PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah korupsi makin hangat dibicarakan publik, terutama di media massa
baik lokal maupun nasional. Masyarakat umumnya memandang korupsi sebagai
penyebab utama rusaknya semua aspek dalam kehidupan bernegara, merusak
struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama jalannya pemerintahan dan
pembangunan pada umumnya.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan
memberantas tindak korupsi, namun sejauh ini upaya tersebut masih dianggap
belum berhasil secara maksimal. Transparency International telah meluncurkan
Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) tahun 2011. Dalam survei
yang dilakukan terhadap 183 negara di dunia tersebut, Indonesia menempati skor
CPI sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,8. Hasil survei
1
tersebut berdasarkan penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembagalembaga internasional pada 2011. Rentang indeks berdasarkan angka 0-10. Semakin
kecil angka indeks menunjukkan potensi korupsi negara tersebut cukup besar.Dalam
indeks tersebut Indonesia berada di peringkat ke-100 bersama 11 negara lainnya
yakni Argentina, Benin, Burkina Faso, Djobouti, Gabon, Madagaskar, Malawi,
Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname, dan Tanzania. Sementara untuk kawasan
Asia Tenggara, skor Indonesia berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2),
Malaysia
(4,3),
dan
Thailand
(3,4).
(http://nasional.kompas.com
/read/2011/12/01/17515759).
Kemudian Organisasi Fund for Peace juga merilis indeks terbaru mereka
mengenai Failed State Index 2012 di mana berdasarkan survey mereka, Indonesia
berada di posisi 63. Dalam membuat indeks tersebut, Fund for Peace menggunakan
indikator dan subindikator, salah satunya indeks persepsi korupsi. Indeks yang
dikeluarkan organisasi Fund for Peace itu menilai peringkat ini turun dibandingkan
dari tahun 2011 di mana Indonesia berada di peringkat 64 dengan skor 81.
Tidak ada perubahan yang signifikan dalam hal upaya pemberantasan korupsi
di Indonesia. Dengan melihat hasil tersebut, pemerintah harus melakukan beberapa
langkah untuk menaikkan skor dalam indeks tersebut. Upaya pemerintah dalam
bentuk penerbitan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi telah dilakukan, yaitu dengan
diundangkannya:
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3851),
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874);
3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4286);
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2004
Nomor
5,
TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Kemudian untuk mempercepat usaha pencegahan dan pemberantasan
korupsi, pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menetapkan hari tersebut sebagai hari anti korupsi nasional dan sekaligus
mengeluarkan Inpres No. 5 Tahun 2004 yang terdiri dari 10 Instruksi Umum dan 11
Instruksi Khusus yang ditujukan kepada beberapa instansi pemerintahan. Instruksi
Umum tersebut ditujukan kepada hampir 500 Intansi Pemerintah baik di pusat
maupun di daerah. Sedangkan Instruksi Khususnya ditujukan kepada Menteri
Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan, Bappenas, Menteri Pendayagunaan
Aparatur Pemerintah, Menteri Hukum dan HAM, Kementerian BUMN, Menteri
Pendidikan Nasional, Menteri Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Kepala
Kepolisian Republik Indonesia, Gubernur, Bupati/Walikota.
Salah satu upaya pencegahan korupsi yang paling efektif selain penindakan
adalah penguatan penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
2
dicirikan dengan adanya program pencegahan korupsi yang konkrit sebagai bagian
dari upaya percepatan reformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik, disertai
dengan sosialisasi dan upaya penerapan program tersebut secara konsisten.
Untuk mendukung tercapainya instruksi tersebut,
Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 49 Tahun 2011
tentang Pedoman Umum Pakta Integritas di Lingkungan Kementerian/Lembaga dan
Pemerintah Daerah dan Permenpan Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembangunan
Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupsi.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) merupakan
Kementerian kelima yang mencanangkan sebagai Zona Integritas menuju Wilayah
Bebas dari Korupsi. Kemenkumham mencanangkan pembangunan zona integritas
menuju wilayah bebas dari korupsi (WBK) pada tanggal 21 Juni 2012. Pencanangan
tersebut ditandai dengan penandatanganan piagam pencanangan ZI oleh
Menkumham
disaksikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, Ketua KPK, dan Ketua Ombudsman. Pencanangan tersebut
sebelumnya telah didahului dengan penandatanganan Pakta Integritas oleh seluruh
pegawai, pejabat di lingkungan Kemenkumham. Kemenkumham menyatakan telah
siap/sanggup menjadi kementerian dengan predikat Zona Integritas bahkan
Inspektur Jenderal, Sam L Tobing, menyatakan bahwa Kementerian Hukum dan
HAM siap mewujudkan pakta integritas di Kemenkumham secara 100%. Sebagai
tindak lanjut dari hal tersebut, ditetapkan tujuh belas Kanwil sebagai Kanwil Zona
Integritas
(http://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/923-17-kanwilkemenkumham-zona-integritas-menuju-wilayah-bebas-dari-korupsi)
Pencanangan ZI bukanlah titik akhir upaya pencehagan dan pemberantasan
korupsi. Setelah proses pembangunan ZI berlangsung dalam waktu yang dinilai
memadai, pimpinan K/L/Pemda yang sudah memperoleh opini Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) atas laporan keuangan sekurang-kurangnya Wajar Dengan
Pengecualian (WDP) melakukan identifikasi unit kerja yang dianggap berkinerja baik
dan dapat diusulkan menjadi unit kerja yang berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi
(WBK).
Kemenkumham sendiri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan
HAM tentang Pedoman Penetapan Wilayah Bebas Korupsi Kementerian Hukum dan
HAM. Sejauhmana kesiapan unit-unit kerja pada Kemenkumham untuk
mendapatkan predikat sebagai Wilayah Bebas Korupsi setelah pencanangan Zona
Integritas menjadi penting untuk diketahui.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penting untuk melakukan
penelitianEvaluasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Dalam Rangka
Mewujudkan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi di Kementerian
Hukum dan HAM RI. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini mengangkat
permasalahan (1) Bagaimana pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
pada Kementerian Hukum dan HAM RI, dan (2) Bagaimana kesiapan kantor wilayah
dan unit-unit kerja pusat pada Kemenkumham untuk ditetapkan sebagai Wilayah
Bebas dari Korupsi
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui bagaimana pelaksanaan
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah pada Kementerian Hukum dan HAM RI dan
(2) mengetahui bagaimana kesiapan kantor wilayah dan unit-unit kerja pusat pada
Kemenkumham untuk ditetapkan sebagai Wilayah Bebas dari Korupsi
Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, menggambarkan keadaan obyek
penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta fakta yang nampak. Penelitian ini
tidak terbatas sampai pada pengumpulan dan menyusunan data, tetapi juga meliputi
analisa dan interpretasi atas data. Pendekatan yang digunakan adalah gabungan
(mixed methods) antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penggunaan metode
gabungan ini dilakukan untuk dapat memperoleh gambaran yang lebih mendalam
mengenai fenomena yang diteliti yang pada akhirnya akan memperkuat analisis
penelitian.
Penelitian ini berbentuk penelitian evaluasi. Penelitian Evaluasi dimaksudkan
untuk mengukur hasil atau dampak suatu aktivitas, program, atau proyek dengan
cara membandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Populasi dan Sampling
Populasi penelitian ini adalah seluruh pegawai pada Kemenkumham.
Responden penelitian ini adalah pejabat struktural, pejabat fungsional tertentu, dan
pejabat fungsional umum pada kantor wilayah dan unit pelaksana teknis baik di
pusat maupu di daerah.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu
memilih anggota populasi berdasar karakteristik yang relevan dengan tujuan
penelitian, yaitu pejabat struktural, pejabat fungsional khusus dan umum yang dinilai
mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai pelaksanaan reformasi birokrasi di
Kemenkumham, meliputi pada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Divisi dan Pejabat
Struktural, Pejabat Fungsional Khusus (JFK) dan Pejabat Fungsional Umum (JFU)
pada Kanwil, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Keimigrasian dan
Pemasyarakatan beserta Pejabat Struktural, JFK dan JFU di bawahnya, dan Pejabat
Struktural, JFK dan JFU pada Unit Eselon I Pusat (Setjen, Itjen, Ditjen) di
Kemenkumham.
Alat pengumpulan data yang digunakan berupa (1) Daftar Cek (Check List) :
digunakan untuk mengetahui pendapat atau penilaian responden terhadap indikator
penelitian ini. Dalam penelitian ini check list disusun untuk mengukur tingkat
keberhasilan pelaksanaan SPIP dan mengukur indeks WBK berdasarkan indikator
penilaian yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor
M.HH-01.PW.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Penetapan WBK Kementerian
Hukum dan HAM dan (2) Studi dokumentasi dengan menelaah bahan bahan
pustaka yang berkaitan dengan masalah penelitian. Penelaahan dilakukan untuk
melengkapi teori, data awal, dan data pendukung penelitian ini.
Penelitian dilakukan di delapan belas Kanwil Kemenkumham dan UPT di
bawahnya, yaitu Kanwil Kemenkumham Bangka Belitung, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Lampung, Banten, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Kepulauan Riau, Jambi, D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur,
Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Papua, Jawa Barat, Bali, dan
Unit Eselon I (Inspektorat Jenderal, Balitbang HAM, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan).
PEMBAHASAN
Tinjauan Pustaka
Perkembangan Sistem Pengendalian Intern (SPI) di Indonesia dimulai
dengan diterbitkannya Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman
5
Bangka Belitung
Bali
Banten
DI Yogyakarta
Jawa Barat
Jambi
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Kepulauan Riau
Nusa Tenggara Timur
Lampung
Papua
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Jawa Tengah
Ditjen PP
Balitbang HAM
Inspektorat Jenderal
Total
4
3
4
3
6
6
5
4
4
5
5
5
4
5
0
5
5
5
73
Divpas
5
5
3
4
2
5
3
5
5
5
5
5
5
5
1
5
4
5
72
Divyankum
4
2
6
5
4
4
5
5
5
5
5
5
5
5
1
5
5
5
76
Unit Kerja
Lapas/
Divim
Rutan
5
5
4
4
4
4
4
5
4
5
5
4
5
5
1
5
5
5
74
5
5
5
5
7
4
5
4
5
5
5
5
5
5
2
10
3
5
85
Bapas
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
3
0
4
5
77
Rupbasan Kanim
5
5
5
5
5
5
3
5
1
5
5
4
5
4
3
5
0
5
70
4
5
5
5
3
5
5
5
5
5
5
5
5
5
1
5
5
5
78
Jum
37
35
37
36
36
38
35
38
34
40
40
38
39
39
12
40
31
40
4
5
7
661
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) terdiri dari lima unsur, yaitu (1)
Lingkungan Pengendalian, (2) Penilaian Resiko, (3) Kegiatan Pengendalian, (4)
Informasi dan Komunikasi, (5) Pemantauan. Skor capaian dari kelima unsur SPIP
tersebut secara berurutan (ranking skor rata-rata dari yang tertinggi terendah)
disajikan pada Tabel 2: Skor Pelaksanaan SPIP.
Tabel 2: Skor Pelaksanaan SPIP
N = 661
No.
1.
6.
3.
7.
13.
2.
4.
14.
5.
8.
16.
9.
11.
12.
19.
18
20.
10.
15.
17.
21.
Lokasi/Kanwil
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Nusa Tenggara Timur
Banten
Bali
Lampung
D.I. Yogyakarata
Sumatera Barat
Jawa Tengah
Jawa Barat
Kalimantan Timur
Kepulauan Riau
Sumatera Utara
Kalimantan Tengah
Jambi
Bangka Belitung
Ditjen PP
Inspektorat Jenderal
Sumatera Selatan
Balitbang HAM
Papua
Skor rata-rata
Skor
Unsur 1
89,42
85,68
86,52
84,75
82,31
87,58
86,18
81,25
85,83
83,87
80,53
83,33
82,66
82,36
78,64
79,01
74,38
83,10
81,21
79,33
73,79
82,46
Skor
Unsur 2
73,66
64,86
65,51
71,56
70,78
65,17
68,37
66,86
69,55
62,25
68,18
62,83
65,54
58,38
56,88
56,76
69,32
53,57
58,92
60,00
50,60
63,79
Skor
Unsur 3
79,54
77,86
81,20
76,09
75,27
75,96
77,08
74,83
69,55
72,86
67,86
72,00
69,54
69,12
71,66
79,38
69,32
53,57
58,92
60,00
61,59
71,10
Skor
Unsur 4
80,31
83,06
79,46
79,63
80,00
79,64
77,18
80,36
76,96
77,58
79,23
74,56
71,43
74,90
75,56
56,76
70,54
59,69
71,88
64,29
63,35
74,11
Skor
Unsur 5
83,23
82,16
80,33
80,07
76,07
75,83
71,53
73,96
71,53
76,74
74,67
70,59
72,18
74,29
75,33
79,38
66,67
96,43
70,31
70,83
67,65
76,10
Skor
Rata2
81,23
78,72
78,60
78,42
76,89
76,84
76,07
75,45
74,68
74,66
74,09
72,66
72,27
71,81
71,61
70,26
70,05
69,27
68,25
66,89
63,40
73,51
Keterangan:
Unsur 1: Lingkungan Pengendalian Unsur 4: Komunikasi dan Informasi
Unsur 2: Penilaian Resiko
Unsur 5: Pemantauan
Unsur 3: Kegiatan Pengendalian
(rata-rata capaian 71,10). Bahkan terdapat satu unit kerja yang skor capaiannya
sangat memuaskan, sementara sejumlah 17 unit kerja memuaskan dan 3 unit kerja
cukup memuaskan. Angka tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar arahan
pimpinan telah dijalankan atau dipatuhi oleh pada pelaksana kegiatan.
Dalam praktek penerapan SPIP yang baik, informasi harus dicatat dan
dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan.
Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu
sehingga memungkinkan pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian
dan tanggung jawabnya.Dalam penerapan unsur Informasi dan Komunikasi seperti
tersebut di atas, perolehan skor unit-unit kerja secara umum masuk pada kategori
memuaskan (74,11). Namun demikian masih terdapat 2 unit kerja yang skor
capainnya berada pada kategori cukup memuaskan. Walaupun secara umum sudah
memuaskan, tetapi untuk mencapai kategori yang ideal (semua kegiatan dicatat,
disajikan, dan dilaporkan dengan baik), perlu terus dilakukan upaya pendampingan
dan asistensi dari pihak yang berkompeten berkaitan dengan hal tersebut.
Kegiatan Pemantauan dalam SPIP harus dapat menilai kualitas kinerja dari
waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya
dapat segera ditindaklanjuti. Dalam unsur ini, Inspektorat Jenderal sebagai instansi
APIP pada Kemenkumham memperoleh skor tertinggi. Hanya ada 3 (tiga) unit kerja
yang masuk pada kategori sangat memuaskan (Itjen, Kanwil Sulawesi Tenggara, dan
Kanwil Sulawesi Tengah) sedangkan lainnya (16 unit kerja) masuk pada kategori
memuaskan. Rata-rata capaian sebesar 67,10% menggambarkan bahwa dalam
kegiatan pemantauan, secara umum Kemenkumham masuk pada kategori
memuaskan walaupun tetap memerlukan perbaikan dan penyempurnaan untuk
mencapai praktek pemantauan yang ideal.
Unsur Lain Dalam Penilaian Wilayah Bebas Korupsi
Untuk menetapkan apakah sebuah unit kerja layak menyandang predikat
sebagai Unit Kerja Wilayah Bebas dari Korupsi, maka dilakukan penilaian yang
meliputi unsur-unsur SPIP ditambah dengan unsur Inisiatif Anti Korupsi, Penetapan
dan Pengukuran Kinerja dan Pelayanan Publik. Skor capaian ketiga unsur lain dalam
penilaian WBK disajikan pada Tabel 3: Skor Unsur Lain Penilaian Wilayah Bebas
Korupsi.
Tabel 3: Skor Unsur Lain Penilaian Wilayah Bebas Korupsi
No.
10.
11.
12.
13.
14.
Lokasi/Kanwil
Sulawesi Tenggara
Lampung
Ditjen PP
Bali
Jawa Tengah
Sumatera Barat
Banten
Sulawesi Tengah
D.I. Yogyakarata
Kepulauan Riau
Nusa Tenggara Timur
Bangka Belitung
Kalimantan Timur
Jawa Barat
Skor
Unsur 1
80,28
75,29
79,04
75,00
78,38
68,63
76,35
71,64
70,10
73,83
72,54
74,80
72,10
71,53
Skor
Unsur 2
77,16
74,89
69,32
73,31
68,86
78,60
74,57
75,06
73,23
74,26
73,98
74,18
72,43
71,97
Skor
Unsur 3
77,72
68,38
69,24
70,50
65,13
78,96
68,01
71,63
71,04
65,85
68,31
73,63
69,93
69,24
Skor
Unsur 4
83,81
90,22
89,38
88,07
94,16
79,11
85,44
84,13
87,26
87,15
86,23
77,95
85,77
87,50
Skor
Rata2
79,74
77,20
76,75
76,72
76,63
76,33
76,09
75,62
75,41
75,27
75,27
75,14
75,06
75,06
10
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Kalimantan Tengah
Sumatera Utara
Jambi
Sumatera Selatan
Papua
Inspektorat Jenderal
Balitbang HAM
Skor rata-rata
73,61
68,41
62,50
66,40
61,15
66,81
52,35
70,42
65,19
68,55
70,57
65,51
61,84
54,17
59,09
69,01
67,29
66,45
65,33
65,94
69,05
59,29
68,25
68,25
92,38
87,40
83,85
83,16
75,84
83,84
48,50
84,34
74,62
72,70
70,56
70,25
66,97
66,03
57,05
73,01
Keterangan:
Unsur 1:Inisiatif Anti Korupsi
Unsur 2: Penetapan Kinerja
Unsur 1 (Penilaian Inisiatif Anti Korupsi/PIAK) adalah alat ukur dalam menilai
kemajuan unit kerja dalam mengembangkan upaya pemberantasan korupsi. Skor
rata capaian pada unsur ini adalah 70,42, masuk pada kategori memuaskan. Dengan
capaian PIAK tersebut maka dapat dikatakan bahwa unit-unit kerja pada
Kemenkumham secara umum telah menerapkan sistem dan mekanisme untuk
mencegah dan mengurangi korupsi di lingkungannya. Namun demikian tetap perlu
dilakukan upaya pembinaan dari Unit Kerja Pembina SPIP (APIP) yaitu Inspektorat
Jenderal untuk terus meningkatkan capaian pada unsur ini karena masih ada
beberapa unit kerja yang skor capaiannya masih rendah.
Pada unsur 2 (Penetapan Kinerja), skor capaian rata-ratanya adalah sebesar
69,01 atau masuk pada kategori memuaskan. Penetapan Kinerja merupakan suatu
janji kinerja yang akan diwujudkan oleh seorang Pejabat Penerima Amanah kepada
atasan langsungnya. Dengan angka capaian tersebut maka dapat dikatakan bahwa
pada Pejabat Penerima Amanah secara umum telah dapat menggambarkan
pencapaian kinerja yang akan diwujudkan oleh unit kerjanya dalam tahun tertentu
dengan baik dengan mempertimbangkan sumber daya yang dikelolanya.
Pada unsur 3 (Pemenuhan Pengukuran) skor capaian rata-ratanya adalah
sebesar 68,25 atau masuk pada kategori memuaskan. Dengan skor capaian ratarata tersebut secara umum pimpinan pada unit-unit kerja di Kemenkumham telah
dapat mencapai target kinerja sesuai dengan yang telah ditetapkan. Walaupun angka
capaian tersebut telah masuk pada kategori memuaskan, namun masih harus terus
dilakukan upaya-upaya perbaikan dalam hal bagaimana menetapkan target,
mengelola sumber daya dan membuat strategi untuk mencapai target yang telah
ditetapkan.
Unsur pelayanan publik dalam penetapan Unit Kerja WBK merupakan unsur
yang sangat penting karena dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan
publik adalah unsur yang paling menyentuh kepentingan masyarakat. skor capaian
pada unsur ini adalah sebesar 84,34 atau masuk pada kategori memuaskan. Dengan
capaian tersebut dapat dikatakan secara umum, unit-unit kerja pada Kemenkumham
telah dapat memberikan pelayanan secara prima kepada masyarakat.Terdapat 17
Kanwil dan Unit Kerja yang skor capaiannya berada pada kategori sangat
memuaskan, tiga Kanwil dan Unit Kerja berada pada kategori memuaskan dan
hanya satu unit kerja (Balitbangham) yang skor capaiannya kurang memuaskan.
Kesiapan Kanwil dalam Mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi
Penghitungan dan pemberian bobot (skoring) untuk menetapkan apakah sebuah
unit kerja masuk dalam kategori WBK atau tidak dilakukan dengan berpedoman
pada Permenkumham Nomor M.HH-01.PW.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman
Penetapan WBK Kemenkumham RI. Setelah dilakukan penghitungan dan skoring
11
Kategori Zona
Integritas
Score WBK
(%)
Kategori
1.
Sulawesi Tenggara
79,70
WBK II
2.
Bangka Belitung
70,13
WBK III
3.
Sulawesi Tengah
74,15
WBK III
4.
Lampung
75,17
WBK II
5.
Banten
74,50
WBK III
6.
Kalimantan Tengah
72,96
WBK III
7.
Jambi
69,26
WBK III
8.
Yogyakarta
73,66
WBK III
9.
Jawa Tengah
94,16
WBK I
10.
74,28
WBK III
11.
Sumatera Selatan
83,16
WBK II
12.
Sumatera Barat
72,46
WBK III
13.
Sumatera Utara
71,22
WBK III
14.
Papua
63,92
WBK IV
15.
Jawa Barat
73,09
WBK III
16.
Kalimantan Timur
72,62
WBK III
17.
Kepulauan Riau
72,32
WBK III
18.
Bali
74,74
WBK III
19.
20.
21.
WBK II
89,38
WBK V
48,5
83,84
WBK II
Dari tabel 4 terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang cukup signifikan dalam
hal perolehan skor Wilayah Bebas Korupsi antara Unit Kerja (Kanwil) yang masuk
kategori ZI () dan yang Non ZI (-). Terdapat Kanwil ZI yang masuk kategori sebagai
WBK (WBK I dan II), yaitu Sulawesi Tenggara dan Jawa Tengah) dan juga terdapat
Kanwil Non ZI yang masuk kategori WBK yaitu Sumatera Selatan dan Lampung.
Dari 3 (tiga) Unit Utama Eselon I yang menjadi lokasi penelitian, 2 Unit masuk
kategori WBK (Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dan Inspektorat
12
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH01.PW.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Penetapan Wilayah Bebas Korupsi
(WBK) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
14