Anda di halaman 1dari 25

CASE REPORT

NEURALGIA POST HERPETIK

Pembimbing :
dr. Sunaryo, Sp. KK

Disusun oleh:
Oni Juniar Windrasmara, S.Ked J500090003
Nova Rachmaniah, S.Ked J500100001
Adni Miftah, S.Ked J500100032
KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU KULIT DAN KELAMIN
RSUD KARANGANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

CASE REPORT
NEURALGIA POST HERPETIK

Diajukan oleh:
Oni Juniar Windrasmara, S.Ked J500090003
Nova Rachmaniah, S.Ked J500100001
Adni Miftah, S.Ked J500100032
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Stase Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Pada hari

Februari 2015

Pembimbing :
dr. Sunaryo, Sp.KK

(.)

Dipresentasikan dihadapan :
dr. Sunaryo, Sp.KK

(.)

Disahkan Ka Profesi FK UMS


dr. D. Dewi Nirlawati

(.)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU KULIT DAN KELAMIN


RSUD KARANGANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. HD
Umur
: 57 tahun
Alamat
: Dologan RT 3/RW 6 Pereng Mojogedang
Pekerjaan
: Pedagang Kambing
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Masuk RSUD : 30 Januari 2015
No. RM
: 3278xx
B. KELUHAN UTAMA
Nyeri hebat di dada kiri dan menjalar sampai punggung disertai panas
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Karanganyar
dengan keluhan nyeri hebat di dada sebelah kiri dan nyeri tersebut juga
dirasakan menjalar ke punggung belakang. Pasien juga merasa keluhan nyeri
tersebut disertai dengan rasa panas seperti terbakar. Keluhan ini dirasakan pasien
sudah sejak setengah bulan sebelum memeriksakan diri ke RSUD Karanganyar.
Awalnya pada setengah bulan yang lalu pasien merasakan bagian
dadanya yang sebelah kiri sampai belakang tiba-tiba muncul bercak berwarna
kemerahan dan gatal. Keluhan itu menyebar semakin luas di sekitarnya dan
menjadi panas serta muncul rasa nyeri. Kemudian bercak tersebut berubah
menjadi benjolan-benjolan kecil yang bernanah. Pasien kemudian berobat di
puskesmas dan apotek, lalu pasien diberikan obat oles dan tablet yang tidak
diketahui namanya oleh dokter di puskesmas. Dalam waktu 1 minggu bercak
kemerahan yang bernanah tersebut menjadi kering dan sembuh, namun nyeri
dan panas yang dirasakan pasien ini tidak berkurang sehingga pasien merasa
terganggu aktifitasnya dan kemudian memeriksakan dirinya ke Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUD Karanganyar.
D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Riwayat penyakit yang serupa


Riwayat alergi obat dan makanan
Riwayat asma
Riwayat rhinitis
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat hipertensi
Riwayat penyakit jantung

E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


a. Riwayat penyakit kulit pada keluarga
b. Riwayat alergi obat dan makanan
c. Riwayat diabetes mellitus
d. Riwayat hipertesi

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

F. RIWAYAT HYGIENE
a. Pasien mandi dua kali sehari dengan air sumur dan memakai sabun
b. Pasien mengganti pakaian dua sampai tiga kali sehari
c. Pasien mempunyai hewan ternak dirumah, yaitu kambing
G. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
Pasien merupakan seorang wiraswasta yang bekerja sebagai pedagang kambing
yang tinggal di sebuah rumah dengan istri, anak, cucu, dan menantunya. Dinding
rumah terbuat dari tembok, lantai dari keramik. Sumber mata air dari sumur.
H. ANAMNESIS SISTEMIK
Neuro
: Nyeri di dada sebelah kiri yang penjalarannya sesuai dermatoum
Kardio
Pulmo
Abdomen
Urologi
Muskulo

Vertebrae Thorakal 1-Thorakal 5 (+), gemetaran (-), sulit tidur (-)


: nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)
: sesak nafas (-), batuk lama (-)
: diare (-), kembung (-), sulit buang air besar (-)
: BAK lancar, panas (-)
: nyeri otot (-), nyeri sendi (-)

I. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status generalis
Keadaan umum : Compos mentis
Vital sign
- Nadi
: 80x/menit
- Respirasi
: 22x/menit
- Suhu
: 37C
b. Kepala
Mata : konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)
Bibir : sianosis (-)
Pembesaran kelenjar getah bening (-)

c. Thorax
Paru
- Inspeksi : gerak simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
- Palapsi : fremitus taktik kanan kiri sama
- Perkusi : sonor
Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : redup
d. Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (-), bekas operasi (-), massa (-)
Perkusi : tynmpani
Palpasi : nyeri tekan (-)
e. Ekstremitas
Edema (-), hematoma (-), luka bekas operasi (-)
J. STATUS LOKALIS
a. Lokasi
: nyeri di dada sebelah kiri yang menjalar sampai di punggung
b. Efloresensi : Sisa-sisa krusta yang sudah mengalami penyembuhan

K. DIAGNOSIS BANDING
AMI
L. DIAGNOSIS KERJA
Neuralgia Post Herpetik
M. TERAPI
a. Edukasi :
1) Minum obat teratur
2) Jaga kebersihan badan
3) Tidak ada makanan pantangan
b. Medikamentosa:
R/ Gabapentin mg 300 No. XV
S 3 dd caps II
R/ Amitriptilin tab No. VII
S 1 dd tab
R/ Sohobion tab No XII
S 3 dd tab 1

R/ Dolones 10gr
Lamodex tube No. V
Mf.la cream
S 2 dd UE
N. PROGNOSIS
Ad bonam

O. FOLLOW UP

Pasien dengan keluhan nyeri


masih dirasakan namun sudah
sedikit berkurang, badan terasa
lemas dan merasa tidak kuat
menahan

sakitnya.

Pasien

dirawat inap di RS Jafar Medika


sejak Selasa sore.

Status lokalis:
Sisa-sisa
krusta
proses
penyembuhan.

A
Neuralgia
Post
Herpetik

BAB II
ISI
A. Definisi
Nyeri post herpetikum (Neuralgia Post Herpetik = NPH / Post Herpetic
Neuralgia = PHN) merupakan nyeri persisten yang muncul setelah ruam Herpes Zoster
telah sembuh (biasanya dalam 1 bulan). Nyeri ini terjadi disepanjang serabut saraf yang
mengikuti pola ruam segmental dari Herpes Zoster.3
Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri
disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Burgoon,
1957, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang menetap setelah fase
akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap satu bulan
setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan sebagai
nyeri yang menetap atau berulang setidaknya selama tiga bulan setelah penyembuhan
ruam herpes zoster. Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai
nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan
herpes zoster). Tahun 1999, Browsher mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang
menetap atau timbul pada daerah herpes zoster lebih atau sama dengan tiga bulan
setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling tersering digunakan adalah
definisi menurut Dworkin. Sesuai dengan definisi sebelumnya maka The International
Association for Study of Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post herpetika sebagai
nyeri kronik yaitu nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang
berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas.4
NPH umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 3 bulan
setelah onset (gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan sebagai
sensasi terbakar (burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal (itching). Nyeri ini
juga dihubungkan dengan gejala yang lebih berat lagi seperti disestesia, parestesia,
hiperstesia, allodinia dan hiperalgesia. Pada pasien dengan NPH, biasanya terjadi

perubahan fungsi sensorik pada area yang terkena. Pada satu penelitian, hampir seluruh
penderita memiliki area erupsi yang sangat sensitif terhadap nyeri, dengan sensasi
abnormal terhadap sentuhan ringan, nyeri atau temperature pada area kulit yang terkena.
Nyeri umumnya dipresipitasi oleh gerakan (allodinia mekanik) atau perubahan suhu
(allodinia termal). Sementara pada penelitian lainnya dinyatakan bahwa derajat defisit
sensorik berhubungan dengan beratnya nyeri. Selain itu, pasien dengan NPH lebih
cenderung mengalami perubahan sensorik dibanding penderita dengan zoster yang
sembuh tanpa neuralgia.5
B. Prevalensi
Di Amerika Serikat, frekuensi PHN yang terjadi 1 bulan setelah onset dilaporkan
sebanyak 9-14,3 % dan 3 bulan setelah onset sebanyak 5 %, sedangkan dalam waktu 1
tahun, 3 % akan mengalami nyeri yang lebih berat.6
Insiden bervariasi berdasarkan umur dan status imunologis, dari range 0,4
hingga 1,6 kasus per 1.000 populasi normal pada usia dibawah 20 tahun, dan 4,5 hingga
11 kasus per 1.000 populasi normal pada usia 80 tahun atau lebih. 7 Sebuah penelitian di
Islandia menunjukkan bahwa variasi resiko PNH ini dihubungkan dengan kelompok
umur tertentu. Dari sampel penelitian didapatkan bahwa tidak ada sampel yang berusia
dibawah 50 tahun dilaporkan menderita nyeri hebat, dan pasien yang berumur lebih dari
60 tahun dilaporkan mengalami nyeri yang lebih hebat : 6% 1 bulan setelah onset dan
sebanyak 4% 3 bulan setelah onset.6
Resiko serangan kedua sama tingginya dengan resiko yang terjadi pada serangan
yang pertama.

Angka kejadiannya beberapa kali lebih tinggi pada orang dewasa

penderita infeksi HIV atau pada pasien penderita keganasan dan 50 hingga 100 kali
lebih tinggi pada anak-anak dengan Leukemia dibandingkan dengan orang-orang sehat
dengan usia yang sama. Resiko nyeri post herpetik meningkat sesuai pertambahan umur.
Insidens nyeri post herpetik meningkat pada pasien-pasien dengan Ophtalmic Zoster
dan kemungkinan lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria.7
C. Etiologi

Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zoster. Virus
varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi
manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari
sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Ditengahnya
terdapat DNA untai ganda. Virus varisella zoster memiliki diameter sekitar 150-200 nm.
Infeksi primernya secara klinis dikenal dengan Varicella (chicken pox), umumnya
terjadi pada anak-anak. Tipe Virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes
virus-3 (HHV-3), biasa juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV). 8 Virus ini
berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus
kranialis V (trigeminus) pada ganglion gasseri cabang oftalmik dan vervus kranialis VII
(fasialis) pada ganglion genikulatum.6

Tabel 1 : Tipe-tipe Virus Herpes pada Manusia


(dikutip dari kepustakaan 8)
D. Patofisiologi
Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varicella atau cacar air.
Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh
melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan
menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit
yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal.

Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara
dorman selama bertahun-tahun.2,3,8
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus
varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam
pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak
diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau
status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi,
virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan
dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi
menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini
terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama Lipschutz inclusion body.2,3,8

Gambar 1 : Patologi Herpes Zoster


(dikutip dari kepustakaan 8)
Neuralgia

Post

Herpetik

memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri

herpes zoster akut. NPH, komplikasi dari herpes zoster, adalah sindrom nyeri
neuropatik yang dihasilkan dari kombinasi inflamasi dan kerusakan akibat virus pada
serat aferen primer saraf sensorik. Setelah resolusi infeksi primer varicella, virus tetap

aktif di ganglia sensorik. Virus ini diaktifkan kembali atau mengalami reaktivasi,
bermanifestasi sebagai herpes zoster akut, dan berhubungan dengan kerusakan pada
ganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi histopatologi telah menunjukkan fibrosis
dan hilangnya neuron (dalam ganglion dorsal), jaringan parut, serta kehilangan akson
dan mielin (pada saraf perifer yang terlibat), atrofi (dari tanduk dorsal sumsum tulang
belakang), dan peradangan (sekitar saraf tulang belakang) dengan infiltrasi dan
akumulasi limfosit. Selain itu, ada pengurangan saraf inhibitor berdiameter besar dan
peningkatan neuron eksitasi kecil, pada saraf perifer.9,10
Mekanisme terjadinya neuralgia pasca herpetika dapat berlainan pada setiap
individu sehingga manifestasi nyeri yang berhubungan dengan neuralgia pascaherpetika
juga berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis menyebabkan respon
inflamasi berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan kematian sel neuron. Proses
perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf. Inflamasi pada saraf perifer
dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan
demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis.7,8
Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal sepanjang saraf menuju ke
kulit, menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf perifer. Kadang-kadang virus
menyebar secara sentripetal ke arah medula spinalis (mengenai area sensorik dan
motorik) serta batang otak. Hal ini menyebabkan sensitisasi ataupun deaferenisasi
elemen saraf perifer dan sentral.11

Gambar 2 : Desensitasi dan Deaferenisasi

Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut saraf C yang
halus dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris terhadap suhu
menurun, menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti terbakar. Selain itu juga
terjadi letupan ektopik dari nosiseptor C yang rusak sehingga timbul alodinia, yakni rasa
nyeri akibat stimulus yang pada keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai
respon atas menghilangnya sebagian besar input serabut saraf C karena kerusakan
tersebut, terbentuk tunas-tunas serabut saraf A yang menerima rangsang non-noksius
mekanoseptor di lapisan superfisial kornu dorsalis medula spinalis. Pertunasan ini
menyebabkan hubungan antara serabut saraf A yang tidak menghantarkan nyeri
dengan serabut saraf C, sehingga stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba halus)
dipersepsikan sebagai nyeri.11
Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang menyebabkan
terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa alodinia dan
hiperalgesia. Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik dari serabut saraf
aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah glutamat yang
berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat diproduksi oleh
serabut saraf aferen primer di kornu dorsalis. Pada keadaan istirahat glutamat akan
mengaktivasi reseptor ionotropik -amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazol propionat
(AMPA), reseptor kainat, dan reseptor metabotropik glutamat (mGluRs), sedangkan
reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium sehingga mencegah masuknya ion natrium
dan kalsium yang akan terjadi saat glutamat berikatan dengan reseptor NMDA tersebut.
Aktivasi pascasinap yang berulang akan menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan
depolarisasi membran yang progresif. Hal ini menyebabkan reseptor NMDA terbebas
dari blok ion magnesium yang selanjutnya menyebabkan influks kation-kation ke dalam
sel dan depolarisasi membran makin progresif.5,9 Neuralgia pascaherpetika juga dapat
terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni hilangnya serabut saraf aferen sensoris baik
yang berdiameter besar maupun kecil. Lesi pada serabut saraf perifer maupun sentral
dapat memacu terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas membran sel. Lesi yang
masih terhubung dengan badan sel akan membentuk tunas-tunas baru. Tunas-tunas baru
ini ada yang mencapai organ target, sedangkan yang tidak mencapai organ target akan

membentuk neuroma, di neuroma ini akan terakumulasi berbagai kanal ion, terutama
kanal ion natrium, molekul-molekul transduser dan reseptor-reseptor baru, sehingga
pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya letupan ektopik, mekanosensitivitas
abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan kimia. Letupan ektopik dan sensitisasi
berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan nyeri yang
diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang terdeaferenisasi akan
menyebabkan terjadinya nyeri konstan pada area tersebut.3,4,9,11

Gambar 3 : Mekanisme Sensitisasi Sentral dan Perifer


(dikutip dari kepustakaan 12)
Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska
herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami
herpes zoster tetapi tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi
kornu dorsalis.3,10
E. Manifestasi Klinis
Tanda khas dari herpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia
pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke
dalam tiga fase:1,9,12

1.

Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung

2.

< 4 minggu
Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan
Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau

3.

3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.


Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli
penyakit kulit oleh karena terdapatnya gelembung-gelembung herpesnya. Keluhan
penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam
kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral
mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular.
Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga
sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah
3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit
biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu
sampai berminggu-minggu.1,9,12
Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang
ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia
dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur
bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka
pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau
beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering
dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa
sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap
stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi
antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak
tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang
berulang.1,9,12
Pada masa gelembung gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai
menderita karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena. Nyeri
hebat itu bersifat neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat nyeri
neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama dalam hal serangannya
yaitu tiap serangan muncul secara tiba tiba dan tiap serangan terdiri dari sekelompok

serangan serangan kecil dan besar. Orang sakit dengan keluhan sakit kepala di
belakang atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila penderita datang sebelum
gelembung gelembung herpes timbul, untuk meramalkan bahwa nanti akan muncul
herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya
gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari
neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat tempat bekas herpes tetapi pada
timbulnya serangan neuralgia, justru tempat tempat bekas herpes yang anestetik itu
yang dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi
di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi dinamakan neuralgia postherpatikum
oftalmikum dan yang di daun telinga neuralgia postherpatikum otikum.1,9,12
Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal
rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan
dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit
kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi
makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat
berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas
bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri
yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya
lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk
lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. Intensitas dan
durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan
pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir.
Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh
rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang
dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood
sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka
panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum
timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa
terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang
merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/

tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/
normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus
bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.1,9,12
F. Diagnosis
a. Anamnesis
Nyeri erupsi vesikuler sesuai dengan area dermatom merupakan gejala tipikal
herpes zoster. Seiring dengan terjadinya resolusi pada erupsi kulit, nyeri yang
timbul berlanjut hingga 3 bulan atau lebih, atau yang dikenal sebagai nyeri post
herpetik. Nyeri ini sering digambarkan sebagai rasa terbakar, tertusuk-tusuk,
gatal atau tersengat listrik.8,13,14,15
b. Pemeriksaan Fisik8,13,14,15
1. Nyeri kepala, yang timbul sebagai respon dari viremia
2. Munculnya area kemerahan pada kulit 2-3 hari setelahnya
3. Daerah terinfeksi herpes zoster sebelumnya mungkin terdapat skar kutaneus
4. Sensasi yang ditimbulkan dapat berupa hipersensitivitas terhadap sentuhan
maupun suhu, yang sering misdiagnosis sebagai miositis, pleuritik, maupun
iskemia jantung, serta rasa gatal dan baal yang misdiagnosis sebagai
urtikaria
5. Muncul blister yang berisi pus, yang akan menjadi krusta (2-3 minggu
kemudian)
6. Krusta yang sembuh dan menghilangnya rasa gatal, namun nyeri yang
muncul tidak hilang dan menetap sesuai distribusi saraf (3-4 minggu
setelahnya).
7. Alodinia, yang ditimbulkan oleh stimulus non-noxius, seperti sentuhan
ringan
8. Perubahan pada fungsi anatomi, seperti meningkatnya keringat pada area
yang terkena nyeri ini.
c. Pemeriksaan Penujang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu: 8,13,14,15
1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis
lainnya.
2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus
3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus
4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA
VZV 22% kasus.

5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.


6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk
membedakan herpes simpleks dengan herpes zoster
7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat
mendukung diagnosis herpes zoster subklinis.
G. Penatalaksanaan
Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan
neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi
non farmakologis.1,16,17
a. Terapi farmakologis:1,16,17
1. Antivirus
Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster yang
timbul akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian asiklovir,
Valacyclovir, Famciclovir. Asiklovir diberikan dengan dosis anjuran 5 x 800
mg/hari selama 7 10 hari diberikan pada 3 hari pertama sejak lesi muncul.Efek
samping yang dapat ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah mual, muntah,
sakit kepala, diare, pusing, lemah, anoreksia, edema, dan radang tenggorokan.
Valasiklovir diberikan dengan dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari secara oral.
Efek samping yang dapat ditemukan da;lam penggunaan obat ini adalah mual,
muntah, sakit kepala, dan nyeri perut. Famsiklovir diberikan dengan dosis
anjuran 500 mg/hari selama 7 hari selama 7 hari. Efek samping dalam
penggunaan opbat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, pusing, nyeri.
2. Analgesik
Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan
analgetik. Jika diserta infeksi sekunder deberikan antibiotic. Analgesik non
opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik perifer
maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik.
Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih baik.
Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja
sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan
serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis tramadol dititrasi hingga
maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek pada sistem saraf

pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang harus
diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus
nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya.
Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari. 1,22. Oxycodone berdasarkan
penelitian menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam
meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan.
3. Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-gated
sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3)
menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik. Gabapentin
bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya kalsium pada kanal
kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin
dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis yang dianjurkan
sebesar 1800-3600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson
terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan.
Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti
halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan
dengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi
influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan
calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve terminals.
Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada
kasus neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan
nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan
dalam hal tidur dan ansietas.
4. Anti depressan
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska
herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake
(pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi
nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada
beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67%
pasien mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik.
Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin.

dengan pemberian tricyclic antidepressant seperti amiitriptyline dengan dosis,


25-150 mg/d secara oral. Obat ini akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan
phenitiazine. TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik
dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor) seperti fluoxetine,
paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan TCA
menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI
hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa sedasi,
konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi,
dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat badan,
menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan
yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin,
nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.
5. Terapi topikal
Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltagegated sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya
impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron
hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal
sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi aktivitas
NMDA.
Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik
dalam mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan
penggunaan lidocaine patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada
daerah simtomatik selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat
digunakan selama bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada
pasien orang tua. Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan.
Krim capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk
neuralgia paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber).
Telah diketahui bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti
substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi
neuron ini. Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar yang
sering tidak bisa ditoleransi pemakainya (1/3 pasien pada uji klinik ini).
b. Terapi non farmakologis1,16,17

1. Akupunktur
Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri.
Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia
paska herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan
jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi pula dengan
terapi farmakologis.
2. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)
Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga
komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan
TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi
farmakologis.
3. Vaksin
Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neuralgia Postherpertika pada
orang lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara
sub kutan ternyata efektif. Dari 107 orang yang menderita neuralgia post
herpetika kemudian diberikan vaksin ternyata dapat mereduksi nyeri yang
ditimbulkan hingga 66,5 %.
H. Pencegahan
Cara mencegah Nyeri Post Herpetikum ini adalah dengan mencegah
terinfeksinya virus Zoster itu sendiri.7 Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat
diusahakan dengan kombinasi agen antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut
pada pasien herpes zoster. Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan saraf
dan nyeri akut. Terapi antiviral harus dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan, dan
lebih baik jika dimulai pada tiga atau empat hari pertama. Terapi antiviral diharapkan
dapat menghentikan replikasi virus, sehingga durasi penyakit akan lebih singkat, dan
menurunkan kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral yang dapat digunakan adalah
asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Terapi analgetika akan mengurangi nyeri yang
merupakan faktor risiko utama neuralgia pascaherpetika.10,11
Telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster yang direkomendasikan
oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bagi mereka yang berusia 60
tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang melibatkan ribuan lansia berusia 60 tahun
atau lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes zoster sebesar 51% dan risiko neuralgia
pascaherpetika sebesar 67%. Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat mencapai 6

tahun atau bahkan lebih.9,11 Selain itu, The United States Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP) juga telah merekomendasikan lansia diatasumur 60
tahun untuk memperoleh vaksin herpes zoster ini sebagai bagian dari perawatan
kesehatan rutin.18 Vaksin Oka-strain hidup baru-baru ini telah disetujui oleh Food and
Drug Administration untuk mencegah Varicella.7,19

I. Prognosis
Sindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi denagn lambat.
Pada pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan baik terhadap obatobatan analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun pada sebagian kasus, nyeri
yang dirasakan semakin memburuk dan tidak berespon terhadap terapi yang diberikan.20
Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan
sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap
analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang menetap
dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan pencarian lanjutan
untuk mencari terapi yang sesuai.20
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu
fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi
didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.20
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih
mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya
tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.20

BAB III
PENUTUP
Nyeri Post Herpetikum adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian
tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster. Herpes zoster sendiri merupakan
suatu

reaktivasi

virus Varicella

yang berdiam di dalam jaringan saraf.

NPH dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah timbulnya
ruam

pada

kulit),

neuralgia

herpetik

subakut

(30-120

hari

setelah timbulnya ruam pada kulit) dan NPH (rasa sakit yang terjadi setidaknya 12
0 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).
NPH lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang
rendah. Ketika telah berumur tua, terutama pada usia 60 tahun ke atas, atau dalam
keadaan imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami reaktivasi.
NPH terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai sistem saraf baik perifer
maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer mengadakan
discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi untuk menghasilkan
nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan nyeri.
Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar,
parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan
respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik.
Penatalaksanaan penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non
farmakologi. Pemeriksaan penunjang pada penyakit ini tidak terlalu berarti, cukup
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosa penyakit ini sudah dapat ditegakkan.
Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat sembuh dengan terapi yang teratur.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rabey M, M. Manip. Post-herpetic Neuralgia: Possible Mechanisms for Pain
Relief with Manual Therapy. 2003. London: Science Direct. p180-184.
2. Turk D, Ronald M. Handbook of Pain Assessment. Edisi 2. 2001. London: The
Guilford Press.
3. Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of
Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada: Elsevier.
p654-674.
4. Dubinsky R, et al. Practice Parameter: Treatment of Postherpetic Neuralgia. 2004.
American Academy of Neurology. p959-965.
5. Alvin W. Postherpetic Neuralgia; dalam Medscape Reference. Editor: Robert A.
2012.
6. Kost R, Stephen E. Postherpetic Neuralgia: Pathogenesis, Treatment, and
Prevention. 1996. The New England Journal of Medicine. p32-40.
7. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis and Therapeutic
Considerations. Volume 11. 2006. Alternative Medicine Review. p102-111.
8. Jericho B. Postherpetic Neuralgia: A Review. Volume 16. 2010. Chicago: The
Internet Journal of Orthopedic Surgery.
9. Panlilio L, Paul J, Srinivasa N. Current Management of Postherpetic Neuralgia;
dalam The Neurologist. Volume 8. 2002. Baltimore. p339-350.
10. Regina, Lorettha W. Neuralgia Pascaherpetika. Volume 39. 2012. Jakarta. p416419.
11. Gharibo C, Carolyn K. Neuropathic Pain of Postherpetic Neuralgia. 2011. New
York: Pain Medicine News. p84-91.
12. Bowsher D. The Management of Postherpetic Neuralgia. 1997. Liverpool: The
Fellowship of Postgraduate Medicine. p623-629.
13. Scadding J. Neuropathic Pain. Volume 3. 2003. ACNR. p8-14.
14. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Clinical Presentation; dalam Medscape
Reference. Editor: Robert A. 2012.

15. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Workup; dalam Medscape Reference. Editor:


Robert A. 2012.
16. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Medication; dalam Medscape Reference. Editor:
Robert A. 2012.
17. Dworkin R, Kanneth E. Treatment and Prevention of Postherpetic Neuralgia. 2003.
New York: Clinical Infectious Disease. p877-882.
18. Vorvick L. Shingles; dalam Medline Plus. 2012.
19. Department of Neurological Surgery. Postherpetic Neuralgia. 2013. New York:
Columbia Neurosurgery.
20. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Follow-up; dalam Medscape Reference. Editor:
Robert A. 2012.

Anda mungkin juga menyukai