang terdiri dari spindle cells yang aktif bermitosis secara ringan-sedang
yang bercampur dengan osteoclast-like multinucleated giant cell.4,9,10 Kira-kira
95% ABC memiliki tipe histologi sama, sementara 5% sisanya merupakan solid
variants dimana cavernous channels and spaces tidak dapat diidentifikasi. Dalam
literatur, sekitar sepertiga kasus ABC mengandung unusual cartilage-like matrix
yang disebut blue bone. Nekrosis jarang terjadi jika tidak ada fraktur patologis
sebelumnya.4,9

25

Gambar 2.12. Histopatologi ABC


2.2.4. Diagnosis
Gejala dan tanda yang umum dikeluhkan adalah nyeri dan bengkak. Karena
ABC dapat meluas cepat, biasanya nyeri, pembengkakan teraba lunak, serta
fraktur patologi dari korteks yang tipis (thinned-out cortex) tidak jarang terjadi.
Apabila ABC terjadi di vertebra, dapat menimbulkan kompresi nervus dan
menyebabkan gejala neurologis. Pemeriksaan radiologi memperlihatkan lesi
besar, eksentrik, ekspansil dengan batas tegas, tipe osteolitik, dan sering
mengandung selubung tipis yang merupakan reaksi tulang pada bagian tepi. Pada
CT dan MRI dapat terlihat internal septa dan karakteristik fluid-fluid levels.

Gambar 2.13. Rontgen ABC6

26

Gambar 2.14. CT pada ABC4


2.2.5. Terapi
Dengan bantuan arteriografi, pembuluh darah pemberi utama (main feeder
vessels) dapat diidentifikasi dan diembolisasi, setelah itu, kuretase dan graft tulang
mungkin diperlukan. Dahulu, radioterapi direkomendasikan sebagai terapi, namun
tidak lagi karena terdapat resiko menjadi sarcoma akibat radiasinya (late
radiation-induced sarcoma). Rekurensi ABC persentasenya rendah dan regresi
spontan dapat terjadi mengikuti pembersihan yang tidak komplit.4,6, 9

BAB III
PENYAJIAN KASUS

I. IDENTITAS
1. Nama lengkap

: An. I

2. Jenis Kelamin

: Laki-laki

3. Umur

: 9 Tahun

4. Suku / Bangsa

: Melayu/Indonesia

5. Agama

: Islam

6. Pekerjaan

: Pelajar SD kelas 2

7. Alamat

: Parit Rahmat RT 049 RW 16 Punggur Kecil

27

8. Status Perkawinan

: Belum Kawin

9. Masuk Rumah Sakit : Kamis/20 Juni 2013


II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Bengkak pada tungkai bawah sebelah kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan bengkak pada tungkai bawah sebelah kiri
sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Bengkak dirasakan semakin
membesar dari bawah ke atas. Bengkak teraba keras. Bengkak disertai
nyeri. Nyeri mulai dirasakan sejak 1 bulan sebelum masukk rumah sakit.
Nyeri bersifat hilang timbul. Nyeri tidak timbul setiap hari. Nyeri terutama
saat malam hari. Nyeri terkadang menyebabkan pasien tidak bisa tidur saat
malam hari. Nyeri terasa ditusuk-tusuk pada bagian tungkai yang bengkak.
Nyeri makin lama semakin kuat, semakin sering, dan semakin lama.
Pasien mengaku tidak bisa berjalan karena nyeri.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga pasien memiliki keluhan yang sama
5. Riwayat sosioekonomi
Pasien merupakan seorang pelajar SD kelas 2. Pasien tidak masuk sekolah
sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.
III.

PEMERIKSAAN FISIK

1.

Kesan umum : tampak sakit

2.

Tanda Vital
a.

Kesadaran : CM

28

c. Nadi
: 96 x /mnt, irama: regular, isi : cukup
d. Laju Nafas
: 20 x /menit, tipe abdominotorakal
e. Suhu
: 36,5 c
3. Pemeriksaan Per Organ
a. Kulit

: sianosis (-)

b. Kepala

: deformitas (-)

c. Mata

: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

d. Telinga: otorea (-)


e.

Hidung

: rhinorea (-)

f.

Mulut

: bersih

g. Tenggorok

: Hiperemis (-), Tonsil T1-T1

h. Leher

: deviasi trakea (-)

i. Dada

: simetris, deformitas (-)

j. Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: mengembang simetris
: vocal fremitus simetris kanan dan kiri
: sonor di kedua lapang paru
: suara napas vesikuler, ronki (-), wheezing (-)

k. Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: IC tidak terlihat
: IC teraba di SIC linea midclavicula sinistra
: Kiri jantung di SIC linea midclavicula sinistra,
pinggang jantung di SIC 4 linea parasternalis
sinistra, kanan jantung di SIC 5 linea sternalis

dekstra
Auskultasi : BJ I dan II normal,
l. Abdomen
Inspeksi
: datar
Auskultasi : BU 4 X/ menit
Palpasi
: supel, nyeri tekan (-), Hepar, lien dan ginjal tidak
teraba
Perkusi
: timpani di semua kuadran
m. Anus / Rektum: ampula rekti tidak kolaps, sfingter ani kuat.
n. Alat Kelamin : Tidak ada kelainan.
o. Ekstremitas : tumor pada distal cruris sinistra
p. Limfonodi

: Pembesaran (-)

29

IV.

STATUS LOKALIS
Regio distal cruris sinistra:
L
: tumor (+), rubor (-), venektasi (+), kulit tegang mengkilat
F
: massa padat batas tegas, kalor (+),nyeri tekan (-), pulsasi arteri
dorsalis pedis (+), pulsasi arteri tibialis posterior (+)
M
: ROM terbatas

30

V.

PROGRAM/PEMERIKSAAN PENUNJANG :
1. Darah rutin
WBC
RBC
Hb
PLT
2. BT
CT

: 7,8
: 3,93
: 10,0 gr/dL
: 312
: 230
: 730

3. Kimia darah
Albumin
: 3,99 gr/dL
Protein total
: 6,97 gr/dL
Natrium
: 135 mmol/L
Kalium
: 3,32 mmol/L
4. Ro Toraks PA
Cor pulmo tidak ada kelainan
5. Ro cruris sinistra

Gambar 2.15. Rontgen cruris sinistra


6. FNAB
Aneurysmal bone cyst

31

VI.

DIAGNOSIS
Aneurysmal Bone Cyst (ABC)

VII.

TERAPI/TATALAKSANA :
1. Reseksi/ eksisi tumor tibia
2. Boot cast
3. Terapi post operasi:
a. Ceftriaxone 2x1 gr
b. Kalnex 2 x
c. Ketorolac 2 x 10 mg
d. Ondansetron 2 x 4 mg
e. Tramadol 2 x

VIII. PROGNOSIS :
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

Anda mungkin juga menyukai