PEMBIMBING :
dr. Sabarno P, Sp. B
OLEH :
Michael Carrey
Melissa Dharmawan
Dicky Stefanus
Adrian Prasetio
(2012-061-040)
(2012-061-041)
(2012-061-045)
(2013-061-098)
BAB 1
STATUS PASIEN
1.1
Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Alamat
: Tn. E
: 59 tahun.
: Pria
: Purnawirawan
: Jl. Tengiri 10/7 Perum Mkinomartani Ngaglik,
Sleman, Jogjakarta.
Tanggal Pemeriksaan : 26 Februari 2015
1
1.2
Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis.
Keluhan utama
: Timbul benjolan di lipat paha kanan sejak 3
Keluhan tambahan
Dilakukan herniotomi
Riwayat hemorroid grade III pada tahun 2006. Dilakukan
hemorrhoidectomy.
Riwayat asma, berobat dengan inhaler berisi salmeterol.
Riwayat darah tinggi dan penyakit gula disangkal.
dengan hasil radang kronis. Satu bulan kemudian dilakukan biopsi ulang
nasofaring di RS Panti Rapih, dengan hasil jaringan nekrose dan abses pada
nasofaring kiri dan radang kronis pada nasofaring kanan, diberikan
pengobatan Cefadroxil 2x1 dan Kalium Diklofenak 2x1. Kemudian
dilakukan biopsi lagi pada benjolan di leher kanan di RS. Panti Rapih, dan
hasilnya menunjukkan adanya keganasan.
1.3
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
: Tampak tenang.
Kesadaran
: Compos mentis.
Tanda tanda vital :
Tekanan darah
: 134/78 mmHg.
Laju nadi
: 78x/menit.
Laju pernafasan
: 22x/menit.
Suhu
: 36,7oC.
Kepala
: normocephali, tidak ada deformitas
Mata
: konjungtiva anemis /, sklera ikterik /,
pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+.
Hidung
: tidak ada secret, tidak ada deviasi
Telinga
: tidak diperiksa
Mulut
: mukosa oral lembah, dinding faring tidak hiperemis
Leher
: tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Thoraks Paru
Inspeksi
: gerakan pernapasan simetris
Palpasi
: gerakan pernapasan simetris, fremitus
Perkusi
: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi
:n
1.4
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 24/11/2014
Pemeriksaaan
Hematologi
Hemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
Hitung jenis leukosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Indeks eritrosit
MCV
MCH
Hasil
Keterangan
13,4 g/dl
6.400/l
5,13 juta/ l
39,9%
333 ribu/l
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
3,6%
0,5%
61,6%
24,4%
9,9%
Normal
(N: 1 2)
Normal
Normal
Normal
77,8 fl
26,1 pg
(N: 80 96)
(N: 27 31)
MCHC
33,6 g/dl
RDW-CV
13%
Golongan darah
O
Rhesus
+
Protrombin time
Kontrol
14,2 s
Hasil
13,2 s
APTT
Kontrol
31,8 s
Hasil
33,6 s
Fungsi hati
Albumin
4,97 g/dl
SGOT
20,4 U/l
SGPT
38,1 U/l
Fungsi ginjal
Ureum
14 mg/dl
Kreatinin
0,75 mg/dl
Glukosa darah sewaktu
86 mg/dl
Elektrolit
Natrium
141 mmol/l
Kalium
3,8 mmol/l
Klorida
106 mmol/l
Kalsium total
9,2 mg/dl
Magnesium
2,37 mg/dl
Hepatitis
HbsAg
0.00 (Non reaktif)
Patologi Anatomi
Tanggal 29/10/2014
Biopsi nasofaring di RSUP Dr. Sardjito
Kesimpulan:
Nasofaring kanan dan kiri: Radang kronik.
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
(N: 3,40 4,80)
Normal
(N: 0 31)
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Tanggal 26/11/2014
Biopsi nasofaring di RS. Panti Rapih
Kesimpulan:
Nasofaring kiri
: Jaringan nekrose dan radang/abses.
Nasofaring kanan : Radang kronis.
NB: Apakah biopsi belum mengenai tumor?
Tanggal 02/12/2014
Biopsi nodul di leher kanan di RS. Panti Rapih
Aspirasi Jarum Halus
Limfonodi leher kanan
: Didapatkan sel ganas.
Pendapat
: Metastasis anaplastik karsinoma.
Foto CT Scan
Tanggal 16/10/2014
Foto CT Scan Nasofaring di RS. Panti Rapih
1.5
Resume
Pasien perempuan, usia 55 tahun datang ke poli THT dengan
keluhan adanya benjolan di leher kanan sejak 3 bulan yang lalu. Tidak
dirasakan nyeri dari benjolan tersebut. Keluhan lainnya yaitu hidung
tersumbat, pada awalnya sisi kanan, lalu merasa tersumbat pada kedua
hidung.
Riwayat penyakit sebelumnya yaitu tumor jinak pada payudara kiri
dan mioma uteri sejak 6 tahun yang lalu, dan dilakukan operasi di tahun
yang sama. Riwayat penyakit keluarga yaitu kakak dan adik pasien
mengalami tumor jinak di perut.
Riwayat pengobatan, diawali dengan berobat ke dokter umum,
dinyatakan tidak ada masalah. Lalu, berobat dengan keluhan yang sama ke
RS. Condong Catur, dan di rujuk ke RS. Panti Rapih. Direncanakan untuk
CT Scan, didapatkan gambaran massa di nasofaring, kemudian dilakukan
biopsi nasofaring di RSUP Dr. Sardjito, dengan hasil radang kronis. Biopsi
ulang di RS. Panti Rapih, dengan hasil jaringan nekrose dan abses pada
nasofaring kiri dan radang kronis pada nasofaring kanan, terakhir dilakukan
biopsi pada benjolan di leher kanan dengan hasil adanya keganasan.
Hasil pemeriksaan fisik keadaan umum tampak tenang, kesadaran
kompos mentis, tanda tanda vital dan lainnya dalam batas normal. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior: massa . Pemeriksaan fisik lainnya dalam
batas normal.
Hasil pemeriksaan penunjang foto CT Scan dengan kesan tumor
nasofaring kanan dengan ukuran 4cm, curiga erosi tulang basis kranii kanan
dan hasil biopsi nasofaring RSUP Dr. Sardjito (radang kronik pada
nasofaring) dan RS. Panti Rapih (jaringan nekrose dan radang/abses di
nasofaring kiri dan radang kronis di nasofaring kanan), serta biopsi nodul di
leher kanan memberikan hasil metastasis anaplastik karsinoma.
1.6
Diagnosa Kerja
Suspek karsinoma nasofaring stadium.
1.7
Diagnosa Banding
1.8
Rhinitis alergi.
Tatalaksana
9
1.9
1.8.1
Preventif
1.8.2
Konservatif
Istirahat.
1.8.3
Medikamentosa
1.8.4
Tindakan
Radioterapi.
Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam
: bonam.
: bonam.
: dubia ad bonam (bila tidak dilakukan
pembedahan sinus/FESS).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Anatomi Hidung
Hidung merupakan bagian dari saluran pernapasan yang terletak
10
kartilago lateral, kartilago septum nasi, kartilago alar mayor, dan beberapa
pasang kartilago minor.1,2
Kavum nasi dipisahkan oleh septum nasi, yang membagi kavum
nasi menjadi dua ruangan. Kavum nasi terdiri dari bagian nares anterior dan
nares posterior atau koana yang menghubungkan hidung dengan nasofaring.
Bagian depan dari kavum nasi adalah vestibulum yang dilapisi oleh kulit
yang mengandung banyak kelenjar sebasea dan vibrise, sehingga dapat
menyaring partikel besar yang masuk ke hidung.1
Bagian medial dari kavum nasi adalah septum nasi dan bagian
lateralnya adalah konka. Konka merupakan bagian dari tulang yang
menonjol dan dilapisi oleh mukosa. Terdapat 4 buah konka yaitu konka
inferior, medial, superior, dan suprema. Konka inferior merupakan konka
terbesar, sedangkan konka suprema akan rudimenter. Di antara konka
tersebut terdapat ruangan sempit yang disebut meatus. Meatus superior
terletak di antara konka superior dan media, merupakan muara dari sinus
ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis. Meatus media merupakan
muara dari sinus frontalis, sinus ethmoidal anterior, dan sinus frontalis.
Meatus inferior merupakan muara dari duktus nasolakrimal dan terletak di
antara konka inferior dan dasar hidung.1,3
11
12
2.1.3
2.1.4
Fisiologi Hidung5
Fungsi hidung adalah sebagai jalan napas, alat pengatur kondisi
Jalan Napas
Pada inspirasi udara masuk melalui nares anterior, lalu
naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke
arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan
atau arkus. Pada ekspirasi udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan
tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan
melalui nares anterior dan sebagian lain akan kembali ke belakang
dan membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.
Pengatur Kondisi Udara
Hidung mempersiapkan udara yang akan masuk ke paru
paru dengan cara mengatur suhu dan kelembapan. Kelembapan
udara diatur oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir
jenuh oleh uap air sehingga penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan berlaku sebaliknya. Fungsi
pengaturan suhu dimungkinkan dengan banyaknya pembuluh darah
di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas.
Penyaring dan Pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi
dari debu dari bakteri dan dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada
vestibulum nasi dan palut lendir (mucosal blanket). Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel partikel yang
besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan
dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain adalah enzim
(rinolalia).
Proses Bicara
15
dengan
saluran
cerna,
refleks
kardiovaskuler,
yang
dan
Definisi6
2.3
Faktor RisikoA
2.4
Klasifikasi2,6
2.5
Etiologi1,2,6
2.6
Patofisiologi6
2.7
Manifestasi Klinis
Jika dibandingkan dengan jenis kanker kepala leher lainnya,
17
mengalami
ulserasi
maka
gejala
epistaksis
akan
muncul.
Perdarahannya biasa sedikit dan sering menjadi gambaran post nasal drip,
terutama dipagi hari.
Tumor dalam ukuran besar di nasofaring dengan atau tanpa
penyebaran posterolateral ke rongga paranasofaringeal sering berkaitan
dengan disfungsi tuba eustasius. Hal ini mengawali adanya pengumpulan
cairan di telinga tengah dan pasien akan mengalami tuli konduktif unilateral
dan gejala otologi lainnya seperti otalgia dan tinitus. Ketika pasien dewasa
dari negara China menunjukkan gambaran otitis media serosa, ahli THT
seharusnya
mempertimbangkan
kemungkinan
terjadinya
karsinoma
nasofaring.
Adanya nyeri kepala persisten umum terjadi pada pasien dengan
perluasan ke intrakranial atau clival erosion. Pasien dengan dermatomiosis
memiliki risiko tinggi berkembang menjadi kanker dan harus sering
dilakukan skrining karena sekitar 10% pasien tersebut akan menderita
kanker.
18
A.
B.
Gambar 2.1 Foto A menunjukkan pasien dengan paralisis muskulus rektus lateralis
kanan karena keterlibatan saraf abdusen kanan yang disebabkan oleh karsinoma
nasofaring dan Foto B menunjukkan pasien dengan pembesaran nodul limfatikus
servikal atas dari sisi lateral.A
Gambaran metastasis karsinoma nasofaring ke nodul limfatik
servikal, gejala yang paling sering muncul adalah massa dileher yang tidak
nyeri, sering terlihat di leher bagian atas. Karena struktur nasofaring ada
ditengah, sering pula timbulnya nodul limfatik servikal bilateral.
Pasien dengan gejala metastasis jarang terjadi. Lokasi metastasis
umumnya di vertebra, hati dan paru paru.
Dikarenakan gejala di hidung dan telinga tidak spesifik dan nodul
limfatik servikal yang tidak nyeri, mayoritas pasien dengan karsinoma
19
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan untuk pasien dengan karsinoma nasofaring biasanya
Pemeriksaan Penunjang
2.7.3.1 Serologi
Virus Epstein Barr memiliki berbagai bentuk. Virus ini dapat
menyebabkan mononucleosis infeksiosa dan berkaitan dengan limfoma
Burkitt dan karsinoma nasofaring. Virus Epstein Barr termasuk dalam
keluarga virus Herpes. Pasien yang menderita karsinoma nasofaring,
antibodi immunoglobulin A (IgA), respons terhadap antigen dini, dan viral
capsid antigen (VCA) dapat menunjukkan nilai diagnostik yang berarti.
Studi mengenai serologi EBV untuk diagnosis dini karsinoma
nasofaring ditemukan pada tahun 1980. Pada studi meta analisis terkini
20
spesifisitas MRI dalam mendeteksi tumor lebih tinggi. MRI juga lebih
sensitif dalam mengevaluasi metastasis nodul servikal dan retrofaring. MRI
dapat mendeteksi infiltrasi sumsum tulang oleh tumor, tetapi tidak dapat
mengevaluasi erosi tulang secara mendetil.
Gambar
2.1
Gambaran
potongan
aksial
unenhanced
T1-weighted
Gambar 2.1 Potongan aksial CT Scan (A) menunjukkan tumor besar di daerah
nasofaring, tetapi jaringan lunak di rongga nasal dan sinus terlihat samar samar
menyerupai jaringan tumor. Gambaran PET (B) menunjukkan tumor terbatas di area
nasofaring, dan juga mengidentifikasi nodul retrofaring yang tidak terlihat.A
Kesimpulannya, MRI lebih menjadi modalitas untuk staging lokal
dan deteksi rekurensi lokal. Pada pasien dengan kondisi lebih berat, PET/CT
dari tengkorak sampai paha tengah berguna untuk memastikan penyebaran
tumor di seluruh tubuh.
2.7.3.2 Pemeriksaan Endoskopik
Konfirmasi diagnosis karsinoma nasofaring memerlukan biopsi
yang diambil dari tumor di nasofaring. Pemeriksaan nasofaring dengan
menggunakan endoskopi dapat dilakukan dengan menggunakan anestesi
topikal. Teleskop Hopkins kaku, dengan posisi 0o dan 30o, memberikan
tampilan terbaik dari kondisi nasofaring. Endoskopi dengan posisi 70 o yang
disisipkan dibelakang palatum molle dapat memvisualisasikan bagian atap
23
nasofaring dan bukaan kedua tuba Eustacius. Darah dan mukus yang
menutupi tumor harus dibersihkan dengan suction catheter kemudian
melakukan biopsi dengan menggunakan forsep.
2.7.3.3 Biopsi
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring.
Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi melalui hidung
Klasifikasi karsinoma nasofaring tercantum dalam tabel 2.1. Pasien
dengan karsinoma nasofaring sekitar 90% di wilayah endemik memiliki
pola histologi jenis karsinoma tidak terdeferensiasi nonkeratinisasi (tipe 2b
atau tipe III). Karsinoma sel skuamosa jarang terjadi di wilayah endemis.
Tabel 2.1 Klasifikasi WHO mengenai karsinoma nasofaring
Tipe 1 (I)
Tipe 2a (II)
Tipe 2b (III)
2.7.4
hidung dan bagian awal dari faring, serta dibatasi di bagian superior oleh
ektodermal dari basis kranii dan tulang belakang servikal atas di
posteriornya. Maka, kelainan patologi sangat luas muncul dari pertemuan ini
(lihat tabel 2.1).
Tabel 2.1 Tumor jinak dan ganas di daerah nasofaring
Tumor jinak
Perkembangan
Thornwaldts cyst
Hairy polip
Teratoma
Ektodermal
Papiloma
Polip adenomatosa
Mesodermal
Juvenile angiofibroma
Fibromyxomatous polyps
24
Choanal polyps
Osteomas
Fibrous dysplasia
Craniopharyngioma
Solitay fibrous tumor
Desmoid fibromastosis
Schwannoma
Tumor jinak kelenjar liur
Adenoma pleomorfik
Adenoma monomorfik
Tumor ganas
Epitelial
Kanker nasofaring
Karsinoma tidak terdeferensiasi
Karsinoma sel skuamosa
Embrional
Chordoma
Limfoid
Limfoma
Mesodermal
Hemangopericytoma
Histiositoma fibrosa ganas
Rhabdomiosarkoma
Tumor kelenjar liur ganas
Karsinoma kistik adenoid
Karsinoma mukoepidermoid
Karsinoma sel acinik
Adenokarsinoma
Tumor metastasis
Adenokarsinoma
Karsinoma papiler
2.7.5
Staging
Sistem staging klinis untuk kanker nasofaring merupakan hal yang
26
27
29
30
31