Anda di halaman 1dari 8

Pembimbing : dr.

Rita Mawarni, SpF


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Belakangan ini banyak bencana yang terjadi di negara kita yang telah memakan banyak
korban, baik hidup ataupun mati. Bencana alam yang terjadi tidaklah mengenal waktu dan
tempat, siapapun bisa menjadi korban keganasan alam. Selain itu, negara yang sedang
mengalami krisis ekonomi dan moral berkepanjangan menyebabkan masyarakat mudah
tersulut emosi sehingga sering terjadi konflik dan tindak kriminal yang kadang menyebabkan
korban jiwa yang tidak sedikit.
Bertitik tolak pada kasus-kasus yang banyak terjadi seperti disebutkan diatas, ternyata
masalah yang tidak kalah penting selain penanganan korban hidup adalah masalah identifikasi
korban mati. Seringkali kita berhadapan dengan kasus-kasus yang tidak sederhana, dalam arti
yang ditemukan dilapangan bukanlah jenazah yang utuh, yang mudah dikenali, melainkan
jenazah yang sudah membusuk, tercerai-berai, bahkan hanya tinggal kerangka. Disinilah
pentingnya identifikasi rangka terutama bila hanya tulang belulang saja yang ditemukan,
Berbagai metode identifikasi sederhana masih dapat dilakukan adalah penentuan tinggi badan,
jenis kelamin, suku bangsa, bentuk tubuh, dll.
B. Tujuan
Memenuhi tugas kepaniteraan di bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
C. Manfaat
Untuk memberikan informasi tentang cara mengidentifikasi seseorang dari kerangka
tulang, berdasarkan ras, jenis kelamin, usia, dan tinggi badan.

1 ASFIKSIA

Pembimbing : dr. Rita Mawarni, SpF


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Asfiksia

2.1.1. Definisi
Asfiksia adalah kegagalan masuknya udara ke dalam alevoli paru atau sebab-sebab
lain yang mengakibatkan persediaan oksigen dalam jaringan atau darah atau keduanya
berkurang sampai suatu tingkat tertentu dimana kehidupan tidak mungkin berlanjut (Amir,
2011).
Asfiksia adalah keadaan dimana sel gagal menerima oksigen, baik parsial (hipoksia)
maupun total (anoksia) yang ditandai dengan adanya kongesti vena, petekie, sianosis, dan
pengenceran darah (Dimaio, 2001).
2.1.2. Epidemiologi Asfiksia
Menurut data yang di dapat dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC),
sejak tahun 1999-2004, berdasarkan sertifikat kematian bagi warga Amerika Serikat, ada
sekitar 20.000 kematian kecelakaan dan nonaccidental dalam periode tersebut disebabkan
oleh berbagai jenis asfiksia mekanik, seperti tenggelam, gantung, pencekikan, dan lainlain(Graham, 2011).
Korban kematian akibat asfiksia termasuk yang sering diperiksa oleh dokter.
Umumnya urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu-lintas dan trauma mekanik. (Amir, 1995)
Penyebab paling umum kematian akibat asfiksia berbeda antara tiap kelompok usia.
Tenggelam merupakan penyebab asfiksia yang paling sering pada kelompok usia 1-4 tahun,
sedangkan gantung, pencekikan, dan tenggelam adalah yang paling umum pada kelompok
usia 35-44 tahun (Graham, 2011).
2.1.3. Klasifikasi asfiksia
Ada beberapa klasifikasi dari asfiksia, yaitu:
-

Suffocation
Suffocation sering digunakan sebagai istilah umum untuk kekurangan O2, karena

kurangnya O2 dalam lingkungan atau obstruksi saluran napas eksternal akibat


obstruksi hidung dan mulut, pembunuhan, pembekapan, bunuh diri atau kecelakaan.
- Smothering (Pembekapan)
Smothering (Pembekapan) merupakan asfiksia yang terjadi karena ditutupnya saluran
nafas bagian luar, yaitu hidung dan mulut korban sekaligus.
- Choking dan Gagging (penyumbatan saluran nafas)
2 ASFIKSIA

Pembimbing : dr. Rita Mawarni, SpF


Pada choking, sumbatan jalan nafas terjadi pada laringofaring, sedangkan pada
gagging sumbatan jalan nafas terjadi pada orofaring.
- Strangulation (Penjeratan)
Strangulation (Penjeratan) adalah terhalangnya udara masuk ke saluran pernapasan
akibat adanya tenaga dari luar dan tidak dipengaruhi oleh berat badan seprti pada
hanging.
- Hanging
Mati gantung merupakan tindakan bunuh diri yang sering dilakukan karena dapat
dilakukan di mana dan kapan saja dengan seutas tali, kain, dasi atau bahan apa saja
yang dapat melilit leher.
- Drowning
Ini merupakan bentuk kematian akibat asfiksia karena terhalangnya udara masuk ked
ala saluran pernapasan disebabkan tersumbat oleh cairan.
- Crush (Traumatic) asphyxia
Ini merupakan asfiksia yang terjadi akibat penekanan pada dada maupun perut
2.1.4. Etiologi Asfiksia
1. Alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti laringitis
difteri, atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Mekanik, penyebab asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan emboli
udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral, sumbatan pada saluran nafas dan
sebagainya. Kejadian ini sering dijumpai pada keadaan gantung diri, tenggelam,
pencekikan, dan pembekapan.
3. Keracunan, bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya barbiturat,
narkotika
.
2.1.5. Patofisiologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam dua
Golongan, yaitu :

1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)


Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Selsel otak sangat sensitif terhadap kekurangan O 2. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan
lebih banyak O2, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen.
Perubahan karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebelum dan ganglia basalis. Di sini
sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sehingga pada organ tubuh yang
3 ASFIKSIA

Pembimbing : dr. Rita Mawarni, SpF


lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan O2
langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan
meningkatkan output, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Oleh karena oksigen
dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung
dan kematian yang berlangsung dengan cepat.
Keadaan ini didapati pada :
a. Penutupan mulut dan hidung (pembekapan)
b. Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus
alienum dalam saluran nafas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara
masuk ke paruparu.
c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (traumatic asphyxia)
d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya
pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.
Secara fisiologis dapat dibedakan empat bentuk asfiksia (sering disebut
anoksia), yaitu :
1. Anoksia anoksik (anoxic anoxia)
Keadaan ini diibaratkan dengan tidak atau kurang pemasokan oksigen untuk keperluan tubuh.
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena :
a. Tidak ada atau tidak cukup O2 bernafas dalam ruangan tertutup, kepala ditutupi
kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan
tertutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini disebut asfiksia murni (suffocation)
b. Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,
gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam
tenggorokan. Ini disebut sebagai asfiksia mekanik (mechanical asphyxia)
2. Anoksia anemia (anaemic anoxia)
Dimana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapatkan pada anemi berat
dengan pendarahan yang tiba-tiba.
3. Anoksia hambatan (stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung, syok,
dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak
lancar.
4. Anoksia jaringan (histotoxic anoxia)
4 ASFIKSIA

Pembimbing : dr. Rita Mawarni, SpF


Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat
menggunakan oksigen secara efektif.
2.1.6. Gejala Asfiksia
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4
fase, yaitu :
1. Fase dispnoe
Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan
merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga amplitude dan frekuensi
pernafasan akan meningkat. Nadi cepat, tekanan darah meningkat dan mulai tampak tanda tanda sianosis terutama pada muka dan tangan.
2. Fase konvulsi
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf pusat
sehingga terjadi konvulsi ( kejang ), yang mula - mula berupa kejang klonik tetap kemudian
menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul episode opistotonik. Pupil mengalami dilatasi,
denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis
pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat kekurangan O2.
3. Fase apnoe
Depresi pusat pernafasan menjadi lebih hebat, pernafasan melemah dan dapat berhenti.
Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin
dan tinja.
4. Fase akhir
Terjadi paralisis pusat pernafasan yang lengkap. Pernafasan berhenti setelah kontraksi
otomatis otot pernafasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah
pernafasan berhenti.
TANDA-TANDA POST-MORTEM
Wajah bengkak dan biru (sianosis), bibir kebiruan dan mata menonjol, lidah sering bengkak
dan menjulur, dan kadang-kadang tergigit, terlihat buih di rongga hidung dan mulut, bintik
perdarahan (ptekiae hemoragik) di muka, kelopak mata dan konjungtiva. Tangan bisa
dijumpai mencekam/ mengepal (kejang mayat, cadaverik spasme). Lebam mayat berwarna
merah kebiruan jelas terlihat dan distribusi luas karena kadar CO2 tinggi dan darah menjadi
lebih encer. Sukar membeku akibat kerja fibrinolisis.

5 ASFIKSIA

Pembimbing : dr. Rita Mawarni, SpF


Mukosa trakea dan bronkus merah karena kongesti dan sering dijumpai buih
bercampur darah. Paru-paru bengkak (congested) dan berwarna gelap, adanya bintik
perdarahan di permukaan paru, jantung, otak dan selaput otak yang dikenal dengan tardeous
spot. Bintik-bintik perdarahan ini terjadi karena permeabilitas kapiler meningkat dan kapiler
mudah pecah. Selain

di permukaan organ, sering didapati konjugtiva palpebra dan

konjungtiva bulbi serta di kulit wajah. Organ-organ mengalami perbendungan, sering didapati
jantung kanan masih terisi darah dan jantung kiri kosong. Tanda-tanda lain didapati sesuai
dengan penyebab asfiksia, seperti di paru-paru pada tenggelam, leher pada penjeratan,
pencekikan, dan mati gantung. Luka di mulut dan hidung pada pembekapan dan cedera dada
pada traumatik asfiksia. Pada mati gantung proses hambatan terjadi serentak pada pembuluh
darah arteri dan vena, maka wajah korban tampak pucat.

6 ASFIKSIA

Pembimbing : dr. Rita Mawarni, SpF

BAB III
KESIMPULAN
Identifikasi tulang bertujuan untuk mengetahui identitas seseorang. Ilmu yang mempelajari
identifikasi ini adalah antropologi forensic. Proses pengidentifikasian ini meliputi pembedaan
antara rangka manusia dan hewan, identifikasi ras, identifikasi jenis kelamin, identifikasi
umur, dan diakhiri dengan identifikasi tinggi badan.
Perbedaan tulang manusia dengan tulang hewan dapat dibedakan dengan kepadatanya
dan secara pemeriksaan mikroskopik. Penentuan jenis kelamin berdasarkan tulang yang dapat
dibedakan pada tulang sternum, pelvis, tulang tenggorak dan tulang muka. Pemeriksaan
tulang yang teliti identifikasi dapat diarahkan ke penentuan ras, beberapa perbedaan
ditemukan terbagi kepada tiga ras yaitu ras kaukasoid, negroid dan mongoloid. Selain itu,
dapat menentukan umur dan tinggi badan dapat ditentukan berdasarkan seperti pertumbuhan
dan perkembangan badan , tinggi dan berat badan, gigi geligi, pemeriksaan rahang bawah dan
pusat penulangan (ossification centre) dari tulang-tulang serta penutupan garis epiphyse pada
tulang panjang.
Faktor lingkungan jauh lebih berperan daripada waktu dalam mempengaruhi keadaan
tulang. Dalam menentukan umur tulang dapat berdasarkan dengan melakukan tes fisika
(fluoresensi dengan sinar ultraviolet), serologi dan kimia (penentuan kandungan Nitrogen dan
Asam amino). Untuk penentuan lama kematian individu adalah dengan menghitung selisih
umur tulang dengan umur individu. Dan juga dari gambaran fisik tulang seperti bau, warna,
dan kepadatan tulang. Menentukan tulang secara analisis DNA yaitu apabila tersedia sample
tulang atau gigi serta pembandingnya.

7 ASFIKSIA

Pembimbing : dr. Rita Mawarni, SpF

DAFTAR PUSTAKA
1) Bagian Kedokteran Forensik FK UI. Ilmu Kedokteran Forensik : Identifikasi Forensik.
Ed.1. cetakan 2. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FK UI; 1997. hal 197 203.
2) Indriati, Etty. Antropologi Forensik : Identifikasi Rangka Manusia, Aplikasi
Antropologi Biologis Dalam Konteks Hukum. Cetakan 1. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press :2004.
3) James JP. Encyclopedia Of Forensic And Legal Medicine. Jilid 1. London, UK.
Academeic press, 2005.
4) Amir, Amri. 2011. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Medan: Percetakan
Ramadhan.
5) Ritonga M. Penentuan Lama Kematian Dilihat Dari Keadaan Tulang. Medan,
Sumatera Utara . USU Digital Library, 2005.
6) Shepherd R. Simpsons Forensic Medicine, Chapter 12 Identification of the Living
and the Death.. Edisi ke 12.London, UK. Arnold, 2003.
7) Dix J, Calaluce R. Guide to Forensic Pathology; Presumotive Identification.New York,
Washington DC. CRC Press, 1999.

8 ASFIKSIA

Anda mungkin juga menyukai