Anda di halaman 1dari 5

Fenomena Gangguan Jiwa Skizofrenia di Masyarakat Serta Implikasi

Keperawatan
Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah dalam upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat di Indonesia. Di masyarakat ada stigma bahwa gangguan jiwa
merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan dan aib bagi keluarganya.
Pandangan lain yang beredar di masyarakat bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh
guna-guna orang lain. Ada kepercayaan di masyarakat bahwa gangguan jiwa timbul
karena musuhnya roh nenek moyang masuk kedalam tubuh seseorang kemudian
menguasainya.
Pada saat ini penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan
terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia,
mulai dari kondisi perekonomian yang memburuk, kondisi keluarga atau latar belakang
pola asuh anak yang tidak baik sampai bencana alam yang melanda negara kita.
Kondisi seperti ini dapat menimbulkan masalah masalah psikososial maupun ekonomi,
misalnya saja kondisi keluarga yang tidak baik atau pola asuh anak pada waktu kecil
yang tidak baik, maka ada kecenderungan anak untuk mengalami skizofrenia. Apabila
orang sudah mengalami skizofrenia berarti kesehatan jiwanya terganggu, padahal
kesehatan jiwa adalah salah satu unsur kehidupan yang terpenting.
Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikologi dengan gangguan dasar pada
kepribadian dan distorsi khas proses pikir yang ditandai dengan proses pikir penderita
yang lepas dari realita sehingga terjadi perubahan kepribadian seseorang yang
reversible dan menuju kehancuran serta tidak berguna sama sekali.
Skizofrenia menimbulkan berbagai tantangan signifikan bagi kesehatan publik di
Indonesia. Beberapa hal yang menjadi perhatian utama terkait kasus ini antara lain
sebagai berikut :
1. Laporan American Psychiatric Association selama kurun waktu 5 tahun terakhir
menunjukkan bahwa prevalensi skizofrenia adalah 1% dari populasi penduduk
dunia menderita gangguan jiwa, sedangkan di Indonesia sekitar 1% hingga 2%
dari total jumlah penduduk dan jumlah ini terus bertambah.
2. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2007, diketahui
prevalensi gangguan jiwa per 1000 anggota rumah tangga terdapat 140/1000
penduduk dan diperkirakan jumlahnya akan semakin naik dengan semakin

kompleksnya masalah yang ada di masyarakat Indonesia, khususnya masalah


sosial ekonomi.
3. Prevalensi skizofrenia di negara berkembang dan negara maju adalah hampir
relatif sama yaitu sekitar 20% dari jumlah penduduk dewasa dan begitu juga di
Indonesia.
Kehadiran penderita skizofrenia sering dirasakan sebagai beban keluarga, sehingga
banyak keluarga yang malu mengakui penderita sebagai bagian dari keluarganya.
Berbagai problema menimpa keluarga, membebani berbagai aspek kehidupan keluarga.
Penderita skizofrenia sering minder, tidak mempunyai teman, menganggur, malas,
aneh, bicara sendiri, ketawa sendiri, terkadang selalu memikirkan untuk bunuh diri
saja, tak pandai mengatur uang, kegiatan itu-itu saja, monoton, kurang variasi, tak bisa
bergaul, dan banyak lagi sifat atau gejala yang sulit-sulit Kondisi inilah yang membuat
keluarga tidak siap menerima dan merawat penderita (anggota keluarga yang menderita
skizofrenia).
Persepsi masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa masih negatif, mereka
dipandang sebelah mata. Masyarakat menganggap penderita gangguan jiwa adalah
sampah sosial, dihina dan dicaci maki, padahal mereka adalah manusia biasa sama
seperti kita, makhluk ciptaan Tuhan yang seharusnya mendapatkan penanganan dan
diperlakukan sama seperti manusia yang lainnya. Sampai saat ini penanganan
skizofrenia baik di rumah maupun di rumah sakit belum memuaskan. Hal ini terutama
terjadi di negara-negara sedang berkembang. Beberapa hal yang ditengarai menjadi
penyebabnya adalah ketidaktahuan keluarga dan masyarakat terhadap jenis gangguan
jiwa ini, serta ada beberapa stigma mengenai skizofrenia ini.
Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara,
walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Gejala skizofrenia
secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu gejala positif dan gejala
negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan
perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul
atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan, miskin kontak emosional
(pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak
dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif. Skizofrenia adalah suatu sindroma
klinis yang bervariasi, dan sangat mengganggu. Manifestasi yang terlibat bervariasi

pada setiap individu dan berlangsung sepanjang waktu. Pengaruh dari penyakit
skizofrenia ini selalu berat dan biasanya dalam jangka panjang.
Menurut model stress-diathesis, ada integrasi dari faktor biologis, psikososial, dan
lingkungan yang membuat seseorang memiliki kerentanan spesifik terhadap stres.
Kondisi stres dapat memicu berkembangnya gejala skizofrenia dalam diri seseorang.
Sumber stres dapat berupa biologis seperti infeksi, lingkungan seperti kondisi stres
keluarga, ataupun gabungan keduanya.
Telah banyak ditemukan obat-obatan psikofarmaka yang efektif yang mampu
mengendalikan gejala gangguan pada penderita gangguan jiwa seperti skizofrenia,
artinya dengan pemberian obat yang tepat dan memadai penderita gangguan jiwa berat,
cukup berobat jalan. Sebenarnya kondisi di banyak negara berkembang termasuk
Indonesia lebih menguntungkan dibandingkan negara maju, karena dukungan Sosial
Keluarga (primary support groups) yang diperlukan dalam pengobatan gangguan jiwa
berat ini lebih baik dibandingkan di negara maju. Stigma terhadap gangguan jiwa berat
ini tidak hanya menimbulkan konsekuensi negatif terhadap penderitanya tetapi bagi
juga anggota keluarga, meliputi sikap-sikap penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan
diisolasi. Penderita gangguan jiwa mempunyai risiko tinggi terhadap pelanggaran hak
asasi manusia.
Penderita skizofrenia mendapat perlakuan yang kasar dan tidak layak dari
keluarganya yang merupakan sumber dukungan utama bagi penderita. Di beberapa
pedesaan di Indonesia sering ditemukan keluarga yang mengurung/memasung
penderita dalam suatu ruangan khusus yang gelap dan tersendiri. Keluarga juga
terkesan menelantarkan penderita dan membuangnya ke jalanan atau pasar-pasar.
Mengingat bahwa lingkungan pergaulan yang pertama adalah keluarga, maka tingkah
laku agresif (kekerasan) dalam keluarga harus dihindarkan sehingga dapat dikatakan
bahwa keluarga merupakan salah satu penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita
skizofrenia.
Penyakit skizofrenia seringkali menetap atau kronis, kambuh/berulang sehingga
perlu terapi berjangka lama. Penderita skizofrenia juga merupakan tantangan bagi
masyarakat karena adanya stigma dalam masyarakat, penanganan yang kurang
memadai, kesempatan dan kemampuan untuk reintegrasi ke dalam masyarakat kurang
sekali, tendensi kronisitas, dukungan psikososial dan keterlibatan keluarga yang tak

memadai, terapi modalitas yang berbeda-beda, sumber-sumber ekonomi yang kurang,


dan biaya terapi jangka lama. Faktor-faktor inilah yang sering menimbulkan kebosanan
keluarga sebagai pemberi perawatan.
Penanganan skizofrenia harus dilakukan secara komprehensif melalui multipendekatan, khususnya pendekatan keluarga dan pendekatan petugas kesehatan secara
langsung dengan penderita, seperti bina suasana, pemberdayaan penderita gangguan
jiwa dan pendampingan penderita skizofrenia agar mendapatkan pelayanan kesehatan
yang terus-menerus.
Untuk merawat pasien skizofrenia, keluarga membutuhkan kesabaran karena
kondisi dan stigma yang ditanggung oleh keluarga. Keluarga berusaha melakukan
pengobatan untuk kesembuhan pasien skizofrenia yang dilakukan secara berulang agar
pasien skizofrenia dapat kembali ke keluarga. Hal tersebut seringkali menyebabkan
kondisi perekonomian keluarga berkurang. Kelelahan fisikpun seringkali dirasakan
keluarga dalam merawat pasien skizofrenia. Lingkungan yang tidak bisa menerima
pasien skizofrenia juga menjadi beban pikiran oleh keluarga. Walaupun demikian,
keluarga masih menerima pasien skizofrenia untuk kembali ke keluarga
Masalah stigma, dalam penanggulangan pasien skizofrenia ternyata masih
merupakan kendala yang cukup berarti. Pada berbagai kalangan, stigma tersebut dapat
tampak dalam bentuk keinginan memasukkan setiap anggota masyarakat yang
dicurigai menderita gangguan jiwa ke rumah sakit jiwa. Mempunyai anggota keluarga
yang menderita skizofrenia bukanlah hal yang mudah, sehingga peranan keluarga
sangat penting dalam penatalaksanaan pasien
Strategi pelaksanaan komunikasi adalah salah satu tindakan keperawatan jiwa
terjadwal yang diterapkan pada pasien yang bertujuan untuk mengurangi masalah
keperawatan jiwa yang ditangani. Berdasarkan standar asuhan keperawatan yang
tersedia, asuhan keperawatan skizofrenia dapat dilakukan dalam bentuk memberikan
rasa nyaman kepada penderita juga melakukan komunikator serta melakukan tindakan
secara mediator.
Kegiatan yang dilakukan perawat adalah mendiskusikan kemampuan dan aspek
positif yang dimiliki pasien, membantu pasien menilai kemampuan yang masih dapat
digunakan, membantu pasien memilih atau menetapkan kemampuan yang akan dilatih,
melatih kemampuan yang sudah dipilih dan menyusun jadwal pelaksanaan
kemampuan yang telah dilatih dalam rencana jadwal pelaksanaan harian pasien.

Sehingga perawat dapat mengambil suatu keputusan dalam tindakan asuhan


keperawatan jiwa. Sehingga kemampuan itu dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu :
1. Kemampuan intelektual (Intelectual ability) Merupakan kemampuan
melakukan aktivitas secara mental.
2. Kamampuan fisik (physical ability) Merupakan kemampuan melakukan
aktivitas berdasarkan stamina kekuatan dan karakteristik fisik.
Salah satu upaya penting dalam pencegahan kekambuhan kembali adalah
dengan adanya dukungan sosial keluarga yang baik, baik dalam perawatan maupun
dalam pendampingan penderita gangguan jiwa berobat.

Anda mungkin juga menyukai