Anda di halaman 1dari 36

Proposal Penelitian

LAJU DEGRADASI WARNA DAN KONSENTRASI ANTOSIANIN PADA


SIRUP UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L)

oleh:

Rahmat Darmawansyah
1105105010013

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Pewarna makanan merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang

sangat penting karena dapat memberikan kesan estetika pada makanan. Makanan
yang memiliki warna tentu memiliki daya tarik yang lebih bagi konsumen. Oleh
karena itu, para produsen di tiap industri pangan berlomba-lomba untuk
menghasilkan produk yang memiliki warna menarik. Namun, produsen pangan
tersebut saat ini mulai banyak menggunakan pewarna sintetis daripada alami. Hal
ini disebabkan karena pewarna sintetis dianggap lebih ekonomis, mudah
ditemukan, dan warnanya lebih stabil.
Pewarna sintetis dapat membahayakan kesehatan bila dikonsumsi melewati
ambang batas. Pewarna sintetik bersifat karsinogenik yang berarti dapat
menyebabkan kanker. Oleh karena itu, saat ini mulai digalakkan pemakaian
pewarna alami yang dinilai tidak membahayakan kesehatan sama sekali.
Permintaan terhadap pewarna alami pun kini semakin meningkat. Pewarna alami
dapat diperoleh dengan cara mengekstrak pigmen tumbuhan, salah satunya adalah
ubi jalar ungu.
Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas) merupakan salah satu komoditas pertanian
yang memiliki prospek di bidang industri pangan, terutama penggunaannya
sebagai pewarna alami. Ubi jalar dinilai memiliki keunggulan, salah satunya
mudah diproduksi pada berbagai lahan dengan produktivitas yang tinggi. Ubi jalar
ungu merupakan sumber pigmen alami yang dapat menghasilkan warna biru,
ungu dan violet. Warna ungu pada ubi jalar disebabkan oleh adanya pigmen

antosianin yang menyebar dari bagian kulit sampai pada daging ubinya (Santoso
dan Estiasih, 2014).
Antosianin merupakan suatu senyawa turunan flavonoid glikosida yang
terdiri dari gugus gula (glikon), gugus bukan gula (aglikon) yang berupa
antosianidin, dan beberapa gugus asil pada antosianin jenis tertentu (Santoni, dkk,
2013). Antosianin juga sudah lama dijadikan zat warna karena dianggap telah
memenuhi persyaratan sebagai pewarna tambahan makanan. Persyaratan tersebut
diantaranya tidak merusak makanan dan kemasan serta tidak beracun atau
menimbulkan efek samping (Nugrahan, 2007). Selain bermanfaat sebagai
pewarna alami, antosianin juga bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena dapat
menangkal radikal bebas. antosianin dapat dilakukan dengan cara ekstraksi
pelarut. Pada penelitian ini ekstraksi ubi jalar ungu dilakukan dengan cara
ekstraksi bertekanan menggunakan pelarut etanol.
Antosianin pada ubi jalar ungu telah diaplikasikan ke dalam beberapa
produk pangan, seperti jelly karagenan dan agar-agar (Winarti, dkk, 2008),
yoghurt dan minuman berkarbonasi (Lindy, 2008), serta sirup (Nugraha, 2013).
Menurut SNI (1994), sirup merupakan merupakan larutan gula dengan atau tanpa
penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan. Sirup termasuk produk
pangan yang memiliki pH rendah, oleh karena itu antosianin sangat cocok
diaplikasikan ke dalam sirup. Akan tetapi aplikasi antosianin pada produk pangan
ternyata memiliki sejumlah keterbatasan. Tranggono (1990) mengatakan bahwa
keterbatasan penggunaan pewarna alami dari pigmen tumbuhan yaitu meliputi
stabilitasnya rendah dan keseragaman warnanya tidak merata seperti pada
pewarna sintetis. Antosianin termasuk salah satu pigmen warna yang tidak stabil

pada kondisi tertentu. Menurut Iversen (1999), kestabilan antosianin dipengaruhi


oleh beberapa faktor seperti suhu, cahaya, oksigen, pH, ion logam, dan asam
askorbat.
1.2

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari laju degradasi

warna dan konsentrasi antosianin akibat pengaruh pengolahan dan kondisi


penyimpanan pada sirup ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.), serta mengetahui
waktu paruhnya.
1.3

Hipotesis Penelitian
Suhu pengolahan dan kondisi penyimpanan diduga berpengaruh terhadap

kestabilan antosianin pada sirup ubi jalar ungu.


1.4

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi

mengenai kondisi mana yang sesuai agar diperoleh antosianin dengan kestabilan
paling optimum. Informasi ini penting bagi para produsen pangan yang ingin
menggunakan antosianin dalam memproduksi makanan atau minuman.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1

Ubi Jalar Ungu


Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu varietas ubi jalar

yang memiliki daging berwarna ungu. Berikut ini merupakan taksonomi dari ubi
jalar ungu (Suprapti, 2003).
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotylodonnae

Ordo

: Convolvulales

Famili

: Convolvulaceae

Genus

: Ipomoea

Spesies

: Ipomoea batatas
Ipomoea batasas L.(Lamb)

Tanaman ubi jalar diduga berasal dari daerah tropis Amerika Tengah, tetapi
ada yang mengatakan dari polinesia. Penyebaran tanaman ini banyak dilakukan
oleh bangsa portugis dan Spanyol pada abad ke-16, antara lain ke Filipina,
Indonesia, Jepang dan Malaysia. Sekarang tanaman tersebut tumbuh disekitar
katulistiwa hingga 400LU dan 320 LS, dan tumbuh diketinggian 1 2200 m di
atas permukaan laut (Edmond and Ammerman, 1971).

Gambar 1. Ubi jalar ungu


Tanaman ubi jalar mempunyai umbi akar yang merupakan simpanan energi
bagi tumbuhan tersebut. Bentuk daunnya sangat bervariasi dari bentuk lonjong
sampai bentuk seperti jari dengan lekukan tepi yang banyak dan dalam. Ubi jalar
dapat berwarna putih, orange sampai merah, bahkan ada yang berwarna kebiruan,
violet atau berbintik-bintik biru. Ubi yang berwarna kuning, orange sampai merah
banyak mengandung karatenoid yang merupakan prekursor vitamin A
(Sediaoetoma, 1993).
Ubi jalar sebagai bahan pangan memiliki mutu gizi yang baik. Kandungan
ubi jalar berbeda-beda untuk masing-masing warna daging umbi. Pada ubi jalar
ungu, terdapat kandungan nutrisi berupa pati 22,64%, gula pereduksi 0,30%,
lemak 0,94%, protein 0,77%, air 70,46%, abu 0,84%, serat 3%, vitamin C 21,43
mg/100 g dan antosianin 110,51 mg/100 g (Tabel I). Selain sebagai sumber
karbohidrat, protein, vitamin dan mineral, ubi jalar berwarna daging ungu
mempunyai kandungan antosianin tinggi yang dapat diunggulkan. Antosianin
dimanfaatkan oleh tubuh manusia untuk kesehatan yang berfungsi sebagai
antioksidan, antihipertensi, dan pencegahan gangguan fungsi hati (Lingga, dkk.,
1986).

Tabel 1. Kandungan gizi ubi jalar ungu


Gizi
Jumlah
Pati (%)
2,64
Gula reduksi (%)
0,30
Lemak (%)
0,94
Protein (%)
0,77
Air (%)
70,46
Abu (%)
0,84
Serat (%)
3,00
Vitamin C (mg/100 g)
21,43
Vitamin A (SI)
Antosianin (mg/100 g)
110,51
Sumber: Suprapta (2003)
Menurut Yang dan Gadi (2008), tingkat kecerahan warna ungu pada ubi
jalar dipengaruhi oleh total kandungan antosianinnya. Di Indonesia umumnya ubi
jalar ungu memiliki daging umbi berwarna ungu muda hingga ungu pekat. Lebih
lanjut, Husna dkk (2013) dalam penelitiannya mengatakan bahwa kadar
antosianin ubi jalar ungu pekat 17 kali dibandingkan ubi jalar ungu muda, masingmasingnya yaitu 61,85 mg/100 g dan 3,51 mg/100 g. walaupun demikian,
aktivitas antioksidan keduanya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
1.2

Pewarna Alami
Pewarna makanan merupakan bahan tambahan yang berfungsi untuk

menambah daya tarik makanan atau minuman. Pewarna makanan terbagi atas 2
jenis, yaitu pewarna alami dan pewarna sintetis. Dari kedua jenis pewarna
tersebut, pewarna sintetis lebih sering digunakan dalam industri karena dianggap
memiliki kelebihan dibandingkan pewarna alami. Kelebihan yang dimiliki
pewarna sintetis yaitu kestabilan warnanya yang lebih tahan lama serta
keberadaannya yang lebih mudah didapatkan. Akan tetapi, beberapa jenis pewarna
sintetis justru dapat membahayakan kesehatan bila penggunaannya tidak sesuai
dengan aturan yang ditentukan (Enie, 1987).

Pewarna alami dapat diperoleh dari pigmen tumbuh-tumbuhan. Pigmen


pada tumbuhan ada beberapa jenis, seperti klorofil, karoten, antoxantin dan
antosianin. Klorofil merupakan pigmen berwarna hijau yang terdapat dalam
kloroplas bersama dengan xantofil. Karoten merupakan pigmen pada tumbuhan
yang berwarna kuning, orange atau merah, seperti pada tomat, pisang, wortel,
cabai, dan lain-lain. Antoxantin merupakan pigmen yang hamper sama dengan
karoten, yaitu pigmen berwarna kuning pada beberapa tumbuhan. Bedanya
adalah, antoxantin merupakan pigmen berwarna kuning yang larut dalam air,
sedangkan karoten merupakan pigmen kuning yang larut dalam lemak. Adapun
antosianin merupakan pigmen tumbuhan berwarna merah, ungu atau biru yang
larut dalam pelarut polar (Widhiana, 2000).
Salah satu kendala dalam penggunaan pewarna alami yaitu cara
memperolehnya yang lebih susah dibandingkan dengan pewarna sintetis. Pewarna
sintetis banyak dijual secara komersial sehingga mudah untuk ditemukan. Oleh
karena itu, dengan membuat sediaan pewarna alami dari pigmen tumbuhan, maka
masyarakat akan lebih mudah untuk mendapatkan pewarna alami, sama seperti
pewarna sintetis.
1.3

Antosianin
Antosianin merupakan pigmen tumbuhan yang bersifat larut air yang

berperan dalam penampakan warna biru, ungu, dan merah pada banyak jaringan
tanaman. Secara kimia, antosianin termasuk senyawa flavonoid dan merupakan
glikosida dari antosianidin yang terdiri dari 2-phenyl benzopyrilium (Flavium)
tersubstitusi. Antosianin memiliki sejumlah gugus hidroksil bebas dan gugus
hidroksil termetilasi yang berada pada posisi atom karbon yang berbeda.

Seluruh senyawa antosianin merupakan senyawa turunan dari kation flavilium.


Terdapat sekitar dua puluh jenis senyawa antosianin yang telah ditemukan.
Namun, hanya enam jenis yang memegang peranan penting dalam bahan
pangan yaitu pelargonidin, sianidin, delfinidin, peonidin, petunidin, dan malvidin
(Nugrahan, 2007).
Menurut Wu et al. (2006), perbedaan antar-antosianin disebabkan karena
adanya variasi dalam peletakan nomor dan posisi dari gugus hidroksil dan
metoksil pada rantai dasarnya. Selain itu, Yoshinaga et al (2000) juga mengatakan
bahwa perbedaan jenis antosianin disebabkan oleh adanya variasi dari identitas,
nomor, jumlah dan posisi dimana gula melekat serta tingkat asilasi gula tersebut.
Gula yang biasanya berada pada atom C3, C5 dan kadang-kadang C7 adalah
glukosa, arabinosa, ramnosa atau galaktosa, baik dalam bentuk monoglikosida,
diglikosida maupun triglikosida. Struktur dari 6 jenis antosianin yang umum dapat
dilihat pada gambar 2 dan tabel 1.

Gambar 2. Struktur kimia dasar antosianin


Tabel 2. Struktur kimia dari 6 jenis antosianin yang umum

Antosianidin

R1

R2

R3

Pelargonidin (Pg)
Sianidin (Cy)

H
OH

OH
OH

H
H

Delfinidin
Peonidin
Petunidin
Malvidin
Sumber: Yoshinaga et al., 2000.

OH
Ome
Ome
Ome

OH
OH
OH
OH

OH
H
OH
Ome

Sifat dan warna antosianin di dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh


beberapa faktor, antara lain jumlah pigmen, letak dan jumlah gugus hidroksi dan
metoksi, dan sebagainya (Markakis, 1982). Konsentrasi pigmen yang tinggi dalam
jaringan akan menyebabkan warna merah hingga gelap, konsentrasi sedang akan
mengakibatkan warna ungu, dan konsentrasi rendah akan menyebabkan warna
biru (Winarno, 1992).
1.4

Stabilitas Antosianin

Warna dan stabilitas pigmen antosianin dipengaruhi oleh beberapa faktor.


Menurut Basuki dkk (2005), suhu, cahaya, pH dan oksigen turut berperan
terhadap kestabilan dari warna ungu pada antosianin.

1.4.1

Suhu
Dalam ilmu kimia, suhu mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dengan

cara

mengubah

arah

kesetimbangannya.

Suhu

juga

dapat

menggeser

kesetimbangan antosianin. Suhu dapat mempengaruhi kestabilan antosianin baik


pada proses pengolahan maupun penyimpanan. Pada proses pengolahan,
perlakuan panas dapat menyebabkan antosianin cenderung berubah menjadi
bentuk yang tidak berwarna, yaitu basa karbinol dan kalkon. Kerusakan akibat
pemanasan ini dapat terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama yaitu hidrolisis

yang terjadi pada ikatan glikosidik antosianin sehingga menghasilkan aglikonaglikon yang tidak stabil. Tahap kedua yaitu cincin aglikon terbuka membentuk
gugus karbinol dan kalkon. Degradasi ini dapat terjadi lebih lanjut jika terdapat
oksidator sehingga terbentuk senyawa yang berwarna coklat. Oleh karena itu,
penggunaan antosianin sebagai bahan tambahan pangan harus diusahakan pada
tahap akhir dimana proses pemanasan sudah minimal (SEAFAST, 2012).
Pada proses penyimpanan, antosianin tetap bisa mengalami degradasi
warna walaupun suhu pengolahannya sudah diperhatikan dengan baik. Timberlake
dan Bridle dalam Walford (1980) mengatakan bahwa pada penyimpanan dingin
antosianin cenderung berwarna merah karena basa quinodal (A) dan basa karbinol
(B) bertransformasi dengan cepat menjadi bentuk kationik (AH +). Ini
menunjukkan bahwa penyimpanan minuman antosianin pada suhu refrigerator
menghasilkan intensitas warna yang lebih baik dibandingkan suhu ruang. Selama
penyimpanan pada suhu ruang, antosianin bertransformasi dengan cepat menjadi
bentuk kalkon yang tidak berwarna.
1.4.2

Cahaya
Cahaya, seperti halnya panas, mampu mendegradasi pigmen antosianin

dan membentuk kalkon yang tidak berwarna. Cahaya menghasilkan energi yang
dapat menyebabkan terbukanya cincin antosianin melalui proses fitokimia atau
fotooksidasi.

Semakin

lama

paparan

cahaya

terhadap

antosianin

akan

menyebabkan terjadinya degradasi lanjutan dan terbentuk senyawa turunan lain


seperti 2,4,6-trihidroksibenzaldehid dan asam benzoat tersubtitusi (SEAFAST,
2012).

Menurut Prakasih (2001) antosianin sebagai antioksidan dapat diukur dengan


beberapa metode, salah satunya yaitu dengan menggunakan DPPH (2,2-difenil-1pikrilhidrazil). Metode ini didasarkan pada kemampuan penangkapan atom hidrogen dari
suatu antioksidan oleh DPPH sehingga DPPH menjadi stabil dalam bentuk tereduksi.
DPPH merupakan salah satu radikal bebas. Pengukuran antivitas antioksidan dengan
metode DPPH dinilai cukup akurat karena kestabilan DPP dalam bentuk radikal. Berikut
ini adalah reaksi antara DPPH dengan antioksidan.

Gambar 3. Mekanisme penghambatan radikal DPPH oleh antioksidan

1.4.3

Transformasi Struktur dan pH


Kestabilan antosianin dipengaruhi oleh pH atau tingkat keasaman. Tingkat

keasaman ini sangat berhubungan dengan transformasi struktur antosianin.


Menurut Tensiska et al. (2006), peningkatan nilai pH menyebabkan kation
flavium menjadi tidak stabil dan mudah mengalami transformasi struktural
menjadi senyawa tidak berwarna atau kalkon. Adapun pada pH yang rendah,
kation flavium berada pada bentuk stabil sehingga intensitas warna yang
ditampilkan juga lebih stabil.
Pada kondisi asam warna antosianin ditentukan oleh banyaknya substitusi
pada cincin B (Gambar 1). Semakin banyak substitusi OH akan menyebabkan
warna semakin biru, sedangkan metoksilasi menyebabkan warna semakin merah.
Penambahan gugus hidroksil menghasilkan pergeseran ke arah warna biru

(pelargonidin sianidin delpinidin), yaitu pembentukan glikosida dan


metilasi menghasilkan pergeseran ke arah warna merah (pelargonidin
pelargonidin-3-glukosida; sianidin peonidin) (Wahyu, 2014). Semakin banyak
substitusi OH dapat menyebabkan warna semakin biru, sedangkan metoksilasi
akan menyebabkan warnanya semakin merah (Sudjana, 1996).
1.4.4

Oksigen
Menurut Arthey dan Ashurst (2001) pigmen antosianin dapat dirusak oleh

oksigen. Oksigen pada umumnya akan menyebabkan oksidasi pada senyawa


tertentu yang sensitif. Oleh karena itu, produk antosianin banyak dikemas dalam
kemasan yang kedap udara dan tidak ditembus cahaya.
1.5

Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi


oleh radikal bebas. Antioksidan mampu mencegah beberapa kerusakan fungsi
tubuh, seperti kerusakan membran dinding sel, pembuluh darah, DNA, jaringan
lipid, protein dan lipoprotein, serta kerusakan asam lemak tak jenuh. Selain itu,
antioksidan juga dapat menghancurkan dan menetralkan radikal bebas yang dapat
memicu terjadinya penyakit degeneratif (Devasagayam et al., 2004).
Menurut Soematmaji (1998) radikal bebas (free radical) merupakan
senyawa atau molekul yang pada orbital terluarnya masih terdapat satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan. Adanya elektron yang tidak berpasangan
menyebabkan senyawa tersebut menjadi sangat reaktif dalam mencari
pasangannya. Jika masuk ke dalam tubuh, radikal bebas akan melengkapi elektron

bebasnya dengan cara menyerang dan mengikat biomolekul seperti protein,


lemak, dan bahkan asam nukleat sehingga dapat menimbulkan penyakit
degeneratif (Leong dan Shui, 2001). Penggunaan antioksidan dapat mencegah
agresivitas radikal bebas dalam tubuh.
Prinsip kerja antioksidan yaitu menyumbangkan satu atau lebih elektron
kepada senyawa oksidan. Dengan demikian, senyawa oksidan menjadi lebih stabil
karena elektron bebasnya sudah berpasangan (Kikuzaki, dkk., 2002). Mekanisme
pemberian satu elektron oleh antioksidn dapat berlangsung sebagai berikut.

Z* + AH = ZH + A*
Keterangan: Z = radikal bebas, AH = antioksidan, ZH = non radikal, A =
radikal baru yang bersifat lebih stabil

Gambar. 2 Reaksi Penetralan radikal bebas oleh antioksidan


Antioksidan memiliki beberapa peran di dalam tubuh. Menurut Niki
(1996), radikal bebas memiliki peran antara lain sebagai berikut.
1. Antioksidan berperan sebagai pencegah radikal bebas. Cara kerjanya
adalah dengan mencegah pembentukan radikal bebas melalui
penguraian senyawa non radikal.

2. Antioksidan berperan sebagai pemusnah radikal bebas. Prinsip kerjanya


yaitu memusnahkan radikal bebas dengan cara menghalangi rantai
inisiasi dan menghancurkan rantai propagasi.
3. Antioksidan berperan sebagai senyawa perbaikan jaringan. Cara
kerjanya adalah dengan memperbaiki membrane jaringan yang
telahrusak oleh radikal bebas.
Antioksidan banyak terkandung secara alami pada tumbuhan. Antioksidan
pada tumbuhan umumnya tergolong ke dalam senyawa fenolik atau polifenolik,
baik itu golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asamasam polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan
meliputi flavon, flavonol, flavanon, isoflavon, katekin dan kalkon (Markham,
1988).
Antosianin merupakan senyawa golongan flavonoid yang memiliki
aktivitas antioksidan. Selain fungsinya sebagai zat pewarna, antosianin telah
dipercaya memiliki kemampuan dalam sistem biologis dan biomolekul tubuh.
Antosianin memiliki kemampuan untuk mengikat radikal bebas dan menghambat
tahap awal (inisiasi) dari reaksi kimiawi yang bersifat karsinogenik (Smith et al.,
2000). Kemampuan antioksidan antosianin muncul akibat rektivitasnya yang
tinggi dalam mendonorkan hidrogen atau elektron dan kemampuan turunan
polifenolnya dalam menetralkan elektron-elektron tidak berpasangan. Selain itu,
antosianin juga termasuk senyawa pengkhelat ion logam (Rice-Evan et al., 1997).
1.6

Ekstraksi Antosianin

Ekstraksi merupakan salah satu teknik pengambilan senyawa atau zat


tertentu dalam suatu bahan. Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa metode,
salah satunya adalah ekstraksi pelarut (solvent extraction.
Antosianin tergolong senyawa flavonoid dan merupakan glikosida dari
antosianidin yang terdiri dari 2-phenyl benzopyrilium (Flavium) tersubstitusi,
memiliki sejumlah gugus hidroksil bebas dan gugus hidroksil termetilasi yang
berada pada posisi atom karbon yang berbeda (Nugrahan, 2007). Gugus hidroksil
pada antosianin menyebabkan antosianin memiliki sifat polar. Oleh karenanya,
pelarut yang digunakan untuk mengekstrak antosianin haruslah pelarut yang
bersifat polar juga. Beberapa jenis pelarut polar yaitu air, etanol, methanol, dan
asam asetat.
Salah satu metode ekstraksi yang dapat membantu untuk menstabilkan
pelarut saat proses ekstraksi yaitu dengan metode ekstraksi fluida bertekanan.
Menurut Bjoerklund et al. (2000), ekstraksi fluida bertekanan menggunakan
tekanan dan suhu yang tinggi pada pelarut untuk mencapai proses ekstraksi yang
cepat dan efisien. Penggunaan tekanan dan suhu yang tinggi tersebut dapat
mengurangi waktu ekstraksi dan meminimalisir atau menghilangkan penggunaan
pelarut yang beracun. Ekstraksi pelarut bertekanan telah digunakan dalam proses
ekstraksi antosiani dari berbagai buah dan sayur seperti bayam, beri dan anggur
(Howard et al., 2008).
Beberapa jenis pelarut dapat digunakan dalam proses ektraksi fluida
bertekanan. Rabah et al. (2005) telah melakukan ekstraksi komponen fenolik
pada ubi jalar dengan menggunakan pelarut air dengan temperatur tinggi, yaitu
200-300oC. Adapun Truong et al. (2010) menggunakan pelarut campuran metanol

dan air untuk mengekstrak antosianin dari bubuk ubi jalar ungu. Selain air dan
metanol, beberapa jenis pelarut yang biasa digunakan pada proses ekstraksi cairan
bertekanan dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Sifat dari berbagai pelarut fluida pada ekstraksi fluida bertekanan.
Berat
Suhu
Tekanan
Kepadatan
Pelarut
Molekul
Kritis
Kritis
Kritis
g/mol

MPa (atm)

g/cm3

Karbon
dioksida (CO2)

44.01

304.1

7.38 (72.8)

0.469

Air (H2O)

18.02

647.3

22.12 (218.3)

0.348

Metana (CH4)

16.04

190.4

4.60 (45.4)

0.162

Etana (C2H6)

30.07

305.3

4.87 (48.1)

0.203

Propana (C3H8)

44.09

369.8

4.25 (41.9)

0.217

Etilena (C2H4)

28.05

282.4

5.04 (49.7)

0.215

Propilena (C3H6)

42.08

364.9

4.60 (45.4)

0.232

Methanol (CH3OH)

32.04

512.6

8.09 (79.8)

0.272

Ethanol (C2H5OH)

46.07

513.9

6.14 (60.6)

0.276

Aseton (C3H6O)

58.08

508.1

4.70 (46.4)

0.278

Sumber: Reid et al., 1987


Pada penelitian ini akan dilakukan ekstraksi antosianin dari ubi jalar ungu
dengan menggunakan metode ekstraksi cairan bertekanan, dimana pelarut yang
digunakan yaitu pelarut etanol pada suhu tinggi dan kondisi pH asam.
1.7

Sirup
Antosianin stabil pada pH rendah. Oleh karena itu, antosianin sebaiknya

diaplikasikan pada produk-poduk yang memiliki pH rendah. Salah satu poduk


pangan yang memiliki pH rendah adalah sirup. Menurut Departemen

Perindustrian (1977), sirup merupakan minuman yang banyak dikonsumsi oleh


masyarakat Indonesia. Konsumsi sirup ini disebabkan karena kemudahannya
dalam penyajian. Sirup merupakan larutan gula pekat yang digunakan sebagai
bahan minuman atau tanpa ditambahkan asam (antara lain asam sitrat, asam
tartarat dan asam laktat) juga aroma dan zat warna.
Ada beberapa jenis sirup yang dikenal, yaitu sirup glukosa, fruktosa dan
sirup maltosa. Perbedaan antara masing-masing sirup tersebut terletak pada
komponen-komponen penyusunnya. Pada sirup glukosa, komponen penyusunnya
adalah gugus D(+) glukosa dan komponen lainnya yaitu maltosa dan polimer dari
D-glukosa (Keasley dan dziedzic, 1984). Pada sirup sukrosa, komponen utama
penyusunnya adalah sukosa yang berupa larutan gula pekat. Adapun pada sirup
fruktosa, komponen utama penyusunnya adalah fruktosa (Coulson et al., 1970
dalam Suryani, 1998).
Secara umum, sirup dibuat dengan bahan utama berupa gula pasir dan air
hingga membentuk suatu larutan pekat. Selain itu, pada pembuatan siup juga
digunakan penambahan bahan lainnya berupa asam sitrat, flavor, pewarna dan
pengawet. Asam sitrat berfungsi sebagai pemberi rasa asam, flavor berfungsi
sebagai pemberi cita rasa dan pengawet berfungsi memperpanjang masa simpan
(Oktavianti, 2002).
Menurut Perusahaan SnoWizard Inc. (2014) formulasi sirup sederhana
atau sirup model dibuat dengan campuran antara gula dan air dengan
perbandingan 50:50 atau 1:1. Campuran 50% gula diukur berdasarkan berat,
kemudian dilarutkan dalam 50% air yang dihitung berdasarkan volume.
Perbandingan sederhana dapat dibuat dengan mencampurkan 5 pon atau 80 ons

gula kering dilarutkan dalam 80 ons. Sirup biasanya akan tahan selama 7-10 hari
tergantung pada suhu penyimpanan. Masa simpan sirup akan menjadi lebih
pendek jika disimpan pada lingkungan yang hangat.
Mulyadi (2009) telah melakukan penelitian tentang pembuatan sirup
tamarillo dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yaitu 25%, 50%, dan 75%.
Untuk pembuatan sirup dengan konsentrasi 25%, 75 ml ekstrak dicampurkan
dengan 225 ml larutan gula.untuk pembuatan sirup dengan konsentrasi 50%, 150
ml ekstrak dicampurkan dengan 150 ml larutan gula. Adapun untuk pembuatan
sirup 75%, 225 ml ekstrak ditambahkan ke dalam larutan gula 25 ml.
1.8

Laju Degradasi dan Waktu Paruh


Mutu bahan pangan selama penyimpanan umumnya terus-menerus

mengalami perubahan. Perubahan mutu tersebut dapat berupa penurunan nilai


gizi, kadar gula, kadar vitamin, kadar air serta penampilannya yang semakin
kurang menarik (Wijaya, 2012). Menurut Susiwi (2009), stabilitas produk pangan
dikaitkan dengan mudah tidaknya produk tersebut mengalami degradasi mutu.
Tingkat penurunan mutu produk pangan dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan,
sedangkan laju penurunannya dipengaruhi oleh kondisi penyimpanan. Penurunan
mutu produk pangan dapat menyebabkan perubahan pada produk, meliputi
perubahan tekstur, flavor, nilai gizi, penampakan fisik dan warna.
Antosianin merupakan pigmen alami yang cenderung mengalami
degradasi selama penyimpanan (Rein, 2005). Menurut Gradinaru et al. (2002),
laju degradasi pigmen diperoleh dengan menghubungkan nilai retensi warna dan
waktu. Kinetika degradasi antosianin mengikuti persamaan Arhenius orde nol dan

satu. Pengamatan kinetika degradasi antosianin dilakukan melalui persamaan


matematis yang diinterpretasikan sebagai berikut.
d [ C ]
n
=k [C ]
dt

dimana:
C = Nilai kuantitatif penurunan mutu
k

= konstanta laju penurunan mutu

= ordo reaksi

a. Penurunan mutu orde nol


Menurut Labuza (1982), penurunan mutu orde nol merupakan penurunan
mutu yang bersifat konstan karena tidak tergantung pada konsentrasi pereaksinya.
Jenis kerusakan yang mengikuti laju reaksi orde nol meliputi kerusakan enzimatis,
pencoklatan enzimatis dan oksidasi.
Untuk penurunan mutu orde nol, maka nilai n = 0, sehingga diperoleh
persamaan:
d [C ]/dt=k [C ]0
d [C ]/dt=k
d [ C ] =k dt
Ct

d [ C ]=k dt
C0

t0

Ct C0 = - kt
Ct = C0 kt

Waktu paruh (t1/2) dari penurunan mutu orde nol dapat dihitung dengan
persamaan berikut.
Ct = C0 kt
t=

C 0C t
k

t 1 /2 =

C 0C t
2k

Keterangan:
t1/2 = waktu paruh
C0 = Mutu awal produk
Ct = Mutu akhir produk
k

= Konstanta laju penurunan mutu

a. Penurunan mutu orde satu


Jenis kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika degradasi orde satu
meliputi ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off-flavour oleh mikroba
pada daging, ikan, unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein dan
sebagainya.
Untuk penurunan mutu orde satu, maka nilai n = 1, sehingga diperoleh
persamaan:
1

d [C ]/dt =k [C ]

d [C ]/dt=k [C]
d [C ]
=k dt
[C ]

Ct

d [ C]
[C ] =k dt
C
t
0

ln (Ct C0) = -kt


Waktu paruh (t1/2) dari penurunan mutu orde satu dapat dihitung dengan
persamaan berikut.
ln (Ct C0) = -kt
t=

t 1 /2 =

ln ( C0 ) ln (Ct )
k

t 1 /2 =

ln1ln 1/2
k

ln2
k

0,693
atau t 1 /2 = k

Keterangan:
t1/2 = waktu paruh
C0 = Mutu awal produk
Ct = Mutu akhir produk
k

= Konstanta laju penurunan mutu

Secara umum, waktu paruh (half-life) merupakan waktu yang dibutuhkan


oleh suatu bahan untuk mengalami peluruhan eksponensial hingga berkurang
menjadi setengah dari nilai awal. Konsep ini banyak terjadi dalam fisika, untuk
mengukur peluruhan radioaktif dari zat-zat, tetapi juga terjadi dalam banyak
bidang lainnya (Wikipedia, 2014).

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan mulai Februari sampai dengan April

2014. Penelitian akan dilakukan di Laboratorim Pengolahan Nabati, Laboratorium


Mikrobiologi Industri dan Laboratorium Analisis Pangan Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
3. 2

Bahan dan Alat

3.2.1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar ungu dari
Desa Saree, Kabupaten Aceh Besar. Bahan pembuatan sirup yaitu air, gula dan
asam sitrat. Adapun bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah
akuades, kalium klorida, natrium asetat, asam klorida, etanol, asam asetat, natrium
klorida dan DPPH (1,1- diphenyl-2-picrylhidrazyl).
3.2.2. Alat
Alat-alat yang dibutuhkan dalam proses ekstraksi antosianin adalah labu
ukur, gelas beaker, pisau, baskom, blender, autoklaf, gelas ukur, pipet tetes,
erlenmeyer, pipet ukur, pengaduk gelas, corong Buchner, timbangan analitik,
sentrifuse, rotary vakum evaporator, pH meter, dan spektrofometer
3.3. Perlakuan dan Rancangan Percobaan

Penelitian ini dilakukan dengan rancangan yang berbeda untuk tiap studi
degradasi antosianin.

3.3.1 Studi Deradasi Antosianin akibat Suhu Pengolahan


Pada tahap ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)) satu faktor.
Faktor yang dikaji adalah suhu pengolahan yang terdiri dari 3 taraf, yaitu 70 oC,
80oC dan 90oC. Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 9 satuan
percobaan.
3.3.2 Studi Degradasi Antosianin akibat Kondisi Penyimpanan
Perlakuan ini terdiri dari 3 taraf, yaitu suhu refrigerator, suhu ruang tanpa
pencahayaan dan suhu ruang dengan pencahayaan. Ulangan dilakukan sebanyak 3
kali. Metode percobaan dilakukan dengan metode regresi dan korelasi, dan hasil
percobaan dianalisis secara deskriptif.
3.4. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap, yaitu tahap ekstraksi antosianin
dan tahap studi degradasi antosianin pada sirup ubi jalar ungu.
3.4.1. Ekstraksi Antosianin
Persiapan yang dilakukan sebelum dilakukan ekstraksi yaitu sebagai
berikut.
1. Ubi jalar ungu dikupas kulitnya dan dicuci dengan air.
2. Ubi jalar ungu dipotong dadu dengan ukuran 5x5x5 mm.

3. Umbi ditempatkan dalam gelas kimia (wadah) dan ditambahkan pelarut etanol
(perbandingan jumlah ubi jalar dan pelarut adalah 1:10).
4. Wadah yang berisi campuran bahan dan pelarut ditempatkan ke dalam
autoclave dan dilakukan ekstraksi pada suhu 100oC selama 15 menit.
5. Bahan setelah ekstraksi didinginkan pada suhu ruang dan disaring.
6. Filtrat dari proses penyaringan kemudian di-sentrifuge dengan kecepatan 5000
rpm selama 15 menit.
7. Supernatan hasil sentifugasi dipekatkan dengan menggunakan rotary vacum
evaporator hingga diperoleh ekstrak antosianin dengan volume 1/10 dari
volume awal.
Diagram alir prosedur ekstraksi antosianin dapat dilihat pada lampiran 1.
3.4.2. Studi Degradasi Antosianin pada Sirup Ubi Jalar Ungu
-

Uji Stabilitas Antosianin akibat Suhu Pengolahan


Pembuatan sirup model mengacu pada tahapan yang dilakukan oleh Loeb

(2012), yaitu:
1. Air dan gula dimasukkan ke dalam panci dengan perbandingan 1:1
2. Asam sitrat ditambahkan ke dalam adonan sirup, selanjutnya diaduk dan
dipanaskan hingga mendidih.
3. Sirup didinginkan hingga suhunya turun sesuai dengan perlakuan (70oC, 80oC
dan 90oC).
4. Zat warna antosianin ditambahkan ke dalam sirup dengan kadar 20% pada
suhu 70oC, 80oC dan 90oC, lalu dipertahankan suhunya selama 5 menit.
Selanjutnya didinginkan pada air dan siap untuk dianalisis.

Diagram alir uji stabilitas antosianin akibat suhu pengolahan dapat dilihat
pada lampiran 2.
- Uji Stabilitas Antosianin akibat Kondisi Penyimpanan

1.

Sirup dimasukkan ke dalam wadah botol vial yang sudah disterilkan.


2. Sirup disimpan pada kondisi suhu penyimpanan berbeda, yaitu suhu
refrigerator (5oC), suhu ruang dengan cahaya, dan suhu ruang tanpa cahaya.
3. Selanjutnya sirup disimpan selama satu bulan dan analisis dilakukan setiap
satu minggu (0, 1, 2, 3, 4 minggu).
Diagram alir uji stabilitas antosianin akibat suhu pengolahan dapat dilihat
pada lampiran 3.
3.5. Analisis
Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji intensitas warna,
total antosianin dan laju degradasi antosianin terhadap waktu paruh (Lampiran 4).

Lampiran 1. Diagram Alir Proses Ekstraksi Antosianin


Ubi Jalar Ungu

Air

Pengupasan

Kulit

Pencucian

Air

Pemotongan
(5x5x5 mm)

Etanol
200 ml

Pencampuran

Ekstraksi dalam autoclave (100oC, 15


menit)

Pendinginan pada suhu ruang

Penyaringan

Sentrifugasi (5000 rpm, 15 menit)

Pemekatan dengan rotary vacum


evaporator

Ekstrak antosianin

Ampas

Endapan

Lampiran 2. Diagram Alir Studi Degradasi Antosianin akibat Suhu


Pengolahan
Air dan gula

Lampiran 3. Diagram Alir Studi Degradasi Antosianin akibat Kondisi


Penyimpanan
Asam
Pencampuran
Sitrat
Sirup
Pemanasan dan Pengadukan

Pendinginan
suhubotol
ruang
Pewadahan
dalam
vial

Penyimpanan
pada kondisi
Penambahan
berbeda

Penyimpanan selama sebulan


Pendinginan pada air es

Analisis
Analisis

Antosianin

Lampiran 4. Analisis Sirup


1. Uji Intensitas Warna (Li et al., 2013)
Tahapan pengukuran laju degradasi adalah sebagai berikut.
1. Hasil analisis parameter tiap perlakuan diplotkan terhadap waktu penyimpanan.
(untuk orde nol y = Ct dan x = t; untuk orde satu, y = ln Ct dan x = t)
2. Berdasarkan grafik tersebut, diperoleh persamaan linier y = ax + b dan nilai
korelasinya (R2), dimana a = k = slope, b = C0 = intersep (untuk orde nol), dan b =
ln C0 = intersep (untuk orde satu).
3. Nilai k yang diperoleh dari point 2 selanjutnya dimasukkan ke dalam
persamaan matematis waktu paruh untuk masing-masing ordo. (untuk orde nol,

t=

C 0C t
k

; untuk orde satu

t 1 /2 =

ln2
k )

2. Uji Total Antosianin (Giusti dan Worlstad, 2001)


Penetapan antosianin dilakukan dengan metode perbedaan pH yaitu pH 1,0
dan PH 4,5. Pada PH 1,0 antosianin terbentuk senyawa berwarna oxonium dan
pada PH 4,5 berbentuk karbinol tak berwarna. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan membuat suatu alikuot larutan antosianin dalam air yang Phnya 1,0 dan
4,5 untuk kemudian diukur absorbansinya.
a. Larutan Buffer pH 1,0 dan pH 4,5
Untuk membuat larutan buffer pH 1,0 digunakan KCl sebanyak 1,86 gram
dicampur dengan 980 ml air suling (aquades) dan diatur pHnya hingga mencapai
1 dengan menggunakan HCl pekat. Selanjutnya larutan dipidahkan kedalam labu

ukur 1 L dan ditambahkan air suling sampai volume larutan 1 L. Sedangkan untuk
larutan buffer pH 4,5 digunakan CH3CO2Na. 3 H2O sebanyak 54,43 gr dicampur
dengan 960 ml air suling. Kemudian pH diukur dan diatur dengan HCl pekat
hingga diperoleh larutan dengan pH 4,5. Selanjutnya larutan dipindahkan kedalam
labu ukur 1 L dan diencerkan dengan air suling sampai volume 1 L.
b. Pengukuran dan perhitungan konsentrasi antosianin total
1. Faktor pengenceran yang tepat untuk sampel harus ditentukan terlebih dahulu
dengan cara melarutkan sampel dengan buffer KCl pH 1 hingga diperoleh
absorbansi kurang dari 1,2 pada panjang gelombang 510 nm.
2. Absorbansi aquades pada panjang gelombang yang akan digunakan (510 dan
700 nm) untuk mencari titik nol. Panjang gelombang 510 nm adalah panjang
gelombang

maksimum

untuk

sianidin-3-glukisida

sedangkan

panjang

gelombang 700 nm untuk mengoreksi endapan yang masih terkandung dalam


sampel. Jika sampel benar-benar jernih maka absorbansi pada 700 nm adalah
nol.
3. Dua larutan sampel disiapkan, pada sampel pertama digunakan buffer KCl
dengan pH 1 dan untuk sampel kedua digunakan buffer Na-asetat dengan pH
4,5. Masing-masing sampel dilarutkan dengan larutan buffer berdasarkan DF
(Dilution Factor/ faktor pengenceran) yang sudah ditentukan sebelumnya.
Sampel yang dilarutkan menggunakan buffer pH 1,0 dibiarkan selama 15 menit
sebelum diukur, sedangkan untuk sampel yang dilarutkan dengan buffer pH 4,5
siap diukur setelah dibiarkan bercampur selama 5 menit.
4. Absorbansi dari setiap larutan pada panjang gelombang 510 dan 700 nm diukur
dengan buffer pH 1 dan buffer pH 4,5, sebagai blankonya.
Rumus Absorbansi:
A= (A510 A700)pH 1,0 (A510 A700)pH4,5
Kandungan pigmen antosianin pada sampel dihitung dengan rumus :
A
V
MW DF
100
Total Antosianin (%b/b) = X L
Wt

Keterangan :
A

L
MW
DF
V
Wt

= nilai absorbansi dari sampel


= absorbtivitas molar sianidin-3-glukosida = 26900L/(mol.cm)
= lebar kuvet = 1 cm
= berat molekul sianidin-3-glukisida = 449,2 g/mol
= faktor pengenceran
= volume akhir atau volume ekstrak pigmen (L)
= berat bahan awal (g)

DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan, N. 2012. Pewarna Alami Untuk Pangan. SouthEast Asian Food
and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Bogor.
Arthey, D. dan P.R. Ashurst. 2001. Fruit Processing, Nutrition Product, and
Quality Management, 2nd Edition. Aspen Publication, Maryland.
Basuki, N., dkk. 2005. Studi Pewarisan Antosianin pada Ubi Jalar. Jurnl
Agravita Vol. 27, No. 1, Hal. 63-68.
Belitz, H. D. and W. Grosch. 1999, Food Chemistry, 2nd Edition. Springer,
Germany.
BPS Aceh. 2006. Aceh dalam Angka 2006. Badan Pusat satistik Aceh, banda
Aceh.
Devasagayam, T.P.A., et al. 2004. Free Radicals and Antioxidants in Human
Health: Current Status and Future Prospect. Jurnal of Assoc. Phys. Hal
794-804.
Edmond, J.B. dan G. R. Ammerman. 1971. Sweet Potatoes: Production,
Processing, Marketing. The AVI Publishing Company, Inc., Westport.
Enie, A. B. 1987. Zat Warna dan Pemakaiannya dalam Industri Pangan. Balai
Penelitian Makanan, Minuman dan Fitokimia. Balai Besar Litbang Industri
Hasil Pertanian (BBIHP), Bogor.
Giusti, M. and R. Wrolstad. 2001. Characterization and Measurement of
Anthocyanins by UV-Visible Spectroscopy. didalam Wrolstad, R. and
Schwartz, S. Current Protocols In Food Analytical Chemistry. John
Wiley dan Sons Inc., New York.
Harborne, J.B. 1987. Metode Kimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terjemahan oleh Kosasih P. dan Iwang.1992. Penerbit ITB,
Bandung.
Husna, N.E., dkk. 2013. Kandungan Antosianin dan Aktivitas Antioksidan
Ubi Jalar Ungu Segar dan Produk Olahannya. Jurnal Agritech, Vol.33,
No.3, hal 299.
Iversen, C.K. 1999. Black Currant Nectar: Effect of Processing and Storage
on Anthocyanin and Ascorbic Acid Content. Journal of Food Science
Volume 64, Issue 1, pages 3741.

Kikuzaki, H., et al.2002. Antioxidant Properties of Ferulic Acid and Its


Related Compounds. J. Agric. Food Chem., Vol. 50, Issue 7, pages 21612168.
Leong, L.P. and G. Shui. 2002. An Investigation of Antioxidant Capacity of
Fruits in Singapore Markets. Food Chemistry 76, 6975.
Li, J., et al. 2013. Degradation Kinetics of Anthocyanins from Purple Sweet
Potato (Ipomoea batatas L.) as Affected by Ascorbic Acid. Springer,
Germany.
Lingga, P. 1995. Bertanam Umbi-umbian. Pt. Penebar Swadaya, Jakarta.
Loeb, K. M. 2012. Shake, Stir, Pour: Fresh Homegrown Cocktail. Quarry
Books, Massachusets.
Markakis, P. 1982. Stability of Anthocyanins in Food dalam Anthocyanins as
Food Colors. Academic Press Inc, New York.
Markham, K. R. 1988. Cara Mengidentifikasi flavonoid. Penerbit ITB,
Bandung.
Nugrahan. 2007. Ekstraksi Antosianin dari Buah Kiara Payung (Filicum
desipiens) dengan menggunakan Pelarut yang Diasamkan. Fakultas
Teknologi Pertanian Unibraw, Malang.
Rice-Evans, C., et al. 1997. Antioxidant Properties of Phenolic Compounds.
Trends in Plant Science 2, 152-159.
Rukmana, R. 1997. Ubi Jalar Budidaya Pasca Panen. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Sediaoetama, A. D. 1993. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di
Indonesia. Dian rakyat, Jakarta.
Soematmaji, D. W. 1998. Peran Stress Oksidatif dalam Patogenesis Angiopati
Mikro dan Makro DM. Medica Vol. 5, No. 24, Hal. 318-325.
Suda, L., et al. 2003. Physiological Functionality of Purple-fleshed Sweet
Potatoes Containing Anthocyanins and Their Utilization in Foods.
Japan Agricultural Research Quarterly 37, 167-173.
Sudjana, M. A. 1996. Metode Statistik. Penerbit Tarsito, Bandung.
Suprapta. 2003. Pengaruh Lama Blanching terhadap Kualitas Stik Ubi Jalar
(Ipomoea batatas L.) dari Tiga Varietas. Prosiding Temu teknis
Nasional, Tenaga fungsional Pertanian.

Suprapti, L. 2003. Tepung Ubi Jalar: Pembuatan dan Pemanfaatannya.


Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Susiwi, S. 2009. Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. Fakultas MIPA
Universitas Pendidikan Indonesia.
Syarief, R. dan A. Irawati. 1986. Pengetahuan Bahan untuk Industri
Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Bogor.
Tensiska, dkk. 2006. Ekstraksi Pewarna Alami dari Buah Arben (Rubus
ideaus Linn) dan Aplikasinya pada Sistem Makanan. Jurnal Teknologi
dan Industri UNPAD Vol.2 No.1 halaman 13.
Timberlake, C.F. dan Bridle P. 1982. The Chemistry of Anthocyanins. Harcourt
Brace Jovanovich, New York.
Tranggono, dkk. 1990. Bahan Tambahan Makanan. PAU Pangan dan Gizi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. M-Brio Press, Bogor.
Wu, X., et al.2006. Concentrations of Anthocyanins in Common Foods in The
United States and Estimation of Normal Consumption. J. Agric. Food
Chem., 54: 4069-4075.
Yang, J. dan R. L. Gadi. 2008. Effect of Steaming and Dehydration on
Anthocyanins, Antioxydant Activity, Total Phenols and Color
Caracteristics of Purple-fleshes Sweet Potatoes (Ipomoea batatas).
American Journal of Food Technology 3: 224-234.
Yoshinaga, M., et al. 1999. Genetic Diversity of Anthocyanin Content and
Composition in Purple-fleshed Sweet Potato (Ipomoea batatas L.).
Breeding Science 49, 4347.

Anda mungkin juga menyukai