SINDROM DOWN
II.1. Definisi
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi,
karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu kromosom.
Mereka mempunyai tiga kromosom 21 dimana orang normal hanya mempunyai dua
saja. Kelebihan kromosom ini akan mengubah keseimbangan genetik tubuh dan
mengakibatkan perubahan karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta
gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh (Pathol, 2003).
Sindroma Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan
perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas
perkembangan kromosom. Sindrom Down dapat disebut juga penyakit Mongoloid.
Yaitu berupa kelainan pada kromosom no 15 dan 21, yang biasanya kedua kromosom
ini berdekatan. Karena salah satu penyebab yang tidak seharusnya, terjadilah
pemecahan yang disebut dispuntum. Karena suatu penyebab, dapat juga keadaan ini
disebut translokasi yang sifatnya sama karena jumlahnya, tetapi pada pembentukan
gamet berlainan. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom
untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Sindroma Down merupakan
kelainan kromosom yang paling sering terjadi. Kelainan sindroma Down terjadi
karena kelebihan jumlah kromosom pada kromosom nomor 21, yang seharusnya dua
menjadi tiga, yang menyebabkan jumlah seluruh kromosom mencapai 47 buah,
sehingga disebut trisomi 21. Pada manusia normal jumlah kromosom sel mengandung
23 pasangan kromosom. Akibat proses tersebut, terjadi goncangan sistem
metabolisme di dalam sel. Kelainan kromosom itu bukan merupakan faktor
keturunan.2
Anak yang menyandang sindroma Down ini akan mengalami keterbatasan
kemampuan mental dan intelektual, retardasi mental ringan sampai sedang, atau
pertumbuhan mental yang lambat. Selain itu, penderita seringkali mengalami
perkembangan tubuh yang abnormal, pertahanan tubuh yang relatif lemah, penyakit
jantung bawaan, alzheimer, leukemia, dan berbagai masalah kesehatan lain.
II.2. EPIDEMIOLOGI
Sindrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak
terjadi pada manusia. Kejadian sindroma Down diperkirakan satu per 800 sampai satu
per 1000 kelahiran. Pada tahun 2006, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
memperkirakan tingkat kejadiannya sebagai satu per 733 kelahiran hidup di Amerika
Serikat (5429 kasus baru per tahun). Sekitar 95% dari kasus ini adalah trisomi 21.
Sindroma Down terjadi pada semua kelompok etnis dan di antara semua golongan
tingkat ekonomi. Kebanyakan anak dengan Sindrom Down dilahirkan oleh wanita
yang berusia datas 35 tahun. Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan
angka kejadian pada orang kulit putih lebih tinggi dari orang hitam. Sumber lain
mengatakan bahwa angka kejadian 1,5 per 1000 kelahiran, terdapat pada penderita
retardasi mental sekitar 10 %, secara statistik lebih banyak di lahirkan oleh ibu yang
berusia lebih dari 30 tahun, prematur dan pada ibu yang usianya terlalu muda.4
II.2. ETIOLOGI
Penyebab kelainan kromosom adalah terjadinya pemecahan kromosom dan
pecahnya hilang/melekat pada kromosom lain. Kejadian ini disebut translokasi.
Pengaturan kembali yang dilakukan sel dapat menghasilkan keseimbangan normal
tetapi dapat juga menjadi tidak seimbang. Jika terjadi keseimbangan normal, total
materi genetik didalam sel dengan kromosom normal. Pengaturan semacam ini
biasanya tidak akan menimbulkan sindrom klinis. Apabila terjadi ketidakseimbangan
maka terjadi kelebihan atau kekurangan materi genetik dalam barisan sel-sel tersebut.
Pengaturan semacam ini biasanya menimbulkan perubahan dalam fenotif klinis.
Dijumpai penderita Sindrom Down yang hanya memiliki 46 kromosom.
Individu ini ialah penderita Sindrom Down translokasi 46.t (14q21q). Setelah
kromosom dari orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya
hanya memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan 1 autosom
translokasi 14q21q. Jelaslah bahwa bahwa ibu merupakan carrier yang walaupun
memiliki 45 kromosom 45.XX.t (14q21q) ia adalah normal.
Sebaliknya, laki-laki carrier Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa
sebabnya , sampai sekarang belum diketahui. (Suryo. Genetika Manusia. 2001).
II.3. KLASIFIKASI
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan
mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh akan
mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh empat persen dari semua kasus
sindrom Down adalah dari tipe ini (Lancet, 2003).
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan
berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua yang
menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan karakter
penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4% dari total kasus (Lancet, 2003)
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang
mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe mosaik ini dan
biasanya kondisi si penderita lebih ringan. (Lancet, 2003).
II.4. PATOFISIOLOGI
Pada sel-sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir diseluruh bagian
dalam nukleus. Walaupun dengan mikroskop, molekul DNA tidak dapat lolos sebagai
struktur tersendiri, tetapi hanya sebagai bagian dari bahan dalam nukleus yang
diwarnai dengan jelas. Sewaktu sel mulai membelah, bahan tersebut mulai mengatur
dirinya untuk membentuk untaian kromosom. Kromosom ini mengandung banyak
molekul DNA yang tersusun dalam urutan tertentu.
Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23 pasang,
merupakan susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom, dan 1 pasang
kromosom seks. Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X
dan 1 kromosom Y dalam setiap sel. Dalam terminologi standar, seorang wanita
normal ditandai dengan 46 XX, seorang pria normal ditandai dengan 46 XY.
3
Kromosom yang terbentuk pada setiap individu berasal dari kedua orangtua
dalam porsi yang sama. Ovum dan sperma normal masing-masing mengandung 23
kromosom, merupakan susunan haploid, sehingga pembuahan menghasilkan zigot
yang tersusun diploid dari 23 pasang yang homolog.
Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sidrom Down yang hanya
memiliki 46 kromosom. Individu ini ialah penderita Sidrom Down translokasi 46.
t(14 q 21q). setelah kromosom orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya
normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1
autosom 14 dan satu autosom translokasi 14q 21q. jelaslah bahwa ibu itu merupakan
carrier yang walupun memiliki 45 kromosom 45.xx.t (14q21q) ai adalah normal.
Sebaliknya laki-laki carrier Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa
sebabnya demikian, sampai sekarang belum diketahui. (Suryo.Genetika Manusia.
2001) (Patofisiologi, Edisi 4. 1994)
Pada Down syndrome trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada
waktu pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot,
walaupun kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit
primer yang terhenti perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada
tahap tersebut sampai terjadi ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40
sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut, oosit mungkin mengalami disposisi. nondisjunction. Pada kasus Down syndrome, dalam meiosis I menghasilkan ovum yang
mengandung dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi oleh spermatozoa normal
yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.
Beberapa sebab dapat terjadinya non-disjunction ini adalah :
a. Infeksi virus atau radiasi dimana makin mudah berpengaruh pada wanita usia tua
b. Kandungan antibody tiroid yang tinggi
c. Mundurnya sel telur di tuba falopii setelah 1 jam tidak dibuahi. Oleh karena itu
para ibu yang berusia agak lanjut (>35 tahun) biasanya mempunyai risiko yang
lebih besar untuk mendapat anak sindroma Down Tripel-21.
Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak
pernah ada non-disjunction dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi
4
setiap hari dan tidak ada waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya pada
oogenesis. Akibat dari adanya trisomi 21 dalam zigot, kromosom penderita Down
syndrome jenis ini mempunyai 47 kromosom (47,XX,+21 atau 47,XY,+21).
beberapa
sel
embryo
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan
menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan
komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan proses hidup yang signifikan
secara klinis. Sindrom Down akan menurunkan survival prenatal dan meningkatkan
morbiditas prenatal dan postnatal. Anak anak yang terkena biasanya mengalami
keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan
gigi yang lambat.
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan tampilan
fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas, anomali pada
ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital. Hasil analisis molekular
menunjukkan
regio
21q.22.1-q22.3
pada
kromosom
21
bertanggungjawab
menderita
hipersensitivitas
terhadap
proses
fisiologis
tubuh,
seperti
Lekukan epikantus
single palmar crease pada tangan kiri
single palmar crease pada tangan kanan
Brachyclinodactily tangan kiri
Brachyclinodactily tangan kanan
Jarak pupil yang lebar
Tangan yang pendek dan lebar
Oksiput yang datar
Ukuran telinga yang abnormal
Kaki yang pendek dan lebar
Bentuk atau struktur telinga abnormal
Letak telinga yang abnormal
Kelainan tangan lainnya
Kelainan mata lainnya
Sindaktili
Kelainan kaki lainnya
Kelainan mulut lainnya
Karakteristik dari sindroma tersebut ada yang berubah dengan
bertambahnya umur anak, misalnya lekukan epikantus atau jaringan tebal di
sekitar leher akan berkurang dengan bertambahnya umur anak. Berdasarkan atas
ditemukannya karakteristik dengan frekuensi yang tinggi pada sindroma Down,
maka gejalagejala tersebut dianggap sebagai cardinal sign dan petunjuk
diagnostik dalam mengidentifikasi sindroma Down secara klinis. Tetapi yang
perlu diketahui adalah tidak adanya kelainan fisik yang terdapat secara konsisten
dan patognomonik pada sindroma Down. Bentuk muka anak dengan sindroma
Down pada umumnya mirip dengan ras Mongoloid.8
Cacat jantung bawaan, cacat jantung kongenital yang umum (40 - 50%) jantung
bawaan yang paling sering endocardial cushion defect (43%), ventricular septal
defect (32%), secundum atrial septal defect (10%), tetralogy Fallot cacat septum
atrium (6%), dan isolated patent ductus arteriosus (4%), lesions pada patent ductus
arteriosus (16%) dan pulmonic stenosis (9%). Sekitar 70% dari semua endocardial
Obstructive sleep apnoea syndrome, terjadi ketika aliran udara inspirasi dari
saluran udara bagian atas ke paru-paru yang terhambat untuk 10 detik atau lebih
sehingga sering mengakibatkan hypoxemia or hypercarbia.
Coeliac disease
Atlanto-axial instability,
10
11
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent quatio (IQ)
mereka sering berada antara 20 85 dengan rata-rata 50. Hipotonia yang diderita
akan meningkat apabila umur meningkat. Mereka sering mendapat gangguan
artikulasi. (Mao R., 2003).
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan, sikap
ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka akan menunjukkan
perlakuan yang nakal dengan rasa ingin tahu yang tinggi (Nelson, 2003)
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada anak
anak sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering didapatkan pada yang
dewasa. Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur,
hipogonadism, katarak, kurang pendengaran, hal yang berhubungan dengan
hipothroidism yang disebabkan faktor usia yang meningkat, kejang, neoplasma,
penyakit vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu, pikun,
dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada penderita sindrom Down.
Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada orang orang lanjut usia (Am J.,
2009).
Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly, microcephaly, dahi
yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan tulang
tengkorak yang lambat, sutura metopik, tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid
serta hipoplasia pada sinus maksilaris (John A. 2000).
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (upslanting)
karena fissure palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik
titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga 50%, strabismus (44%), nistagmus
(20%), blepharitis (33%), conjunctivitis, ruptur kanal nasolacrimal, katarak
kongenital, pseudopapil edema, spasma nutans dan keratoconus (Schlote, 2006).
Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan hipoplasi
tulang hidung dan jembatan hidung yang rata (Schlote, 2006).
12
Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah yang kecil dan
mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan air liur, bibir bawah
yang merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi yang tidak terbentuk dengan
sempurna, pertumbuhan gigi yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan
sekunder, maloklusi gigi serta kerusakan periodontal yang jelas (Selikowitz, Mark.,
1997).
Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang berlipat.
Otitis media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering ditemukan. Kira kira
6080% anak penderita sindrom Down mengalami kemerosotan 15 20 dB pada satu
telinga (William W. Hay Jr, 2002).
Hematologi
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat Leukemia,
termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Myeloid. Diperkirakan 10%
bayi yang lahir dengan sindrom Down akan mendapat klon preleukemic, yang berasal
dari progenitor myeloid pada hati yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1,
yang terlokalisir pada kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini dirujuk sebagai
Transient Leukemia, Transient Myeloproliferative Disease (TMD), atau Transient
Abnormal Myelopoiesis (TAM) (Lanzkowsky, 2005).
Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom Down
dengan prevelensi 40-50%. Walaubagaimanapun kasus lebih sering ditemukan pada
penderita yang dirawat di RS (62%) dan penyebab kematian yang paling sering
adalah aneuploidy dalam dua tahun pertama kehidupan.
Antara penyakit jantung kongenital yang ditemukan Atrioventricular Septal Defects
(AVD) atau dikenal juga sebagai Endocardial Cushion Defect (43%), Ventricular
Septal Defect (32%), Secundum Atrial Septal Defect (ASD) (10%), Tetralogy of
Fallot (6%), dan Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang paling sering
ditemukan adalah Patent Ductus Arteriosus (16%) dan Pulmonic Stenosis(9%). Kira 13
kira 70% dari endocardial cushion defects adalah terkait dengan sindrom Down. Dari
keseluruhan penderita yang dirawat, kira kira 30% mempunyai beberapa defek
sekaligus pada jantung mereka (Baliff JP, 2003).
terjadi penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti dengan gagal jantung kongestif
(Kallen B.,1996).
Ventricular Septal defect (VSD)
Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada kondisi
dimana adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel. Kondisi ini boleh terjadi
sebagai anomali primer, dengan atau tanpa defek kardiak yang lain. Kondisi ini dapat
terjadi akibat kelainan seperti Tetralogy of Fallot (TOF), complete atrioventricular
(AV) canal defects, transposition of great arteries,dan corrected transpositions
(Freeman SB, 1998)
Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau jalur
yang menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri, atau sebaliknya,
melalui septum interatrial. Apabila tejadinya defek pada septum ini, darah arterial dan
darah venous akan bercampur, yang bisa atau tidak menimbulkan sebarang gejala
klinis. Percampuran darah ini juga disebut sebagai shunt. Secara medis, right-toleft-shunt adalah lebih berbahaya (Freeman SB, 1998).
Tetralogy of Fallot (TOF)
Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada anak
yang sering ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah yang kaya oksigen
dengan darah yang kurang oksigen. Terdapat empat abnormalitas yang sering terkait
dengan Tetralogy of fallot. Pertama adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya
pengecilan atau tahanan pada katup pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan
katup terbuka kearah luar dari ventrikel kanan. Ini akan menimbulkan restriksi pada
aliran darah akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih kuat yang akhirnya akan
menimbulkan hipertrofi pada ventrikel. Kedua adalah ventricular septal defect. Pada
kondisi ini, adanya lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan
menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen bercampur.
Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar ke seluruh tubuh dan
15
menimbulkan gejala klinis berupa sianosis. Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal.
Keempat adalah pulmonary valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis
yang minimal terjadi karena darah masih lagi bisa sampai ke paru. Tetapi jika
stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru adalah lebih sedikit maka
sianosis akan menjadi lebih berat (Amit K, 2008).
Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si anak gagal
menutup dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya terjadi bising jantung.
Simptom yang terjadi antara lain adalah nafas yang pendek dan aritmia jantung.
Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal jantung kongestif. Semakin besar PDA, semaki
buruk status kesehatan penderita (Amik K, 2008).
Immunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan
orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka mempunyai respons sistem imun
yang rendah. Contohnya mereka sangat rentan mendapat pneumonia (William W. Hay
Jr. 2002).
Sistem Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down yang
dapat ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease (<1%), TE fistula,
Meckel divertikulum, anus imperforata dan juga omphalocele. Selain itu, hasil
penelitian di Eropa dan Amerika didapatkan prevalensi mendapat Celiac disease pada
pasien sindrom Down adalah sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik,
yaitu spesifik pada human leukocyte antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga
DQ8. Dilaporkan juga terdapat kaitan yang kuat antara hipersensitivitas dan
spesifikasi yang jelek (Livingstone, 2006).
16
Sistem Endokrin
Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah gangguan
pada sistem endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya sering pada usia awal
sekolah, sekitar 8 hingga 10 tahun. Insidens ditemukannya Graves disease juga
dilaporkan meningkat. Prevelensi mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis
kongenital, hipertiroid primer, autoimun tiroiditis, dan compensated hypothyroidism
atau hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54% pada penderita sindrom Down,
dengan persentase yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur
(Merritt's, 2000).
Gangguan Psikologis
Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan psikiatri
atau prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai risiko mendapat
gangguan psikis. Beberapa kelainan yang bisa didapat adalah Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD), Oppositional Defiant Disorder, gangguan disruptif
yang tidak spesifik dan gangguan spektrum Autisme (Cincinnati Children's Hospital
Medical Center, 2006).
Trisomi 21 mosaik
Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala gejala sindrom
Down yang sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi kriteria diagnosis awal bagi
penyakit Alzheimer. Fenotip individu yang mendapat trisomi 21 mosaik
manggambarkan persentase sel sel trisomik yang terdapat dalam jaringan yang
berbeda di dalam tubuh (Andriolo, 2005).
II.6. FAKTOR RISIKO
Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan meningkat
dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada
usia di atas 35 tahun. Walaubagaimanapun, wanita yang hamil pada usia muda tidak
bebas terhadap risiko mendapat bayi dengan sindrom Down.
17
II.7. DIAGNOSIS
Tidak ada kritera diagnosis khusus untuk sindroma Down. Namun, retardasi
mental merupakan gambaran yang menumpang tindih dengan sindroma Down.
Sebagian besar orang dengan sindroma ini mengalami retardasi mental sedang atau
berat, hanya sebagian kecil yang memiliki IQ diatas 50. Perkembangan mental
tampak normal dari lahir hingga usia 6 bulan dan nilai IQ secara bertahap menurun
dari hampir normal pada usia 1 tahun hingga sekitar 30 pada usia yang lebih tua.
Penurunan intelegensi dapat nyata atau jelas: uji infantil mungkin tidak
mengungkapkan tingkat defek sepenuhnya, yang mungkin tertungkap ketika uji yang
lebih canggih digunakan pada masa kanak-kanak awal. 1 Derajat atau tingkat
retardasi mental diekspresikan dalam berbagai istilah. Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR)
18
berikut:
komunikasi,
merawat
diri
sendiri,
keterampilan
b.
c.
d.
e.
adanya retardasi mental tetapi inteligensi pasien tidak dapat diuji oleh tes inteligensi
baku.
Untuk gangguan kromosom dan metabolik, seperti sindroma Down, sindroma
X rapuh, dan fenilketonuria (PKU) merupakan gangguan yang sering dan biasanya
menyebabkan sekurangnya retardasi mental sedang.
Diagnosis Sindrom Down dapat dibuat setelah riwayat penyakit, pemeriksaan
intelektual yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan bahwa perilaku
anak sekarang adalah secara bermakna di bawah tingkat yang diharapkan. Suatu
riwayat penyakit dan wawancara psikiatrik sangat berguna untuk mendapatkan
19
20
b. Amniocentesis
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang
kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom janin. Amniosentesis merupakan
pemeriksaan yang berguna untuk diagnosis berbagai kelainan kromososm bayi
terutama sindroma Down, di mana dengan mengambil sejumlah kecil cairan amniotik
dari ruang amnion secara transabdominal antara usia kehamilan 14-16 minggu.
Amniosentesis dianjurkan untuk semua wanita hamil di atas usia 35 tahun. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
c. Chorionic villus sampling (CVS)
CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut
akan diuji untuk melihat kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan
minggu kesembilan hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
d. Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS)
PUBS adalah tehnik di mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk
melihat kromosom janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini
dilakukan sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang jelas. Resiko
keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation for Medical Education and Research
(MFMER), 2011).
e. Pemeriksaan sitogenik
Diagnosis
klinis
harus
dikonfirmasikan
dengan
studi
sitogenetika.
21
Gambar (7). Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 dari lengan isochromosome arm
21q tipe [46,XY,i(21)(q10)]10
f. Interphase fluorescence in situ hybridization (FISH)
FISH dapat digunakan untuk diagnosis cepat. Hal ini dapat berhasil di kedua
diagnosis prenatal dan diagnosis pada periode neonatal. Mosaicism yang tersembunyi
untuk trisomi 21 sebagian dapat menerangkan hubungan yang telah dijelaskan antara
sejarah keluarga sindroma Down dan risiko penyakit Alzheimer. Skrining untuk
mosaicism dengan FISH diindikasikan pada pasien tertentu dengan gangguan
perkembangan ringan dan mereka dengan Alzheimer onset dini.
22
g. Ekokardiografi
Tes ini harus dilakukan pada semua bayi dengan sindroma Down untuk
mengidentifikasi penyakit jantung bawaan, terlepas dari temuan pada pemeriksaan
fisik. 10
h. Skeletal Radiografi
Kelainan kraniofasial termasuk brachycephalic microcephaly, hypoplastic
facial bones dan sinuses. Tes ini diperlukan untuk mengukur jarak atlantodens dan
untuk menyingkirkan atlantoaxial instabilitas pada umur 3 tahun. Radiografi juga
digunakan sebelum anesthesia diberikan jika terdapat tanda-tanda spinal cord
compression. Penurunan sudut iliac dan acetabular juga dapat ditemukan pada bayi
baru lahir.10
gejala
klinis
sindroma
Down
sulit
dibedakan
dengan
hipotiroidisme. Secara kasar dapat dilihat dari aktivitasnya karena anak-anak dengan
hipotiroidisme sangat lambat dan malas, sedangkan anak dengan sindroma Down
sangat aktif
b.Akondroplasia
c. Rakitis
d.Sindrom Turner
e. Penyakit Trisomi
23
Penyakit
Angka
Kelainan
Keterangan
Prognosis
Kejadian
Trisomi 21 1 dari 700 bayi Kelebihan
Perkembangan
Biasanya bertahan
(Sindroma
baru
kromosom
Down)
Lahir
21
terganggu,
tahun
ditemukan
berbagai
Trisomi 18
1 dari
Kelebihan
kelainan fisik
Kepala kecil,
(Sindroma
3.000 bayi
kromosom
telinga terletak
Edwards)
baru lahir
18
lebih rendah,
beberapa bulan;
celah bibir/celah
keterbelakangan
langit-langit,
mental yg terjadi
tidak memiliki
sangat berat
Jarang bertahan
1 dari
Kelebihan
kemihkelamin
Kelainan otak &
Yang
(Sindroma
5.000 bayi
kromosom
mata yg berat,
hidup
Patau)
baru lahir
13
celah bibir/celah
langit-langit,
kelainan jantung,
20%;
kelainan saluran
keterbelakangan
kemih-kelamin
mental yg terjadi
& kelainan
sangat berat
bertahan
bentuk telinga
24
II.9. PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif
untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom
juga dapat mengalami kemunduran dari sistim tubuhnya. Dengan demikian penderita
harus mendapatkan support maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam
menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran
perkembangan baik fisik maupun mentalnya.
A. MEDIKAMENTOSA
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya
defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia
akibat adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut
menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini
memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.
B. NON MEDIKAMENTOSA
1. Fisio Terapi.
- Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar untuk
mencapai
manfaat
yang
maksimal
dan
menguntungkan
untuk
tahap
2.
Terapi Bicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami
kemampuan sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena pada dasarnya anak
25
DS tergantung pada orang lain atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa ada
komunikasi
dan
tidak
memperdulikan
orang
lain.
Terapi
ini
membantu
anak
4.
Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan
kemampuan akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan
pelajaran dari sekolah biasa.
1.
rangsangan / sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang
mengalami gangguan integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik
kasar, motorik halus dll. Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas dengan
terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat.
5.
sudah berusia lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak
sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.
6.
penanganan medis tetapi juga dilakukan penanganan alternatif. hanya saja terapi jenis
ini masih belum pasti manfaatnya secara akurat karena belum banyak penelitian yang
membuktikan manfaatnya, meski tiap pihak mengklaim dapat menyembuhkan DS.
Terapi alternatif tersebut di antaranya adalah :
-
Terapi Akupuntur. Dengan cara menusuk titik persarafan pada bagian tubuh
tertentu dengan jarum. Titik syaraf yang ditusuk disesuaikan dengan kondisi sang
anak.
Terapi Musik. Anak dikenalkan nada, bunyi-bunyian, dll. Anak-anak sangat
senang dengan musik maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi mereka
dengan begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan meningkat dan
26
Terapi Craniosacral. Terapi dengan sentuhan tangan dengan tekanan yang ringan
pada syaraf pusat. Dengan terapi ini anak DS diperbaiki metabolisme tubuhnya
Anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan medis yang
sama dengan anak yang normal. Mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan,
imunisasi, kedaruratan medis, serta dukungan dan bimbingan dari keluarga, tetapi
terdapat beberapa keadaan di mana anak dengan sindroma Down memerlukan
perhatian khusus antara lain:
a. Pemeriksaan mata dan telinga serta pendeteksian fungsi tiroid pada bayi baru lahir
dan rutin pada anak sindroma Down
b. Penyakit jantung bawaan, intervensi dini dengan pemeriksaan kardiologi pada
bayi baru lahir
c. Status Nutrisi, perlu perhatian meliputi kesulitan menyusu pada bayi sindroma
Down dan pencegahan obesitas pada usia anak dan remaja
d. Kelainan tulang
e. Pendidikan, sebagai intervensi dini terhadap kelainan perkembangan terutama
menyangkut kemampuan kognitif dan perkembangan social
f. Monitoring pertumbuhan dan perkembangan dengan kurva spesial untuk
sindroma Down dan disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak
sindroma Down
g. Perawatan mulut dan gigi
h. Atlanto-axial instability screening pada usia tiga tahun
i. Konseling genetik.
II.10. PROGNOSIS
Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40 tahun.
Selain perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan
fisik. Kemampuan berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan
kelainan jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel yang memperburuk
prognosis.15 Sebesar 44% penderita sindroma Down hidup sampai 60 tahun dan
27
hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko terkena leukemia pada
sindroma Down adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit Alzheimer yang lebih
dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun.14
Beberapa penderita sindroma Down mengalami hal-hal berikut:
a. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa.
b. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.
c. Pada usia 30 tahun menderita dementia (berupa hilang ingatan, penurunan
kecerdasan dan kepribadian).
d. Gangguan tiroid.
Bisa terjadi kematian dini pada penderita sindroma Down meskipun banyak
juga penderita yang berumur panjang. Kematian biasanya disebabkan kelainan
jantung bawaan. Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita
ini yang mengakibatkan 80% kematian. Anak-anak dengan sindroma Down memiliki
risiko tinggi untuk menderita kelainan jantung dan leukemia. Jika terdapat kedua
penyakit tersebut maka angka harapan hidupnya berkurang dan jika kedua penyakit
tersebut tidak ditemukan maka anak bisa bertahan sampai dewasa.
Mortalitas/Morbiditas
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan bertahan.
Sekitar 85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50% dapat hidup sehingga
berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit jantung kongenital sering menjadi faktor yang
menentukan usia penderita sindrom Down. Selain itu, penyakit seperti Atresia
Esofagus dengan atau tanpa fistula transesofageal, Hirschsprung disease, atresia
duodenal dan leukemia akan meningkatkan mortalitas (William, 2002).
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas yang tinggi karena
mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi seperti tonsil yang membesar dan
adenoids, lingual tonsils, choanal stenosis, atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi
pada saluran nafas atas. Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis Media,
Alveolar Hypoventilation, Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi Arteri
Pulmonal yang disertai dengan cor pulmonale dan gagal jantung (Cincinnati Children's
Hospital Medical Center, 2006).
28
29
II.11. KOMPLIKASI
Anak-anak dengan sindrom Down bisa mempunyai berbagai komplikasi, ada
yang menjadi lebih menonjol sesuai dengan umur yang semakin meningkat, antara
komplikasi yang timbul termasuk:
Komplikasi Pada Jantung dan Sistem Vaskular
Walapupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai murmur,
anak penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat defek pada jantung.
Apabila resistensi pada vaskular pulmonari dapat dideteksi, kemungkinan terjadinya
shunt dari kiri ke kanan dapat dikurangi, sehingga dapat mencegah terjadinya gagal
jantung awal. Apabila tidak dapat dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi
pulmonal yang persisten dengan perubahan pada vaskular yang ireversibel
(Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada jantung
dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan terhadap operasi yang
dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi dilakukan apabila anak sudah berusia
6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi sudah lebih baik dan anak yang dioperasi mampu
hidup lebih lama (Kallen B, 1996).
Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal atrioventrikuler,
symptom biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai dengan shunting sistemikpulmonari, aliran darah pulmonari yang tinggi, disertai dengan peningkatan risiko
terjadinya hipertensi arteri pulmonal. Resistensi pulmonal yang meningkat dapat
memicu terjadinya kebalikan dari shunting sistemik-pulmonal yang diikuti dengan
sianosis (Baliff JP, 2005).
Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menderita
hipertensi arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal. Hal ini disebabkan
berkurangnya jumlah alveolus, dinding arteriol pulmonal yang lebih tipis dan fungsi
endotelial yang terganggu (Galley R, 2005).
30
pada
penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan patologi dimana
didapatkan rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis pada penderita sindrom
Down (Tyler, 2004)
Leukemia. Anak-anak dengan sindrom Down lebih cenderung menderita leukemia.
Hal ini berdasarkan pengamatan bahawa leukemia tertentu dapat berhubungan dengan
defek pada kromosom 21.
Penyakit menular. Disebabkan sistem imun yang terganggu, penderita sindrom Down
lebih mudah terkena serangan penyakit menular seperti radang paru-paru.
Demensia. Resiko untuk terkena demensia di waktu tua, tanda dan gejala demensia
sering muncul sebelum berumur 40 tahun. Mereka yang menderita demensia juga
mempunyai kecenderungan yang tinggi menderita kejang.
Apnea tidur. Disebabkan oleh perubahan pada sel jaringan dan tulang yang
menyebabkan penyempitan pada jalan pernafasan, risiko untuk terjadinya sleep apneu
tinggi.
Obesitas.
Penderita
sindrom
DAFTAR PUSTAKA
31
2011.
Available
at:
Syndrome.http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.htm.
Down
[Accessed
on
July
2011.
Available
at
2004.
Available
at
32
15. Prevalence of Down Syndrome Among Children and Adolescents in 10 Regions of the
United States. Official Journal of the American Academic of Pediatrics. 124:15651571.
33