Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

KOGNITIVISME
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori dan Psikologi Belajar
Dosen : Yulia Ayriza, Ph.D.

Disusun oleh:
NAMA

: DEVALIA SEPTIANA

NIM

: 14712259020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
BAB I

PENDAHULUAN
A. Sejarah Psikologi Kognitif
Sejarah psikologi kognitif diawali dengan pendapat-pendapat para filsuf yang berpikir
dan bertanya asal muasal pengetahuan sehingga teori-teori kuno membahas letak pikiran dan
memori. Solso (2007) studi aksara hieroglif Mesir Kuno dalam kepenulisannya meyakini
bahwa Aristoteles menyatakan pengetahuan adalah berada di jantung. Akan tetapi berbeda
dengan gurunya Aristoteles, yakni Plato, berpendapat bahwa pengetahuan tersimpan dalam
otak. Sehingga, hal yang terkait dengan pengetahuan tersebut terdapat dua perspektif empiris
dan nativis. Empiris memandang pengetahuan diperoleh dari pengalaman sepanjang hidup.
Sedangkan nativis memandang pengetahuan didasarkan pada karakteristik genetis dalam
otak. Maka, penyimpanan dan pengorganisasian informasi dalam memori mendifinisikan
cocok yaitu bahwa penyimpanan mengindikasikan bahwa pengalaman adalah penting yang
disebut dengan empiris. Sedangkan, pengorganisasian megindikasikan bahwa adanya
kemampuan struktural bawaan dalam otak manusia itu disebut dengan nativis.
Pada abad ke-18 yang dikenal dengan abad renaisans (abad pencerahan). Abad
pencerahan adalah abad terjadinya perubahan besar-besaran dalam teknologi, sosial dan
politik yang dipelopori para penganut empirisme dari inggris yaitu George Berkeley, David
Hume, James Mill, dan John Stuart Mill. Pernyataannya John Stuart Mill pada abad renaisans
menyatakan bahwa representasi internal yang terbagi dalam tiga jenis: 1). Peristiwa sensorik
langsung, 2). Peristiwa yang disimpan dalam memori, dan 3). Transformasi dari peristiwaperistiwa tersebut yang dalam proses berpikir.
Pada abad ke-19 muncullah para psikologi dari bidang ilmu filsafat yang kemudian
membentuk suatu disiplin ilmu baru meskipun bersumber dari ilmu filsafat.
Pada awal abad ke-20, lahirlah teori Behaviorisme yang mengalami perubahan
konsep radikal. Dan behavioris mengatakan bahwa otak manusia adalah otak pasif yang
memandang bahwa otak manusia dan binatang semata-mata hanya psikologi stimulus-respon
(Solso, 2007). Namun beberapa tahun kemudian, pada tahun 1932 terjadi kebangkitan
Revolusi kognitif seorang behavioris dari Universitas California yang bernama Edward C.
Tolman menerbitkan sebuah buku yang menjelaskan tentang eksprimen terhadap tikus yang
ditempatkan dalam labirin dengan mempelajari stimulus-respon darinya. Edward C. Tolman
(1886-1959) tokoh psikologi kognitif yang berasal dari behavioris mengembangkan konsep
peta kognitif, beliau juga merupakan behavioris dari Universitas California di Berkeley
dengan menerbitkan buku yang pertamanya berjudul Purposive Behavior In Animals And
Men.
Psikologi kognitif adalah ilmu mengenai pemrosesan informasi. Bagaimana cara kita
memperoleh informasi mengenai dunia dan bagaimana pemerosesannya, bagaimana cara
informasi itu disimpan dan di proses oleh otak, bagaimana informasi itu disampaikan dengan

struktur penyusunan bahasa, dan proses-proses tersebut ditampilkan dengan sebuah prilaku
yang dapat diamati dan juga yang tidak dapat diamati. Psikologi kognitif juga mencakup
keseluruhan proses psikologis dari sensasi ke persepsi, pengenalan pola, atensi, kesadaran,
belajar, memori, formasi konsep, berpikir, imajinasi, bahasa, kecerdasan, emosi, dan
bagaimana keseluruhan hal tersebut berubah sepanjang hidup (terkait perkembangan
manusia) dan bersilangan dengan berbagai bidang perilaku
Dalam makalah ini penulis ingin membahas tentang Edward C. Tolman, Psikologi
Gestalt, Penelitian dalam belajar verbal, kognitivisme kontemporer dan implikasi teori
kognitif terhadap pendidikan secara umum.

BAB II

PEMBAHASAN
A. EDWARD CHACE TOLMAN
1. Biografi Edward Chace Tolman (1886-1959)

Gambar 1. Edward Chace Tolman


Sylvia (1992:27), Tolman lahir di Newton, Massachusetts pada 14 April 1886 dan
meninggal pada 19 November 1959 di Berkeley, California,, dan meraih gelar B.S. di
Massachusetts Institute of Technology di bidang elektrokimia pada 1911. Gelar M.A.
(1912) dan Ph.D (1915) di Hardvard University untuk bidang psikologi disinilah ia
belajar tentang behavioris. Pada akhir dari tahun pertama dia tinggal di Harvard, Tolman
sempat pergi ke Jerman dan menghabiskan beberapa waktu dengan para ahli Gestalt yaitu
terjadi pada tahun (1913). Selanjutnya, dia mengajar di Northwestern University dari
1915 sampai 1918. Selain itu ia menghabiskan sebagian besar kehidupan profesinya
untuk mengajar di Universitas California di Berkeley. Karya utamanya, Purposive
Behaviour in Animals and Man, terbit pada tahun1932.
Teori belajar Tolman dapat dikatakan sebagai campuran antara Teori Gestalt dan
Behaviorisme. Sepuluh tahun kemudian, setelah lulus dari Harvard Tolman pergi ke
Jerman dan bekerja dengan Koffka. Keberadaan teori Gestalt terhadap proses berteorinya
mempunyai pengaruh yang sangat signifikan. Sikapnya yang senang terhadap teori
Gestalt tidaklah menghalangi perhatiannya terhadap behaviorisme. Ketidaksepakatannya
dengan behaviorisme adalah pada soal unit perilaku yang mesti diteliti. Pemikirannya
bertentangan dengan para behavioris seperti Pavlov, Guthrie, Hull, Watson, dan Skinner
yang menyatakan bahwa unit perilaku bisa dipelajari sebagai unsur-unsur yang terpisah.
Hergenhann (2010:330) Tolman memandang dengan menjadikan elemen-elemen
kecil, sesungguhnya behavioris telah membuang artinya secara utuh. Akan tetapi dia juga
yakin bahwa hal seperti itu mungkin juga untuk dijadikan sebagai objek ketika belajar
tentang molar behavior secara sistematis. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa Tolman
seorang behavioris secara metodologi dan teoris kognitif dalam hal metafisik. Dengan
kata lain, ia belajar behavior untuk menentukan proses kognitif.
2. Behaviorisme purposive dan Tingkah laku Molar
Dalam Sarlito (1980:140) Tolman mengatakan bahwa tingkah laku manusia
secara keseluruhan disebut tingkah laku molar. Tingkah laku molar ini terdiri dari
tingkah-tingkah laku yang lebih kecil yang disebut tingkah laku molekular, yang dapat
diperlihatkan melalui perbuatan makan. Akan tetapi, gerakan-gerakan mengangkat

sendok, mengambil makanan di piring dan menyuapkannya ke dalam mulut di dalam


perbuatan makan adalah tingkah laku molekular. Tujuan dari tingkah laku terletak pada
tingkah laku molekular, dan dengan demikian Tolman tidak menyetujui pendapat Watson
yang menekankan pentingnya tingkah laku molekular (refleks). Behaviorisme dari
Tolman

disebut

juga

behaviorisme

operasional,

karena

Tolman

mencoba

memformulasikan tingkah laku ke dalam suatu rumus sebagai berikut:


B = f (S,A)
B berarti Behaviorisme (tingkah laku): f berarti fungsi: S berarti Situasi: dan A
berarti Antecedent yaitu, hal-hal yang mendahului suatu situasi. Jadi, tingkah laku adalah
fungsi dari situasi dan hal-hal yang mendahului situasi tersebut. Adapun tugas psikologi
menurut Tolman adalah mempelajari hubungan antara B dengan S dan A. Dengan cara ini
Tolman berpendapat bahwa psikologi dapat mencapai objektivitas yang maksimum
Winfred (2011:170) Sorotan bahwa Tolman dianggap sebagai setengah behavioris
atau setengah kognitif itu adalah karena sebutan dari orang lain dan itu bukan sebutan
dari Tolman sendiri. Selain itu juga teori behaviorisme purposive Tolman ini merupakan
teori kognitif akan tetapi kadang juga dianggap sebagai teori behavioristik, hal itu
dikarenakan Tolman dalam percobaannya menggunakan metode pengembangan
behavioristik tapi dia meneliti atau menempatkan penelitiannya pada posisi kognitif.
3. Konsep Teori Utama
Tolman memperkenalkan penggunaan variable Intervening (penyela atau
perantara) dalam riset psikologis, dan Hull meminjam gagasan itu darinya. Sehingga
keduanya menggunakan variable intervening dengan cara yang serupa dalam
penelitiannya. Akan tetapi, Hull mengembangkan teori belajar yang lebih luas dan
komprehensif dari pada Tolman.
Dalam Hergenhann (2010:333-342), berikut ini adalah sumsi-asumsi umum yang
dikemukakan Tolman dalam proses belajar :
a. Apa arti belajar?
Tolman banyak mengambil petunjuk atau pandangan awal dari teori-teori
Gestalt, yang mengatakan bahwa dalam belajar, hal yang utama adalah proses interaksi
yang berkesinambungan dengan lingkungan. Organisme yang sampai pada ekplorasi,
akan menemukan bahwa peristiwa tertentu, akan menimbulkan peristiwa lain atau satu
isyarat akan menghasilkan isyarat lain. Pengetahuan bagi Tolman adalah suatu proses
berkelanjutan yang tidak memerlukan motivasi apapun. Dalam hal ini, Tolman
sependapat dengan Guthrie dan bertentangan dengan Pavlov, Skinner, dan Torndike.
Bagaimanapun juga, haruslah ditunjukkan bahwa motivasi adalah penting bagi teori
Tolman. Karena motivasi itu menentukan aspek-aspek lingkungan mana yang hendak
disertai oleh organisme tersebut. Misalnya, organisme yang lapar akan memakan
makanan yang ada di lingkungan itu.

Menurut Tolman, belajar adalah mengenal tentang situasi. Organisme belajar


tentang sesuatu yang ada di sekitarnya, jika ia berbalik ke kiri, ia akan menemukan
sesuatu. Jika ia berbalik ke kanan, ia temukan juga sesuatu yang lain. Hal ini terjadi
secara berangsur-angsur, sehingga ia dapat membuat kesimpulan sendiri. Dengan
demikian, menurut Tolman, belajar itu akan sia-sia jika hanya dihafal. Sehingga dapat
dikatakan bahwa belajar adalah merupakan pengorganisasian perbuatan (tingkah laku)
untuk meraih maksud.
b. Konfirmation versus Reinforcement
Sebagaimana Guthrie, konsep penguatan (reinforcement) adalah tidak penting
bagi Tolman sebagai variable pembelajaran. Akan tetapi, Tolman menyebutkan hal
tersebut sebagai konfirmasi, di mana behavioris menyebutnya Rinforcement. Selama
perkembangan sebuah peta kognitif, harapan atau dugaan-dugaan dimanfaatkan oleh
sebuah organisme. Dugaan adalah sebuah firasat tentang sesuatu dan fungsinya. Di
mana awal sebuah dugaan bersifat sementara yang disebut hipotesis, yang berasal baik
dari pengalaman maupun bukan. Hipotesis yang telah dikonfirmasikan akan dipakai.
Sedangkan hipotesis yang salah akan dibuang. Yang harus diperhatikan adalah proses
penerimaan maupun penolakan hipotesis merupakan sebuah proses kognitif bukan
termasuk tindakan behavior. Bisa dikatakan bahwa konfirmasi itu semacam
berhipotesis, sebab dalam konfirmasi itu ada harapan menemukan apa menuju apa
dengan menggunakan prinsip dasar bahwa sebenarnya tingkah laku itu memiliki
tujuan.
c. Vicarious Trial and Error
Tolman memperhatikan karakteristik tikus dalam kebingungan (jalan simpag
siur). Sehingga ia bisa memanfaatkannya sebagai pendukung untuk menafsirkan teori
belajarnya. Seekor tikus sering berhenti pada suatu titik tertentu dan memandang
sekelilingnya seolah-olah berpikir tentang berbagai alternatif yang ada. Kegiatan
seperti ini (berhenti dan memandang sekelilingnya) yang disebut Tolman sebagai
Vicarious Trial and Error, sehingga organisme itu bisa membuat kesimpulan sendiri
dari berbagai kegiatan yang telah dilakukannya.
d. Learning Versus Performance
Hull membedakan antara learning dan performance. Pada akhir teorinya, Hull
menyatakan bahwa banyaknya jumlah percobaan (trial) yang diperbuat merupakan
satu-satunya variable belajar. Sedangkan variabel-variabel lainnya, yang ada dalam
sistemnya merupakan variable perantara (performance). Sehingga performance dapat
dimaksudkan sebagai perwujudan belajar ke dalam prilaku. Hal seperti ini penting bagi
Hull, dan lebih penting lagi bagi Tolman.
Menurut Tolman, kita mengetahui banyak hal tentang lingkungan di sekitar
kita, akan tetapi, kita hanya akan melaksanakan informasi atau pengetahuan itu ketika
kita harus melakukannya. Dalam status kebutuhan (need), organisme memanfaatkan

apa yang telah dipelajarinya hingga sampai pada real testing yang bisa mengurangi
kebutuhan itu. Misalnya, ada dua kran air dalam rumah kita, dalam jangka waktu yang
lama, kita tidak pernah memperhatikan atau meminumnya hingga suatu saat terasa
sangat haus. Secara spontan kita akan meminum salah satu dari keduanya. Dari sini,
kita akan mengetahui bagaimana menemukan air minum itu tanpa harus menunggu
hingga terasa haus.
e. Latent Learning
Latent learning (pembelajaran laten) adalah pembelajaran yang tidak langsung
dalam kinerja seseorang. Dengan kata lain, pembelajaran laten merupakan suatu jenis
pembelajaran dimana hasil pembelajaran tersebut tidak langsung terlihat; hal ini terjadi
tanpa suatu penguatan yang nyata. Konsep tentang latent learning sangat penting bagi
Tolman, dan dia merasa sukses dalam mendemonstrasikan eksistensinya.
Eksperimen terkenal yang dilakukan oleh Tolman dan Honzik (1930)
melibatkan tiga kelompok tikus, yang mencoba belajar untuk memecahkan suatu
kebingungan (jaringan jalan yang simpang siur). Kelompok pertama, tidak pernah
mendapatkan atau menemui makanan saat melintasi jalan yang simpang siur itu.
Kelompok kedua, selalu diberi makanan di ujung labirin. Sedang kelompok ketiga,
tidaklah diperkuat sampai hari ke-11 mengadakan percobaan. Kelompok terakhir inilah
yang menarik bagi Tolman. Teorinya tentang latent learning meramalkan bahwa
kelompok ini akan belajar di simpang siur jalan itu, sama halnya dengan kelompok
yang secara teratur diperkuat. Dan ketika penguatan (reinforcement) diperkenalkan
pada hari ke-11, kelompok ini akan melakukan seperti halnya kelompok yang secara
terus menerus diperkuat (reinforced).
f. Reinfocement Expectancy
Menurut Tolman, ketika kita belajar, kita menganalisa situasi. Term
understanding selalu ada hubungannya dengan Tolman sebagaimana para behavioris.
Dalam situasi problem-solving, kita belajar untuk memperoleh cara yang paling paktis.
Kita belajar untuk mengharapkan terjadinya persitiwa tertentu, mengikuti peristiwa
yang lain. Seekor binatang mengharapkan jika ia pergi ke suatu tempat tertentu, maka
ia akan menemukan reinforcer tertentu. Manurut pada ahli teori S-R, bahwa merubah
reinforcer dalam teori belajar tidak akan mengganggu prilaku sepanjang kuantitas
reinforcement tidak dirubah secara drastis. Sedangkan menurut Tolman, ia
memprediksikan, jika reinforcer dirubah, prilaku akan terganggu, karena reinforcement
expectancy merupakan bagian dari apa yang diharapkan.
4. Enam Jenis Belajar
Dalam artikel There is more than one kind of learning, Tolman mengusulkan
enam jenis belajar. Ringkasnya adalah sebagai berikut:

a. Cathexe
Cathexis (jamak) Cathexes adalah tendensi belajar untuk mengasosiasikan
objek tertentu dengan keadaan dorongan tertentu. Misalnya, ada makanan tertentu
untuk memuaskan dorongan lapar dari seseorang yang tinggal disuatu Negara. Orang
yang tinggal di daerah dimana biasanya makan ikan itu sudah menjadi kebiaasaan
cenderung akan mencari ikan untuk menghilangkan laparnya. Orang-orang ini
mungkin tidak menyukai daging sapi atau spageti karena, menurut mereka, makanan
itu tidak diasosiasikan dengan pemuasan dorongan rasa lapar.
b. Keyakinan ekuivalensi
Ketika sub tujuan memiliki efek yang sama dengan tujuan itu sendiri, maka
sub tujuan itu dikatakan merupakan keyakinan ekuivalensi.
c. Ekspektasi medan
Field expectancies (ekspektasi medan) berkembang dengan cara yang serupa
dengan perkembangan peta kognitif. Organisme belajar bahwa sesuatu akan
menimbulkan sesuatu yang lain. Setelah melihat isyarat tertentu, misalnya, ia akan
berharap isyarat lain akan muncul. Pengetahuan umum tentang lingkungan ini
digunakan untuk menjelaskan belajar laten, belajar ruang, dan penggunaan jalan
pintas.
d. Mode medan-kognisi
Field-cognition mode (mode medan kognisi), yakni strategi,suatu cara, untuk
menangani situasi pemecahan problem. Ini adalah tendensi untuk mengatur bidang
perseptual dalam konfigurasi tertentu. Tolman menduga bahwa tendensi ini adalah
bawaan namun dapat dimodifikasi oleh pengalaman. Dalam kenyataannya, sebagian
besar hal penting mengenai strategi yang berhasil dalam memecahkan problem adalah
strategi itu akan di uji cobakan lagi dalam situasi yang sama di masa mendatang. Jadi,
mode medan kognisi yang efektif, atau strategi pmecahan masalah yang efektif, di
transfer ke problem terkait.
e.

Diskriminasi dorongan
Drive discrimination (diskriminasi dorongan) berarti bahwa organisme dapat
menentukan keadaan dorongan mereka sendiri dan karenanya dapat merespon dengan
benar.

f. Pola motor
Tolman menunjukkan bahwa teorinya, terutama dengan asosiasi ide dan tidak
terlalu berhubungan dengan cara ide-ide itu menjadi diasosiasikan dengan perilaku.
Belajar motor pattern (pola motor) adalah usaha untuk memecahkan kesulitan ini,
Tolman menerima pendapat Gutrhie tentang bagaimana respon diasosiasikan menjadi
stimuli. Sepert tampak dalam perkataannya berikut ini: saya mencoba menerima dan
sepakat dengan Guthrie bahwa kondisi dimana pola motor di dapatkan mungkin adalah

kondisi dimana gerakan tertentu membuat hewan menjauhi stimuli yang hadir saat
gerakanitu dimulai (Hergenhann (2010:347-349).
5. Percobaan Terhadap Tikus
Bisa dikatakan bahwa Tolman bukan satu-satunya orang di kalangan teoretisi
kognitif yang memberikan perhatian lebih pada perilaku hewan dibandingkan pada
manusia. Dalam hal tertentu, pilihan ini juga mencerminkan factor penyebab yang
menuntun kalangan behavioris untuk meneliti hewan: hewan lebih simple dan lingkungan
mereka lebih mudah dikontrol. Hal ini juga mencerminkan keinginan Tolman untuk
menunjukkan bahwa system kognitif bisa bersifat objektif dan tidak perlu bergantung
sama sekali pada apa yang dikatakan oleh individu. Tolman sendiri dengan gaya
tulisannya yang terus terang menyodorkan kemungkinan alasan yang ketiga. Ia
mengatakan bahwa para psikolog biasanya berangkat dari keinginan untuk memecahkan
masalah-masalah besar kehidupan manusia, namun kemudian merasa gamang setelah
membayangkan konsekuensi dari tugas besar semacam itu dan akhirnya lebih memilih
mengamankan diri dengan mengkaji segi-segi tertentu, perilaku pembelajaran tikus
misalnya (Winfred, 2011:177).
Dalam percobaannya yang pertama untuk menguji proses belajar dari sudut
pandang kognitif, Tolman mendesain sebuah labirin yang ditinggikan. Tikus-tikus yang
menjadi hewan percobaan berlari dari titik A di seberang meja bundar terbuka melalui
titik CD (yang memiliki dinding gang) dan akhirnya ke titik G, dimana kotak makanan
disediakan. Sementara itu H adalah cahaya yang bersinar langsung pada jalan turun dari
titik G ke F. Setelah empat malam (tiga percobaan per malam), di mana tikus belajar
untuk berjalan secara langsung dan tanpa ragu-ragu dari A ke G, alat percobaan diubah
menjadi ledakan matahari. Jalan awal dan meja tetap sama namun serangkaian jalur
memancar ditambahkan.
Tikus-tikus itu kembali berlari dari titik A lalu melintasi meja bundar ke gang
dan menemukan diri mereka diblokir. Mereka kemudian kembali ke meja dan mulai
menjelajahi hampir semua jalan memancar sebelum akhirnya menemukan jalan yang
tersingkat untuk mencapai kotak makanan tersebut.
Dari percobaan tersebut, Tolman menyimpulkan bahwa tikus-tikus itu telah
belajar peta kognitif dari titik A (tempat dimana tikus mulai berlari) sampai ke titik G
(kotak makanan). Peta kognitif ialah kesadaran mental yang didapatkan dari struktur
ruang fisik atau unsur-unsur yang terkait.

6. Pendapat Tolman tentang pendidikan


Dalam banyak hal, Tolman dan Gestalis, sepakat mengenai pendidikan. keduanya
menekankan pentingnya pemikiran dan pemahaman. Menurut Tolman murid perlu
melakukan tes hipotesis dalam situasi problem. Ia juga mengatakan bahwa belajar bukan
hanya soal memberi respon atau strategi yang benar, tatapi juga menghilangkan respos
atau strategi yang salah. Sedangkan guru bertindak sebagai konsultan yang membantu
siswa dalam menjelaskan dan mengkonfirmasi atau menolak hipotesis.
Seperti teoritisi Gestalt, Tolman juga menunjukkan bahwa siswa semestinya
dihadapkan pada topic dan berbagai sudut pandang yang berbeda. Proses ini akan
memungkinkan siswa untuk mengembangkan peta kognitif yang akan dipakai untuk
menjawab pertanyaan tentang topic tertentu dan topic lainnya.
7. Evaluasi teori Tolman
a. Kelebihan
Jika kita memandang kemampuan Tolman memasukkan aspek-aspek terbaik
behaviorisme ke dalam teori kognitif, luasnya variable yang ia gunakan, kita bisa
menyimpulkan bahwa Tolman adalah teoritisi pembelajaran terbesar, diantara para
teoritisi yang telah kita bahas. Dalam konsepsinya, teorinya mungkin yang terbaik
yang pernah ada (Winfred, 2011:178). Jika melihat pembahasan belajar laten oleh
Tolman dan Honzik, eksperimen jalur teka-teki melingkar oleh Tolman, Ritchie dan
Kalish yang menunjukkan bahwa tikus dapat belajar relasi spasial dan respon
sederhana, telah diidentifikasikan sebagai perintis studi tentang kognisi komparatif
dewasa ini. Penelitian Tolman tentang belajar spasial (ruang) dan peta kognitif masih
menjadi pedoman riset terhadap belajar ruang pada manusia non manusia
(Hergenhann (2010:352).
b. Kekurangan

Diantara hal-hal yang menjadi kekurangan dalam teori Tolman adalah teorinya
tidak mudah diteliti secara empiris, teorinya banyak menggunakan variabel
individual, bebas dan intervening yang sulit untuk dijelaskan semuanya. Tolman
mendiskusikan jenis hukum yang dibutuhkan psikologi, namun ia tidak pernah
mengembangkan hukum-hukum ini. Ia melakukan eksperimen-eksperimen untuk
menunjukkan bahwa rumusan-rumusan kognitif itu lebih baik, namun eksperimenya
mengenai rumusan kognitif ini tidak cukup teliti sehingga tidak bisa digunakan untuk
memprediksi.

Ia

menyediakan

kerangka

kognitif

untuk

menginterprestasi

pembelajaran, namun ia tidak memberikan hokum-hukum pembelajaran mendetail


seperti pada Skinner atau teori yang teliti seperti pada Hull, atau prinsip umum
pembelajaran seperti pada Gutrhie (Winfred, 2011:179).
B. PSIKOLOGI GESTALT
Psikologi Gestalt merupakan salah satu aliran psikologi yang mempelajari suatu
gejala sebagai suatu keseluruhan atau totalitas, data-data dalam psikologi Gestalt disebut
sebagai phenomena (gejala). Phenomena adalah data yang paling dasar dalam Psikologi
Gestalt. Dalam hal ini Psikologi Gestalt sependapat dengan filsafat phenomonologi yang
mengatakan bahwa suatu pengalaman harus dilihat secara netral. Dalam suatu phenomena
terdapat dua unsur yaitu obyek dan arti. Obyek merupakan sesuatu yang dapat
dideskripsikan, setelah tertangkap oleh indera, obyek tersebut menjadi suatu informasi dan
sekaligus kita telah memberikan arti pada obyek itu.
Gestalt

adalah

sebuah

teori

yang

menjelaskan

proses

persepsi

melalui

pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun


kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori
gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian
kecil.Teori ini dibangun oleh tiga orang, Kurt Koffka, Max Wertheimer, and Wolfgang
Khler. Mereka menyimpulkan bahwa seseorang cenderung mempersepsikan apa yang
terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh.
1. Hukum-hukum Belajar Gestalt
Dalam hukum-hukum belajar Gestalt ini ada satu hukum pokok , yaitu hukum
Pragnan, dan empat hukum tambahan (subsider) yang tunduk kepada hukum yang pokok
itu, yaitu hukumhukum keterdekatan, ketertutupan, kesamaan, dan kontinuitas. Hukum
Pragnan adalah suatu keadaan yang seimbang. Setiap hal yang dihadapi oleh individu
mempunyai sifat dinamis yaitu cenderung untuk menuju keadaan pragnaz tersebut.
Empat hukum tambahan yang tunduk kepada hukum pokok, yaitu :
a. Hukum keterdekatan
Hal-hal yang saling berdekatan dalam waktu atau tempat cenderung dianggap sebagai
suatu totalitas.

b. Hukum ketertutupan
Hal-hal yang cenderung menutup akan membentuk kesan totalitas tersendiri.
c. Hukum kesamaan.
Hal-hal yang mirip satu sama lain, cenderung kita persepsikan sebagai suatu
kelompok atau suatu totalitas. Contohnya :
OOOOOOOOOOOOO
XXXXXXXXXXXXX
OOOOOOOOOOOOO

Deretan bentuk di atas akan cenderung dilihat sebagai deretan-deretan


mendatar dengan bentuk O dan X berganti-ganti bukan dilihat sebagai deretanderetan tegak.
d. Hukum kontinuitas
Orang akan cenderung mengasumsikan pola kontinuitas pada obyek-obyek yang ada.
Faktor inilah yang menyebabkan kita sering bisa merasakan keteraturan dari
pola-pola yang sebenarnya acak. Misalnya saat seseorang melihat awan, dia dengan
mudah bisa menemukan bentuk muka seseorang. Hal ini disebut pragnan.
Gambar 2. Contoh Teori Gesltalt

2. Para ahli yang mengembangkan teori gestalt


a. Max Wertheimer (1880-1943)

Gambar 3. Max Wertheimer


Max Wertheimer adalah tokoh tertua dari tiga serangkai pendiri aliran
psikologi Gestalt. Wertheimer dilahirkan di Praha pada tanggal 15 April 1880. Ia
mendapat gelar Ph.D nya di bawah bimbingan Oswald Kulpe. Konsep pentingnya
adalah Phi phenomenon, yaitu bergeraknya objek statis menjadi rangkaian gerakan

yang dinamis setelah dimunculkan dalam waktu singkat dan dengan demikian
memungkinkan manusia melakukan interpretasi. Weirthmeir menunjuk pada proses
interpretasi dari sensasi obyektif yang kita terima. Proses ini terjadi di otak dan sama
sekali bukan proses fisik tetapi proses mental sehingga diambil kesimpulan ia
menentang pendapat Wundt.
Wertheimer dianggap sebagai pendiri teori Gestalt setelah dia melakukan
eksperimen dengan menggunakan alat yang bernama stroboskop, yaitu alat yang
berbentuk kotak dan diberi suatu alat untuk dapat melihat ke dalam kotak itu. Di
dalam kotak terdapat dua buah garis yang satu melintang dan yang satu tegak. Kedua
gambar tersebut diperlihatkan secara bergantian, dimulai dari garis yang melintang
kemudian garis yang tegak, dan diperlihatkan secara terus menerus. Kesan yang
muncul adalah garis tersebut bergerak dari tegak ke melintang. Gerakan ini
merupakan gerakan yang semu karena sesungguhnya garis tersebut tidak bergerak
melainkan

dimunculkan

secara

bergantian.

Pada

tahun

1923, Wertheimer

mengemukakan hukum-hukum Gestalt dalam bukunya yang berjudul Investigation


of Gestalt Theory. Hukum-hukum itu antara lain :
1) Hukum Kedekatan (Law of Proximity)
2) Hukum Ketertutupan ( Law of Closure)
3) Hukum Kesamaan (Law of Equivalence)
b. Kurt Koffka (1886-1941)

Gambar 4. Kurf Koffka


Koffka lahir di Berlin tanggal 18 Maret 1886. Kariernya dalam psikologi
dimulai sejak dia diberi gelar doktor oleh Universitas Berlin pada tahun 1908.
Sumbangan Koffka kepada psikologi adalah penyajian yang sistematis dan
pengamalan dari prinsip-prinsip Gestalt dalam rangkaian gejala psikologi, mulai
persepsi, belajar, mengingat, sampai kepada psikologi belajar dan psikologi sosial.
Teori Koffka tentang belajar didasarkan pada anggapan bahwa belajar dapat
diterangkan dengan prinsip-prinsip psikologi Gestalt. Teori Koffka tentang belajar
antara lain:

1) Jejak ingatan (memory traces) adalah suatu pengalaman yang membekas di otak.
Jejak-jejak ingatan ini diorganisasikan secara sistematis mengikuti prinsip-prinsip
Gestalt dan akan muncul kembali kalau kita mempersepsikan sesuatu yang serupa
dengan jejak-jejak ingatan tadi.
2) Perjalanan waktu berpengaruh terhadap jejak ingatan. Perjalanan waktu itu tidak
dapat melemahkan, melainkan menyebabkan terjadinya perubahan jejak, karena
jejak tersebut cenderung diperhalus dan disempurnakan untuk mendapat Gestalt
yang lebih baik dalam ingatan.
3) Latihan yang terus menerus akan memperkuat jejak ingatan.
c. Wolfgang Kohler (1887-1967)

Gambar 5. Wolfgang Kohler


Kohler lahir di Reval, Estonia pada tanggal 21 Januari 1887. Kohler
memperoleh gelar Ph.D pada tahun 1908 di bawah bimbingan C. Stumpf di Berlin.
Eksperimennya adalah : seekor simpanse diletakkan di dalam sangkar. Pisang
digantung di atas sangkar. Di dalam sangkar terdapat beberapa kotak berlainan jenis.
Mula-mula hewan itu melompat-lompat untuk mendapatkan pisang itu tetapi tidak
berhasil. Karena usaha-usaha itu tidak membawa hasil, simpanse itu berhenti sejenak,
seolah-olah memikir cara untuk mendapatkan pisang itu. Tiba-tiba hewan itu dapat
sesuatu ide dan kemudian menyusun kotak-kotak yang tersedia untuk dijadikan
tangga dan memanjatnya untuk mencapai pisang itu.
Menurut Kohler apabila organisme dihadapkan pada suatu masalah atau
problem, maka akan terjadi ketidakseimbangan kogntitif, dan ini akan berlangsung
sampai masalah tersebut terpecahkan. Karena itu, menurut Gestalt apabila terdapat
ketidakseimbangan kognitif, hal ini akan mendorong organisme menuju ke arah
keseimbangan. Dalam eksperimennya Kohler sampai pada kesimpulan bahwa
organisme dalam hal ini simpanse dalam memperoleh pemecahan masalahnya
diperoleh dengan pengertian atau dengan insight.

d. Kurt Lewin (1890-1947)

Gambar 6. Kurt Lewin


Pandangan Gestalt diaplikasikan dalam field psychology dari Kurt Lewin.
Lewin adalah salah seorang ahli yang sangat kuat menganjurkan pemahaman tentang
lapangan psikologis seseorang.
Lewin lahir di Jerman, lulus Ph.D dari University of Berlin dalam bidang
psikologi tahun 1914. Ia banyak terlibat dengan pemikir Gestalt, yaitu Wertheimer
dan Koehler dan mengambil konsep psychological field juga dari Gestalt. Pada saat
Hitler berkuasa Lewin meninggalkan Jerman dan melanjutkan karirnya di Amerika
Serikat. Ia menjadi professor di Cornell University dan menjadi Director of the
Research Center for Group Dynamics di Massacusetts Institute of Technology (MIT)
hingga akhir hayatnya di usia 56 tahun.
Kurt Lewin memandang bahwa masing-masing individu berada di dalam
suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis dimana
individu bereaksi disebut sebagai Life Space. Life Space mencakup perwujudan
lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya: orang-orang yang ia jumpai, objek
material yang ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki.
Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil tindakan antar
kekuatan-kekuatan, baik yang dari:
Dalam diri individu seperti; tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan
Luar diri individu, seperti;tantangan dan permasalahan.
Dalam medan hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi
untuk mencapainya selalu ada hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah
dorongan dan berusaha mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila
individu telah berhasil mencapai tujuan, maka ia masuk ke dalam medan atau
lapangan psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan hambatanhambatan yang baru pula. Demikian seterusnya individu keluar dari suatu medan dan
masuk ke medan psikologis berikutnya.

Dalam teori ini kita juga bisa melihat bagaimana Kurt Lewin berpertautkan
pemahaman dari topologi (lifespace misalnya), psikologi (kebutuhan, aspirasi), dan
sosiologi (misalnya medan gaya-motif yang jelas tergantung pada tekanan kelompok).
Ketiganya saling berhubungan dalam sebuah tingkah laku. Intinya, teori medan
merupakan sekumpulan konsep dimana seseorang dapat menggambarkan kenyataan
psikologis. Konsep-konsep teori medan telah diterapkan Lewin dalam berbagai
gejala psikologis dan sosiologis, termasuk tingkah laku bayi dan anak anak, masa
adolesen, keterbelakangan mental, masalah-masalah kelompok minoritas, perbedaan
perbedaan karakter nasional dan dinamika kelompok.
1) Penggunaan Teori Medan dalam Belajar
a)
Belajar sebagai perubahan sistem kognitif
Teori Medan (Field Theory) Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam
situasi belajar berada dalam satu medan atau lapangan psikologis. Menghadapi
suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan yaitu
mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hanbatan itu
yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah
diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan masuk ke dalam
medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya.
Menurut teori ini belajar berusaha mengatasi hambatan-hambatan
untuk mencapai tujuan. Kurikulum sekolah dengan segala macam tuntutannya,
berupa kegiatan belajar di dalam kelas, laboratorium, di workshop, di luar
sekolah, penyelesaian tugas-tugas, ujian-ulangan dan lain-lain, pada dasarnya
merupakan hambatan yang harus diatasi.
Menurut Lewin belajar terjadi akibat adanya perubahan struktur
kognitif. Perubahan kognitif adalah hasil dari dua macam kekuatan yaitu
struktur medan kognitif dan motivasi internal individu.
Apabila seseorang belajar, maka dia akan tambah pengetahuannya.
Artinya tahu lebih banyak dari pada sebelum ia belajar. Ini berarti ruang
hidupnya lebih terdiferensiasi, lebih banyak subregion yang dimilikinya, yang
dihubungkan dengan jalur-jalur tertentu. Dengan kata lain orang tahu lebih
banyak tentang fakta-fakta dan saling berhubungan antara fakta-fakta itu.
Perubahan struktur pengetahuan (struktur kognitif) dapat terjadi karena
ulangan; situasi mungkin perlu diulang-ulang sebelum strukturnya berubah.
Akan tetapi yang penting bukanlah bahwa ulangan itu terjadi, melainkan
bahwa struktur kognitif itu berubah. Dengan pengaturan masalah (problem)
yang lebih baik, struktur mungkin dapat berubah dengan ulangan yang sangat
sedikit. Hal ini telah terbukti dalam ekserimen mengenai insight. Terlalu
banyak ulangan tidak menambah belajar; sebaliknya ulangan itu mungkin

menyebabkan kejenuhan psikologis (pychological satiation) yang dapat


membawa disorganisasi (kekacauan) dan dediferensiasi (kekaburan ) dalam
sistem kognitif.
Perubahan dalam struktur kognitif ini untuk sebagian berlangsung
dengan prinsip pemolaan (patterning) dalam pengamatan, jadi disinilah lagi
terbukti betapa pentingnya pengamatan itu dalam belajar. Perubahan itu
disebabkan oleh kekuatan yang telah intrinsik ada dalam struktur kognitif.
Tetapi struktur kognitif itu juga berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan yang
ada pada individu. Disinilah terjadi belajar dengan motivasi.
b)

Hadiah dan Hukuman menurut Kurt Lewin


Bila kaum Behavioral memandang hadiah dan hukuman sebagai The

Law of Effect and The Law of Reinforcement, maka Kurt Lewin


menggambarkan situasi yang mengandung hadiah atau hukuman sebagai
situasi yang mengandung konflik. Hal ini digambarkannya dalam topologi
berikut:

Di dalam situasi yang digambarkan di atas, pribadi (P) harus melakukan


pekerjaan atau tugas yang tidak menyenangkan (Tg), karenanya ada kebutuhan
untuk meninggalkan tugas yang tidak menyenangkan itu. Supaya ia tetap
mengerjakan tugas itu, ada ancaman hukuman bila ia tidak menyelesaikan
tugas tersebut (Hk).
Sehingga dalam situasi seperti ini lalu timbul konflik, yaitu si pribadi
harus memilih diantara dua kemungkinan yang tidak menyenangkan tersebut.
Dalam situasi ini, malah ada kecenderungan pribadi menghindarkan diri dari
kedua kondisi yang tidak menyenangkan dirinya. Supaya pribadi tidak
meninggalkan medan itu maka harus dibuat barier (B); barier dalam
kehidupannyata adalah kekuasaan atau pengawasan.

Dalam situasi yang mengandung hadiah, pribadi tidak perlu


dimasukkan dalam tembok pengawasan seperti yang digambarkan pada
topologi yang mengandung hukuman, karena sifat menariknya hadiah akan
menahan pribadi untuk tetap berada dalam medan. Akan tetapi barier (B) tetap
diperlukan untuk mencegah supaya pribadi jangan sampai memperoleh hadiah
secara langsung tanpa mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan.
Pengawasan dalam situasi ini masih diperlukan karena hadiah (Hd)
berhubungan dengan aktivitas menjalankan tugas (Tg) secara eksternal, maka
selalu ada kecenderungan untuk mencari jalan lebih singkat bahkan bila
mungkin mendapatkan hadiah tanpa mengerjakan tugasnya.
c)

Masalah berhasil dan gagal


Kurt Lewin lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal dari pada

istilah hadiah dan hukuman. Sebab apabila tujuan-tujuan yang akan kita capai
itu adalah intrinsik, maka kita lebih tepat menggunakan istilah berhasil atau
gagal daripada terminologi hadiah dan hukuman. Istilah hadiah dan hukuman
lebih dekat pada pendekatan nonpsikologis sedang istilah sukses dan gagal
merupakan kajian dalam pendekatan psikologis. Secara psikologis yang
penting memang adalah bagaimana yang dialami individu dalam menghadapi
suatu problem. Suatu pengalaman sukses haruslah dimengerti sesuai dengan
apa yang telah dikerjakan atau dicapai oleh seseorang (pelajar).
Misalnya seorang pelajar yang merasa sukses karena naik kelas dengan
nilai terbaik. Namun ada pula yang tetap merasa sukses karena ia naik kelas
walau tidak dengan nilai terbaik.
d)

Sukses memberi mobilisasi energi cadangan


Kurt Lewin beranggapan bahwa dinamika kepribadian itu dikarenakan

oleh adanya energi dalam diri seseorang yang disebut energi psikis. Energi
psikis inilah yang dipergunakan untuk berbagai aktivitas seperti mengamati,
mengingat, berpikir dan sebagainya. Dalam keadaan sehari-hari, hanya sedikit
saja energi psikis yang dipergunakan dan sisanya tersimpan sebagai energi
cadangan. Apabila orang mendapat pengalaman sukses, maka akan terjadi
mobilisasi

energi

cadangan

sehingga

kemampuan

individu

untuk

menyelesaikan problem bertambah. Oleh sebab itu secara praktis sangat


dianjurkan untuk sebanyak mungkin memberikan kesempatan kepada para
peserta didik kita supaya mereka mendapatkan pengalaman sukses.

3. Kelebihan dan Kekurangan Teori Gestalt


Setiap teori pada umumnya tidak bisa sempurna seutuhnya, begitu pula dengan
teori Gestalt. Berikut ini adalah beberapa kelebihan dan kekurangan teori belajar Gestalt:
a. Kelebihan Teori Belajar Gestalt:
1) Melihat proses perkembangan sebagai proses diferensiasi. Dalam proses
diferensiasi itu yang primer adalah keseluruhan, sedangkan bagian-bagian adalah
sekunder.
2) Aliran Neo-Gestalt, yang bentuk nyatanya salah satu adalah aliran psikologi
medan (yang dirintis oleh Kurt Lewin) terhadap proses diferensiasi itu masih
menambahkan lagi proses stratifikasi. Sruktur pribadi digambarkan sebagai terdiri
dari lapisan-lapisan (strata), lapisan-lapisan itu makin lama makin bertambah.
3) Inti pelajaran adalah mendapatkan insight artinya: dimengertinya persoalan,
dimengertinya hubungan tertentu, antara berbagai unsur dalam situasi tertentu,
hingga

hubungan

tersebut

jelas

dan

akhirnya

didapatkan

kemampuan

memecahkan masalah, bukan mengulang-ulang bahan yang dipelajari. Dalam


penerapan pada metode membaca Gestalt memiliki kelebihan banyak sekali
dibandingkan dengan metode mengeja diantaranya murid belajar secara alamiah,
menarik, sesuai dengan tingkat perkembangannya, mudah memahami isi dan
murid lebih cepat bisa membaca.
b. Kekurangan Teori Belajar Gestalt :
1) Pemecahan masalah sangat tergantung kepada pengamatan, apabila dapat melihat
situasi dengan tepat maka masalah pencerahan dan dapat memecahkan masalah
itu. Dan apabila tidak bisa melihat situasi dengan tepat maka yang akan terjadi
adalah ketidakmampuan memecahkan masalah.
2) Bersifat holistik, molar, subyektif, kognitif , dan fenomenologis.
3) Psikologi gestalt tergolong nativistik, ia menekankan kemampuan dalam
menjelaskan masalah belajar dan persepsi

C. PENELITIAN DALAM BELAJAR VERBAL


Beberapa teoritikus membedakan antara belajar verbal dan perilaku verbal. Belajar verbal
adalah proses pemerolehan perilaku verbal bam dalam seting sedang melakukan proses
belajar. Perilaku verbal adalah performance atau penampakkan dari perilaku verbal yang
telah dipelajari dalam seting telah atau sedang melakukan proses belajar.
Latar belakang belajar verbal adalah dari munculnya tiga hukum asosiasi: contiguity,
similarity dan contrast yang dikemukan oleh Aristoteles, yang menggambarkan proses
pemikiran dan kemampuan manusia dalam mempersepsikan dunianya. Aristoteles
menyatakan bahawa pikiran manusia memiliki suatu "organizing agent" untuk menerima,
menyimpan dan memanggil kembali atau memakai informasi yang telah disimpan tersebut.

Selain itu dilatarbelakangi pula dengan teori dari Herman Ebbinghaus. Ebbinghaus
tertarik dengan bagaimana manusia menyimpan dan mengingat informasi. Penelitian
Ebbinghaus menggunakan silabel tanpa arti (misal: dkmdr, dfogb), sehingga dapat diketahui
proses "mengingat dan melupakan" dalam bentuk yang termurni. Dari penelitian ini,
Ebbinghaus mencoba untuk mengobservasi tentang acquisition (pemerolehan), storage
(penyimpanan) dan retrieval (pemanggilan kembali untuk digunakan) informasi yang tidak
memiliki arti atau asosiasi tertentu. Dengan menggunakan silabel tanpa arti, Ebbinghaus
berharap netralisasi efek-efek hasil belajar sebelumnya. Kesimpulan hasil penelitian
Ebbinghaus dapat diringkas dengan kasar dalam kurva tentang "melupakan" sebagai berikut:

1. BELAJAR BERSERI
Dalam belajar berseri, subyek diberi stimulus berseri (berurutan) dan kemudian
diisyaratkan untuk mengulangi (menyatakan kembali) apa yang telah diterima subyek
tersebut. Ada empat metode dalam belajar berseri, yaitu:
a. Metode Antisipasi
Metode antisipasi memerlukan presentasi secara berurutan suatu daftar yang
berupa beberapa stimulus (dapat berupa daftar beberapa "kata"). Pada saat presentasi
tersebut, subyek penelitian tidak diminta merespon. Kemudian setelah presentasi,
subyek dimintai menyatakan kembali daftar tersebut secara berurutan. Caranya adalah
pertama kali yang muncul adalah tanda asterisk atau bintang (sebagai tanda mulai),
kemudian subyek disuruh mengantisipasi dan menyatakan "kata" pertama yang akan
muncul, demikian seterusnya sampai "kata" yang terakhir. Penilaian didasarkan pada
benar tidaknya antisipasi subyek. Keberhasilan penyelesaian dari satu tugas belajar
berseri adalah bila satu percobaan atau lebih dengan keseluruhan "kata" diantisipasi
secara benar oleh subyek. Misal: didalam laboratorium, tugas berseri sering
ditampilkan dengan sebuah proyektor atau memory drum yang dapat berisi daftar
"kata" (Gambar 10).

Jika metode antisipasi digunakan dalam tugas berseri, daftar dimulai dengan
diberi tanda asterik atau bintang (untuk menunjukkan tanda mulai dan "kata" pertama
akan muncul). Dengan melihat jendela di drum dan sebelum drum berputar, subyek
diminta mengantisipasi dan merespon secara benar "kata" pertama. Kemudian drum
diputar, sehingga "kata" pertama muncul di jendela drum, sehingga dapat dinilai
apakah antisipasidan respon subyek tersebut benar atau salah. Demikian seterusnya
sampai pada "kata" yang terakhir.
b. Metode Serial Recall
Metode serial recall memerlukan cara presentasi yang sama dengan metode
antisipasi di atas. Dan subyek tidak memberikan respon selama presentasi
berlangsung. Hanya setelah presentasi selesai, secara berurutan, subyek diminta
merespon/melaporkan semua "kata" yang subyek pelajari saat presentasi, dan tanpa
melihat jendela drum. Misal: metode ini dapat kita jumpai pada seseorang yang
sedang berlatih menyanyi. Ia berusaha mengingat lirik lagu yang ia nyanyikan, tanpa
ada isyarat secara ekstemal sebagaimana ada dalam metode antisipasi.
c. Metode Presentasi Lengkap
Metode presentasi lengkap memerlukan cara presentasi yang berbeda dengan
dua metode di atas. Semua "kata" didalam daftar dipresentasikan secara serempak
kepada subyek penelitian, sehingga tidak memerlukan memory drum.Setelah selesai
presentasi,subyek diuji akuisisinya yaitu melaporkan seluruh "kata" di dalam daftar
tersebut.
d. Metode Free Recall
Metode free recall memerlukan cara presentasi yang-sarna dengan metode
antisipasi dan serial recal. Hanya setelah presentasi,tanpa berurutan dan bebas (dapat
dilaporkan semuanya, dapat pula hanya sebagian, dan sesuka hati subyek penelitian),
subyek diminta melaporkan daftar "kata" yang telah ia pelajari saat presentasi,dan
tanpa melihat drum.Misal: metode free recall ini, dapat kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu bila kita melakukan perjalanan ke beberapa kota. Sekembali dari
perjalanan, kita diharapkan menceritakan perjalanan tersebut secara bebas.
e. Tipe-Tipe Asosiasi
Satu cara untuk menganalisabelajar berseri adalah mempertimbangkan ada
tidaknya asosiasi (bonds atau koneksi) diantara item-item yang dipelajari (dapat
berupa "kata" atau yang lain). Analisa tersebut diharapkan untuk mengetahui tiap-tiap
item di dalam daftar yang dipelajari mungkin memiliki fungsi ganda, yaitu tidak
hanya mewakili respon yang dinyatakan, tetapi juga sebagai isyarat stimulus untuk
mempercepat munculnya respon yang lain. Ada tiga macam asosiasi yaitu:
1) Immediate Forward Association
Misalnnya terdapat satu daftar komposisi materi belajar: A - B - C - D - E - F,
immediate forward association akan terjadi antara materi belajar yang berdekatan
di depannya (maju ke depan) sesuai di dalam daftar: A - B, B -C, C -D, dan
sebagainya.

2) Immediate Backward Association


Misalnnya terdapat satu daftar komposisi materi belajar: A - B - C- D - E - F,
immediate backward association akan terjadi antara materi belajar yang
berdekatan di belakangnya (mundur ke belakang) sesuai di dalam daftar: B -A,
C- B, dan sebagainya.
3) Remote Association
Misalnnya terdapat satu daftar komposisi materi belajar: A -B-C-D-E- F,
remote association akan terjadi diantara materi belajar yang tidak berdekatan
dalam asosiasi maju atau mundur (immediate forwardl backward association)
sesuai di dalam daftar: B - E atau D - A.
Contoh: mahasiswa matakuliah psikologi faal diminta untuk mengingat nama
nama duabelas syaraf. Syaraf-saraf tersebut telah dinamai secara berurutan (serial)
sebagai berikut: olfactory, tic, oculomotor, trochlear, trigeminal, abducens, facial,
stato-acoustic, glasapharyngeal, vagus, accessory, dan hypoglosal. Dari daftar
nama-nama syaraf tersebut, dapat dipakai untuk menjelaskan tiga macam asosiasi,
misalnya: belajar "optic" mungkin sebagai isyarat untuk "olfactory" atau
"oculomotor" (immediate backward danforward association). "Glossopharyngeal
mungkin sebagai isyarat "hypoglossal" (remote association).
2. KURVA POSISI BERSERI
Bilamana subyek diminta untuk merespon atau mengingat materi belajar berseri
(berurutan), nampak bahwa materi pada awal pelajaran akan lebih cepat untuk
dipelajari/diingat (disebut primacy effect), dan pada akhir pelajaran akan lebih cepat
dipelajari/diingat pula (disebut recency effect). Sedangkan pada tengah pelajaran akan
lebih sulit untuk dipelajari/diingat.

Jika subjek diinstruksikan untuk menggunakan menggunakan ingatan bebas (free


recall) untuk mengingat materi belajar berseri, kurva posisi berseri akan sedikit berbeda
bila dibandingkan dengan kurva posisi berseri tersebut di atas.

a. Modifikasi Kurva Posisi Berseri


Kurva posisi berseri di atas adalah yang berlaku umum. Dalam beberapa
penelitian tentang belajar, kurva posisi berseri dapat dimodifikasi melalui manipulasi
instruksi dan materi yang dipelajari.
b. Manipulasi instruksi
Kurva posisi berseri dapat dimodifikasi dengan manipulasi instruksi yang
diberikan kepada subyek. Misalnya: memberi penekanan instruksi pada bagian tengah
materi belajar berseri, sehingga menghasilkan kurva sebagai berikut:

c. Manipulasi materi
Manipulasi materi belajar berseri dapat merubah bentuk dari kurva posisi
berseri, khususnya pada kelompok materi belajar. Respon yang ditunjukkan subyek
dengan adanya manipulasi ini dapat disebut clustering. Misalnya: suatu penelitian
tentang belajar, mempergunakan 36 materi belajar berseri yang dikelompokkan dalam
3 kelompok sehingga setiap kelompok berisikan 12 materi belajar berseri. Dalam
kurva nampak bahwa manipulasi materi menciptakan tiga miniatur kurva posisi
berseri dalam satu daftar keseluruhan.

Contoh khusus berkenaan dengan manipulasi materi, yang disebut efek von
Restorff (sesuai nama peneliti yang mempelajarinya). Efek ini dapat dilihat dengan
percobaan sebagai berikut: subyek diperhadapkan dengan daftar beberapa nama
barang, baik nama barang yang telah dikenal umum maupun nama barang yang tidak

terkenal. Urutan nama-nama barang tidak terlalu dipentingkan. Dari hasil percobaan
nampak bahwa subyek sedikit melakukan kesalahan untuk menyebutkan nama-nama
barang yang sudah dikenal dan sebaliknya sering melakukan kesalahan menyebutkan
nama-nama barang yang tidak terkenal. Hasil percobaan nampak seperti kurva
dibawah ini:
(1)

(2)

FOH,

ZOD,

(3)

(4)

(5)

XED,

KAH,

CAT,

(6)

(7)

(8)

MUQ,

VOR,

QUY

d. Pengaruh Pengalaman
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar berseri dipengaruhi oleh
urutan belajar atau pengalaman belajar sebelumnya. Misal: seseorang mudah sekali
mempelajari daftar urutan bulan-bulan dalam satu tahun: januari, pebruari, maret,
april, mei, juni, juli, agustus, september, oktober, nopember, desember. Karena ia
sudah memiliki pengalaman belajar sebelumnya berkenaan dengan hal tersebut.
e. Hipotesa Berantai
Hipotesa berantai adalah suatu usaha untuk menerangkan performan
yang.didapat dalam tugas-tugas berseri (berurutan). Hipotesa tersebut menyarankan
bahwa perilaku berurutan dapat dilihat sebagai rantai, yang mana masing-masing
perilaku saling berhubungan. Misal:
seseorang yang sedang belajar di Sekolah Dasar(SD), hasil belajar dari kelas
satu sampai kelas enam adalah saling berhubungan, yang dapat digambarkan sebagai
berikut:

3. KARAKTERISTIK MATERI
Karakteristik materi belajar verbal dapat mempengaruhi hasil belajar verbal.
Beberapa karakteristik materi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sangat Berarti
Sangat berarti merupakan karakteristik materi belajar lisan yang diukur dari
jumlah asosiasi rata-rata suatu perolehan unit verbal. Pengertian "sangat berarti"
adalah tidak sarna dengan "arti" (yang menunjukkan pada informasi yang
mendifinisikan unit verbal). Misal: kata "mama" memiliki karakteristik materi sangat
berarti bagi seorang anak dibandingkan kata "komputer" .
b. Nilai Asosiasi
Nilai asosiasi adalah presentasi responden tentang beberapa asosiasi dari unit
verbal khusus. Karakteristik materi nilai asosiasi memiliki kesamaan dengan
karakteristik materi sangat berarti.
c. Familiaritas
Karakteristik materi familiaritas adalah materi yang sudah familiar atau
dikenal oleh seseorang. Pada umumnya penilaian tentang familiaritas materi dibuat
dalam skala 1 sampai 7, dari mulai yang tidak familiar sampai sangat familiar.
d. Kemampuan Pengucapan
Penilaian kemampuan pengucapan materi belajar verbal merupakan penilaian
dari kemudahan pengucapan unit verbal. Penilaian tersebut menggunakan skala 1
sampai 7, dari materi yang tidak mampu diucapkan sampai sangat mampu diucapkan.
e. Imagery
Imagery merupakan karakteristik materi belajar verbal yang berupa mudah
tidaknya seseorang membuat gambaran mental tentang materi tersebut di dalam
dirinya. Berkenaan dengan imagery tersebut digunakan "conceptual-peg hypothesis"
(hipotesa taraf konseptual) yaitu dugaan bahwa seseorang membuat imajinasi (yang
berupa gambaran mental) atas stimulus yang diterimanya. Misal: hipotesis taraf
konseptual dapat digunakan untuk menduga bahwa pada umumnya pasangan kata:
"disck break" lebih sulit dipahami dari pada pasangan kata "coffee break". Alasannya
adalah kata "disck" lebih sulit dibayangkan dari pada kata "coffee".
f. Ketergantungan Rangkaian
Prinsip ketergantungan rangkaian didasarkan atas pengetahuan bahwa fonim,
huruf dan kata tergantung kepada rangkaiannya. Pada umumnya prediksi secara
statistik nampak bahwa bila lebih besar ketergantungan pada rangkaiannya maka
lebih mudah akuisisi (pemerolehan) dari unit lisan tersebut. Misal: dalam bahasa
Inggris, rangkaian hurufnya sangat ekslusif. Jika huruf "Q" yang dimunculkan, maka
dalam penyebutan selanjutnya diharapkan muncul huruf "R". Semen tara

huruflainnya tidaklah memiliki ketergantungan rangkaian sebesar huruf "R" bila


dirangkaikan dengan huruf "Q".
g. Asosiasi Simetri
Prinsip asosiasi simetri merupakan satu prinsip yang telah diusulkan tetapi
belum didukung oleh hasil penelitian yang menyakinkan. Prinsip asosiasi simetri
menunjukkan bahwa apabila pasangan stimulus (S)-respon (R) dipelajari organisme,
maka pasangan R-S juga akan sama kuatnya dipelajari organisme tersebut. Sedangkan
konsep belajar yang lain menunjukkan bahwa pasangan S-R akan dipelajari lebih kuat
dibandingkan belajar pasangan R-S. Karena organisme tidak memiliki kesiapan yang
cepat untuk mempelajari pasangan R-S sebagaimana ia membuat respon yang asli
(pasangan S-R).
D. KOGNITIVISME KONTEMPORER
1.
Pengertian Teori Kognitivisme
Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar.
Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa mengamati, melihat,
menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain, kognisi menunjuk
pada konsep tentang pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa proses belajar terjadi
karena ada variabel penghalang pada aspek-aspek kognisi seseorang. Teori belajar
kognitiv lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar
tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan
pemahaman.
Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah
laku yang bisa diamati.Dari beberapa teori belajar kognitif diatas (khusunya tiga di
penjelasan awal) dapat pemakalah ambil sebuah sintesis bahwa masing masing teori
memiliki kelebihan dan kelemahan jika diterapkan dalam dunia pendidikan juga
pembelajaran. Jika keseluruhan teori diatas memiliki kesamaan yang sama-sama dalam
ranah psikologi kognitif, maka disisi lain juga memiliki perbedaan jika diaplikasikan
dalam proses pendidikan. Sebagai misal, Teori bermakna ausubel dan discovery
Learningnya bruner memiliki sisi pembeda.
Dari sudut pandang Teori belajar Bermakna Ausubel memandang bahwa justeru
ada bahaya jika siswa yang kurang mahir dalam suatu hal mendapat penanganan dengan
teori belajar discoveri, karena siswa cenderung diberi kebebasan untuk mengkonstruksi
sendiri pemahaman tentang segala sesuatu. Oleh karenanya menurut teori belajar
Bermakna guru tetap berfungsi sentral sebatas membantu mengkoordinasikan
pengalaman-pengalaman yang hendak diterima oleh siswa namun tetap dengan koridor
pembelajaran yang bermakna.

Dari poin diatas dapat pemakalah ambil garis tengah bahwa beberapa teori belajar
kognitif diatas, meskipun sama-sama mengedepankan proses berpikir, tidak serta merta
dapat diaplikasikan pada konteks pembelajaran secara menyeluruh. Terlebih untuk
menyesuaikan teori belajar kognitif ini dengan kompleksitas proses dan sistem
pembelajaran sekarang maka harus benar-benar diperhatikan antara karakter masingmasing teori dan kemudian disesuaikan dengan tingkatan pendidikan maupun
karakteristik peserta didiknya.
Perbedaan antara psikologi kognitif dan psikologi behaviorisme antara lain:

Psikologi Behaviorisme
Berkaitan dengan kondisioning
dan proses belajar.
Mempelajari perilaku yang nyata
(overt)
Lebih mementingkan tingkah laku

molekular (tingkah laku refleks)


Mementingkan faktor kebutuhan
pemuasan kebutuhan.

2.

Psikologi Kognitif
Lebih banyak mempelajari pembentukan konsep,
proses, berpikir dan membangun pengetahuan.
Membicarakan konsep-konsep mentalistik yaitu
proses kejiwaan yang tidak selalu nampak dari luar.
Lebih mementingkan tingkah laku molar (tingkah
laku keseluruhan)
Berpendapat bahwa tanpa ada kebutuhnankebutuhan tertentu, proses belajar dapat tetap
terjadi.

Ciri-ciri Aliran Kognitivisme


Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia
Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian
Mementingkn peranan kognitif
Mementingkan kondisi waktu sekarang
Mementingkan pembentukan struktur kognitif
Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan
mempergunakan bentuk-bentuk reppresentatif yang mewakili obyek-obyek itu di
representasikan atau di hadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau
lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang
menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah
kembali kenegerinya sendiri. Tempat-tempat yang dikunjuginya selama berada di lain
negara tidak dapat diabawa pulang, orangnya sendiri juga tidak hadir di tempat-tempat
itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semulanya tanggapan-tanggapan, gagasan dan
tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang
mendengarkan ceritanya.

3.

Tokoh Tokoh Teori Kognitivisme


a. Jean Piaget
Teorinya disebut "Cognitive Developmental". Dalam teorinya, Piaget
memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual
dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmental karena
penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur

yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan


kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak
ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan
kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda
pula secara kualitatif.Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak
menjadi empat tahap:
1)
2)
3)
4)

Tahap sensory motor


Tahap pre operational
Tahap concrete operational
Tahap formal operational
Dalam pandangan Piaget, proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya

terjadi secara simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
terjadi jika pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif
yang telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi terjadi jika struktur
kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi/di kode ulang disesuaikan
dengan informasi yang baru diterima.Dalam teori perkembangan kognitif ini Piaget
juga menekankan pentingnya penyeimbangan (equilibrasi) agar seseorang dapat terus
mengembangkan

dan

menambah

pengetahuan

sekaligus

menjaga

stabilitas

mentalnya. Equilibrasi ini dapat dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara


asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar
dengan struktur dalamya. Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari
disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
b. Teori Perkembangan Kognitif oleh Bruner.

Gambar 17. Brunner


Berbeda dengan Piaget, Burner melihat perkembangan kognitif manusia
berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Bruner, perkembangan kognitif seseorang sangat
dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan, terutama bahasa yang biasanya digunakan.
Menurut Bruner untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak
mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata
dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan
dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan
teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral dimana
materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai

Perguruan tinggi disesuaikan dengan tingkap perkembangan kognitif mereka. Cara


belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan
hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan.
(discovery learning).
c. Teori Perkembangan Kognitif oleh Ausebel

Gambar 18. Ausebel


Yang memandang bahwa Proses belajar terjadi jika siswa mampu
mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru yang
dimana Proses belajar terjadi melaui tahap-tahap:
1) Memperhatikan stimulus yang diberikan
2) Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah
dipahami.
Menurut Ausubel siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya
didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa
(advanced organizer), dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan
belajar siswa. Advanced organizer adalah konsep atau informasi umum yang
mewadahi seluruh isi pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa. Advanced organizer
memberikan tiga manfaat yaitu : Menyediakan suatu kerangka konseptual untuk
materi yang akan dipelajari. Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara
yang sedang dipelajari dan yang akan dipelajari. Dapat membantu siswa untuk
memahami bahan belajar secara lebih mudah.
d. Teori Pemrosesan Informasi oleh Robert M. Gagne
Menurut teori ini belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi
dalam otak manusia. Sedangkan pengolahan otak manusia sendiri dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Reseptor (alat indera) : menerima rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya
menjadi rangsaangan neural, memberikan symbol informasi yang diterimanya dan
kemudian di teruskan.
2) Sensory register (penempungan kesan-kesan sensoris) : yang terdapat pada syaraf
pusat, fungsinya menampung kesan-kesan sensoris dan mengadakan seleksi

sehingga terbentuk suatu kebulatan perceptual. Informasi yang masuk sebagian


masuk ke dalam memori jangka pendek dan sebagian hilang dalam system.
3) Short term memory ( memory jangka pendek ) : menampung hasil pengolahan
perceptual dan menyimpannya. Informasi tertentu disimpan untuk menentukan
maknanya. Memori jangka pendek dikenal juga dengan informasi memori kerja,
kapasitasnya sangat terbatas, waktu penyimpananya juga pendek. Informasi dalam
memori ini dapat di transformasi dalam bentuk kode-kode dan selanjutnya
diteruskan ke memori jangka panjang.
4) Long Term memory (memori jangka panjang) : menampung hasil pengolahan
yang ada di memori jangka pendek. Informasi yang disimpan dalam jangka
panjang, bertahan lama, dan siap untuk dipakai kapan saja.
5) Response generator (pencipta respon) : menampung informasi yang tersimpan
4.

dalam memori jangka panjang dan mengubahnya menjadi reaksi jawaban


Pandangan Teori Kognitivisme terhadap Belajar Mengajar dan Pembelajaran
Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar.
Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa mengamati, melihat,
menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain, kognisi menunjuk
pada konsep tentang pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa proses belajar terjadi
karena ada variabel penghalang pada aspek-aspek kognisi seseorang. Teori belajar
kognitiv lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar
tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan
pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Dari
beberapa teori belajar kognitif diatas (khusunya tiga di penjelasan awal) dapat pemakalah
ambil sebuah sintesis bahwa masing masing teori memiliki kelebihan dan kelemahan jika
diterapkan dalam dunia pendidikan juga pembelajaran. Jika keseluruhan teori diatas
memiliki kesamaan yang sama-sama dalam ranah psikologi kognitif, maka disisi lain juga
memiliki perbedaan jika diaplikasikan dalam proses pendidikan. Sebagai misal, Teori
bermakna ausubel dan discovery Learningnya bruner memiliki sisi pembeda. Dari sudut
pandang Teori belajar Bermakna Ausubel memandang bahwa justru ada bahaya jika
siswa yang kurang mahir dalam suatu hal mendapat penanganan dengan teori belajar
discovery learning, karena siswa cenderung diberi kebebasan untuk mengkonstruksi
sendiri pemahaman tentang segala sesuatu. Oleh karenanya menurut teori belajar
Bermakna guru tetap berfungsi sentral sebatas membantu mengkoordinasikan
pengalaman-pengalaman yang hendak diterima oleh siswa namun tetap dengan koridor
pembelajaran yang bermakna. Dari poin diatas dapat pemakalah ambil garis tengah
bahwa beberapa teori belajar kognitif diatas, meskipun sama-sama mengedepankan
proses berpikir, tidak serta merta dapat diaplikasikan pada konteks pembelajaran secara

menyeluruh. Terlebih untuk menyesuaikan teori belajar kognitif ini dengan kompleksitas
proses dan sistem pembelajaran sekarang maka harus benar-benar diperhatikan antara
karakter masing-masing teori dan kemudian disesuaikan dengan tingkatan pendidikan
maupun karakteristik peserta didiknya.
E. IMPLIKASI TEORI KOGNITIF TERHADAP PENDIDIKAN SECARA UMUM
1. Implikasi Teori Belajar Edward C. Tolman dalam Proses Pembelajaran
a. Belajar selalu purposif dan tujuan-diarahkan.
b. Belajar sering melibatkan penggunaan faktor-faktor lingkungan untuk mencapai
tujuan (misalnya, berarti-berakhir-analisis)
c. Organisme akan memilih jalur terpendek atau termudah untuk mencapai tujuan.
2. Implikasi Teori Belajar Gestalt dalam Proses Pembelajaran
a. Pengalaman tilikan (insight)
Bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses
pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu
kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
Contoh: Bila menganalisis sesuatu tentu tidak hanya satu penyebabnya namun dilihat
dari berbagai unsur yang saling berkaitan dan memiliki sebab akibat. Misalnya para
pelaku penyimpangan sosial, mereka melakukan itu tentu tidak semata-mata mereka
ingin melakukan penyimpangan tersebut, tetapi ada berbagai sebab yang membuat
mereka melakukan hal tersebut dan tentunya memiliki keterkaitan antara satu dengan
yang lain.
b. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning)
Kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan
dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin
efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan
masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif
pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna
yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya. Contoh: Masih pada perilaku
menyimpang, makin banyak kita tahu apa yang menyebabkannya melakukan
perbuatan itu tentu kita menjadi memahami bahwa tidak semua pelaku menyimpang
menginginkan ia melakukan hal tersebut. Dan setelah kita memahami berbagai
penyebabnya, kita dapat mencari pemecahan masalahnya yang dikaitkan dengan
berbagai aspek secara keseluruhan.
c. Perilaku bertujuan (pusposive behavior)
Bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat
hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang

ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal
tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan
sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami
tujuannya. Contoh: Dalam setiap pembelajaran. Sebelum dimulainya proses belajar
mengajar sebaiknya diberitahukan terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan
pembelajaran tersebut. Agar bukan hanya guru yang memahami apa yang ia ajarkan
namun juga siswa mengerti apa yang ia pelajari.
d. Prinsip ruang hidup (life space)
Perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh
karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan
kondisi lingkungan kehidupan peserta didik. Contoh: Dalam berbagai mata pelajaran,
apalagi di bidang ilmu sosial, diharapkan siswanya bukan hanya mampu memahami
teori tetapi juga menerapkan dalam kehidupan sehari-hari apa yang ia pelajari.
e. Transfer dalam Belajar
Yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke
situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan
melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk
kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat.
Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam
pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi).
Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip
pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan
dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya
dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi
yang diajarkannya. Contoh: Misalnya pada suatu studi kasus, para siswa tentu akan
memahami sebab akibat yang terjadi dalam masalah yang mereka hadapi, namun
terkadang apabila diberikan masalah lain siswa kebingungan untuk mencari
penyelesaiannya. Oleh karena itu, diharapkan siswa dapat memahami unsur-unsur
pokok dalam setiap yang mereka pelajari, agar apabila terdapat kasus yang berbeda ia
dapat menyelesaikannya juga.
3. Implikasi Teori Kognitivisme dalam Dunia Pendidikan
Adapun Impilikasi Teori Kognitivisme dalam dunia pendidikan yang lebih
dispesifikasikan dalam Pembelajaran sesuai dengan Teori yang telah dikemukan diatas
sebagai berikut:
a. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu
guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak;
Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaikbaiknya; Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak

asing; Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya. Di dalam
kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan
teman-temanya.
b. Implikasi Teori Bruner dalam Proses Pembelajaran :
Menghadapkan anak pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu
masalah; anak akan berusaha membandingkan realita di luar dirinya dengan model
mental yang telah dimilikinya; dan dengan pengalamannya anak akan mencoba
menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka
untuk mencapai keseimbangan di dalam benaknya.
c. Impilkasi Teori Bermakna Ausubel
Implikasinya dalam pembelajaran adalah seorang pendidik,, mereka harus
dapat memahami bagaimana cara belajar siswa yang baik, sebab mereka para siswa
tidak akan dapat memahami bahasa bila mereka tidak mampu mencerna dari apa yang
mereka dengar ataupun mereka tangkap.
Dan dari ketiga macam teori diatas jelas masing-masing mempunya implikasi
yang berbeda, namun secara umum teori kognitivisme lebih mengarah pada bagaimana
memahami struktur kognitif siswa.

BAB III
KESIMPULAN
A. EDWARD C. TOLMAN
Teori belajar Tolman dapat dikatakan sebagai campuran antara Teori Gestalt dan
Behaviorisme. Sikapnya yang senang terhadap teori Gestalt tidaklah menghalangi
perhatiannya terhadap behaviorisme. Ketidaksepakatannya dengan behaviorisme adalah pada
soal unit perilaku yang mesti diteliti. Tolman menganggap bahwa unit perilaku sebenarnya
tidak bisa dipelajari sebagai unsure-unsur yang terpisah, inilah yang dimaksudkan Tolman
dengan perilaku molar.
Teori Tolman disebut sebagai purposive behaviorism (behaviorisme purposif) sebab
ia berusaha menjelaskan perilaku yang diarahkan untuk mendapatkan tujuanatau dengan kata
lain mengkaji perilaku dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak dicapai melalui perilaku
itu. Dan hal inilah yang menjadi karakteristik perilaku molar.
Beberapa asumsi-asumsi umum yang dikemukakan Tolman dalam proses belajar,
antara lain; (1) pengertian belajar, menurut Tolman, belajar adalah mengenal tentang situasi
atau dengan kata lain proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan, (2)
konvirmasi versus reinforcement, Tolman menganggap bahwa reinforcemen yang ada dalam
behavioris itu sebagai konfirmasi, (3) vicarious trial dan error, yaitu kegiatan berhenti
sejenak seolah-olah berfikir, (4) performance dapat dimaksudkan sebagai perwujudan belajar
ke dalam prilaku, (5) Latent learning (pembelajaran laten) adalah pembelajaran yang tidak
langsung dalam kinerja seseorang. (6) Ekspektasi penguatan, Tolman memprediksikan jika
reinforcer dirubah, prilaku akan terganggu, karena reinforcement expectancy merupakan
bagian dari apa yang diharapkan.
Dalam artikel There is more than one kind of learning, Tolman mengusulkan enam
jenis belajar. Yaitu, cathexes, keyakinan ekuivalensi, ekspektasi medan, mode medan kognisi,
diskriminasi dorongan, dan pola motor.

Mengenai pendidikan Tolman sepakat menekankan pentingnya pemikiran dan


pemahaman, bukan hafalan. Belajar bukan hanya soal memberi respon atau strategi yang
benar, tatapi juga menghilangkan respos atau strategi yang salah.
B. PSIKOLOGI GESTALT
Pandangan Gestalt menyempurnakan aliran behaviorisme: dengan menyumbangkan ide
untuk menggali proses belajar kognitif, berfokus pada higher mental process. Adanya
perceptual field diinterpretasikan menjadi lapangan kognitif dimana proses-proses mental
seperti persepsi, insight,dan problem solving beroperasi. Tokoh : Tolman (dengan Teori Sign
Learning) dan Kohler (eksperimen menggunakan simpanse sebagai hewan coba).
Psikologi Gestalt merupakan salah satu aliran psikologi yang mempelajari suatu gejala
sebagai suatu keseluruhan atau totalitas, data-data dalam teori psikologi Gestalt disebut
sebagai fenomena (gejala). Dalam pengaplikasiannya pada proses pembelajaran, antara lain:
1). Pengalaman tilikan (insight) 2). Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) 3).
Perilaku bertujuan (pusposive behavior) 4). Prinsip ruang hidup (life space) 5). Transfer
dalam Belajar
C. PENELITIAN DALAM BELAJAR VERBAL
Munculnya tiga hukum asosiasi yaitu asosiasi, contiguity dan law of contrast. Aristoteles
berpendapat pikiran manusia adalah organizing agent. Penelitian Ebbinghaus menghasilkan teori
nonsense syllabels, yang menyimpulkan bahwa kemampuan mengingat akan menurun dengan
bertambahnya waktu.
Belajar Berseri, Subjek diberi stimulus berseri dan kemudian diminta untuk mengulangi
(menyatakan) kembali apa yang telah diterimanya. Terdapat 4 metode belajar berseri,yaitu:
1.)Metode antisipasi, 2.)Metode serial recall,3.)Metode presentasi lengkap, 4.)Metode free recall.
Ada 3 tipe asosiasi untuk menganalisis belajar berseri:1.)Immediate forward association,
2.)Immediate backward association, 3.)Remote association.
Karakteristik Materi antara lain : Sangat berarti, Nilai asosiasi, Familiaritas, Kemampuan
pengucapan, imagery, ketergantungan rangkaian, Asosiasi simetri.
D. KOGNITIVISME KONTEMPORER
Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar. Kognisi
adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa mengamati, melihat,
menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain, kognisi menunjuk
pada konsep tentang pengenalan. Adapun teori yang tekenal antara lain:
Jean Piaget, teorinya disebut "Cognitive Developmental" yang Dalam teorinya, Piaget
memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari
konkret menuju abstrak.

Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Bruner, yang dimana Burner


memandang perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Bruner,
perkembangan kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan, terutama
bahasa yang biasanya digunakan.
Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Ausebel, yang mengatakan bahwa
siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (advanced organizer), dengan demikian
akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Farnham-Diggory, Sylvia.1992.Cognitive Processes in Education 2nd Edition.New York: Harper
Collins.
Hergenhann, B.R. & Matthew H. Olson. 2010. Theories of Learning. terjemah: Triwibowo B.S.,
Jakarta: Kencana.
Hill, Winfred F. 2011.Theories of Learning, terjemah: M. Khozim. Bandung; Nusa Media.
Mulyati. 2005. Psikologi Belajar. Surakarta: Andi
Passer, Michael W. 2007.Psychology: The Science of Mind and Behavior. New York: McGrawHill.
Santrock, J. W. 2008. Educational Psycology. New York. Ed. 3. Terj. Diana Angelica. 2009.
Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1980.Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi.
Jakarta: Bulan Bintang.
Stenberg, Robert J. 2008. Psikologi Kognitif Edisi Keempat. Yogyakarta. Pustaka pelajar.
Suryabrata, S. (2012). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Wade, Carol & Carol Tavris.2007.Psikologi. Jilid I, Terjemah: Benedictine Widyasinta.Jakarta:
Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai