Devalia KOGNITIVISME
Devalia KOGNITIVISME
KOGNITIVISME
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori dan Psikologi Belajar
Dosen : Yulia Ayriza, Ph.D.
Disusun oleh:
NAMA
: DEVALIA SEPTIANA
NIM
: 14712259020
PENDAHULUAN
A. Sejarah Psikologi Kognitif
Sejarah psikologi kognitif diawali dengan pendapat-pendapat para filsuf yang berpikir
dan bertanya asal muasal pengetahuan sehingga teori-teori kuno membahas letak pikiran dan
memori. Solso (2007) studi aksara hieroglif Mesir Kuno dalam kepenulisannya meyakini
bahwa Aristoteles menyatakan pengetahuan adalah berada di jantung. Akan tetapi berbeda
dengan gurunya Aristoteles, yakni Plato, berpendapat bahwa pengetahuan tersimpan dalam
otak. Sehingga, hal yang terkait dengan pengetahuan tersebut terdapat dua perspektif empiris
dan nativis. Empiris memandang pengetahuan diperoleh dari pengalaman sepanjang hidup.
Sedangkan nativis memandang pengetahuan didasarkan pada karakteristik genetis dalam
otak. Maka, penyimpanan dan pengorganisasian informasi dalam memori mendifinisikan
cocok yaitu bahwa penyimpanan mengindikasikan bahwa pengalaman adalah penting yang
disebut dengan empiris. Sedangkan, pengorganisasian megindikasikan bahwa adanya
kemampuan struktural bawaan dalam otak manusia itu disebut dengan nativis.
Pada abad ke-18 yang dikenal dengan abad renaisans (abad pencerahan). Abad
pencerahan adalah abad terjadinya perubahan besar-besaran dalam teknologi, sosial dan
politik yang dipelopori para penganut empirisme dari inggris yaitu George Berkeley, David
Hume, James Mill, dan John Stuart Mill. Pernyataannya John Stuart Mill pada abad renaisans
menyatakan bahwa representasi internal yang terbagi dalam tiga jenis: 1). Peristiwa sensorik
langsung, 2). Peristiwa yang disimpan dalam memori, dan 3). Transformasi dari peristiwaperistiwa tersebut yang dalam proses berpikir.
Pada abad ke-19 muncullah para psikologi dari bidang ilmu filsafat yang kemudian
membentuk suatu disiplin ilmu baru meskipun bersumber dari ilmu filsafat.
Pada awal abad ke-20, lahirlah teori Behaviorisme yang mengalami perubahan
konsep radikal. Dan behavioris mengatakan bahwa otak manusia adalah otak pasif yang
memandang bahwa otak manusia dan binatang semata-mata hanya psikologi stimulus-respon
(Solso, 2007). Namun beberapa tahun kemudian, pada tahun 1932 terjadi kebangkitan
Revolusi kognitif seorang behavioris dari Universitas California yang bernama Edward C.
Tolman menerbitkan sebuah buku yang menjelaskan tentang eksprimen terhadap tikus yang
ditempatkan dalam labirin dengan mempelajari stimulus-respon darinya. Edward C. Tolman
(1886-1959) tokoh psikologi kognitif yang berasal dari behavioris mengembangkan konsep
peta kognitif, beliau juga merupakan behavioris dari Universitas California di Berkeley
dengan menerbitkan buku yang pertamanya berjudul Purposive Behavior In Animals And
Men.
Psikologi kognitif adalah ilmu mengenai pemrosesan informasi. Bagaimana cara kita
memperoleh informasi mengenai dunia dan bagaimana pemerosesannya, bagaimana cara
informasi itu disimpan dan di proses oleh otak, bagaimana informasi itu disampaikan dengan
struktur penyusunan bahasa, dan proses-proses tersebut ditampilkan dengan sebuah prilaku
yang dapat diamati dan juga yang tidak dapat diamati. Psikologi kognitif juga mencakup
keseluruhan proses psikologis dari sensasi ke persepsi, pengenalan pola, atensi, kesadaran,
belajar, memori, formasi konsep, berpikir, imajinasi, bahasa, kecerdasan, emosi, dan
bagaimana keseluruhan hal tersebut berubah sepanjang hidup (terkait perkembangan
manusia) dan bersilangan dengan berbagai bidang perilaku
Dalam makalah ini penulis ingin membahas tentang Edward C. Tolman, Psikologi
Gestalt, Penelitian dalam belajar verbal, kognitivisme kontemporer dan implikasi teori
kognitif terhadap pendidikan secara umum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. EDWARD CHACE TOLMAN
1. Biografi Edward Chace Tolman (1886-1959)
disebut
juga
behaviorisme
operasional,
karena
Tolman
mencoba
apa yang telah dipelajarinya hingga sampai pada real testing yang bisa mengurangi
kebutuhan itu. Misalnya, ada dua kran air dalam rumah kita, dalam jangka waktu yang
lama, kita tidak pernah memperhatikan atau meminumnya hingga suatu saat terasa
sangat haus. Secara spontan kita akan meminum salah satu dari keduanya. Dari sini,
kita akan mengetahui bagaimana menemukan air minum itu tanpa harus menunggu
hingga terasa haus.
e. Latent Learning
Latent learning (pembelajaran laten) adalah pembelajaran yang tidak langsung
dalam kinerja seseorang. Dengan kata lain, pembelajaran laten merupakan suatu jenis
pembelajaran dimana hasil pembelajaran tersebut tidak langsung terlihat; hal ini terjadi
tanpa suatu penguatan yang nyata. Konsep tentang latent learning sangat penting bagi
Tolman, dan dia merasa sukses dalam mendemonstrasikan eksistensinya.
Eksperimen terkenal yang dilakukan oleh Tolman dan Honzik (1930)
melibatkan tiga kelompok tikus, yang mencoba belajar untuk memecahkan suatu
kebingungan (jaringan jalan yang simpang siur). Kelompok pertama, tidak pernah
mendapatkan atau menemui makanan saat melintasi jalan yang simpang siur itu.
Kelompok kedua, selalu diberi makanan di ujung labirin. Sedang kelompok ketiga,
tidaklah diperkuat sampai hari ke-11 mengadakan percobaan. Kelompok terakhir inilah
yang menarik bagi Tolman. Teorinya tentang latent learning meramalkan bahwa
kelompok ini akan belajar di simpang siur jalan itu, sama halnya dengan kelompok
yang secara teratur diperkuat. Dan ketika penguatan (reinforcement) diperkenalkan
pada hari ke-11, kelompok ini akan melakukan seperti halnya kelompok yang secara
terus menerus diperkuat (reinforced).
f. Reinfocement Expectancy
Menurut Tolman, ketika kita belajar, kita menganalisa situasi. Term
understanding selalu ada hubungannya dengan Tolman sebagaimana para behavioris.
Dalam situasi problem-solving, kita belajar untuk memperoleh cara yang paling paktis.
Kita belajar untuk mengharapkan terjadinya persitiwa tertentu, mengikuti peristiwa
yang lain. Seekor binatang mengharapkan jika ia pergi ke suatu tempat tertentu, maka
ia akan menemukan reinforcer tertentu. Manurut pada ahli teori S-R, bahwa merubah
reinforcer dalam teori belajar tidak akan mengganggu prilaku sepanjang kuantitas
reinforcement tidak dirubah secara drastis. Sedangkan menurut Tolman, ia
memprediksikan, jika reinforcer dirubah, prilaku akan terganggu, karena reinforcement
expectancy merupakan bagian dari apa yang diharapkan.
4. Enam Jenis Belajar
Dalam artikel There is more than one kind of learning, Tolman mengusulkan
enam jenis belajar. Ringkasnya adalah sebagai berikut:
a. Cathexe
Cathexis (jamak) Cathexes adalah tendensi belajar untuk mengasosiasikan
objek tertentu dengan keadaan dorongan tertentu. Misalnya, ada makanan tertentu
untuk memuaskan dorongan lapar dari seseorang yang tinggal disuatu Negara. Orang
yang tinggal di daerah dimana biasanya makan ikan itu sudah menjadi kebiaasaan
cenderung akan mencari ikan untuk menghilangkan laparnya. Orang-orang ini
mungkin tidak menyukai daging sapi atau spageti karena, menurut mereka, makanan
itu tidak diasosiasikan dengan pemuasan dorongan rasa lapar.
b. Keyakinan ekuivalensi
Ketika sub tujuan memiliki efek yang sama dengan tujuan itu sendiri, maka
sub tujuan itu dikatakan merupakan keyakinan ekuivalensi.
c. Ekspektasi medan
Field expectancies (ekspektasi medan) berkembang dengan cara yang serupa
dengan perkembangan peta kognitif. Organisme belajar bahwa sesuatu akan
menimbulkan sesuatu yang lain. Setelah melihat isyarat tertentu, misalnya, ia akan
berharap isyarat lain akan muncul. Pengetahuan umum tentang lingkungan ini
digunakan untuk menjelaskan belajar laten, belajar ruang, dan penggunaan jalan
pintas.
d. Mode medan-kognisi
Field-cognition mode (mode medan kognisi), yakni strategi,suatu cara, untuk
menangani situasi pemecahan problem. Ini adalah tendensi untuk mengatur bidang
perseptual dalam konfigurasi tertentu. Tolman menduga bahwa tendensi ini adalah
bawaan namun dapat dimodifikasi oleh pengalaman. Dalam kenyataannya, sebagian
besar hal penting mengenai strategi yang berhasil dalam memecahkan problem adalah
strategi itu akan di uji cobakan lagi dalam situasi yang sama di masa mendatang. Jadi,
mode medan kognisi yang efektif, atau strategi pmecahan masalah yang efektif, di
transfer ke problem terkait.
e.
Diskriminasi dorongan
Drive discrimination (diskriminasi dorongan) berarti bahwa organisme dapat
menentukan keadaan dorongan mereka sendiri dan karenanya dapat merespon dengan
benar.
f. Pola motor
Tolman menunjukkan bahwa teorinya, terutama dengan asosiasi ide dan tidak
terlalu berhubungan dengan cara ide-ide itu menjadi diasosiasikan dengan perilaku.
Belajar motor pattern (pola motor) adalah usaha untuk memecahkan kesulitan ini,
Tolman menerima pendapat Gutrhie tentang bagaimana respon diasosiasikan menjadi
stimuli. Sepert tampak dalam perkataannya berikut ini: saya mencoba menerima dan
sepakat dengan Guthrie bahwa kondisi dimana pola motor di dapatkan mungkin adalah
kondisi dimana gerakan tertentu membuat hewan menjauhi stimuli yang hadir saat
gerakanitu dimulai (Hergenhann (2010:347-349).
5. Percobaan Terhadap Tikus
Bisa dikatakan bahwa Tolman bukan satu-satunya orang di kalangan teoretisi
kognitif yang memberikan perhatian lebih pada perilaku hewan dibandingkan pada
manusia. Dalam hal tertentu, pilihan ini juga mencerminkan factor penyebab yang
menuntun kalangan behavioris untuk meneliti hewan: hewan lebih simple dan lingkungan
mereka lebih mudah dikontrol. Hal ini juga mencerminkan keinginan Tolman untuk
menunjukkan bahwa system kognitif bisa bersifat objektif dan tidak perlu bergantung
sama sekali pada apa yang dikatakan oleh individu. Tolman sendiri dengan gaya
tulisannya yang terus terang menyodorkan kemungkinan alasan yang ketiga. Ia
mengatakan bahwa para psikolog biasanya berangkat dari keinginan untuk memecahkan
masalah-masalah besar kehidupan manusia, namun kemudian merasa gamang setelah
membayangkan konsekuensi dari tugas besar semacam itu dan akhirnya lebih memilih
mengamankan diri dengan mengkaji segi-segi tertentu, perilaku pembelajaran tikus
misalnya (Winfred, 2011:177).
Dalam percobaannya yang pertama untuk menguji proses belajar dari sudut
pandang kognitif, Tolman mendesain sebuah labirin yang ditinggikan. Tikus-tikus yang
menjadi hewan percobaan berlari dari titik A di seberang meja bundar terbuka melalui
titik CD (yang memiliki dinding gang) dan akhirnya ke titik G, dimana kotak makanan
disediakan. Sementara itu H adalah cahaya yang bersinar langsung pada jalan turun dari
titik G ke F. Setelah empat malam (tiga percobaan per malam), di mana tikus belajar
untuk berjalan secara langsung dan tanpa ragu-ragu dari A ke G, alat percobaan diubah
menjadi ledakan matahari. Jalan awal dan meja tetap sama namun serangkaian jalur
memancar ditambahkan.
Tikus-tikus itu kembali berlari dari titik A lalu melintasi meja bundar ke gang
dan menemukan diri mereka diblokir. Mereka kemudian kembali ke meja dan mulai
menjelajahi hampir semua jalan memancar sebelum akhirnya menemukan jalan yang
tersingkat untuk mencapai kotak makanan tersebut.
Dari percobaan tersebut, Tolman menyimpulkan bahwa tikus-tikus itu telah
belajar peta kognitif dari titik A (tempat dimana tikus mulai berlari) sampai ke titik G
(kotak makanan). Peta kognitif ialah kesadaran mental yang didapatkan dari struktur
ruang fisik atau unsur-unsur yang terkait.
Diantara hal-hal yang menjadi kekurangan dalam teori Tolman adalah teorinya
tidak mudah diteliti secara empiris, teorinya banyak menggunakan variabel
individual, bebas dan intervening yang sulit untuk dijelaskan semuanya. Tolman
mendiskusikan jenis hukum yang dibutuhkan psikologi, namun ia tidak pernah
mengembangkan hukum-hukum ini. Ia melakukan eksperimen-eksperimen untuk
menunjukkan bahwa rumusan-rumusan kognitif itu lebih baik, namun eksperimenya
mengenai rumusan kognitif ini tidak cukup teliti sehingga tidak bisa digunakan untuk
memprediksi.
Ia
menyediakan
kerangka
kognitif
untuk
menginterprestasi
adalah
sebuah
teori
yang
menjelaskan
proses
persepsi
melalui
b. Hukum ketertutupan
Hal-hal yang cenderung menutup akan membentuk kesan totalitas tersendiri.
c. Hukum kesamaan.
Hal-hal yang mirip satu sama lain, cenderung kita persepsikan sebagai suatu
kelompok atau suatu totalitas. Contohnya :
OOOOOOOOOOOOO
XXXXXXXXXXXXX
OOOOOOOOOOOOO
yang dinamis setelah dimunculkan dalam waktu singkat dan dengan demikian
memungkinkan manusia melakukan interpretasi. Weirthmeir menunjuk pada proses
interpretasi dari sensasi obyektif yang kita terima. Proses ini terjadi di otak dan sama
sekali bukan proses fisik tetapi proses mental sehingga diambil kesimpulan ia
menentang pendapat Wundt.
Wertheimer dianggap sebagai pendiri teori Gestalt setelah dia melakukan
eksperimen dengan menggunakan alat yang bernama stroboskop, yaitu alat yang
berbentuk kotak dan diberi suatu alat untuk dapat melihat ke dalam kotak itu. Di
dalam kotak terdapat dua buah garis yang satu melintang dan yang satu tegak. Kedua
gambar tersebut diperlihatkan secara bergantian, dimulai dari garis yang melintang
kemudian garis yang tegak, dan diperlihatkan secara terus menerus. Kesan yang
muncul adalah garis tersebut bergerak dari tegak ke melintang. Gerakan ini
merupakan gerakan yang semu karena sesungguhnya garis tersebut tidak bergerak
melainkan
dimunculkan
secara
bergantian.
Pada
tahun
1923, Wertheimer
1) Jejak ingatan (memory traces) adalah suatu pengalaman yang membekas di otak.
Jejak-jejak ingatan ini diorganisasikan secara sistematis mengikuti prinsip-prinsip
Gestalt dan akan muncul kembali kalau kita mempersepsikan sesuatu yang serupa
dengan jejak-jejak ingatan tadi.
2) Perjalanan waktu berpengaruh terhadap jejak ingatan. Perjalanan waktu itu tidak
dapat melemahkan, melainkan menyebabkan terjadinya perubahan jejak, karena
jejak tersebut cenderung diperhalus dan disempurnakan untuk mendapat Gestalt
yang lebih baik dalam ingatan.
3) Latihan yang terus menerus akan memperkuat jejak ingatan.
c. Wolfgang Kohler (1887-1967)
Dalam teori ini kita juga bisa melihat bagaimana Kurt Lewin berpertautkan
pemahaman dari topologi (lifespace misalnya), psikologi (kebutuhan, aspirasi), dan
sosiologi (misalnya medan gaya-motif yang jelas tergantung pada tekanan kelompok).
Ketiganya saling berhubungan dalam sebuah tingkah laku. Intinya, teori medan
merupakan sekumpulan konsep dimana seseorang dapat menggambarkan kenyataan
psikologis. Konsep-konsep teori medan telah diterapkan Lewin dalam berbagai
gejala psikologis dan sosiologis, termasuk tingkah laku bayi dan anak anak, masa
adolesen, keterbelakangan mental, masalah-masalah kelompok minoritas, perbedaan
perbedaan karakter nasional dan dinamika kelompok.
1) Penggunaan Teori Medan dalam Belajar
a)
Belajar sebagai perubahan sistem kognitif
Teori Medan (Field Theory) Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam
situasi belajar berada dalam satu medan atau lapangan psikologis. Menghadapi
suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan yaitu
mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hanbatan itu
yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah
diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan masuk ke dalam
medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya.
Menurut teori ini belajar berusaha mengatasi hambatan-hambatan
untuk mencapai tujuan. Kurikulum sekolah dengan segala macam tuntutannya,
berupa kegiatan belajar di dalam kelas, laboratorium, di workshop, di luar
sekolah, penyelesaian tugas-tugas, ujian-ulangan dan lain-lain, pada dasarnya
merupakan hambatan yang harus diatasi.
Menurut Lewin belajar terjadi akibat adanya perubahan struktur
kognitif. Perubahan kognitif adalah hasil dari dua macam kekuatan yaitu
struktur medan kognitif dan motivasi internal individu.
Apabila seseorang belajar, maka dia akan tambah pengetahuannya.
Artinya tahu lebih banyak dari pada sebelum ia belajar. Ini berarti ruang
hidupnya lebih terdiferensiasi, lebih banyak subregion yang dimilikinya, yang
dihubungkan dengan jalur-jalur tertentu. Dengan kata lain orang tahu lebih
banyak tentang fakta-fakta dan saling berhubungan antara fakta-fakta itu.
Perubahan struktur pengetahuan (struktur kognitif) dapat terjadi karena
ulangan; situasi mungkin perlu diulang-ulang sebelum strukturnya berubah.
Akan tetapi yang penting bukanlah bahwa ulangan itu terjadi, melainkan
bahwa struktur kognitif itu berubah. Dengan pengaturan masalah (problem)
yang lebih baik, struktur mungkin dapat berubah dengan ulangan yang sangat
sedikit. Hal ini telah terbukti dalam ekserimen mengenai insight. Terlalu
banyak ulangan tidak menambah belajar; sebaliknya ulangan itu mungkin
istilah hadiah dan hukuman. Sebab apabila tujuan-tujuan yang akan kita capai
itu adalah intrinsik, maka kita lebih tepat menggunakan istilah berhasil atau
gagal daripada terminologi hadiah dan hukuman. Istilah hadiah dan hukuman
lebih dekat pada pendekatan nonpsikologis sedang istilah sukses dan gagal
merupakan kajian dalam pendekatan psikologis. Secara psikologis yang
penting memang adalah bagaimana yang dialami individu dalam menghadapi
suatu problem. Suatu pengalaman sukses haruslah dimengerti sesuai dengan
apa yang telah dikerjakan atau dicapai oleh seseorang (pelajar).
Misalnya seorang pelajar yang merasa sukses karena naik kelas dengan
nilai terbaik. Namun ada pula yang tetap merasa sukses karena ia naik kelas
walau tidak dengan nilai terbaik.
d)
oleh adanya energi dalam diri seseorang yang disebut energi psikis. Energi
psikis inilah yang dipergunakan untuk berbagai aktivitas seperti mengamati,
mengingat, berpikir dan sebagainya. Dalam keadaan sehari-hari, hanya sedikit
saja energi psikis yang dipergunakan dan sisanya tersimpan sebagai energi
cadangan. Apabila orang mendapat pengalaman sukses, maka akan terjadi
mobilisasi
energi
cadangan
sehingga
kemampuan
individu
untuk
hubungan
tersebut
jelas
dan
akhirnya
didapatkan
kemampuan
Selain itu dilatarbelakangi pula dengan teori dari Herman Ebbinghaus. Ebbinghaus
tertarik dengan bagaimana manusia menyimpan dan mengingat informasi. Penelitian
Ebbinghaus menggunakan silabel tanpa arti (misal: dkmdr, dfogb), sehingga dapat diketahui
proses "mengingat dan melupakan" dalam bentuk yang termurni. Dari penelitian ini,
Ebbinghaus mencoba untuk mengobservasi tentang acquisition (pemerolehan), storage
(penyimpanan) dan retrieval (pemanggilan kembali untuk digunakan) informasi yang tidak
memiliki arti atau asosiasi tertentu. Dengan menggunakan silabel tanpa arti, Ebbinghaus
berharap netralisasi efek-efek hasil belajar sebelumnya. Kesimpulan hasil penelitian
Ebbinghaus dapat diringkas dengan kasar dalam kurva tentang "melupakan" sebagai berikut:
1. BELAJAR BERSERI
Dalam belajar berseri, subyek diberi stimulus berseri (berurutan) dan kemudian
diisyaratkan untuk mengulangi (menyatakan kembali) apa yang telah diterima subyek
tersebut. Ada empat metode dalam belajar berseri, yaitu:
a. Metode Antisipasi
Metode antisipasi memerlukan presentasi secara berurutan suatu daftar yang
berupa beberapa stimulus (dapat berupa daftar beberapa "kata"). Pada saat presentasi
tersebut, subyek penelitian tidak diminta merespon. Kemudian setelah presentasi,
subyek dimintai menyatakan kembali daftar tersebut secara berurutan. Caranya adalah
pertama kali yang muncul adalah tanda asterisk atau bintang (sebagai tanda mulai),
kemudian subyek disuruh mengantisipasi dan menyatakan "kata" pertama yang akan
muncul, demikian seterusnya sampai "kata" yang terakhir. Penilaian didasarkan pada
benar tidaknya antisipasi subyek. Keberhasilan penyelesaian dari satu tugas belajar
berseri adalah bila satu percobaan atau lebih dengan keseluruhan "kata" diantisipasi
secara benar oleh subyek. Misal: didalam laboratorium, tugas berseri sering
ditampilkan dengan sebuah proyektor atau memory drum yang dapat berisi daftar
"kata" (Gambar 10).
Jika metode antisipasi digunakan dalam tugas berseri, daftar dimulai dengan
diberi tanda asterik atau bintang (untuk menunjukkan tanda mulai dan "kata" pertama
akan muncul). Dengan melihat jendela di drum dan sebelum drum berputar, subyek
diminta mengantisipasi dan merespon secara benar "kata" pertama. Kemudian drum
diputar, sehingga "kata" pertama muncul di jendela drum, sehingga dapat dinilai
apakah antisipasidan respon subyek tersebut benar atau salah. Demikian seterusnya
sampai pada "kata" yang terakhir.
b. Metode Serial Recall
Metode serial recall memerlukan cara presentasi yang sama dengan metode
antisipasi di atas. Dan subyek tidak memberikan respon selama presentasi
berlangsung. Hanya setelah presentasi selesai, secara berurutan, subyek diminta
merespon/melaporkan semua "kata" yang subyek pelajari saat presentasi, dan tanpa
melihat jendela drum. Misal: metode ini dapat kita jumpai pada seseorang yang
sedang berlatih menyanyi. Ia berusaha mengingat lirik lagu yang ia nyanyikan, tanpa
ada isyarat secara ekstemal sebagaimana ada dalam metode antisipasi.
c. Metode Presentasi Lengkap
Metode presentasi lengkap memerlukan cara presentasi yang berbeda dengan
dua metode di atas. Semua "kata" didalam daftar dipresentasikan secara serempak
kepada subyek penelitian, sehingga tidak memerlukan memory drum.Setelah selesai
presentasi,subyek diuji akuisisinya yaitu melaporkan seluruh "kata" di dalam daftar
tersebut.
d. Metode Free Recall
Metode free recall memerlukan cara presentasi yang-sarna dengan metode
antisipasi dan serial recal. Hanya setelah presentasi,tanpa berurutan dan bebas (dapat
dilaporkan semuanya, dapat pula hanya sebagian, dan sesuka hati subyek penelitian),
subyek diminta melaporkan daftar "kata" yang telah ia pelajari saat presentasi,dan
tanpa melihat drum.Misal: metode free recall ini, dapat kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu bila kita melakukan perjalanan ke beberapa kota. Sekembali dari
perjalanan, kita diharapkan menceritakan perjalanan tersebut secara bebas.
e. Tipe-Tipe Asosiasi
Satu cara untuk menganalisabelajar berseri adalah mempertimbangkan ada
tidaknya asosiasi (bonds atau koneksi) diantara item-item yang dipelajari (dapat
berupa "kata" atau yang lain). Analisa tersebut diharapkan untuk mengetahui tiap-tiap
item di dalam daftar yang dipelajari mungkin memiliki fungsi ganda, yaitu tidak
hanya mewakili respon yang dinyatakan, tetapi juga sebagai isyarat stimulus untuk
mempercepat munculnya respon yang lain. Ada tiga macam asosiasi yaitu:
1) Immediate Forward Association
Misalnnya terdapat satu daftar komposisi materi belajar: A - B - C - D - E - F,
immediate forward association akan terjadi antara materi belajar yang berdekatan
di depannya (maju ke depan) sesuai di dalam daftar: A - B, B -C, C -D, dan
sebagainya.
c. Manipulasi materi
Manipulasi materi belajar berseri dapat merubah bentuk dari kurva posisi
berseri, khususnya pada kelompok materi belajar. Respon yang ditunjukkan subyek
dengan adanya manipulasi ini dapat disebut clustering. Misalnya: suatu penelitian
tentang belajar, mempergunakan 36 materi belajar berseri yang dikelompokkan dalam
3 kelompok sehingga setiap kelompok berisikan 12 materi belajar berseri. Dalam
kurva nampak bahwa manipulasi materi menciptakan tiga miniatur kurva posisi
berseri dalam satu daftar keseluruhan.
Contoh khusus berkenaan dengan manipulasi materi, yang disebut efek von
Restorff (sesuai nama peneliti yang mempelajarinya). Efek ini dapat dilihat dengan
percobaan sebagai berikut: subyek diperhadapkan dengan daftar beberapa nama
barang, baik nama barang yang telah dikenal umum maupun nama barang yang tidak
terkenal. Urutan nama-nama barang tidak terlalu dipentingkan. Dari hasil percobaan
nampak bahwa subyek sedikit melakukan kesalahan untuk menyebutkan nama-nama
barang yang sudah dikenal dan sebaliknya sering melakukan kesalahan menyebutkan
nama-nama barang yang tidak terkenal. Hasil percobaan nampak seperti kurva
dibawah ini:
(1)
(2)
FOH,
ZOD,
(3)
(4)
(5)
XED,
KAH,
CAT,
(6)
(7)
(8)
MUQ,
VOR,
QUY
d. Pengaruh Pengalaman
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar berseri dipengaruhi oleh
urutan belajar atau pengalaman belajar sebelumnya. Misal: seseorang mudah sekali
mempelajari daftar urutan bulan-bulan dalam satu tahun: januari, pebruari, maret,
april, mei, juni, juli, agustus, september, oktober, nopember, desember. Karena ia
sudah memiliki pengalaman belajar sebelumnya berkenaan dengan hal tersebut.
e. Hipotesa Berantai
Hipotesa berantai adalah suatu usaha untuk menerangkan performan
yang.didapat dalam tugas-tugas berseri (berurutan). Hipotesa tersebut menyarankan
bahwa perilaku berurutan dapat dilihat sebagai rantai, yang mana masing-masing
perilaku saling berhubungan. Misal:
seseorang yang sedang belajar di Sekolah Dasar(SD), hasil belajar dari kelas
satu sampai kelas enam adalah saling berhubungan, yang dapat digambarkan sebagai
berikut:
3. KARAKTERISTIK MATERI
Karakteristik materi belajar verbal dapat mempengaruhi hasil belajar verbal.
Beberapa karakteristik materi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sangat Berarti
Sangat berarti merupakan karakteristik materi belajar lisan yang diukur dari
jumlah asosiasi rata-rata suatu perolehan unit verbal. Pengertian "sangat berarti"
adalah tidak sarna dengan "arti" (yang menunjukkan pada informasi yang
mendifinisikan unit verbal). Misal: kata "mama" memiliki karakteristik materi sangat
berarti bagi seorang anak dibandingkan kata "komputer" .
b. Nilai Asosiasi
Nilai asosiasi adalah presentasi responden tentang beberapa asosiasi dari unit
verbal khusus. Karakteristik materi nilai asosiasi memiliki kesamaan dengan
karakteristik materi sangat berarti.
c. Familiaritas
Karakteristik materi familiaritas adalah materi yang sudah familiar atau
dikenal oleh seseorang. Pada umumnya penilaian tentang familiaritas materi dibuat
dalam skala 1 sampai 7, dari mulai yang tidak familiar sampai sangat familiar.
d. Kemampuan Pengucapan
Penilaian kemampuan pengucapan materi belajar verbal merupakan penilaian
dari kemudahan pengucapan unit verbal. Penilaian tersebut menggunakan skala 1
sampai 7, dari materi yang tidak mampu diucapkan sampai sangat mampu diucapkan.
e. Imagery
Imagery merupakan karakteristik materi belajar verbal yang berupa mudah
tidaknya seseorang membuat gambaran mental tentang materi tersebut di dalam
dirinya. Berkenaan dengan imagery tersebut digunakan "conceptual-peg hypothesis"
(hipotesa taraf konseptual) yaitu dugaan bahwa seseorang membuat imajinasi (yang
berupa gambaran mental) atas stimulus yang diterimanya. Misal: hipotesis taraf
konseptual dapat digunakan untuk menduga bahwa pada umumnya pasangan kata:
"disck break" lebih sulit dipahami dari pada pasangan kata "coffee break". Alasannya
adalah kata "disck" lebih sulit dibayangkan dari pada kata "coffee".
f. Ketergantungan Rangkaian
Prinsip ketergantungan rangkaian didasarkan atas pengetahuan bahwa fonim,
huruf dan kata tergantung kepada rangkaiannya. Pada umumnya prediksi secara
statistik nampak bahwa bila lebih besar ketergantungan pada rangkaiannya maka
lebih mudah akuisisi (pemerolehan) dari unit lisan tersebut. Misal: dalam bahasa
Inggris, rangkaian hurufnya sangat ekslusif. Jika huruf "Q" yang dimunculkan, maka
dalam penyebutan selanjutnya diharapkan muncul huruf "R". Semen tara
Dari poin diatas dapat pemakalah ambil garis tengah bahwa beberapa teori belajar
kognitif diatas, meskipun sama-sama mengedepankan proses berpikir, tidak serta merta
dapat diaplikasikan pada konteks pembelajaran secara menyeluruh. Terlebih untuk
menyesuaikan teori belajar kognitif ini dengan kompleksitas proses dan sistem
pembelajaran sekarang maka harus benar-benar diperhatikan antara karakter masingmasing teori dan kemudian disesuaikan dengan tingkatan pendidikan maupun
karakteristik peserta didiknya.
Perbedaan antara psikologi kognitif dan psikologi behaviorisme antara lain:
Psikologi Behaviorisme
Berkaitan dengan kondisioning
dan proses belajar.
Mempelajari perilaku yang nyata
(overt)
Lebih mementingkan tingkah laku
2.
Psikologi Kognitif
Lebih banyak mempelajari pembentukan konsep,
proses, berpikir dan membangun pengetahuan.
Membicarakan konsep-konsep mentalistik yaitu
proses kejiwaan yang tidak selalu nampak dari luar.
Lebih mementingkan tingkah laku molar (tingkah
laku keseluruhan)
Berpendapat bahwa tanpa ada kebutuhnankebutuhan tertentu, proses belajar dapat tetap
terjadi.
3.
terjadi secara simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
terjadi jika pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif
yang telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi terjadi jika struktur
kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi/di kode ulang disesuaikan
dengan informasi yang baru diterima.Dalam teori perkembangan kognitif ini Piaget
juga menekankan pentingnya penyeimbangan (equilibrasi) agar seseorang dapat terus
mengembangkan
dan
menambah
pengetahuan
sekaligus
menjaga
stabilitas
menyeluruh. Terlebih untuk menyesuaikan teori belajar kognitif ini dengan kompleksitas
proses dan sistem pembelajaran sekarang maka harus benar-benar diperhatikan antara
karakter masing-masing teori dan kemudian disesuaikan dengan tingkatan pendidikan
maupun karakteristik peserta didiknya.
E. IMPLIKASI TEORI KOGNITIF TERHADAP PENDIDIKAN SECARA UMUM
1. Implikasi Teori Belajar Edward C. Tolman dalam Proses Pembelajaran
a. Belajar selalu purposif dan tujuan-diarahkan.
b. Belajar sering melibatkan penggunaan faktor-faktor lingkungan untuk mencapai
tujuan (misalnya, berarti-berakhir-analisis)
c. Organisme akan memilih jalur terpendek atau termudah untuk mencapai tujuan.
2. Implikasi Teori Belajar Gestalt dalam Proses Pembelajaran
a. Pengalaman tilikan (insight)
Bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses
pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu
kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
Contoh: Bila menganalisis sesuatu tentu tidak hanya satu penyebabnya namun dilihat
dari berbagai unsur yang saling berkaitan dan memiliki sebab akibat. Misalnya para
pelaku penyimpangan sosial, mereka melakukan itu tentu tidak semata-mata mereka
ingin melakukan penyimpangan tersebut, tetapi ada berbagai sebab yang membuat
mereka melakukan hal tersebut dan tentunya memiliki keterkaitan antara satu dengan
yang lain.
b. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning)
Kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan
dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin
efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan
masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif
pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna
yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya. Contoh: Masih pada perilaku
menyimpang, makin banyak kita tahu apa yang menyebabkannya melakukan
perbuatan itu tentu kita menjadi memahami bahwa tidak semua pelaku menyimpang
menginginkan ia melakukan hal tersebut. Dan setelah kita memahami berbagai
penyebabnya, kita dapat mencari pemecahan masalahnya yang dikaitkan dengan
berbagai aspek secara keseluruhan.
c. Perilaku bertujuan (pusposive behavior)
Bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat
hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang
ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal
tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan
sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami
tujuannya. Contoh: Dalam setiap pembelajaran. Sebelum dimulainya proses belajar
mengajar sebaiknya diberitahukan terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan
pembelajaran tersebut. Agar bukan hanya guru yang memahami apa yang ia ajarkan
namun juga siswa mengerti apa yang ia pelajari.
d. Prinsip ruang hidup (life space)
Perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh
karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan
kondisi lingkungan kehidupan peserta didik. Contoh: Dalam berbagai mata pelajaran,
apalagi di bidang ilmu sosial, diharapkan siswanya bukan hanya mampu memahami
teori tetapi juga menerapkan dalam kehidupan sehari-hari apa yang ia pelajari.
e. Transfer dalam Belajar
Yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke
situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan
melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk
kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat.
Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam
pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi).
Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip
pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan
dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya
dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi
yang diajarkannya. Contoh: Misalnya pada suatu studi kasus, para siswa tentu akan
memahami sebab akibat yang terjadi dalam masalah yang mereka hadapi, namun
terkadang apabila diberikan masalah lain siswa kebingungan untuk mencari
penyelesaiannya. Oleh karena itu, diharapkan siswa dapat memahami unsur-unsur
pokok dalam setiap yang mereka pelajari, agar apabila terdapat kasus yang berbeda ia
dapat menyelesaikannya juga.
3. Implikasi Teori Kognitivisme dalam Dunia Pendidikan
Adapun Impilikasi Teori Kognitivisme dalam dunia pendidikan yang lebih
dispesifikasikan dalam Pembelajaran sesuai dengan Teori yang telah dikemukan diatas
sebagai berikut:
a. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu
guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak;
Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaikbaiknya; Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak
asing; Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya. Di dalam
kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan
teman-temanya.
b. Implikasi Teori Bruner dalam Proses Pembelajaran :
Menghadapkan anak pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu
masalah; anak akan berusaha membandingkan realita di luar dirinya dengan model
mental yang telah dimilikinya; dan dengan pengalamannya anak akan mencoba
menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka
untuk mencapai keseimbangan di dalam benaknya.
c. Impilkasi Teori Bermakna Ausubel
Implikasinya dalam pembelajaran adalah seorang pendidik,, mereka harus
dapat memahami bagaimana cara belajar siswa yang baik, sebab mereka para siswa
tidak akan dapat memahami bahasa bila mereka tidak mampu mencerna dari apa yang
mereka dengar ataupun mereka tangkap.
Dan dari ketiga macam teori diatas jelas masing-masing mempunya implikasi
yang berbeda, namun secara umum teori kognitivisme lebih mengarah pada bagaimana
memahami struktur kognitif siswa.
BAB III
KESIMPULAN
A. EDWARD C. TOLMAN
Teori belajar Tolman dapat dikatakan sebagai campuran antara Teori Gestalt dan
Behaviorisme. Sikapnya yang senang terhadap teori Gestalt tidaklah menghalangi
perhatiannya terhadap behaviorisme. Ketidaksepakatannya dengan behaviorisme adalah pada
soal unit perilaku yang mesti diteliti. Tolman menganggap bahwa unit perilaku sebenarnya
tidak bisa dipelajari sebagai unsure-unsur yang terpisah, inilah yang dimaksudkan Tolman
dengan perilaku molar.
Teori Tolman disebut sebagai purposive behaviorism (behaviorisme purposif) sebab
ia berusaha menjelaskan perilaku yang diarahkan untuk mendapatkan tujuanatau dengan kata
lain mengkaji perilaku dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak dicapai melalui perilaku
itu. Dan hal inilah yang menjadi karakteristik perilaku molar.
Beberapa asumsi-asumsi umum yang dikemukakan Tolman dalam proses belajar,
antara lain; (1) pengertian belajar, menurut Tolman, belajar adalah mengenal tentang situasi
atau dengan kata lain proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan, (2)
konvirmasi versus reinforcement, Tolman menganggap bahwa reinforcemen yang ada dalam
behavioris itu sebagai konfirmasi, (3) vicarious trial dan error, yaitu kegiatan berhenti
sejenak seolah-olah berfikir, (4) performance dapat dimaksudkan sebagai perwujudan belajar
ke dalam prilaku, (5) Latent learning (pembelajaran laten) adalah pembelajaran yang tidak
langsung dalam kinerja seseorang. (6) Ekspektasi penguatan, Tolman memprediksikan jika
reinforcer dirubah, prilaku akan terganggu, karena reinforcement expectancy merupakan
bagian dari apa yang diharapkan.
Dalam artikel There is more than one kind of learning, Tolman mengusulkan enam
jenis belajar. Yaitu, cathexes, keyakinan ekuivalensi, ekspektasi medan, mode medan kognisi,
diskriminasi dorongan, dan pola motor.
DAFTAR PUSTAKA
Farnham-Diggory, Sylvia.1992.Cognitive Processes in Education 2nd Edition.New York: Harper
Collins.
Hergenhann, B.R. & Matthew H. Olson. 2010. Theories of Learning. terjemah: Triwibowo B.S.,
Jakarta: Kencana.
Hill, Winfred F. 2011.Theories of Learning, terjemah: M. Khozim. Bandung; Nusa Media.
Mulyati. 2005. Psikologi Belajar. Surakarta: Andi
Passer, Michael W. 2007.Psychology: The Science of Mind and Behavior. New York: McGrawHill.
Santrock, J. W. 2008. Educational Psycology. New York. Ed. 3. Terj. Diana Angelica. 2009.
Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1980.Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi.
Jakarta: Bulan Bintang.
Stenberg, Robert J. 2008. Psikologi Kognitif Edisi Keempat. Yogyakarta. Pustaka pelajar.
Suryabrata, S. (2012). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Wade, Carol & Carol Tavris.2007.Psikologi. Jilid I, Terjemah: Benedictine Widyasinta.Jakarta:
Erlangga.