Anda di halaman 1dari 11

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104

Versi-2008-9/10

BAGIAN 9
PENGURUGAN (LANDFILLING) SAMPAH
Bagian ini menjelaskan metode yang selalu digunakan dalam pengelolaan sampah yaitu TPA.
Dijelaskan tentang peran TPA, jenis landfilling, aspek engineering yang perlu diperhatikan
khususnya dalam pengendalian lindi dan gasbio. Dijelaskan pula tentang kondisi TPA di
Indonesia yang sampai saat ini selalu bermasalah.
9.1 Pemerosesan Akhir Sampah secara Umum
Proses akhir dari rangkaian penanganan sampah
yang biasa dijumpai di Indonesia adalah
dilaksanakan di Tempat Pemerosesan Akhir (TPA).
Pada umumnya pemerosesan akhir sampah yang
dilaksanakan di TPA adalah berupa proses
landfilling (pengurugan), dan di Indonesia sebagian
besar dilaksanakan dengan open-dumping, yang
mengakibatkan permasalahan lingkungan, seperti
timbulnya bau, tercemarnya air tanah, timbulnya
asap, dsb. Teknologi landfilling yang tradisional
membutuhkan lahan luas, karena memiliki
kemampuan reduksi volume sampah secara
terbatas. Kebutuhan luas lahan TPA dirasakan tiap
waktu meningkat sebanding dengan peningkatan
jumlah sampah. Sedangkan persoalan yang
dihadapi di kota-kota adalah keterbatasan lahan.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka
diperlukan suatu usaha optimalisasi TPA yang telah
ada sehingga diharapkan dapat memperbaiki
kinerja dan masa layan TPA [8].
TPA sampah merupakan langkah akhir dari
rangkaian proses penangan sampah. Dalam
pemusnahan ini dikenal berbagai metode, antara
lain adalah landfill. Sanitary landfill adalah metode
landfilling yang dianggap paling baik. Di Indonesia
dikenal terminologi Controlled Landfill atau lahan
urug terkendali yang merupakan perbaikan atau
peningkatan dari cara open dumping, tetapi belum
sebaik sanitary landfill. Perbaikan atau peningkatan
antara lain dengan kegiatan penutupan sampah
secara berkala. Bila dalam sanitary landfill
diinginkan adanya penutup harian, dan pada open
dumping urugan sampah samasekali tidak
dilkakukan, maka dalam controlled landfill
penutupan ditunda sampai 5-7 hari, sesuai dengan
siklus hidup lalat [8]. Namun terminologi controlled
landfill ini kerap disalah artikan, bila secara berkala
sebuah TPA sudah menerapkan penutupan, maka
itu dianggap sebagai controlled landfill.
Untuk memperpanjang umur pemakaian TPA, maka
salah satu solusi adalah pengolahan dan daurulang sampah sebelum diurug, melalui reduksi
volume sampah yang akan diurug, misalnya [9]:
Pendaurulangan sampah (Reuse, Recycling,
Recovery).
Pembuatan kompos (Composting)
Insinerasi.
Proses daur ulang berupa pemanfaatan kembali
bahan-bahan yang ada pada sampah biasanya
dilaksanakan oleh pemulung. Bila dibandingkan
dengan TPS, pemulungan sampah di TPA di
beberapa kota di Indonesia rata-rata memiliki

persentase yang lebih besar, yaitu kira-kira 5% dari


sampah yang tiba di TPA. Proses pendaur-ulangan
pada tingkat sumber memiliki tingkat keberhasilan
yang relatif rendah. Sehingga masih banyak
dijumpai bahan/material bernilai guna yang masih
terangkut bersama sampah ke TPA. Kegiatan
pendaurulangan yang efektif justru banyak terdapat
pada lahan TPA. Pelakunya adalah para lapak dan
pemulung yang mengkonsentrasikan kegiatan di
TPA. Di sisi lain, keberadaan para pemulung
seringkali menimbulkan masalah terhadap
pengelolaan sampah di TPA karena kegiatan
pemulung memang belum diatur, sehingga
keberadaannya dapat mengganggu operasional
lahan TPA.
Sebelum isu pemanasan global mencuat luas,
maka isu dampak negatif aplikasi landfilling lebih
banyak ditujukan pada pencemaran akibat
leachate, dan timbulnya bau serta gangguan
lingkungan, kesehatan dan estetika lainnya. Sejak
isu pemanasan global mendunia, maka sorotan
penggunaan landfill untuk sampah yang
mengandung bahan organik tinggi mendapat
perhatian besar. Landfill bisa dipastikan akan
mengemisi gas metan, gas yang dianggap
mempunyai potensi gas rumah kaca sebesar 21 kali
gas CO2. Landfill dianggap sumber utama gas
rumah kaca dari kegiatan pengelolaan limbah.
Dengan adanya isu ini, maka negara-negara maju
sangat membatasi kadar organik limbah yang boleh
masuk ke landfill:
Negara Eropa membatasi kadar organik yang
boleh terkandung dalam limbah yang akan dilandfill yaitu maksimum 5%. Upaya yang
banyak diterapkan di negara-negara tersebut
adalah insinerasi limbah, atau melakukan
proses reduksi bahan organik melalui konsep
Mechanical Biological Treatment (MBT), yaitu
sebagai pretreatment sampah yang akan
diurug, melalui pemotongan, dilanjutkan
dengan aerasi sampah, yang pada dasarnya
adalah proses pengomposan. Produk dari
proses MBT ini di negara Eropa dianggap
bukan kompos, karena kualitasnya yang tidak
memenuhi persyaratan. Produk ini setelah
memenuhi batas kadar organik, baru boleh
diurug dari sebuah landfill
Sejalan dengan negara Eropa, maka Jepang
sangat membatasi aplikasi landfilling. Hanya
abu insinerasi saja yang boleh diurug dari
sebuah landfill. Karena dalam abu insinerasi
tersebut terkonsentrasi logam berat, maka
aplikasi landfilling yang digunakan menganut
landfilling limbah B3, termasuk penggunaan
closed landfill, yaitu seluruh penimbunan

Enri Damanhuri Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

9-1

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104

sampah dilaksanakan di dalam area tertutup


dengan menggunakan atap. Setelah dilakukan
penutupan final yang kedap, maka struktur
atap tersebut kemudian dapat dipindahkan ke
area atau sel lain yang akan aktif.
Berdasarkan UU18/2008, penanganan sampah di
TPA yang selama ini umum diterapkan di Indonesia
yaitu dengan open dumping harus diubah secara
keseluruhan. Bab XVI (Peralihan) Ps 44 dari UU
tersebut mengamanatkan bahwa:
(1) Pemerintah daerah harus membuat
perencanaan penutupan TPA sampah yang
menggunakan sistem pembuangan terbuka
paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak
berlakunya UU tersebut
(2) Pemerintah daerah harus menutup TPA
sampah yang menggunakan sistem
pembuangan terbuka paling lama 5 (lima)
tahun terhitung sejak berlakunya UU tersebut.
Ada berbagai dampak merugikan yang dapat
ditimbulkan oleh landfilling ini, yaitu [55]:
a. Pencemaran air tanah yang disebabkan oleh
lindi (leachate). Tidak adanya lapisan dasar
dan tanah penutup akan menyebabkan
leachate yang semakin banyak dan akan dapat
mencemari air tanah
b. Pencemaran udara akibat gas, bau dan debu.
Ketiadaan tanah penutup akan menyebabkan
polusi udara tidak teredam. Produksi gas yang
timbul dari degradasi materi sampah akan
menyebabkan bau yang tidak sedap dan juga
ditambah dengan debu yang beterbangan.
c. Resiko kebakaran cukup besar. Degradasi
materi organik yang terdapat dalam sampah
akan menimbulkan gas yang mudah terbakar
seperti metan. Tanpa penanganan yang baik
gas ini dapat memicu kebakaran di TPA.
Kebakaran selalu terjadi dalam lahan TPA
yang menggunakan metode open dumping.
d. Berkembangnya berbagai vektor penyakit
seperti tikus, lalat dan nyamuk. Berbagai vektor
penyakit senang bersarang ditimbunan sampah
karena merupakan sumber makanan mereka.
Salah satu fungsi dari penutupan sampah
dengan tanah adalah mencegah tumbuh dan
berkembangbiaknya vektor penyakit tersebut.
e. Berkurangnya estetika lingkungan. Karena
lahan tidak dikelola secara baik, maka dalam
jangka panjang lahan tidak dapat digunakan
kembali secara baik.
9.2 Pengurugan Sampah dengan Landfilling
Landfilling secara Umum
Penyingkiran dan pemusnahan limbah ke dalam
tanah (land disposal) merupakan cara yang selalu
disertakan dalam pengelolaan limbah, karena
pengolahan limbah belum menuntaskan

Versi-2008-9/10

permasalahan yang ada. Cara ini mempunyai


banyak resiko akibat kemungkinan pencemaran air
tanah, terutama bila digunakan untuk limbah B-3. Di
Negara majupun belum ada cara yang dapat
menggantikannya. Lahan urug akan tetap
merupakan bagian yang sampai saat ini sulit untuk
dihilangkan dalam pengelolaan limbah, antara lain
karena alasan-alasan [55]:
Teknologi pengelolaan limbah seperti reduksi
di sumber, daur ulang, daur pakai, atau
minimasi limbah, tidak dapat menyingkirkan
limbah secara menyeluruh.
Tidak semua limbah mempunyai nilai ekonomis
untuk didaur ulang.
Teknologi pengolahan limbah seperti
insinerator atau pengolahan secara biologi atau
kimia tetap menghasilkan residu yang harus
ditangani lebih lanjut.
Kadangkala sebuah limbah sulit untuk
diuraikan secara biologis, atau sulit untuk
dibakar, atau sulit untuk diolah secara kimia.
Timbulan limbah tidak dapat direduksi sampai
tidak ada sama sekali.
Cara penyingkiran limbah ke dalam tanah dengan
pengurugan/penimbunan yang dikenal sebagai
landfilling diterapkan mula-mula pada sampah kota,
dan bila aplikasinya pada pengolahan sampah kota
melibatkan rekayasa yang memperhatikan aspek
sanitasi lingkungan, maka cara ini dikenal sebagai
sanitary lanfill (lahan urug saniter).
Landfilling merupakan upaya terakhir. Cara ini
bukanlah pemecahan masalah yang ideal, bahkan
tidak bisa dikatakan merupakan suatu pemecahan
yang baik. Landfilling merupakan satu-satunya cara
yang dipunyai oleh manusia untuk menyingkirkan
limbahnya setelah melalui cara lain. Guna
mengurangi sebanyak mungkin dampak negatif
yang dapat ditimbulkannya, maka upaya manusia
adalah bagaimana merancang, membangun, dan
mengoperasikannya secara baik. Upaya lain yang
tak kalah pentingnya adalah mengkaji calon lahan
yang akan digunakan secara baik sehingga dampak
negatif yang mungkin timbul dapat diperkecil [55].
Metode sanitary landfill dilakukan dengan cara
mengurug sampah secara lapis-perlapis pada lahan
yang telah disiapkan, diratakan dan dipadatkan,
kemudian ditutup dengan tanah penutup setiap hari
akhir operasi. Kegiatan pengurugan dan pemadatan
sampah beserta tanah penutupnya dilakukan
secara berlapis-lapis. Metode sanitary landfill
merupakan metode terbaik dibandingkan open
dumping dalam hal penanggulangan dampak
negatif terhadap lingkungan. Cara open dumping
sangat tidak dianjurkan karena sangat merugikan
terhadap lingkungan sekitarnya, terutama dalam hal
pencemaran. Tabel 9.1 memberikan kelebihan dan
kekurangan dari berbagai cara pengurugan yang
telah dikenal di Indonesia.

Enri Damanhuri Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

9-2

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104

Versi-2008-9/10

Tabel 9.1: Perbandingan Metode Landfilling


Metode Landfilling
Kelebihan

Kekurangan
Open Dumping (sebetulnya bukan metode)
Teknis pelaksanaan mudah.
- Terjadi pencemaran udara oleh gas, bau, dan debu.
Personil lapangan relatif sedikit.
- Pencemaran terhadap air tanah oleh terbentuknya leachate.
Biaya operasi dan perawatan yang relatif rendah.
- Resiko kebakaran cukup besar.
- Mudah terjadi kabut asap.
- Mendorong tumbuhnya sarang vektor penyakit (tikus, lalat,
nyamuk)
- Mengurangi estetika lingkungan.
- Lahan tidak dapat digunakan kembali dalam waktu yang
cukup lama.
Controlled Landfill
Dampak terhadap lingkungan dapat diperkecil.
- Operasi lapangan relative lebih sulit.
Lahan dapat digunakan kembali setelah selesai dipakai.
- Biaya investasi, operasi, perawatan cukup besar.
Estetika lingkungan cukup baik.
- Memerlukan personalia lapangan yang cukup terlatih
Sanitary Landfill
Biaya investasi lebih rendah dibanding metode pengolahan - Pada daerah dengan populasi yang tinggi, ketersediaan
lain
lahan menjadi sulit.
Merupakan metode pembuangan akhir yang lengkap, tanpa - Jika operasi tidak berjalan semestinya dapat menghasilkan
memerlukan pengolahan dibandingkan insinerasi dan
akibat seperti metode open dumping.
komposting
Dapat menerima berbagai tipe sampah.
Metode yang fleksibel terhadap fluktuasi kuantitas sampah.
Setelah selesai pemakaiannya, dapat digunakan untuk
berbagai keperluan seperti areal parkir , lapangan golf, dan
kebutuhan lain.

Pengelompokan Metode Landfilling [55]


Pengurugan limbah ke dalam tanah telah dikenal
oleh manusia sejak manusia merasakan adanya
gangguan bau pada limbahnya. Bahkan
binatangpun seperti kucing menerapkan metode ini
secara sistematis. Namun secara rekayasa yang
sistematis, metode ini dikenal sejak awal abad 20an, dengan cara yang paling sederhana, yaitu yang
menerapkan konsep penutupan dengan tanah
penutup harian. Dalam uraian berikut ini disajikan
beberapa pengelompokan metode landfilling:
Mengisi lembah
Mengupas site
Menimbun sampah
a. Mengisi lembah:
Pada awalnya landfilling sampah dilaksanakan
pada lahan yang tidak produktif, misalnya bekas
pertambangan, mengisi cekungan-cekungan (lihat
Gambar 9.1). Cara ini dikenal dengan metode pit
atau canyon atau quarry. Dengan demikian terjadi
reklamasi lahan, sehingga lahan tersebut menjadi
baik kembali.
b. Mengupas site:
Dengan terbatasnya site yang sesuai , maka
dilakukan pengupasan site sampai kedalaman
tertentu (lihat Gambar 9.2), dikenal sebagai
metode slope (ramp). Perlu diperhatikan:
tinggi muka air tanah
struktur batuan / tanah keras
peralatan pengupasan / penggalian yang
dimiliki
Diperoleh tanah untuk bahan penutup

Kadangkala pengupasan site tidak dilakukan


sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap.
Terbentuk parit-parit tempat pengurugan sampah
(lihat Gambar di bawah). Cara ini dikenal sebagai
metode parit (trench)

Gambar 9.1: Mengisi lembah/cekungan [62]

Gambar 9.2: Mengupas site [62]


c. Menimbun sampah:
Untuk daerah yang datar, dengan muka air tanah
tinggi, sulit untuk mengupas site. Maka cara yang
dilakukan adalah menimbun sampah di atas area

Enri Damanhuri Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

9-3

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104

tersebut (lihat Gambar 9.3). Cara ini dikenal


sebagai metode area. Teknologi landfilling di dunia
sebetulnya cukup berkembang pesat, hanya
sayangnya di Indonesia cara yang paling
mudahpun sulit untuk diterapkan, karena alasan
ketiadaan biaya untuk menyediakan tanah penutup
harian.

Versi-2008-9/10

Gambar 9.3: Menimbun sampah [5]


Berikut ini diberikan gambaran umum tentang
beberapa pengelompokan metode landfilling,
disesuaikan dengan cara atau perlakuan yang
digunakan, yaitu berdasarkan:
Penanganan sampah sebelum diurug
Kondisi geografi site
Proses biodegradasi
Jenis limbah yang akan diurug
Penanganan leachate
Sel timbunan
a. Berdasarkan penanganan sampahnya:
Landfill tradisional (sanitary landfill):
Cara yang dikenal di Indonesia
Sampah diletakkan lapis perlapis (0,5 - 0,6 m)
sampai ketinggian sekitar 1,2 - 1,5 m
Urugan sampah membentuk sel-sel dan
membutuhkan operasi alat berat agar teratur
Kepadatan sampah dicapai dengan alat berat
biasa (dozer atau loader) dan mencapai 0,6 3
0,8 ton/m
Membutuhkan penutupan harian 10 - 30 cm,
paling tidak dalam 48 jam
Kondisi di lapisan (lift) teratas bersifat aerob
(ada oksigen), sedang bagian bawah anaerob
(tidak ada oksigen) sehingga dihasilkan gas
metan
Landfill dengan kompaksi:
Banyak digunakan untuk lahan-urug yang
besar dengan dozer khusus yang bisa
memadatkan sampah pada ketebalan 30 - 50
cm, dan dicapai densitas timbunan 0,8 - 1,0
ton/m3
Proses yang terjadi menjadi anaerob
Karena densitas tinggi, serangga dan tikus sulit
bersarang
Keuntungan dibanding lahan-urug tradisional:
tanah penutup menjadi berkurang
truk mudah berlalu lalang
masa layan lebih lama
Namun biaya operasi menjadi meningkat
Landfill dengan pemadatan sampah dengan baling
(Gambar 9.4)
Banyak digunakan di Amerika Serikat

Sampah dipadatkan dengan mesin pemadat


menjadi ukuran tertentu (misalnya bervolume 1
3
3
m ). Kepadatan mencapai lebih dari 1,0 ton/m
Transportasi lebih murah karena sampah lebih
padat, dan benbentuk praktis
Pengurugan di lapangan lebih mudah (dengan
fork-lift)
Pengaturan sel lebih mudah dan sistematis
Butuh investasi dan operasi alat/mesin. Biaya
menjadi sangat mahal
Dihasilkan lindi hasil pemadatan yang perlu
mendapat perhatian
Cara ini hampir menjadi kenyataan di
Indonesia pada tahun 2006 yang akan
diterapkan di TPST Bojong (Bogor), yang
diperkenalkan dengan nama teknologi balapres, namun karena ditolak oleh masyarakat
sekitar, maka TPST ini terpaksa dibongkar dan
tidak dapat beroperasi.

Landfill dengan pemotongan dan aerasi sampah


terlebih dahulu (lihat proses MBT di atas):
Sampah dipotong dengan mesin pemotong 5080 mm. Sampah menjadi lebih homogen, lebih
3
padat (0,8 1,0 ton/m ), dapat ditimbun lebih
tebal (> 1,5 M)
Dapat digunakan sebagai pengomposan
(aerobik) in-situ: sel-sel dengan ketingian 50
cm. memungkinkan proses aerobik yang
menghasilkan panas sehingga dapat
menghindari lalat

Binatang pengerat (tikus dsb) berkurang


karena rongga dalam timbunan berkurang /
dihilangkan, dan timbunan lebih padat
Bila tidak ada masalah bau, maka tidak perlu
tanah penutup
Pembusukan lebih cepat sehingga stabilitas
lebih cepat
Butuh alat pemotong sehingga biaya menjadi
mahal

Gambar 9.4: Landfilling dengan baling [62]


b. Berdasarkan kondisi site:
Metode area:
Dapat diterapkan pada site yang relatif datar,
Sampah membentuk sel-sel sampah yang
saling dibatasi oleh tanah penutup
Setelah pengurugan akan membentuk slope
Penyebaran dan pemadatan sampah
berlawanan dengan kemiringan

Enri Damanhuri Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

9-4

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104

Metode slope/ramp:
Sebagian tanah digali
Sampah kemudian diurug pada tanah
Tanah penutup diambil dari tanah galian
Setelah lapisan pertama selesai, operasi
berikutnya seperti metode area
Metode parit (trench):
Site yang ada digali, sampah ditebarkan dalam
galian, dipadatkan dan ditutup harian
Digunakan bila airtanah cukup rendah
sehingga zone non-aerasi di bawah landfill
cukup tinggi ( 1,5 m)
Digunakan untuk daerah datar atau sedikit
bergelombang
Operasi selanjutnya seperti metode area

Versi-2008-9/10

banyak berkurang. Disamping itu, tidak


dibutuhkan penutup tanah harian.
Dapat dilakukan dengan pendekatan: lapisan
sampah dibiarkan beberapa hari berkontak
dengan oksigen, sebelum diatasnya dilapis
sampah lain. Bila perlu dilakukan pembalikan
pada lapisan sampah tersebut. Dibutuhkan
area yang luas.
Cara lain adalah memasukkan udara ke dalam
timbunan secara sistematis, sehingga proses
pembusukan berjalan secara aerob.

Metode pit/canyon/quarry:
Memanfaatkan cekungan tanah yang ada
(misalnya bekas tambang)
Pengurugan sampah dimulai dari dasar
Penyebaran dan pemadatan sampah seperti
metode area
Kenyataan di lapangan, cara tersebut dapat
berkembang lebih jauh sesuai dengan kondisi
c. Berdasarkan proses biodegradasi sampah:
Seperti halnya pengomposan, maka pada dasarnya
landfilling adalah pengomposan dalam reaktor yang
luas. Oleh karenanya terdapat kemungkinan
pembusukan sampah secara aerobik maupun
secara anaerobik.
Landfill anaerobik:
Landfill yang banyak dikenal saat ini,
khususnya di Indonesia. Timbunan sampah
dilakukan lapis perlapis tanpa memperhatikan
ketersediaan oksigen di dalam timbunan.
Kondisi anaerob menghasilkan gas metan (gas
bakar). Dihasilkan pula uap-uap asam-asam
organik, dan H2S yang menyebabkan jenis
landfill ini berbau bila tidak ditutup tanah.
Karena kondisinya anaerob, stabilitas sampah
tidak cepat tercapai, dan dihasilkan leachate
dengan konsentrasi tinggi
Landfill semi-aerobik (lihat Gambar 9.5):
Dikenal pula sebagai metode Fukuoka, karena
universitas inilah yang memperkenalkan pada
awal tahun 1980-an
Dihindari tergenangnya leachate dalam
timbunan, melalui sistem pengumpul leachate
dengan pipa yang berdiameter besar, sehingga
2/3 luas panampang pipa terisi udara
Sistem drainase leachate ini berhubungan
dengan sistem penangkap gas vertikal
Tanah penutup tidak perlu terlalu kedap
Landfill aerobik:
Mengupayakan agar timbunan sampah tetap
mendapat oksigen. Dengan demikian proses
pembusukan lebih cepat, seperti halnya
pengomposan biasa.
Leachate yang dihasilkan relatif lebih baik
dibanding landfill anaerob. Juga bau akan

Gambar 9.5 : Landfill semi-aerobik [59]


d. Berdasarkan jenis limbah yang akan diurug:
Di negara maju, pembagian landfill dilakukan
berdasarkan jenis limbah yang akan diurug, seperti:
Landfill sampah kota dan sejenisnya
Landfill limbah industri
Landfill yang dapat menerima kedua jenis
limbah tersebut, dikenal sebagai co-disposal
Di Perancis misalnya, hubungan karakter
permeabilitas site dengan limbah dijadikan dasar
pembagian landfill, yaitu:
Site landfill kelas 1:
7
site kedap dengan nilai permeabilitas (k) < 10
cm/detik
migrasi leachate dapat diabaikan
untuk limbah industri, termasuk limbah B3
Site landfill kelas 2:
site semi-kedap dengan nilai permeabilitas (k)
4
7
antara 10 sampai 10 cm/detik
migrasi leachate lambat
untuk limbah sejenis sampah kota
Site landfill kelas 3:
site tidak kedap dengan nilai permeabilitas (k)
4
> 10 cm/detik
migrasi leachate cepat
untuk limbah inert dengan pencemaran
diabaikan
Di Jepang, landfill dibagi menjadi:
Landfill sampah domestik (sampah kota)
Landfill industri, yang lebih lanjut dibagi
menjadi:
landfill untuk limbah industri yang stabil:
limbah sisa bangunan, plastik, karet,
logam
landfill limbah terdegradasi: oli, kertas,
kayu, residu hewan / tanaman; diperlukan
adanya pengolah lindi.

Enri Damanhuri Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

9-5

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104

shut-off landfill: untuk limbah berbahaya


dengan mengisolasi kontak air dari luar
seperti air hujan dan air tanah.

Di Indonesia untuk landfill limbah berbahaya (B3)


Kep Bapedal 04/IX/1995 membagi landfill menjadi:
Landfill Kategori 1 dengan double liner
Landfill Kategori 2 dengan single liner
Landfill Kategori 3 dengan clay liner

Versi-2008-9/10

Pemilihan site agar dampak negatif dapat


dikurangi
Perancangan secara rakayasa sarana dan
prasarana landfill
Pengoperasian landfill dengan kaidah-kaidah
yang benar
Pemantauan sarana baik selama masa
operasi, maupun pada pasca operasi

e. Berdasarkan aplikasi tanah penutup dan


penanganan leachate:
Menurut versi Jepang, landfill sampah kota dibagi
berdarkan aplikasi tanah penutup, yang menjadi
keharusan dari sanitary landfill standar, serta
penanggulangan leachate
Controlled tipping
Peningkatan dari open dumping. Calon lahan
telah dipilih dan disiapkan secara baik.
Aplikasi tanah penutup tidak dilakukan setiap
hari
Konsep ini banyak dikenal di Indonesia yang
mirip dengan konsep controlled landfill
Sanitary landfill with a bund and dailiy cover soil
Perdefinisi merupakan sanitary landfill
Peningkatan controlled tipping.
Lahan penimbunan dibagi menjadi berbagai
area, yang dibatasi oleh tanggul ataupun parit.
Penutupan timbunan sampah setiap hari,
sehingga masalah bau, asap dan lalat dapat
dikurangi.
Sanitary landfill with leachate recirculation
Masalah lindi (leachate) sudah diperhatikan.
Terdapat sarana untuk mengalirkan lindi dari
dasar landfill ke penampungan (kolam)
Lindi kemudian dikembalikan ke timbunan
sampah melalui ventilasi biogas tegak atau
langsung ke timbunan sampah.
Sanitary landfill with leachate treatment
Lindi dikumpulkan melalui sistem pengumpul,
kemudian diolah secara lengkap seperti
layaknya limbah cair
Pengolahan yang diterapkan bisa secara
biologi maupun secara kimia.
f. Berdasarkan jenis sel di timbunan: (lihat
Gambar 9.6)
Secara tidak teratur (open dumping): sampah
diurug / ditimbun tanpa aturan yang jelas
Metode sandwich: sampah diurug secara lapis
perlapis
Metode sel: sampah diurug mejadi sel-sel
9.3 Kerekayasaan dalam Aplikasi Landfilling
Karena metode landfilling sensitif terhadap
terjadinya pencemaran, khususnya akibat timbulnya
lindi, maka aplikasi landfilling membutuhkan
serangkaian langkah engineering (rekayasa), yang
bersasaran mengurangi dampak tersebut, yaitu
[55]:

Gambar 9.6 Pengurugan Sampah


Pemilihan Calon Lokasi Pengurugan
Tahapan dalam proses pemilihan lokasi landrilling
adalah menentukan satu atau dua lokasi terbaik
dari calon lokasi yang dianggap potensial. Dalam
proses ini kriteria digunakan semaksimal mungkin
guna proses penyaringan. Guna memudahkan
evaluasi pemilihan sebuah lahan yang dianggap
paling baik, digunakan beberapa tolok ukur untuk
merangkum semua penilaian dari parameter yang
digunakan. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara
pembobotan. Ada beberapa metode penilaian
calon lokasi yang diterapkan di Indonesia, yang
paling sederhana adalah SNI T-11-1991-03,
khususnya untuk site di kota kecil. Metode lain
antaranya adalah Metode Le Grand.
Secara umum pemilihan site landfilling dalam SNI
T-11-1991-03 dibagi berdasarkan 3 (tiga) tahapan,
yaitu [58, 65]:
a. Tahap regional yang merupakan tahapan untuk
menghasilkan peta yang berisi daerah atau
tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi
menjadi beberapa zona kelayakan.
b. Tahap penyisihan yang merupakan tahapan
untuk menghasilkan satu atau dua lokasi
terbaik di antara beberapa lokasi yang dipilih
dari zona-zona kelayakan pada tahap regional.
Pada tahap ini disusun beberapa parameter
penentu disertai bobot dan nilainya.
c. Tahap penetapan yang merupakan tahap
penentuan lokasi tepilih sesuai dengan
kebijaksanaan instansi yang berwenang
setempat dan ketentuan yang berlaku.

Enri Damanhuri Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

9-6

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104

Persyaratan umum lokasi pembuangan akhir


berdasarkan cara tersebut adalah sebagai berikut:
Sudah tercakup dalam perencanaan tata ruang
kota dan daerah.
Jenis tanah kedap air.
Daerah yang tidak produktif untuk pertanian.
Dapat dipakai minimal untuk 5 - 10 tahun.
Tidak membahayakan/mencemarkan sumber
air.
Jarak dari daerah pusat pelayanan 10 km.
Daerah yang bebas banjir.
Penilaian berdasarkan Metode Le Grand [56]
digunakan untuk menilai suatu calon lokasi,
khususnya ditinjau dari sudut hidrogeologi.
Terdapat 10 langkah dalam penilaian tersebut,
yaitu:
Langkah 1: menentukan jarak horizontal antara
lokasi dengan sumber air minum.

Langkah 2: menentukan jarak vertikal


(kedalaman) muka air tanah terhadap dasar
lahan urug.
Langkah 3: menentukan kemiringan hidrolis air
tanah dan arah alirannya.
Langkah 4: menetukan potensi pencemaran
dan kemampuan sorpsi.
Langkah 5: catatan tentang keakuratan data.
Langkah 6: catatan tentang kondisi sekitar.
Langkah 7: penentuan deskripsi hidrogeologi
calon lokasi berdasarkan langkah 1 sampai 6
Langkah 8: penentuan kaitan jenis limbah
dengan media tanah di bawah site.
Langkah 9: penentuan Protection of Aquifer
Rating (PAR) berdasarkan langkah 7 dan
langkah 8
Langkah 10: iterasi ulang bila terjadi perbaikan
site dengan masukan teknologi
Penyiapan Sarana dan Prasarana
Lahan di lokasi TPA yang direncanakan biasanya
dibagi menjadi:
a. Lahan Efektif: merupakan bagian lahan yang
digunakan sebagai lokasi pengurugan atau
penimbunan sampah. Lahan efektif
direncanakan sebesar 70% dari luas total
keseluruhan TPA
b. Lahan Utilitas: merupakan bangunan atau
sarana lain di TPA khususnya agar
pengurugan dan kegiatan lainnya dapat
berlangsung, seperti jalan, jembatan timbang,
bangunan kantor, hanggar, bangunan
pengolah leachate, bangunan pencucian
kendaraan, daerah buffer (pohon-pohon)
lingkungan, dan sebagainya. Lahan utilitas
direncanakan luasnya mencapai sekitar 30%
dari lahan yang tersedia. Lahan utilitas ini akan
mengakomodasi berbagai sarana dan
prasarana penunjang yang diperlukan dalam
pengelolaan site.
Sarana dan prasarana di sebuah kegiatan TPA
akan terdiri dari:
a. Sarana untuk perlindungan terhadap lingkungan:
Sistem liner dasar dan dinding yang kedap

Versi-2008-9/10

Drainase sekeling TPA dan dalam area


pengurugan sampah
Sarana penangkap, pengumpul dan pengolah
lindi
Sumur pemantau
Ventilasi gasbio
Sarana analisa air
Jalur hijau penyangga
Pengendali vektor

b.Peralatan untuk pengoperasian:


Alat berat: trackloader dan bulldozer
Stok tanah penutup
Alat transportasi lokal
Cadangan bahan bakar
Cadangan insektisida
Pelataran pengurugan
c. Sarana penunjang:
Pagar dan papan nama site
Jembatan timbang
Pos penjaga, kantor, garasi, rumah penjaga,
gudang, workshop, bengkel, tempat cuci mobil
Jalan akses dan operasi
Fasilitas pengolahan selain pengurugan : daur
ulang, pengomposan, insinerasi, dan lain-lain
Prasarana penunjang (hidrant kebakaran,
reservoir penampungan air, sumur
pemantauan, dan lain-lain).
Lahan penunjang kegiatan lain, seperti transit
sampah, dsb
Sistem Pengelolaan Lindi (Leachate)
Lindi (Leachate) adalah cairan yang merembes
melalui tumpukan sampah dengan membawa
materi terlarut atau tersuspensi terutama hasil
proses dekomposisi materi sampah atau dapat pula
didefinisikan sebagai limbah cair yang timbul akibat
masuknya air eksternal ke dalam timbunan
sampah, melarutkan dan membilas materi terlarut,
termasuk juga materi organik hasil proses
dekomposisi biologis.
Secara teoritis leachate tidak akan keluar dari
timbunan sampah sebelum kapasitas serap air dari
sampah terlampaui. Kualitas dan kuantitas leachate
tergantung dari banyak faktor, antara lain
karakteristik dan komposisi sampah, jenis tanah
penutup, iklim, kondisi kelembaban dalam timbulan
sampah serta waktu penimbunan sampah. Tanah
penutup yang baik dapat mencegah atau
meminimasi air yang masuk kedalam lahan urug,
terutama berasal dari air hujan. Penetrasi air yang
masuk merupakan sumber terbentuknya leachate
yang merupakan pencemar bagi lingkungan.
Semakin banyak air yang masuk maka semakin
banyak pula leachate yang ditimbulkan dan yang
harus dikelola. Secara umum leachate
mengandung zat organik dan anorganik dengan
konsentrasi tinggi, terutama pada timbunan sampah
yang masih baru. Oleh karena itu dalam
pengelolaan sebuah TPA yang baik tidak terlepas
dari pengelolaan leachatenya [55]. Gambar 9.7
merupakan skema umum dalam memprediksi
timbulan lindi.

Enri Damanhuri Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

9-7

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104

Beberapa perangkat lunak tersedia di pasar untuk


mempermudah perhitungan tersebut, yang paling
sering digunakan di dunia adalah Hydrological
evaluation leachate

Presipitasi (P)
Evapotranspirasi
(ET)
Run Off (RO)

Moisture Storage (ST)


Perkolasi Lindi =
P - RO - ET - ST

Gambar 9.7: Neraca Air [55]


Untuk meminimalkan dampak negatif yang
ditimbulkan lindi, ada beberapa cara yang dapat
digunakan, antara lain:
Penggunaan lapisan tanah penutup, baik
lapisan tanah penutup harian, antara, maupun
akhir.
Pemakaian lapisan dasar/liner untuk mencegah
lindi berinfiltrasi ke air tanah.
Penyediaan sarana pengolah lindi yang
dihasilkan, termasuk di antaranya pemasangan
saluran lindi di lapisan dasar, pembangunan
saluran drainase, dan penerapan pengolah
lindi. Pengolah lindi yang banyak digunakan di
Indonesia hingga saat ini adalah kontak
stabilisasi, kolam oksidasi, yang dipilih
berdasarkan kesederhanaan serta tersedianya
sinar matahari.
Pengadaan sistem pengolahan leachate sangat
diperlukan untuk mengurangi beban pencemaran
terhadap badan air penerima. Lindi yang telah
terkumpul diolah terlebih dahulu sehingga
mencapai standar aman untuk kemudian dibuang
ke dalam badan air penerima. Diharapkan setelah
dilakukan pengolahan tidak terjadi pencemaran
terhadap lingkungan sekitar, baik terhadap sungai
maupun air tanah. Masalah yang dihadapi adalah
bahwa debit lindi yang keluar dari timbunan sampah
sangat berfluktuasi.
Sistem Pengelolaan Gas
Dekomposisi sampah, khususnya zat organik dalam
kondisi anaerobik mengakibatkan produksi gas.
Gas bio adalah gas yang dihasilkan dari proses
penguraian materi organik oleh mikroorganisme
dalam kondisi anaerob. Gas-gas yang dihasilkan
dari proses penguraian antara lain gas metan
(CH4), karbondioksida (CO2), uap air (H2O), gas
nitrogen (N2), dan lain-lain. Dalam perencanaan
suatu landfill, pembentukan gas perlu diperhatikan.
Metan merupakan gas yang eksplosif, dapat

Versi-2008-9/10

meledak jika terkonsentrasi hingga 5 sampai 15% di


udara. Karbondioksida dapat menjadi penyebab
peningkatan mineral pada air tanah serta
membentuk asam karbonik.
Untuk menghilangkan pengaruh negatif yang
ditimbulkan maka perlu pengelolaan gas bio yang
dihasilkan oleh landfill. Gas bio ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembantu.
Produksi gas metan dapat diperkirakan secara
stoichiometri. Kondisi lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme,
khususnya bakteri metanogene, antara lain : pH
(optimum 6,6-7,6), temperatur (optimum 35-55C),
kandungan air (optimum 45-60%), dan ketersediaan
makro-mikro nutrisi yang dibutuhkan (ratio C/N
antara 35-40).
Sebelum dimanfaatkan, gas bio harus melalui
proses pemurnian agar didapatkan hasil yang
memuaskan. Proses pemurnian ini mempunyai
sasaran untuk menghilangkan uap air dalam gas,
dan memisahkan gas-gas yang tidak diinginkan.
Selain memiliki nilai ekonomis untuk menghemat
pemakaian bahan bakar utama, pemanfaatan gas
bio pada insinerator dari penelitian yang ada
ternyata dapat juga mengurangi potensi terjadinya
pencemaran udara pada proses insinerasi.
Aplikasi penangkapan gas bio dari suatu landfill
bersasaran ganda, yaitu untuk mengontrol emisi
gas-gas yang terbuang dan untuk memanfaatkan
biogas yang dihasilkan. Sistem penangkapan gas
bio terdiri atas 3 (tiga)jenis, yaitu: sistem horizontal,
sistem vertikal, dan sistem gabungan horizontal dan
vertikal.
Pengoperasian landfill di TPA
Lahan yang tersedia di sebuah TPA tidak semua
dapat digunakan untuk pengurugan atau
penimbunan sampah. Prasarana lain perlu
dipertimbangkan seperti : area pengolah lindi, jalan
akses dan operasi, jalur hijau/area penyangga, dan
sebagainya. Diperkirakan sekitar 20-30 % dari luas
lahan yang ada akan terpakai untuk kebutuhan
tersebut, di luar kebutuhan untuk pengurugan dan
penimbunan. Pengupasan dinding dan dasar lahan
jelas akan menambah kapasitasnya di samping
akan diperoleh tanah penutup. Namun pengupasan
tanah dasar memerlukan kehati-hatian. Beberapa
pertimbangan yang membutuhkan observasi
lapangan terlebih dahulu guna menentukan
seberapa dalam dasar sebuah TPA boleh dikupas,
adalah muka air tanah, struktur geologi, dan
kemampuan pengelola untuk melaksanakan.
Jarak yang dipersyaratkan antara dasar landfill
dengan muka air tanah adalah 3,0 meter atau lebih,
sehingga memungkinkan adanya zone penyangga
dari tanah tersebut andaikata lindi dari sampah di
atasnya merembes ke bawah. Lapisan tersebut
-6
harus mempunyai kelulusan minimum sebesar 10
cm/detik, sehingga dibutuhkan waktu yang relatif
lama bagi lindi tersebut untuk mencapai air tanah.
Struktur geologi (litologi) perlu mendapat perhatian.

Enri Damanhuri Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

9-8

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104

Pengupasan yang tidak disertai data lapangan akan


mengakibatkan masalah misalnya:
Terdapatnya lapisan yang sulit untuk dikupas.
Terdapatnya lapisan yang tidak diinginkan.
Di atas kertas memang tidak ada masalah untuk
mengupas lahan rencana sampai kedalaman
berapapun, namun kenyataan di lapangan mungkin
akan berbeda terutama bila pengelola TPA tidak
disiapkan untuk itu, misalnya tidak tersedianya alat
berat untuk melaksanakannya. Keuntungan lain
yang diperoleh dengan pengupasan dasar adalah
tersedianya slope dasar dengan besar dan arah
kemiringan yang diinginkan, sehingga memudahkan
pengelolaan lindi. Konsekuensinya, pengupasan
yang kurang sistematis akan mengubah rancangan
dari dasar landfill sehingga dapat menimbulkan
masalah dalam mengalirkan lindi.
Ketinggian maksimum timbunan sampah akan
menentukan lanskap akhir dari landfill tersebut
kelak. Tentunya diinginkan sebuah landfill yang bila
telah ditutup akan menyatu dengan lingkungannya
serta sesuai dengan fungsinya. Di samping itu.
ketinggian maksimurn juga hendaknya
mempertimbangkan kemampuan operasi
penimbunan sampah serta kestabilan dari timbunan
tersebut. Grading final dari sebuah landfill tidak
ditentukan secara sembarang, namun hendaknya
dirancang dari awal disesuaikan dengan kondisi
lanskap sekitarnya atau kegunaan lahan tersebut
setelah pasca operasi.
Oleh karena pengukuran timbulan sampah yang
diterapkan di Indonesia adalah dengan. satuan
volume (basah), maka pengukuran ini
membutuhkan dibedakannya kepadatan (bulk
density) sampah dalam berbagai keadaan.
Kepadatan sampah pada bak sampah di rumah
adalah tidak sama dengan kepadatan sampah di
gerobak (yang kadangkala diperpadat dengan
penginjakan oleh petugas). Selanjutnya, kepadatan
pada alat transportasi akan ditentukan oleh jenis
truk dan mekanisme pemadatannya. Demikian pula
kepadatan di urugan akan ditentukan oleh aplikasi
alat berat serta jenisnya. Secara teoritis, kepadatan
sampah di suatu tempat akan tergantung pada
ketinggian sampah tersebut. Dengan demikian
estimasi kebutuhan site landfilling yang langsung
dihitung dari timbulan di sumber akan menghasilkan
prakiraan yang berlebihan bila landfill tersebut
dioperasikan secara lapis per lapis dan dipadatkan
dengan alat berat. Secara praktis kepadatan di
urugan dapat dihitung berdasarkan angka 0,60-0,65
3
ton/m . Sedang kepadatan sampah di truk
3
pengangkut sekitar 0,30-0,35 ton/m .
Ketersediaan tanah penutup memegang peranan
sangat penting agar landfilling tersebut dapat
beroperasi secara baik. Biasanya sebuah landfill
yang dirancang secara baik akhimya menjadi open
dumping akibat masalah tanah penutup yang tidak
diterapkan karena berbagai alasan. Pengamatan di
landfill TPA Sukamiskin pada tahun pertama
aplikasi lahan-urug saniter dengan tanah penutup
harian menghasilkan rasio tanah penutup antara
19-31 % dari volume sampah yang masuk (untuk
3
kapasitas operasi 500-1000 m per hari). Tambah

Versi-2008-9/10

tinggi kapasitas operasi, tambah kecil rasio


tersebut. Angka tersebut masih terlalu tinggi
mengingat di sektor inilah biaya operasi sebuah
TPA banyak terserap. Penelitian di pilot skala kecil
di TPA Bogor menghasilkan angka sekitar 15-20 %.
Angka ini akan mengecil lagi pada lahan urug
terkendali yang mengaplikasikan tanah penutup
tidak setiap hari [65].
Penanganan sampah yang baik di area
penimbunan akan meningkatkan masa layan lahan.
Pembagian lahan menjadi beberapa area kerja
akan memudahkan dalam pengelolaan lahan
secara keseluruhan, di sarnping dapat mendata
jumlah dan jenis sampah yang masuk ke dalam
area kerja tersebut. Peranan pengurugan,
penyebaran, dan pemadatan sampah secara lapis
per lapis akan menambah kepadatan sampah
dibandingkan bila dilakukan sekaligus sampai
ketinggian tertentu. Di samping itu, aplikasi
timbunan sampah semacarn itu akan
memungkinkan berlangsungnya fase aerobik yang
lebih larna, sehingga akan mempercepat stabilitas
sampah. Penelitian pada timbunan sampah setinggi
2,0 meter yang ditutup tanah penutup setebal 20
cm terungkap bahwa timbunan tersebut akan tetap
memungkinkan fase aerobik yang ditandai dengan
0
panas timbunan di sekitar 50 C. Konsep timbunan
aerobik tersebut sebetulnya dapat pula
dikembangkan lebih jauh misalnya dengan
mengatur agar suatu timbunan sampah dibiarkan
sampai sekitar 10-15 hari sebelum di atasnya
ditimbun sampah baru.
Adanya penurunan permukaan (settlement)
timbunan sampah, baik secara mekanis maupun
biologis, akan menambah kapasitas lahan sehingga
memperlama masa layan. Namun sebaiknya
asumsi settlement karena proses biologis tidak
diperhitungkan dalam perancangan, karena [65]:
Degradasi yang terjadi belurn tentu diikuti oleh
settlement.
Andaikata terjadi akan mernbutuhkan waktu
yang sulit diukur, Penelitlan sekala pilot
menunjukkan bahwa settlement mekanis
maksimum adalah sebesar 15-25% dari tinggi
awal, yang terjadi pada minggu pertama.
Penurunan ini terjadi akibat konsolidasi
sampah. Setelah itu tinggi permukaan landfill
relatif stabil.
Pemadatan sampah di timbunan dengan
mengandalkan alat berat dozer atau loader
yang biasa digunakan di TPA Indonesia akan
menghasilkan kepadatan timbunan sampai
3
0,70 ton/m .
Masalah ketersediaan liner dan tanah penutup
merupakan kendala yang berkaitan dengan biaya
OM. Tanah penutup antara lain efektif untuk
mencegah adanya lalat. Penelitian yang
dilaksanakan di Bogor menunjukkan bahwa
populasi lalat akan turun dengan sendirinya di
timbunan yang telah berumur lebih dari 7 hari. Oleh
karena itu, bila dalam sebuah lahan-urug belum
dapat mensyaratkan aplikasi tanah penutup harian,
maka paling tidak aplikasi tanah penutup
dilaksanakan setidak-tidaknya sebelum 5 hari.

Enri Damanhuri Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

9-9

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104

Berbeda halnya dengan liner, maka tanah penutup


disarankan untuk tidak terlalu kedap agar proses
penguraian sampah secara aerobik masih bisa
berlangsung dengan baik pada sel timbunan
-4
5
teratas. Nilai kelulusan antara 10 sampal 10cm/det cukup baik untuk itu. Di samping itu agar
tanah penutup tidak retak pada saat panas, maka
Indeks Plastisitas (IP) tanah yang baik adalah lebih
kecil dari 40%. Bila tidak, maka sebaiknya tanah
tersebut dicampur dengan tanah tertentu (seperti
pasir) agar memperkecil IP tersebut.
Pemantauan dan Pemanfaatan Lahan
Selama pengoperasian, perlu dilakukan
pemantauan terus menerus, khususnya terhadap
kualitas sampah yang masuk, kuantitasi kualitas
lindi yang dihasilkan, kualitas lindi hasil pengolahan,
kuantitas dan kualitas gasbio dan penyebarannya,
kualitas lingkungan lainnya sekitar lokasi TPA,
khususnya masalah bau, air tanah dan sumursumur penduduk, air sungai, kemungkinan
terjadinya longsor, dsb. Pemantauan juga perlu
dilaksanakan setela pasca operasi, paling tidak
selama 10 tahun terhadap leachate, gasbio dan
settelement.
Lahan TPA setelah pengoperasian akan berupa
suatu areal kosong yang cukup luas. Keberadaan
area ini dapat difungsikan menjadi berbagai macam
kegunaan, diantaranya area rekreasi, taman, lahan
penghijauan, lahan pertanian atau perkebunan,
fasilitas komersial. Operasi penambangan kembali
sampah yang sudah tua dalam urugan (landfill
mining) untuk diolah dijadikan kompos, dan tanah
penutup juga sudah banyak diterapkan sehingga
lahannya dapat dijadikan lahan TPA lagi.
9.4 TPA) Sampah Kota di Indonesia [9, 55, 73]
Sampah perkotaan akan tetap merupakan salah
satu persoalan yang rumit yang dihadapi oleh
pengelola kota dalam menyediakan sarana dan
prasarana perkotaannya. Di samping persoalan
bagaimana menyingkirkan sampah secara baik
agar kota tersebut menjadi bersih dan tidak
mengganggu lingkungan, namun pula bagaimana
daerah yang kebetulan terpilih untuk lokasi tempat
pembuangan akhir (TPA) tidak mengalami
degradasi kualitas lingkungan akibat adanya TPA
tersebut. Kegiatan umum yang dilaksanakan di
sebuah TPA adalah pengurugan atau penimbunan
sampah di lahan yang tersedia.
Untuk mendapatkan lokasi TPA yang cocok dari
sudut biaya dan teknis memang terasa makin sulit,
namun aplikasi pengurugan sampah ke dalam
tanah tersebut agaknya akan tetap merupakan
pilihan bagi kota-kota di Indonesia pada masa
mendatang. Di samping alasan bahwa landfilling
adalah relatif mudah, luwes, dan murah, maka
alasan lainnya adalah bahwa cara ini dianggap
tuntas dalam menangani sampah.
Masyarakat luas di lndonesia agaknya sampai
sekarang masih menganggap sebuah TPA yang

Versi-2008-9/10

aktivitas utamanya adalah landfilling selalu identik


dengan open dumping, sehingga metode yang lebih
baik, semacam sanitary landfill akan dicurigai
sebagai open dumping. Hal ini tidak mengherankan,
karena sampai saat ini masih banyak pengelola
persampahan yang menganggap bahwa sebuah
TPA hanyalah sekedar tempat untuk menyingkirkan
sampah agar kotanya menjadi bersih. Banyak
dijumpai bahwa sebuah TPA hanya dioperasikan
oleh seorang sopir bulldozer, atau hanya
mengandalkan sopir truk sampah dalam menuang
sampahnya. Tidak terdapat rencana pengelolaan
lahan yang baik dan sistematis agar TPA tersebut
bisa berfungsi dengan baik dan tidak mengganggu
Iingkungan. Alasan yang biasa terdengar adalah
karena tingginya biaya dari sebuah TPA yang baik.
Kontrol terhadap aplikasi inipun masih sangat
lemah. Tidak jarang dijumpai, bahwa sebuah TPA
sampah kota menerima buangan industri, atau
bahkan dari jenis limbah B-3 yang berkatagori
infectious misalnya dari rurnah sakit, yang tentunya
akan dapat mendatangkan dampak yang tidak
diinginkan. Sebuah TPA yang telah dirancang dan
disiapkan sebagai lahan-urug saniter akan dengan
mudah berubah menjadi sebuah open dumping bila
pengelola TPA tersebut tidak secara konsekuen
menerapkan aturan-aturan yang berlaku. TPA
tersebut akan menjadi semrawut, bau, berasap, dan
lindinya menyebar ke arah yang tidak diinginkan.
Pencemaran sumber air minum penduduk
sekitarnya oleh lindi merupakan salah satu masalah
yang paling serius dalam aplikasi pengurugan
sampah ke dalam tanah.
Pada awal tahun 1990-an metode transisi yaitu
lahan-urug terkendali (controlled landfill)
diperkenalkan oleh Dept PU terutama untuk
kota-kota kecil dan sedang, antara lain dengan
menunda kriteria waktu penutupan harian menjadi 5
7 hari sesuai dengan siklus lalat. Tetapi ternyata
sampai saat ini metode inipun tetap dianggap
mahal oleh pengelola kota atau pengelola
persampahan.
Pilihan lain yang saat ini banyak menarik perhatian
adalah mengaitkan pengelolaan sampah yang
berada di TPA dengan mekanisme pembangunan
bersih, atau dikenal sebagai clean mechanisme
development (CDM) yang dikaitkan dengan Kyoto
Protocol dalam upaya global mereduksi emisi gas
rumah kaca. Indonesia telah meratifikasi protocol ini
sehingga dapat memanfaatkan peluang
perdagangan karbon yang saling menguntungkan.
Prinsip umum dalam CDM adalah, negara-negara
industri yang termasuk dalam negara Annex dari
protokol tersebut mempunyai komitmen
pengurangan emisi CO2 di negara masing-masing.
Namun penurunan CO2 berarti akan terkait dengan
upaya peningkatan efisiensi industri di negara
tersebut atau melalui pengurangan aktivitas
ekonomi yang mungkin sulit dilakukan. Oleh
karenya, negara berkembang yang meratifikasi
protokol tersebut dapat melaksanakan penurunan
emisi gas rumah kaca di negaranya, yang dapat
dijual kepada negara inustri tersebut. Salah satu
kegiatan yang dianggap berpotensi dalam upaya
tersebut adalah bila gas metan yang dihasilkan di

Enri Damanhuri Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

9-10

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104

sebuah TPA tidak dibiarkan terlepas tanpa kontrol


ke udara bebas. Dengan perbaikan TPA dan
pemasangan sistem penangkap gas, maka gas bio
yang dihasilkan akan dapat diarahkan untuk
dimanfaatkan, atau paling tidak melalui
pembakaran sehingga terkonversi menjadi CO2.
Gas CH4 dikenal mempunyai potensi gas rumah
kaca 21 kali dibandingkan CO2. Banyaknya CH4
yang dapat dikonversi menjadi CO2 inilah yang di
hargai dengan harga tertentu oleh negara pembeli.
Tentu saja, proses ini membutuhkan sebuah
mekanisme verifikasi yang panjang untuk sampai
pada kesepakatan perdagangan CO2 tersebut.
Sampai saat diktat ini ditulis, maka terdapat 4 TPA
di Indonesia yang sedang dalam proses kelayakan
teknis yang dilaksanakan oleh calon investor
masing-masing untuk mendapatkan sertifikat emisi
karbon dari PBB, yaitu:

Versi-2008-9/10

TPA Suwung di Denpasar: status potensinya


telah terdaftar pada badan dunia (UN-FCCC
No. 0938), sehingga menunggu persetujuan
metodologi dan verivikasi untuk mendapatkan
sertifikat
TPA Pontianak, TPA Kota Bekasi dan TPA
Palembang: potensinya sedang dalam proses
verivikasi secara intensif

Secara finansial, bila perdagangan emisi gas


rumah kaca ini akhirnya disepakati oleh pembeli,
maka untuk setiap ton ekivalen CO2 tersebut akan
mendapatkan kompensasi, yang menurut
perhitungan akan dapat menutup biaya operasional
TPA tersebut, disamping adanya keuntungan bagi
investor/operator yang melaksanakan kegiatan
tersebut sesuai dengan kaidah bisnis komersial
biasa.

Enri Damanhuri Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

9-11

Anda mungkin juga menyukai