Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

HERNIA INGUINALIS LATERALIS INCARSERATA

PEMBIMBING :
dr. Sabarno P, Sp. B
OLEH :
Michael Carrey
Melissa Dharmawan
Dicky Stefanus
Adrian Prasetio

(2012-061-040)
(2012-061-041)
(2012-061-045)
(2013-061-098)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THTKL


PERIODE 01 DESEMBER 2014 10 JANUARI 2015
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
RUMAH SAKIT PANTI RAPIH, JOGJAKARTA

BAB 1
STATUS PASIEN
1.1

Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Alamat

: Tn. E
: 59 tahun.
: Pria
: Purnawirawan
: Jl. Tengiri 10/7 Perum Mkinomartani Ngaglik,
Sleman, Jogjakarta.
Tanggal Pemeriksaan : 26 Februari 2015
1

1.2

Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis.
Keluhan utama
: Timbul benjolan di lipat paha kanan sejak 3
Keluhan tambahan

minggu yang lalu.


:-

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang dengan keluhan muncul benjolan pada lipat paha
sebelah kanan sejak tiga minggu yang lalu. Benjolan awalnya muncul
sebesar biji salak, makin lama makin membesar hingga seperti bola pingpong. Benjolan muncul terutama ketika pasien batuk dan mengejan, masih
bisa dimasukkan kembali sampai 1 minggu SMRS benjolan tidak bisa
dimasukkan kembali. Benjolan berbentuk bulat. Pasien tidak merasakan
nyeri pada benjolan tersebut. Riwayat demam disangkal. Keluhan pada lipat
paha kanan ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat hernia inguinalis medialis sinistra pada tahun 1999.

Dilakukan herniotomi
Riwayat hemorroid grade III pada tahun 2006. Dilakukan
hemorrhoidectomy.
Riwayat asma, berobat dengan inhaler berisi salmeterol.
Riwayat darah tinggi dan penyakit gula disangkal.

Riwayat penyakit keluarga :

Riwayat penyakit serupa di keluarga disangkal.

Riwayat alergi disangkal.

Riwayat asma disangkal.

Riwayat darah tinggi dan penyakit gula disangkal.


Riwayat kebiasaan :

Riwayat terpapar debu diakui.


Riwayat pengobatan
:
Tiga bulan yang lalu pasien datang berobat ke dokter umum dengan
keluhan benjolan dileher kanan, dari dokter umum tidak diberi pengobatan
karena dianggap tidak ada masalah. Satu bulan kemudian, pasien datang ke
RS. Condong Catur dengan keluhan yang sama, lalu di rujuk ke RS. Panti
Rapih. Kemudian direncanakan dilakukan CT Scan oleh dokter spesialis
THT, terdapat kecurigaan adanya keganasan nasofaring, lalu dirujuk ke
RSUP Dr. Sardjito

untuk dilakukan biopsi nasofaring dengan bius umum,


2

dengan hasil radang kronis. Satu bulan kemudian dilakukan biopsi ulang
nasofaring di RS Panti Rapih, dengan hasil jaringan nekrose dan abses pada
nasofaring kiri dan radang kronis pada nasofaring kanan, diberikan
pengobatan Cefadroxil 2x1 dan Kalium Diklofenak 2x1. Kemudian
dilakukan biopsi lagi pada benjolan di leher kanan di RS. Panti Rapih, dan
hasilnya menunjukkan adanya keganasan.
1.3

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
: Tampak tenang.
Kesadaran
: Compos mentis.
Tanda tanda vital :
Tekanan darah
: 134/78 mmHg.
Laju nadi
: 78x/menit.
Laju pernafasan
: 22x/menit.
Suhu
: 36,7oC.
Kepala
: normocephali, tidak ada deformitas
Mata
: konjungtiva anemis /, sklera ikterik /,
pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+.
Hidung
: tidak ada secret, tidak ada deviasi
Telinga
: tidak diperiksa
Mulut
: mukosa oral lembah, dinding faring tidak hiperemis
Leher
: tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Thoraks Paru
Inspeksi
: gerakan pernapasan simetris
Palpasi
: gerakan pernapasan simetris, fremitus
Perkusi
: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi
:n

1.4

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 24/11/2014

Pemeriksaaan
Hematologi
Hemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
Hitung jenis leukosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Indeks eritrosit
MCV
MCH

Hasil

Keterangan

13,4 g/dl
6.400/l
5,13 juta/ l
39,9%
333 ribu/l

Normal
Normal
Normal
Normal
Normal

3,6%
0,5%
61,6%
24,4%
9,9%

Normal
(N: 1 2)
Normal
Normal
Normal

77,8 fl
26,1 pg

(N: 80 96)
(N: 27 31)

MCHC
33,6 g/dl
RDW-CV
13%
Golongan darah
O
Rhesus
+
Protrombin time
Kontrol
14,2 s
Hasil
13,2 s
APTT
Kontrol
31,8 s
Hasil
33,6 s
Fungsi hati
Albumin
4,97 g/dl
SGOT
20,4 U/l
SGPT
38,1 U/l
Fungsi ginjal
Ureum
14 mg/dl
Kreatinin
0,75 mg/dl
Glukosa darah sewaktu
86 mg/dl
Elektrolit
Natrium
141 mmol/l
Kalium
3,8 mmol/l
Klorida
106 mmol/l
Kalsium total
9,2 mg/dl
Magnesium
2,37 mg/dl
Hepatitis
HbsAg
0.00 (Non reaktif)

Patologi Anatomi
Tanggal 29/10/2014
Biopsi nasofaring di RSUP Dr. Sardjito
Kesimpulan:
Nasofaring kanan dan kiri: Radang kronik.

Normal
Normal

Normal
Normal
Normal
Normal
(N: 3,40 4,80)
Normal
(N: 0 31)
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal

Tanggal 26/11/2014
Biopsi nasofaring di RS. Panti Rapih
Kesimpulan:
Nasofaring kiri
: Jaringan nekrose dan radang/abses.
Nasofaring kanan : Radang kronis.
NB: Apakah biopsi belum mengenai tumor?
Tanggal 02/12/2014
Biopsi nodul di leher kanan di RS. Panti Rapih
Aspirasi Jarum Halus
Limfonodi leher kanan
: Didapatkan sel ganas.
Pendapat
: Metastasis anaplastik karsinoma.


Foto CT Scan
Tanggal 16/10/2014
Foto CT Scan Nasofaring di RS. Panti Rapih

Interpretasi hasil CT Scan Nasofaring:


o
Tampak massa kebulatan pada daerah nasofaring dekstra, ukuran sekitar 4cm, rongga nasofaring tampak simetris, sempit.
o
Tulang basis kranii sisi kanan tampak tipis dibanding kiri, suspek destruksi.
Kesan:
o
Tumor nasofaring kanan, ukuran sekitar 4cm, curiga erosi tulang basis kranii kanan.

1.5

Resume
Pasien perempuan, usia 55 tahun datang ke poli THT dengan
keluhan adanya benjolan di leher kanan sejak 3 bulan yang lalu. Tidak
dirasakan nyeri dari benjolan tersebut. Keluhan lainnya yaitu hidung
tersumbat, pada awalnya sisi kanan, lalu merasa tersumbat pada kedua
hidung.
Riwayat penyakit sebelumnya yaitu tumor jinak pada payudara kiri
dan mioma uteri sejak 6 tahun yang lalu, dan dilakukan operasi di tahun
yang sama. Riwayat penyakit keluarga yaitu kakak dan adik pasien
mengalami tumor jinak di perut.
Riwayat pengobatan, diawali dengan berobat ke dokter umum,
dinyatakan tidak ada masalah. Lalu, berobat dengan keluhan yang sama ke
RS. Condong Catur, dan di rujuk ke RS. Panti Rapih. Direncanakan untuk
CT Scan, didapatkan gambaran massa di nasofaring, kemudian dilakukan
biopsi nasofaring di RSUP Dr. Sardjito, dengan hasil radang kronis. Biopsi
ulang di RS. Panti Rapih, dengan hasil jaringan nekrose dan abses pada
nasofaring kiri dan radang kronis pada nasofaring kanan, terakhir dilakukan
biopsi pada benjolan di leher kanan dengan hasil adanya keganasan.
Hasil pemeriksaan fisik keadaan umum tampak tenang, kesadaran
kompos mentis, tanda tanda vital dan lainnya dalam batas normal. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior: massa . Pemeriksaan fisik lainnya dalam
batas normal.
Hasil pemeriksaan penunjang foto CT Scan dengan kesan tumor
nasofaring kanan dengan ukuran 4cm, curiga erosi tulang basis kranii kanan
dan hasil biopsi nasofaring RSUP Dr. Sardjito (radang kronik pada
nasofaring) dan RS. Panti Rapih (jaringan nekrose dan radang/abses di
nasofaring kiri dan radang kronis di nasofaring kanan), serta biopsi nodul di
leher kanan memberikan hasil metastasis anaplastik karsinoma.

1.6

Diagnosa Kerja
Suspek karsinoma nasofaring stadium.

1.7

Diagnosa Banding

1.8

Infeksi saluran nafas atas.

Rhinitis alergi.

Tatalaksana
9

1.9

1.8.1

Preventif

Menghindari asap rokok.

1.8.2

Konservatif

Istirahat.

1.8.3

Medikamentosa

1.8.4

Tindakan

Radioterapi.

Prognosis

Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: bonam.
: bonam.
: dubia ad bonam (bila tidak dilakukan

pembedahan sinus/FESS).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Anatomi dan Fisiologi


2.1.1

Anatomi Hidung
Hidung merupakan bagian dari saluran pernapasan yang terletak

superior dari palatum durum. Hidung memiliki fungsi sebagai organ


penghidu dan berperan dalam menghangatkan, humidifikasi, menyaring,
dan membersihkan udara yang masuk ke dalam sistem pernapasan. 1 Hidung
terdiri dari 2 bagian utama yaitu hidung eksterna dan kavum nasi, serta
terdiri dari kavum nasi dekstra dan sinistra. Pada penampakan luar, hidung
berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu
pangkal hidung, dorsum nasi, puncak hidung, alar nasi, kolumnela, dan
lubang hidung. Satu pertiga bagian atas dibentuk oleh persatuan tulang os.
nasal, prosesus frontalis os. maksila, serta prosesus nasalis os. frontal dan
2/3 di bawahnya dibentuk oleh kartilago. Kartilago terdiri dari sepasang

10

kartilago lateral, kartilago septum nasi, kartilago alar mayor, dan beberapa
pasang kartilago minor.1,2
Kavum nasi dipisahkan oleh septum nasi, yang membagi kavum
nasi menjadi dua ruangan. Kavum nasi terdiri dari bagian nares anterior dan
nares posterior atau koana yang menghubungkan hidung dengan nasofaring.
Bagian depan dari kavum nasi adalah vestibulum yang dilapisi oleh kulit
yang mengandung banyak kelenjar sebasea dan vibrise, sehingga dapat
menyaring partikel besar yang masuk ke hidung.1
Bagian medial dari kavum nasi adalah septum nasi dan bagian
lateralnya adalah konka. Konka merupakan bagian dari tulang yang
menonjol dan dilapisi oleh mukosa. Terdapat 4 buah konka yaitu konka
inferior, medial, superior, dan suprema. Konka inferior merupakan konka
terbesar, sedangkan konka suprema akan rudimenter. Di antara konka
tersebut terdapat ruangan sempit yang disebut meatus. Meatus superior
terletak di antara konka superior dan media, merupakan muara dari sinus
ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis. Meatus media merupakan
muara dari sinus frontalis, sinus ethmoidal anterior, dan sinus frontalis.
Meatus inferior merupakan muara dari duktus nasolakrimal dan terletak di
antara konka inferior dan dasar hidung.1,3

Gambar 2.1 Anatomi hidung

11

Bagian luar dari hidung dan vestibulum dilapisi epitel gepeng


berlapis dengan lapisan tanduk, sedangkan mukosa hidung dibagi menjadi
mukosa respiratorik dan mukosa olfaktorius. Mukosa respiratorius berwarna
merah muda pada sebagian besar rongga hidung. Epitel mukosa adalah torak
berlapis semu, bersilia, dan memiliki sel goblet yang menghasilkan mukus
yang dapat menahan partikel kecil dan memiliki densitas lebih besar
terhadap mediator inflamasi. Sistem transpor mukosilier berfungsi sebagai
pertahanan tubuh, silia bergerak secara sinkron menuju satu arah yaitu ke
arah nasofaring. Lamina propria dari mukosa nasal khususnya pada konka
inferior memiliki jaringan vena erektil atau disebut dengan sinusoid. Peran
sinusoid adalah menghangatkan udara inspirasi dan berperan dalam kongesti
nasal.1,3
Berbeda dengan mukosa respiratorik, mukosa olfaktori atau
penghidu terdiri dari epitel toraks tanpa silia ataupun sel goblet. Mukosa
olfaktori berwarna coklat kekuningan dan terdapat pada 1/3 atas septum.
Epitel terdiri dari sel sensorik bipolar, memiliki vili-vili kecil (mikrovili), sel
sustentakuler, sel basal, dan kelenjar olfaktorius di lamina propria. Sel
sensorik bipolar memiliki proyeksi dendrit pada epitel dan akson pada
bagian basal, kemudian menembus lempengan kribiformis masuk ke dalam
rongga otak. Kumpulan akson tersebut bergabung menjadi nervus
olfaktorius dan mencapai bulbus olfaktori yang merupakan korteks olfaktori
primer.1,3

12

Gambar 2.2 Nervus olfaktorius


2.1.2

Anatomi Sinus Paranasal


Sinus frontalis terletak pada tulang frontal dengan bagian dasar

sinus membentuk bagian medial superior ruang orbital. Bagian belakang


sinus frontalis berbatas dengan fossa kranial anterior.4
Sinus sphenoid terletak superior dari nasofaring dan terletak di
tengah tengkorak. Bagian lateral sinus sphenoid berhubungan dengan sinus
kavernous, arteri karotis interna, kanalis optikus dan nervus kranialis II-VI.
Volume maksimal dari sinus frontalis dan sinus sphenoidalis dicapai pada
usia 10 tahun.4
Sinus ethmoidalis atau disebut juga sel ethmoid terletak di bagian
media dan superior dari sinus maksilaris. Sinus ethmoidalis terdiri dari
kavum kavum yang dipisahkan oleh tulang. Penyebaran sinus ethmoidalis
mulai dari posterior konka media sampai dengan sinus sphenoidalis. Lamina
papyracea membentuk tulang di lateral sinus ethmoid yang memisahkan
sinus dengan orbita. Pada bagian superior dari lempengan kribiformis dan
tulang ethmoid memisahkan sinus dengan fossa kranialis anterior. Pada
bagian posterior dari sinus ethmoid terdapat nervus optikus.4
Sinus maksilaris berbatasan dengan lateral kavum nasi. Dasar dari
orbit membentuk bagian superior dari sinus maksilaris. Bagian posterior
dari sinus maksilaris terdapat fossa pterygopalatine yang dilewati oleh arteri
maksilaris, cabang nervus trigeminal dan sistem saraf otonom. Dasar dari
sinus maksilaris berdekatan dengan akar dari gigi premolar 2 dan molar 1
yang berpotensi menjadi jalur penyebaran infeksi.4

Gambar 2.3 Sinus paranasal


13

2.1.3

Anatomi Unit Osteomeatal


Unit Osteomeatal adalah area di lateral kavum nasi yang

merupakan muara dari ostium sinus frontalis, ethmoidalis dan maksilaris.


Batas lateral dari unit osteomeatal adalah lamina papyracea, dengan batas
medial adalah konka media. Unit osteomeatal terdiri dari prosesus uncinatus
yang merupakan projeksi jaringan ikat tipis pada lateral kavum nasi
dibelakang batas anterior konka media. Semilunar hiatus adalah area antara
prosesus uncinatus dengan sel ethmoid. Kelainan dalam rongga hidung akan
mempengaruhi unit osteomeatal dan akan menyebabkan kelainan sesuai
dengan letak gangguan tersebut.4

2.1.4

Gambar 2.4 Kompleks osteomeatal


Fungsi Sinus Paranasal5
Sinus Paranasal merupakan kavum kosong yang berisi udara dan

dilapisi dengan mukosa respiratorik. Fungsi dari sinus paranasal belum


diketahui secara pasti. Meskipun demikian, terdapat beberapa teori yang
mengemukakan bahwa sinus paranasal memiliki fungsi sebagai berikut:
o
Pengatur kondisi udara,
o
Penahan suhu,
o
Membantu keseimbangan dan meredam benturan kepala,
o
Membantu resonansi suara,
o
Peredam perubahan tekanan udara.
Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.
2.1.5

Fisiologi Hidung5
Fungsi hidung adalah sebagai jalan napas, alat pengatur kondisi

udara, penyaring udara, sebagai indera penghidu, resonansi suara, refleks


nasal dan turut membantu proses bicara.
14

Jalan Napas
Pada inspirasi udara masuk melalui nares anterior, lalu
naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke
arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan
atau arkus. Pada ekspirasi udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan
tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan
melalui nares anterior dan sebagian lain akan kembali ke belakang
dan membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari

nasofaring.
Pengatur Kondisi Udara
Hidung mempersiapkan udara yang akan masuk ke paru
paru dengan cara mengatur suhu dan kelembapan. Kelembapan
udara diatur oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir
jenuh oleh uap air sehingga penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan berlaku sebaliknya. Fungsi
pengaturan suhu dimungkinkan dengan banyaknya pembuluh darah
di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang

luas.
Penyaring dan Pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi
dari debu dari bakteri dan dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada
vestibulum nasi dan palut lendir (mucosal blanket). Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel partikel yang
besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan
dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain adalah enzim

anti bakteri yaitu lysozyme.


Indera Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indera penghidu dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka

superior, dan sepertiga atas septum.


Resonansi Suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika
berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan
resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau

(rinolalia).
Proses Bicara
15

Hidung membantu proses pembentukan kata kata. Kata


dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan
konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung
o

terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.


Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor
berhubungan

dengan

saluran

cerna,

refleks

kardiovaskuler,

yang
dan

pernapasan. Misalnya iritasi mukosa hidung akan menyebabkan


refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.
2.2

Definisi6

2.3

Faktor RisikoA

2.4

Klasifikasi2,6

2.5

Etiologi1,2,6

2.6

Patofisiologi6

2.7

Diagnosis dan Diagnosis BandingA,B


2.7.1

Manifestasi Klinis
Jika dibandingkan dengan jenis kanker kepala leher lainnya,

karsinoma nasofaring biasanya menyerang pasien usia muda. Pasien yang


mengidap karsinoma nasofaring akan menunjukkan satu atau lebih gejala
dari 4 kategori berikut; lokasi tumor primer, infiltrasi ke struktur sekitar
nasofaring, atau metastasis ke nodus limfatikus leher.
Pada umumnya semua pasien dengan pasien dengan kanker
nasofaring menunjukkan gejala saat didiagnosis. Hanya kurang dari 1%
16

pasien karsinoma nasofaring yang tidak bergejala dan didiagnosis secara


tidak disengaja. Hal tersebut terjadi karena pemeriksaan radiologis
dilakukan atas indikasi penyakit lain atau abnormalitas serologi EBV yang
terdeteksi saat skrining kesehatan. Sekitar pasien karsinoma nasofaring
berjenis kelamin laki laki. Lebih dari 80% didiagnosis antara usia 30 dan
60 tahun dengan lebih dari 50% didiagnosa antara usia 30 dan 50 tahun.
Proporsi pasien dengan karsinoma nasofaring didiagnosa dalam usia relatif
muda dan memiliki dampak sosioekonomi terhadap pasien dan keluarganya.
Gejala paling umum dari karsinoma nasofaring adalah adanya
benjolan dileher. Sekitar 60% pasien menunjukkan gejala benjolan dileher.
Benjolan dileher ini disebabkan oleh metastasis ke nodul limfatik servikal.
Nodul metastasis biasanya terletak di leher bagian superior. Metastasis
nodul pertama terletak di nodul retrofaring. Nodul retrofaring berukuran
besar dan dapat terlihat melalui pemeriksaan fisik seperti nodul yang
membengkak di dinding posterior faring. Biasanya pasien dengan karsinoma
nasofaring menunjukkan adanya pembengkakan parotis karena metastasis
nodul limfatik parotis. Metastasis nodul karsinoma nasofaring biasanya
berbatas tegas. Nodul ini akan membesar, kemudian membentuk nekrosis
ditengahnya, diikuti dengan pembentukan abses. Di wilayah endemik
seperti Cina, Hong kong, dan Singapura, laki laki dewasa China dengan
nodul berukuran besar dan bilateral biasanya mengarah pada karsinoma
nasofaring atau limfoma. Walaupun 60% pasien karsinoma nasofaring
menunjukkan gejala benjolan di leher karena metastasis, paling tidak 80%
kasus karsinoma nasofaring akan diklasifikasikan sebagai N1. Hal ini
dikarenakan, walaupun pasien karsinoma nasofaring tidak teraba nodul,
gambaran radiologis akan menunjukkan adanya metastasis paling tidak pada
20% kasus.

17

Gambar 2.1 Gambaran klinis pasien dengan karsinoma nasofaring


Adanya massa tumor di nasofaring mengawali munculnya gejala
sumbatan hidung dan keluarnya cairan dari hidung. Apabila tumor
berukuran kecil maka akan terjadi sumbatan unilateral, seiring dengan
pembesaran tumor akan menyebabkan sumbatan bersifat bilateral. Ketika
tumor

mengalami

ulserasi

maka

gejala

epistaksis

akan

muncul.

Perdarahannya biasa sedikit dan sering menjadi gambaran post nasal drip,
terutama dipagi hari.
Tumor dalam ukuran besar di nasofaring dengan atau tanpa
penyebaran posterolateral ke rongga paranasofaringeal sering berkaitan
dengan disfungsi tuba eustasius. Hal ini mengawali adanya pengumpulan
cairan di telinga tengah dan pasien akan mengalami tuli konduktif unilateral
dan gejala otologi lainnya seperti otalgia dan tinitus. Ketika pasien dewasa
dari negara China menunjukkan gambaran otitis media serosa, ahli THT
seharusnya

mempertimbangkan

kemungkinan

terjadinya

karsinoma

nasofaring.
Adanya nyeri kepala persisten umum terjadi pada pasien dengan
perluasan ke intrakranial atau clival erosion. Pasien dengan dermatomiosis
memiliki risiko tinggi berkembang menjadi kanker dan harus sering
dilakukan skrining karena sekitar 10% pasien tersebut akan menderita
kanker.
18

Ketika tumor primer tumbuh ke arah superior untuk menginfiltrasi


tulang tengkorak, pasien akan mengeluhkan nyeri kepala. Ketika
penyebaran tumor ke arah atas mempengaruhi sinus kavernosa dan dinding
lateral, nervus kranialis III, IV, dan VI akan menyebabkan pasien
mengeluhkan adanya diplopia. Ketika penyebaran tumor melibatkan
foramen ovale, nervus kranialis V akan terpengaruh dan gejala yang muncul
berupa nyeri wajah dan mati rasa. Keterlibatan saraf kranial pada karsinoma
nasofaring sekitar 13 30% tergantung stadium penyakitnya.

A.

B.

Gambar 2.1 Foto A menunjukkan pasien dengan paralisis muskulus rektus lateralis
kanan karena keterlibatan saraf abdusen kanan yang disebabkan oleh karsinoma
nasofaring dan Foto B menunjukkan pasien dengan pembesaran nodul limfatikus
servikal atas dari sisi lateral.A
Gambaran metastasis karsinoma nasofaring ke nodul limfatik
servikal, gejala yang paling sering muncul adalah massa dileher yang tidak
nyeri, sering terlihat di leher bagian atas. Karena struktur nasofaring ada
ditengah, sering pula timbulnya nodul limfatik servikal bilateral.
Pasien dengan gejala metastasis jarang terjadi. Lokasi metastasis
umumnya di vertebra, hati dan paru paru.
Dikarenakan gejala di hidung dan telinga tidak spesifik dan nodul
limfatik servikal yang tidak nyeri, mayoritas pasien dengan karsinoma
19

nasofaring didiagnosa saat sudah mencapai stadium tinggi. Hasil analisis


penelitian retrospektif pada 4.768 pasien menunjukkan gejala klinis berupa
massa leher sebanyak 76%, gejala di hidung sebanyak 73%, gejala di telinga
sebanyak 62%, dan kelumpuhan saraf kranial sebanyak 20%. Kebanyakan
laporan menyebutkan, rasio antara laki laki dibandingkan dengan
perempuan adalah 3:1, dan usianya sekitar 50 tahun.
2.7.2

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan untuk pasien dengan karsinoma nasofaring biasanya

menunjukkan adanya massa eksofitik yang menempati seluruh rongga


postnasal. Biasanya massa tersebut mengalami ulserasi dan mengalami
perdarahan. Bagaimanapun, sekitar 10% lesi pasien karsinoma nasofaring
terletak di submukosa. Pada kasus ini permukaan mukosa nasofaring terlihat
normal.
Ketika pasien dengan gejala karsinoma nasofaring, seharusnya
mereka dievaluasi secara klinis dengan pemeriksaan fisik untuk pasien
dengan karsinoma nasofaring, seperti adanya nodul limfatik di leher, cairan
di telinga tengah, dan keterlibatan saraf kranial. Pemeriksaan tidak langsung
di rongga postnasal harus menggunakan cermin, pada beberapa pasien,
variasi anatomi nasofaring menghalangi pemeriksaan di daerah tersebut.
Pemeriksaan lain berupa perkiraan kadar antibodi virus Epstein Barr,
gambaran radiologis, pemeriksaan endoskopi nasofaring dan biopsi.
2.7.3

Pemeriksaan Penunjang

2.7.3.1 Serologi
Virus Epstein Barr memiliki berbagai bentuk. Virus ini dapat
menyebabkan mononucleosis infeksiosa dan berkaitan dengan limfoma
Burkitt dan karsinoma nasofaring. Virus Epstein Barr termasuk dalam
keluarga virus Herpes. Pasien yang menderita karsinoma nasofaring,
antibodi immunoglobulin A (IgA), respons terhadap antigen dini, dan viral
capsid antigen (VCA) dapat menunjukkan nilai diagnostik yang berarti.
Studi mengenai serologi EBV untuk diagnosis dini karsinoma
nasofaring ditemukan pada tahun 1980. Pada studi meta analisis terkini

20

menunjukkan IgA anti VCA meningkat pada kasus karsinoma nasofaring


memiliki sensitifitas sebesar 91% dan spesifisitasnya sebesar 92%.
Saat ini, DNA EBV dapat dideteksi dengan PCR, dan dapat
dievaluasi dengan penanda tumor. Peningkatan DNA EBV ditemukan di
darah selama fase awal radioterapi, karena virus DNA dilepaskan di
sirkulasi setelah sel mati. Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan
dengan pemeriksaan titer antibodi EBV dalam mendiagnosis karsinoma
nasofaring. Jumlah DNA EBV dalam plasma bebas menunjukkan hubungan
dengan stadium penyakit, dan pemeriksaan ini cukup dapat dipercaya dalam
mendeteksi penyebaran kanker. Jumlah kopi DNA EBV yang dideteksi
sebelum dan sesudah terapi berkaitan dengan prognosis. Pemeriksaan ini
juga digunakan dalam memonitor rekurensi penyakit yang telah diterapi.
2.7.3.2 Gambaran Radiologis
Pemeriksaan klinis bersamaan dengan pemeriksaan endoskopi
dapat memberikan informasi yang bermakna mengenai penyebaran tumor.
Prosedur ini tidak dapat memberikan gambaran tiga dimensi mengenai
pertumbuhan tumor, dan penyebaran ke tempat yang lebih dalam seperti
adanya erosi dasar tengkorak dan penyebaran intrakranial. Gambaran
tersebut bisa didapatkan dengan pemeriksaan radiologis potong lintang.
Pemeriksaan radiologi dapat menentukan penyebaran dari kanker nasofaring
dan keterlibatan dari jaringan sekitar. Pemeriksaan ini wajib dilaksanakan
untuk perencanaan radioterapi.
Pemeriksaan CT Scan dapat menunjukkan penyebaran jaringan
lunak di nasofaring dan secara lateral ke rongga paranasofaring.
Pemeriksaan ini sensitif untuk mendeteksi erosi tulang terutama dasar tulang
tengkorak. Penyebaran tumor intrakranial melewati foramen ovale dengan
penyebaran perineural juga dapat dideteksi dan dapat menunjukkan adanya
keterlibatan sinus kavernosa tanpa adanya erosi dasar tulang tengkorak.
Informasi yang didapatkan dari CT Scan dapat menentukan staging dan
menjadi dasar pemilihan terapi. CT dapat menunjukkan adanya regenerasi
tulang setelah terapi dan mengindikasikan eradikasi tumor secara sempurna.
Bagaimanapun CT Scan memiliki kemampuan yang kurang dalam
mendeteksi tumor (jaringan lunak) dibandingkan dengan MRI, sehingga
21

spesifisitas MRI dalam mendeteksi tumor lebih tinggi. MRI juga lebih
sensitif dalam mengevaluasi metastasis nodul servikal dan retrofaring. MRI
dapat mendeteksi infiltrasi sumsum tulang oleh tumor, tetapi tidak dapat
mengevaluasi erosi tulang secara mendetil.

Gambar

2.1

Gambaran

potongan

aksial

unenhanced

T1-weighted

menunjukkan tumor besar (T) mengisi area nasofaring dan menyebar ke


rongga nasal secara bilateral.A

Gambar 2.1 MRI potongan sagital T2-weighted menggambarkan karsinoma


nasofaring menginvasi sinus sphenoid (tanda panah).A
Positron emission tomography (PET) berguna untuk menunjukkan
karsinoma nasofatring primer dengan metastasis nodus limfatikus. Saat ini,
22

PET tidak lebih sensitif dibandingkan dengan MRI dalam mendeteksi


penyebaran tumor. PET lebih sensitif dari CT Scan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring persisten dan rekuren. Systematic review terkini
menunjukkan hasil yang lebih baik bila ada gabungan antara PET dengan
CT Scan.

Gambar 2.1 Potongan aksial CT Scan (A) menunjukkan tumor besar di daerah
nasofaring, tetapi jaringan lunak di rongga nasal dan sinus terlihat samar samar
menyerupai jaringan tumor. Gambaran PET (B) menunjukkan tumor terbatas di area
nasofaring, dan juga mengidentifikasi nodul retrofaring yang tidak terlihat.A
Kesimpulannya, MRI lebih menjadi modalitas untuk staging lokal
dan deteksi rekurensi lokal. Pada pasien dengan kondisi lebih berat, PET/CT
dari tengkorak sampai paha tengah berguna untuk memastikan penyebaran
tumor di seluruh tubuh.
2.7.3.2 Pemeriksaan Endoskopik
Konfirmasi diagnosis karsinoma nasofaring memerlukan biopsi
yang diambil dari tumor di nasofaring. Pemeriksaan nasofaring dengan
menggunakan endoskopi dapat dilakukan dengan menggunakan anestesi
topikal. Teleskop Hopkins kaku, dengan posisi 0o dan 30o, memberikan
tampilan terbaik dari kondisi nasofaring. Endoskopi dengan posisi 70 o yang
disisipkan dibelakang palatum molle dapat memvisualisasikan bagian atap
23

nasofaring dan bukaan kedua tuba Eustacius. Darah dan mukus yang
menutupi tumor harus dibersihkan dengan suction catheter kemudian
melakukan biopsi dengan menggunakan forsep.
2.7.3.3 Biopsi
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring.
Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi melalui hidung
Klasifikasi karsinoma nasofaring tercantum dalam tabel 2.1. Pasien
dengan karsinoma nasofaring sekitar 90% di wilayah endemik memiliki
pola histologi jenis karsinoma tidak terdeferensiasi nonkeratinisasi (tipe 2b
atau tipe III). Karsinoma sel skuamosa jarang terjadi di wilayah endemis.
Tabel 2.1 Klasifikasi WHO mengenai karsinoma nasofaring
Tipe 1 (I)
Tipe 2a (II)
Tipe 2b (III)
2.7.4

Karsinoma sel skuamosa


Karsinoma tidak terdeferensiasi berkeratinisasi
Karsinoma tidak terdeferensiasi nonkeratinisasi
Diagnosis Banding
Nasofaring merupakan pertemuan embriologi struktur akhir dari

hidung dan bagian awal dari faring, serta dibatasi di bagian superior oleh
ektodermal dari basis kranii dan tulang belakang servikal atas di
posteriornya. Maka, kelainan patologi sangat luas muncul dari pertemuan ini
(lihat tabel 2.1).
Tabel 2.1 Tumor jinak dan ganas di daerah nasofaring
Tumor jinak
Perkembangan
Thornwaldts cyst
Hairy polip
Teratoma
Ektodermal
Papiloma
Polip adenomatosa
Mesodermal
Juvenile angiofibroma
Fibromyxomatous polyps
24

Choanal polyps
Osteomas
Fibrous dysplasia
Craniopharyngioma
Solitay fibrous tumor
Desmoid fibromastosis
Schwannoma
Tumor jinak kelenjar liur
Adenoma pleomorfik
Adenoma monomorfik
Tumor ganas
Epitelial
Kanker nasofaring
Karsinoma tidak terdeferensiasi
Karsinoma sel skuamosa
Embrional
Chordoma
Limfoid
Limfoma
Mesodermal
Hemangopericytoma
Histiositoma fibrosa ganas
Rhabdomiosarkoma
Tumor kelenjar liur ganas
Karsinoma kistik adenoid
Karsinoma mukoepidermoid
Karsinoma sel acinik
Adenokarsinoma
Tumor metastasis
Adenokarsinoma
Karsinoma papiler

2.7.5

Staging
Sistem staging klinis untuk kanker nasofaring merupakan hal yang

penting untuk merencanakan dan mengevaluasi dampak dari terapi.


Beberapa sistem staging digunakan pada karsinoma nasofaring; the Union
International Contre le Cancer (UICC) system dan the American Joint
Committee on Cancer Staging (AJCC) system lebih menjadi pilihan di
Eropa dan Amerika, dan Ho system lebih sering digunakan di Asia.
Baik UICC dan AJCC systems menilai penyebaran tumor di
nasofaring dengan mempertimbangkan jumlah lokasi yang terkena tumor di
nasofaring, sedangkan Ho systems mengklasifikasikan semua tumor terbatas
di nasofaring sebagai T1. Sistem staging terkini pada tahun 2009, T1
25

termasuk semua tumor yang terbatas di nasofaring atau menyebar secara


lokal seperti ke inferior menuju orofaring atau anterior menuju rongga
hidung. Disisi lain, penyebaran tumor ke lateral menuju rongga
paranasofaringeal mengindikasikan kondisi penyakit yang lebih berat. T2
termasuk tumor yang telah menyebar ke rongga paranasofaringeal. T3 telah
melibatkan dasar tulang tengkorak atau sinus paranasal. T4 telah menyebar
ke fossa infratemporal, orbita, hipofaring, dan cranium, atau telah
mempengaruhi saraf kranial.
UICC/AJCC systems beranggapan bahwa ukuran nodul limfatik
servikal merupakan faktor penting. Untuk kanker kepala dan leher lainnya,
N1 berukuran kurang dari 3 cm dan N2 berukuran lebih dari 3 cm.
Perbedaan antara N2 dan N3 adalah ukutan nodul telah mencapai 6 cm.
Nodul retrofaringeal, yang merupakan nodul awal, tidak termasuk dalam
sistem staging. CT atau MRI sekarang ini dapat digunakan untuk
mendeteksi nodul ini. Sedangkan staging ukuran nodul untuk karsinoma
nasofaring yaitu keterlibatan region retrofaringeal dan fossa supraklavikular
merupakan faktor penting dalam menentukan staging N. Dengan
menggunakan sistem terkini, N1 merupakan keterlibatan nodul unilateral
dengan ukuran diameter kurang dari 6 cm dan tidak mencapai fossa
supraklavikular. Nodul retrofaringeal sepanjang ukurannya masih kurang
dari 6 cm masih termasuk dalam kategori N1. Nodul servikal bilateral yang
tidak mencapai N3, terlepas dari ukuran, jumlah, dan lokasi, diklasifikasikan
dalam N2. N3 adalah ukuran nodul limfatik lebih dari 6 cm (N3a), atau
nodul menyebar ke fossa supraklavikula (N3b). Sedangkan untuk staging
M, M1 menunjukkan metastasis jauh, termasuk keterlibatan nodul limfatik
dibawah klavikula.

26

Tabel 2.1 Staging kanker nasofaring menurut American Joint Commitee

27

29

30

31

Anda mungkin juga menyukai